Perbedaan zona waktu antara Aussie dengan Indonesia tidak membuat gadis yang sedang mencak-mencak berhenti. Biel sangat tahu bagaimana karakter William jika sedang bekerja, tetapi diganggu terus-menerus. Hubungan yang sudah terjalin lama, tentu membuat Biel terbiasa.
Sejak awal keberangkatan hingga saat ini, hati Biel tidak kunjung tenang. Setiap ada kesempatan mereka memang berkomunikasi, tapi rasanya Biel tidak puas, dia ingin kekasihnya segera pulang. Biel juga tahu kalau kepergian William untuk membuka kembali kasus Ayahnya, dan itu yang membuat Biel sangat was-was. Biel hanya takut kalau kekasihnya akan terluka karena membuka kasus besar itu.
Merasa tidak ada respon, dengan kesal Biel melempar ponselnya ke lantai. Rasanya ingin menyusul, tapi untuk saat ini dia tidak bisa pergi karena terhalang pekerjaan. Selain itu, Biel tidak akan dapat izin kalau pergi jauh ke Indonesia hanya untuk memastikan William. Orang tuanya selalu bilang kalau William pria hebat, dia bisa jaga diri. Walaupun Biel setuju dengan itu, tetap saja dia khawatir.
"Biel, kamu kenapa? Kenapa ponselnya dilempar begitu?"
Asik mencak-mencak, Biel sampai lupa kalau saat ini dia berada di rumah Soraya. Cengiran lebar Biel terpancar, secepat kilat dia mengambil kembali ponselnya di lantai. Sebetulnya Biel ingin marah, ingin memaksa wanita paruh bada di sampingnya menyuruh sang cucu agar pulang lebih cepat. Akan tetapi Biel tidak berani walaupun sudah kenal sangat lama.
"Karena William?" tebak Soraya tepat sasaran. "Dia belum mau pulang? Apa Oma betul?" sambungnya.
Perlahan Biel menghembuskan napasnya. Kepala Biel mengangguk pelan. "Aku kesal sama William, kenapa dia harus pergi? Bukannya kita mau menikah? Kalau mau menikah seharusnya dia di sini, persiapkan semuanya, bukan pergi."
"Sebelum memutuskan pergi, dia izin berapa lama untuk pergi ke Indonesia?"
Biel nampak berfikir sejenak. Soraya yang duduk tepat di samping Biel dengan sabar menunggu sembari mengusap-usap lembut rambut panjang Biel yang terurai. Sama seperti Biel, Soraya pun ingin cucu kesayangannya itu lekas pulang, agar bisa berkumpul kembali di sini. Sekarang Biel ingat, tapi dia cukup kesal untuk mengutarakannya.
"Gadis cantik tidak boleh cemberut, harus tersenyum supaya lebih cantik." Soraya mengusap pipi Biel. Raut wajah Biel sangat tidak bersahabat, bisa dipastikan kalau dia benar-benar merajuk.
"William bilang ... William bilang dia akan menetap lama di sana, karna dia mau handle perusahaan di Indonesia. Oma, terus aku gimana? William bilang akan menetap lama, pernikahan kita gimana?" Kali ini otak Biel kembali pusing, rasa kesal dan marah beradu jadi satu. Sambil menatap Soraya Biel terus memohon agar dibantu.
Posisi sulit. Soraya meraih kedua tangan Biel, menggenggamnya dengan erat. "Bukan hanya kamu, Oma juga maunya Will kembali bersama kita. Bagi Oma, di sana tidak aman, tidak baik. Tapi lagi-lagi Oma juga bingung, bahkan kamu tau sendiri sekeras apa Will kalau sudah berjalan atas dasar kemauannya."
"Itu artinya pernikahan kami hanya angan-angan? Di sana banyak wanita cantik, pasti Will akan melupakanku."
"Dia pergi untuk menyelesaikan masalah, dia mau mencari keadilan. Hanya dengan cara itu dia bisa hidup tenang dikemudian hari. Kalian akan tetap menikah nanti."
William memang pria setia, Biel tahu itu. William anti tergoda, tapi untuk saat ini hati Biel ragu, dia sangat takut fikiran negatifnya benar-benar terjadi. Yaitu William menemukan wanita lain.
"Aku takut kalau realita tidak semanis ekspektasi, Oma," ujar Biel dengan suara lirih.
***
Suara gaduh disusul teriakan dari arah belakang sangat sukses membuat Sella kaget. Kedua matanya baru saja terpejam, namun jantungnya hampir melompat ke atas langit. Tubuh Sella kembali menegak, dengan penuh kefrustasian dia mengusap kasar wajahnya. Teman dekat Sella memang tiga orang, tapi rasanya seperti satu komplek.
Secepat kilat Naura menarik bangku, lalu duduk di samping Sella. Wajah riang Naura sangat berbeda dengan wajah suram Sella. Semalaman Sella tidak bisa tidur nyenyak karena Daniar terus saja cari perkara. Kalau kurang sabar, mungkin semalam akan ada sesi baku hantam saking lelahnya Sella. Selain Daniar yang menyebalkan, Kenzo pun tidak henti-hentinya bertanya soal pinjaman uang.
Empat juta, uang dari mana? Sekalipun ada, rasanya lebih baik Sella cicil bayar hutang pada William sebelum pria itu berubah menjadi iblis lagi.
"Sel, kalau beban kamu kelewat banyak, coba deh bagi ke Naura. Dia hidupnya selalu gabut, sekali-kali emang perlu dapat masalah biar otaknya berfikir," celetuk Keysa yang langsung mendapat cubitan maut dari Naura.
"Tiap hari ketawa bukan jadi jaminan hidup bahagia, padahal tiap malam selalu overthinking," sahut Naura dengan dramatis. "Aku tuh wanita lemah, harus selalu diayomi," lanjutnya.
Satu toyoran mendarat indah di kening Naura. Kali ini bukan ulah Keysa, karena wanita itu sudah tertawa geli. Naura mendelik tajam ke arah Shania, temannya itu memang minta disate!
"Emang benar, di sini yang manusia cuma Sella, kalian berdua tuh ghaib!" Naura bersedekap d**a, menampilkan wajah sok juteknya.
Sella yang kebetulan duduk di sampingnya tidak bisa menyembunyikan tawa. Mumet dengan segala masalah, ternyata ketiga temannya sangat ahli menghidupkan suasana, membuat Sella lupa akan rasa lelahnya.
"Kau liat? Dia itu anaknya Prawira, anak kandung, anak satu-satunya. Sejak dulu dia hidup bahagia apa lagi saat Prawira berhasil mengambil alih sebagian aset Wilson. Walaupun sekarang keluarga Prawira sudah jatuh, bukankah itu belum sebanding? Paman tahu dan kenal keluarga mereka, ya karna kita satu rekan bisnis dulu. Paman, Ayahmu, dan Prawira. Kami sempat menjalin kerjasama untuk pembangunan hotel di Bandung. Projek itu besar, bahkan ada investor asing yang siap membantu."
Perkataan panjang lebar Edward membuat William semakin membisu. Telinganya mendengarkan, namun tatapan tajam William masih tertuju pada Sella. Sejak tadi mereka berdua memang memperhatikan Sella, gadis itu terlihat riang dikelilingi orang-orang menyenangkan.
"Prawira itu sakit, mudah sekali kalau kau mau membalasnya secara cepat. Apa untuk hal ini kau masih membutuhkan bantuaku, Will?"
"Tidak, Paman, bukan seperti itu cara membalasnya. Untuk hal itu menjadi urusanku, Paman tidak perlu ikut turun tangan," sahut William. Tidak ingin berbicara di depan umum, William mengajak Edward untuk mencari tempat nyaman, cafe contohnya.
Sejak tadi Sella merasa diawasi, dia mencoba melihat ke arah pintu, namun tidak ada siapapun di sana. Apa iya hanya perasaan Sella saja? Atau ... ada hantu di sini? Sella bergidik ngeri kalau memang iya.
"Kenapa sih, Sel? Ada siapa?"
Sella menggeleng. "Engga tau, Nau, tapi ga ada siapa-siapa. Daritadi aku ngerasa ada orang di depan, apa di sini ada hantu?"
Ketiga wanita di dekat Sella kompak terdiam mendengar kata hantu.
***