Menghidupkan Api

1014 Kata
Sejak pagi hingga siang menjelang, bisik-bisik para karyawan masih bisa Sella dengar. Walaupun dia berusaha santai, tetap saja risih. Kejadian tadi pagi saat Sella ke luar dari mobil William, lalu mereka berjalan beriringan, itu awal dari semua kegaduhan. Di sini yang risih hanya Sella, sedangkan William bersikap acuh. Sella di sini mau bekerja, sungguh dia tidak mau mencari perkara sama siapapun. Tadi Sella sempat banyak cerita dengan Shania, wanita itu bilang kalau dia tidak tahu apapun soal William termasuk punya atau tidaknya dia seorang kekasih. "Sella?" "Apa ada Sella? Sella di mana?" Mendengar namanya dipanggil sontak saja Sella mengangkat wajahnya. Sella sedang mencari di mana sumber suara yang memanggilnya. "Sella dipanggil sama Pak William!" Sella mengacungkan jempolnya. "Oke, terima kasih ya, Dini." Wanita yang dipanggil Dini mengangguk mengiyakan. Setelah menyampaikan pesan untuk Sella, Dini bergegas pergi melanjutkan pekerjaannya. Walaupun hatinya belum tenang, sebisa mungkin Sella bersikap biasa. Sella mengambil beberapa dokumen yang baru saja dia kerjakan untuk diberikan kepada bosnya. Langkah pelan namun pasti, kini Sella sudah berdiri di dapan ruangan William. Satu kali Sella mengetuk, lalu dia langsung masuk ke dalam. Pandangan keduanya beradu, sebisa mungkin Sella tidak menunduk menghindari tatapan. "Bagaimana dengan tugas yang saya berikan? Apa sudah selesai kamu kerjakan? Lalu hasilnya bagaimana?" Tanpa basa-basi, William langsung bertanya pada intinya. "Sudah, Tuan, sudah saya follow up tentang kontrak kerjasama kemarin. Berkas-berkasnya sudah diterima, mereka ingin mengadakan pertemuan lusa besok." Sebelah alis William terangkat. "Lusa? Harus lusa besok? Bukannya lusa besok jadwal saya meninjau pembangunan bersama Mr. Smith?" "Betul, tapi Mr. Smith ingin mengubah jadwal untuk pertemuan itu, Tuan. Mr. Smith akan bertolak ke Amerika, maka dari itu beliau meminta pengunduran waktu." Sambil menatap lekat Sella, William mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. Sedikit melenceng dari masalah pekerjaan, William cukup takjub melihat perubahan Sella. Belum genap dua bulan, tetapi dia sudah bisa menguasai pekerjaannya. Sebetulnya itu bagus untuk kelangsungan perusahaan, dan juga jalur pribadi. "Apa yang kau bawa?" William menunjuk berkas-berkas yang berada di dekapan Sella menggunakan dagunya. "Ini bukti p********n pajak, Tuan. Selain itu ada dokumen yang harus Tuan tandatangani sesegera mungkin." Sella meletakan dokumen bawaannya di atas meja. Selagi William memeriksa, Sella tetap diam ditempat tanpa mengeluarkan suara. Sebisa mungkin dia bersikap sopan dan profesional. Harus Sella akui, sifat William sedikit berbuah dari awal pertemuan mereka. William benar-benar melunak, bahkan tidak jarang dia memamerkan senyumannya. Tentu hal itu membuat Sella sedikit lega, karena ujian awal bekerja bisa dia lalui. Tanpa sadar sudut bibir Sella tertarik membentuk lengkungan senyuman tipis. "Baik, akan saya pelajari terlebih dahulu, jadi bisa ditinggal. Sedangkan bukti-bukti p********n kau simpan dengan baik, jadi kalau ada masalah tidak susah mencari." "Kalau begitu saya permisi." Sella kembali maju beberapa langkah untuk mengambil map berisi bukti p********n. "Sella, tunggu!" Langkah kaki Sella terhenti, dia langsung menoleh kembali ke belakang. