Cylo memutar kursi, ketika mendengar suara ketukan di pintu. Pria itu melepas kaca mata yang beberapa saat lamanya bertengger di atas hidungnya yang tinggi.
“Masuk.”
Seorang wanita dengan jas putih menghela kaki—masuk ke dalam ruang sang direktur, setelah pintu terkuak. Wanita itu lalu menarik kursi di hadapan Cylo. Sepasang bola matanya sempat melirik sang pemilik ruangan untuk beberapa saat, sebelum menurunkan tubuhnya. Duduk nyaman, kemudian mengulurkan map yang ada di tangannya.
“Ini daftar harga peralatan bedah dari beberapa tempat yang kamu minta.”
Cylo menganggukkan kepala, lalu meraih map. Pria itu kemudian meraih kaca mata, yang belum lama ia letakkan. Kembali memakainya, lalu membuka map berwarna hijau itu.
Sejenak suasana hening, ketika sepasang mata Cylo sedang menyapu beberapa harga yang tertera pada lembar-lembar kertas A4 di dalam map.
“Kalau kamu perhatikan, harga PT Sako yang paling murah. Tapi, kamu tentu tahu merk itu bukan yang terbaik.”
Cylo mengangguk setuju. Kepala pria itu masih tertunduk. Beberapa kali kerutan di keningnya terlihat. Cylo menghembuskan nafas, sebelum kemudian mengangkat kepala.
“Kita beli yang dari PT Rexa saja. Aku rasa, harga yang mereka tawarkan cukup masuk akal untuk kualitas barang yang mereka tawarkan.”
“Apa perlu menunggu meeting dulu untuk mengeksekusinya?”
“Tidak perlu. Aku yang akan bertanggung jawab,” sahut Cylo sembari meraih pena, lalu memberikan persetujuan pada pengajuan harga dari perusahaan yang ia pilih.
Selesai, Cylo lalu menyerahkan kembali map kepada Silvia. Silvia adalah seorang wanita yang menempuh pendidikan di fakultas yang sama dengannya. Mereka sudah berteman cukup lama, sampai akhirnya Cylo meminta sang teman untuk membantunya di rumah sakit tersebut.
Cylo mengernyit, ketika melihat Silvia justru menyandarkan punggung--setelah menerima map darinya. Urusan mereka sudah selesai, namun sepertinya, sang teman masih ingin bicara dengannya.
“Ada masalah?” tembak langsung Cylo. Pria itu masih mengamati lekat sang teman.
“Tumben hari ini Theya datang terlambat. Kalian sedang marahan?”
Cylo langsung berdecak tidak suka, dengan pembahasan yang diangkat sang teman. Jujur saja, dia tidak suka membahas urusan pribadi dengan orang lain. Apalagi di tempat kerja. Sayangnya, yang sedang bertanya ini tidak lain adalah temannya.
Cylo menghembuskan nafasnya. “Kami tidak punya masalah apa-apa. Dia memang ada perlu ke tempat lain lebih dulu, sementara aku ada meeting pagi. Puas dengar jawabanku?” jelas Cylo dengan nada kesal.
Silvia justru tertawa. “Kamu tidak boleh kesal. Salah sendiri menjadi selebriti di sini.”
Oh … Cylo kembali berdecak tidak suka. “Aku bukan selebriti. Apa kamu tidak bisa melihat pakaian apa yang aku kenakan?” kedua mata Cylo membesar kesal.
Silvia justru berdecih. “Sudah aku bilang, kalian bertiga sudah jadi selebriti sejak pernikahan kamu dan Theya. Semua orang membicarakan kalian. Apalagi setelah Leon akhirnya pergi menghilang.”
“Dia sudah kembali.”
“Oh … ya?” sepasang mata Silvia langsung melebar. “Astaga … sebentar lagi bakal ada siaran gosip lagi setiap hari. Kapan dia balik kerja lagi?”
Cylo mencebik, melihat wajah sumringah sang teman. “Sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya.” Cylo menggelengkan kepala. “Dia sudah punya pacar. Jangan pernah berpikir untuk mendekatinya.”
“Aishhh … cepat juga dia move on. Kirain dia masih patah hati. Ya … nggak dapak kakaknya, dapat adiknya lebih baik, bukan?” Silvia tertawa.
Sementara itu, Cylo hanya menggelengkan kepalanya. Pria itu mengedikkan dagu ke arah pintu masuk, hingga membuat Silvia berdecih kesal.
“Ck … aku juga ada info buat kamu.”
Cylo yang semula sudah kembali menarik laptop, mengangkat wajahnya. “Aku tidak ingin tahu.”
Silvia menghembuskan nafas, lalu mengangkat kedua barunya ringan. “Jangan salahkan aku, kalau suatu saat nanti kamu menyesal,” ujarnya, sebelum beranjak dari tempat duduk. Ia sudah diusir oleh sang pemilik ruangan.
Sementara itu, Cylo yang sudah kembali menatap layar di hadapannya, merilik sang teman, sebelum kembali mengedik ke arah pintu. Pria itu kembali mengusir sang teman yang kemudian mencebik, sebelum membawa langkahnya menjauh. Wanita itu menggerutu sepasang jalan ke luar ruangan sang direktur.
Mengedip, bola mata Cylo bergulir ke samping. Untuk sesaat, mata itu mengamati satu bingkai foto di sisi samping meja kerjanya. Potret pernikahannya dengan Atheya. Gambar sepasang anak manusia yang mengarahkan pandangan ke kamera dengan senyum palsu.
Cylo menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Atheya memang cantik. Sangat cantik. Sayang, hati wanita itu membeku. Oh … bagaimana dengan hatinya sendiri? tanya balik satu sisi hatinya. Sama seperti Theya, hatinya pun sudah mengeras. Sudah lebih dari dua tahun, dan wanita itu masih belum juga kembali. Dia tidak menepati janjinya.
Pria itu kembali menghembuskan nafas, sebelum kepalanya menggeleng—mengusir jauh masa lalunya. Ia hanya harus fokus bekerja. Leon sudah kembali, dan dia tidak ingin pria itu mengambil alih apa yang ia miliki saat ini.
Cylo jelas tahu, sang papa lebih memihak Leon karena wanita itu. Wanita yang sudah membuat Ibunya sakit hati, dan akhirnya meninggal. Wanita perusak rumah tangga ibunya. Dan Cylo juga tidak lagi memiliki respect untuk papanya yang sudah begitu tega menduakan ibunya. Padahal ibunya ikut berjuang keras untuk keberhasilan pria itu. Dan setelah dia berhasil menjadi seseorang, pria itu mengkhianatinya dengan diam-diam menikahi wanita lain. Hati wanita mana yang tidak akan hancur?
Tangan Cylo yang berada di atas meja mengepal. Sepasang mata tajamnya menerawang ke kejauhan. Dia tidak akan rela menyerahkan apa yang dihasilkan oleh keringat ibunya, jatuh ke tangan anak wanita simpanan itu. Tidak akan pernah.
***
“Suster ….”
Atheya yang baru saja selesai mengambil sample darah sang pasien, menoleh.
“Bisa bantu saya … makan?”
Kening Theya mengernyit. Sepasang mata wanita itu berpindah mengamati kedua tangan sang pasien. Dia jelas tahu, kedua tangan pria yang berada di ranjang pasien—baik-baik saja. Dia terkena typus, dan itu tidak ada hubungannya dengan fungsi tangan.
“Saya merasa lemas.”
Oh … Theya menarik dalam-dalam nafasnya, sebelum memasang senyum sembari menganggukkan kepala. Apalah ia yang bekerja sebagai seorang perawat. Sudah menjadi tugasnya untuk melayani pasiennya.
“Saya bawa sample darah ke lab dulu,” pamit Theya, sembari mengangguk kecil. Wanita itu lalu memutar tubuh, berjalan menjauhi ranjang pasien.
Dan Theya benar-benar kembali setelah menyerahkan sample darah pada petugas lab. Wanita itu duduk di pinggir ranjang pasien, sementara sang pasien duduk bersandar. Theya mulai menyuapkan jatah makan siang pasien.
“Sudah lama bekerja di sini?”
Theya yang sedang menunduk untuk memenuhi sendok dengan bubur serta lauknya—melirik sang pasien dari tepi atas matanya. Mendapati pria itu sedang menatap, menunggunya menjawab—Theya akhirnya mengangkat kepala.
“Lima tahun,” jawab Theya singkat, lalu segera mengangkat sendok. Memenuhi mulut sang pasien yang sudah terbuka untuk memberikan pertanyaan lainnya.
Theya tidak ingin terlalu akrab dengan pasiennya. Dia tidak peduli sekalipun dinilai tidak ramah. Dia merasa tidak nyaman berbincang tentang masalah pribadi dengan orang asing.
Theya mengalihkan tatapan, saat melihat pria itu tersenyum. Ah … dia benar-benar merasa tidak nyaman. Dia tidak bodoh, hingga tidak paham dengan gelagat pasiennya. Heran … sedang sakit, tapi masih saja berusaha menggoda perempuan.
Theya meraup oksigen sebanyak mungkin.
Suara ketukan di pintu--membuat dua kepala manusia tersebut, menoleh bersamaan. Theya langsung berdiri, menjauh dengan mangkuk bubur yang masih ada di tangannya, kala melihat rombongan dokter dan dua perawat—masuk.
“Tuan Adimas, waktunya cek ya,” ucap salah satu perawat yang menemani kunjungan sang dokter.
Theya melirik pria yang berdiri di belakang, dengan bersedekap tangan. Kening wanita itu mengernyit. Untuk apa seorang direktur ikut visit dokter pasien typus?
Sepasang mata Cylo terarah pada tangan Theya. Theya yang menyadari kemana arah tatapan tajam pria itu, memutar tubuh—lalu meletakkan mangkuk ke atas meja.
“Sample darahnya sudah di ambil, Sus?”
Theya menoleh. Dokter Raka sedang menatapnya. Wanita itu lalu mengangguk kaku.
“Sudah, Dok. Sudah saya serahkan ke petugas lab.”
Sang dokter kemudian menganggukkan kepala. “Kalau sudah selesai, bisa ikut visit pasien lain?” tanya sang dokter.
Theya sudah akan menganggukkan kepala, sebelum suara dari arah ranjang pasien terdengar.
“Kami belum selesai.”
Theya mengerjapkan sepasang matanya.
Suasana seketika hening, ketika beberapa pasang mata melirik satu sosok yang masih berdiri dengan wajah tenang. Sementara kedua tangan pria itu sekarang sudah berada di dalam saku jas dokternya.
Bukan tanpa alasan, Cylo tiba-tiba mengikuti visit dokter Raka. Dia yang berniat menghampiri nurse station untuk mengajak istrinya makan siang, justru mendengar perbincangan beberapa suster yang mengatakan jika istrinya itu sedang melayani pasien istimewa. Oh … suami mana yang tidak akan marah mendengarnya? Jangan salah paham. Dia hanya marah karena merasa harga dirinya terinjak.
Semua orang tahu, Theya adalah istrinya.
“Um … biar saya yang lanjutkan ya, Pak. Suster Theya harus ikut dokter Raka, karena dia yang tadi memeriksa pasien.” Seorang suster memecah keheningan.
Wanita itu tersenyum, sembari menghela langkah menuju meja di samping ranjang pasien. Ia berniat untuk mengambil mangkuk yang masih berisi setengah.
“Saya hanya mau suster Theya. Apa seorang pasien tidak boleh meminta bantuan seorang suster?”
Oh … suasana kembali hening. Theya melarikan bola mata, menyapu sekitar, sebelum berakhir pada sang suami yang kini sudah jelas menolehkan kepala ke arahnya. Sepasang mata pria itu mengintimidasinya dengan tatapan tajam.
Theya kembali melarikan pandangan ke atas ranjang pasien. Wanita itu menghembuskan nafas, mendapati tatapan memohon sang pasien. Kaki kanan wanita itu terangkat, sebelum kembali berhenti--ketika rungunya mendengar suara bariton yang sudah sangat dihafalnya.
“Mulai sekarang, suster Theya tidak lagi bekerja di lantai ini.”
Semua kepala langsung menoleh ke arah datangnya suara. Cylo menatap pria di atas ranjang. “Suster lain akan membantu anda.” Lalu pria itu mengarahkan pandangan mata pada sang istri yang masih menatapnya dengan kelopak mata terbuka lebar.
“Sekarang saya akan membawa istri saya untuk makan siang.”
Dan sang pasien hanya bisa membuka mulut, serta melebarkan sepasang matanya, ketika melihat pria dengan jas putih yang tidak dikenalnya itu—dengan langkah lebar menghampiri sang suster pujaan, lalu dengan santai meraih sebelah tangannya. Cylo menarik pelan tangan Theya—keluar dari kamar pasien.