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan?" "Saya cuma mau bertanya. Tadi saat saya menjemputmu, tidak sengaja lihat pecahan kaca dari jendela samping. Ada apa? Kenapa bisa pecah?" William menatap lekat wanita di depannya. Wajah Sella terlihat biasa saja, bahkan sangat santai. Apa harus Sella menjawab? Rasanya tidak perlu, buat apa juga menceritakan hal unfaedah? "Saya kurang tau, Tuan, tapi sepertinya ada anak-anak iseng, mungkin tidak sengaja. Kalau begitu saya permisi." Tanpa menunggu jawaban William, Sella bergegas ke luar dari ruangan panas itu. Langkah kaki Sella membawa dirinya ke dalam toilet. Ditatapnya wajah dirinya sendiri di cermin dengan datar. Jantung Sella sangat berdebar jika sudah berhadapan dengan bosnya itu. Setelah menenangkan diri dia kembali ke luar untuk kembali bekerja. "Sella? Tadi benar bareng Pak Will? Kok bisa, Sel? Kita yang udah lama di sini, ga ada tuh interaksi sedekat itu." "Kayaknya kalian udah saling kenal ya? Hebat aja sih bisa langsung dapat jabatan tinggi," timpal wanita berambut sebahu di depan Sella. Kegaduhan seperti ini yang Sella sebalkan. Pertanyaan mereka memang sederhana, namun tidak dengan tatapan sinisnya. Apa mereka tidak senang? "Sella itu asisten pribadinya Pak William, otomatis mereka udah saling kenal atau CV Sella bagus, makanya diterima. Ini kantor, Hana, Kalla, jangan gosip. Menurutku wajar juga mereka datang bareng, toh namanya asisten pribadi, ya bukan bantu urusin urusan kantor aja." Bukan, bukan. Itu bukan Sella yang menyahut. Ketiganya kompak menoleh, menatap seorang wanita yang berjalan mendekat lalu berdiri di samping Sella. Sella tersenyum mendapati Shania, setidaknya wanita itu menjadi penolong. "Dalam lingkungan apapun, pasti akan ada orang menyebalkan. Kuatin hati aja, jangan dianggap beban," ujar Shania, ketika dia berhasil mengajak Sella pergi dari hadangan Hana dan juga Kalla. *** Banyaknya panggilan, chat, tidak membuat William bergeming. Matanya memang masih menatap ponsel, namun jari-jarinya masih enggan membalas. Pesan itu bukan dari asistennya, tetapi dari Biel. Dari banyaknya pesan, tetap saja isinya sama semua. Gadis itu sangat tidak sabar menyuruh William lekas pulang. Bagaimana bisa pulang kalau semuanya belum berjalan sempurna? Perlahan William menghela napasnya. Sedang mumet dengan permintaan Biel, William menatap pintu yang diketuk lalu terbuka. Belum ada sahutan, lancang sekali orang itu. "Will, maaf kalau Paman langsung masuk." Edward kembali menutup rapat pintu, lalu dia duduk tepat di depan William tanpa izin. "Paman? Ada apa? Kenapa tidak beri kabar kalau mau ke sini?" "Sesuai permintaan tolongmu, Paman akan bantu. Paman akan ikut mengusut kecelakaan Ayahmu, Will. Paman sadar, hidupmu pasti belum lega, maka dari itu kita pecahkan sama-sama," ujar Edward dengan sungguh-sungguh. Sejak kemarin otaknya sudah berfikir, memang tidak ada salahnya membantu keponakan sendiri. William yang beberapa hari ini berusaha meredam emosi kembali diingatkan oleh Pamannya. Pembahasan ini sangat sensitif untuk William, tentu otak-otak penuh rencananya kembali bekerja. Tubuh William menegak, mata tajamnya terus menatap lekat pria paruh baya di depannya. "Apa yang Paman punya? Apa juga yang mau Paman lakukan?" Sebelah alis William terangkat. Kali ini William cukup penasaran, memang Pamannya punya bukti apa? "Kamu mencurigai Prawira? Paman tau kecurigaanmu pasti beralasan dan valid, maka dari itu mari kita bagi tugas. Bukankah orang seperti itu tidak layak hidup? Dia sudah merenggut nyawa Ayahmu demi menjatuhkan lalu menguasai aset perusahaan tempo dulu." Apa yang Edward katakan sangat benar, tapi William mempunyai planning sendiri, dia tidak mau tergesa dalam bertindak. "Bukankah nyawa harus dibayar nyawa, Will?" Menghidupkan api, itulah Edward saat ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN