Mau Menjemputmu

1017 Kata
Perlahan namun pasti, Sella membaca deretan kata-kata yang tertulis di dalam kertas lusuh yang kini berada di tangannya. Sesekali Sella membulatkan mata, lalu menyeritkan keningnya. Kali ini, ada drama macam apa lagi? Apa Tuhan tidak bisa melihat Sella dan keluarganya hidup damai? 'Hidup mati seseorang ada di tangan Tuhan, tapi tidak dengan kita.' 'Sebentar lagi semua orang akan menemukan ajalnya masing-masing. Lekas pergi, sebelum terlambat.' Kurang lebih isi surat yang Sella baca seperti itu. Kata-katanya memang simple, namun sialnya Sella tidak bisa mencerna apa maksud dari semuanya. Apa keluarganya dalam bahaya? Tetapi siapa yang melakukan? Bahkan Sella tidak merasa mempunyai musuh, begitupun Ayahnya. Semenjak sakit, Ayahnya selalu di rumah tanpa pergi. Atau jangan-jangan ini ada kaitannya dengan ... Daniar? Apa iya Ibunya kembali buat ulah? Sella ingat, delapan bulan yang lalu rumahnya kedatangan rentenir, mereka menagih hutang puluhan juta secara langsung di depan wajah Sella dan juga Wira. Mereka bilang, pinjaman itu atas nama Daniar. Saat itu Ayahnya masih mempunyai tabungan, dia langsung membayar tanpa fikir panjang. Sontak saja hal itu membuat Sella sangat murka pada Ayahnya. Buat apa membantu orang yang tidak punya hati? Mereka hanya terikat hubungan suami istri. Tanpa sadar tangan Sella terkepal, meremaa kuat kertas berisi ancaman itu. Mengingat masalalu memang memuakan, bahkan Sella sendiri muak hidup seperti ini. "Sel, ada apa? Kamu udah cek apa yang pecah? Lalu ada apa lagi?" Lamunan Sella buyar. Bak maling tertangkap warga Sella berusaha menyembunyikan tangannya dari pandangan Wira. Sella tidak mau memberitahu Ayahnya, dia tidak mau kalau Ayahnya ikut cemas. Ditatap lekat oleh sang Ayah membuat Sella tersenyum kikuk. "Sella?" "Im okay, Ayah. Kaca kamarku yang pecah, kayaknya kena lemparan batu. Mungkin ada anak-anak main, mereka ga sengaja atau sengaja ngelempar. Gapapa, yang penting Ayah baik-baik aja." Pandangan teduh keduanya beradu. Tidak ingin terlibat banyak pembicaraan, Sella mengajak Wira untuk masuk ke dalam. "Lagi ngapain kalian di luar? Menikmati bintang? Atau meratapi nasib? Tunggu, tunggu! Sella, ini jam berapa? Kenapa kamu ga kerja?" Baru tiga langkah kaki duanya berjalan, suara menyebalkan plus dari orang menyebalkan sudah lebih dulu terdengar. Mood Sella sedang jelek, rasanya dia sangat ingin meladeni mulut nyinyir sang Ibu. Tidak perduli Ayahnya menahan, Sella secepat kilat membalikan tubuhnya. Ditatapnya sang Ibu dari atas sampai bawah, sedetik kemudian Sella tertawa kecil. Apa tadi katanya? Tidak bekerja? Sella mendekat ke arah Daniar, tatapan sengitnya masih dia layangkan. "Tentu kami meratapi nasib. Nasib buruk kami harus menampung orang ga tau diri macam Ibu. Apa Ibu ga malu?" Sebelah alis Sella terangkat menatap Daniar. Daniar tidak perduli, dia selalu menulikan telinga setiap Sella marah-marah atau memaki. Karena bagi Daniar, emosi Sella hanya sesaat. Dengan gaya glamornya mengibaskan tangan, lalu mengajak sang suami untuk masuk. Biarkan saja Sella marah, yang terpenting dia akan selalu menang di mata suaminya. "Emang benar, yang namanya Ibu tiri ga pernah beres otaknya," guman Sella. *** Keesokan paginya, saat Sella ingin berangkat bekerja, dia melihat ada mobil berwarna hitam sudah terparkir rapih. Sejak tadi Sella diamkan, karena dia fikir itu kerabat tetangganya siapa. Akan tetapi, dari Sella masak, mandi, sampai sekarang dia rapih, mobil itu masih ada. Sella tidak mau ambil pusing, dia memilih masuk untuk berpamitan. Sella memang papasan dengan Daniar, tapi dia acuh pada wanita menyebalkan itu. Sella hanya ingin pamitan dengan Ayahnya. "Anak ga tau sopan santun," guman Daniar. "Permisi!" Daniar yang sedang asik mencibir Sella langsung berjalan ke arah pintu depan. Tidak tertutup, tapi Daniar tidak bisa melihat siapa yang datang. Melihat pria tampan berpakaian formal di depan mata membuat Daniar terpukau. Apa pria di dapannya nyasar? Atau bagaimana? "Permisi, apa benar ini rumah Sella?" "Iya benar, anda siapa ya?" Belum sempat pria tampan di depannya mengenalkan diri, Daniar dibuat kesal karena tangannya ditarik tiba-tiba. Dengan tatapan sengitnya Daniar menoleh, menatap Sella layaknya musuh bebuyutan siap terkam. "Kamu itu tau etika ga? Bisa bilang permisi? Ga sopan kamu!" "Belajar untuk diri sendiri dulu, baru beritahu orang lain. Aku mau kerja, Ibu jaga Ayah." Tanpa memperdulikan kekesalan Daniar Sella berusaha meloloskan tubuhnya dari dalam rumah. Kerusuhan Sella pada Daniar seketika terhenti menatap pria di depannya. Sella sangat kaget, saking kagetnya dia sampai mundur menabrak sang Ibu di belakangnya. Hari masih pagi, kenapa jantungnya sudah diajak bekerja ekstra? "T-tuan Will? Ada apa Tuan ke sini?" tanya Sella dengan gugup. Apa iya hari ini dia telat? Rasanya tidak! Ini belum jam tujuh, bahkan masih sangat pagi. "Saya mau menjemputmu, apa tidak lihat ponsel? Saya kirim pesan dua kali." Rasa-rasanya perut Sella mulas sekarang. Masih dengan kegugupan yang ada Sella mengambil ponsel miliknya yang berada di dalam tas. Ternyata William tidak bohong, ada dua chat di layar ponselnya. Tetapi yang membuat Sella bingung, dalam rangka apa bos arogannya sampai ke sini untuk menjemput? Yang lebih mengherankan, dari mana pria itu tahu alamat rumahnya? Bahkan asistennya kemarin tidak mengantar sampai rumah. "Bisa kita berangkat? Saya ada meeting, saya butuh materinya, dan itu pekerjaan kau." "Tuan Will? Jadi anda itu bosnya Sella? Yang bayar rumah sakit kemarin? Perkenalkan, saya Daniar." Tangan Daniar terulur, wajahnya sangat berseri-seri layaknya habis mendapat undian mobil. "Senang berkenalan dengan anda, Tante. Saya William, atasannya Sella." William menunduk seraya memberi hormat. Dia juga menerima baik uluran tangan Daniar. "Sudah semakin siang, boleh saya ajak Sella berangkat bersama? Sella akan aman, tenang saja," sambungnya. "Tentu! Bawalah Sella, suruh dia bekerja yang baik." Tanpa perduli tepisan tangan Sella, Daniar terus mendorong tubuh anaknya untuk maju beberapa langkah. Andai tidak ada William, mungkin Daniar sudah memaki. Sok jual mahal sekali anak tirinya ini, ada orang kaya rela mendekat, tapi dia menjauh. Dalam hati Sella benar-benar merutuki tingkah Daniar yang semakin menjadi-jadi. Dia tidak tahu siapa William, dia juga tidak tahu dalam kebaikan yang William berikan, pasti ada maksud tersirat di dalamnya. Sella benar-benar menilai William buruk dari pertama dia menagih hutang sepuluh juta. "S-saya ... saya bisa naik bus, Tuan. Saya juga janji tidak akan telat sampai kantor. Jadi, Tuan bisa berangkat lebih dahulu." "Masuklah." William dengan cekatan membuka pintu penumpang untuk Sella. Anggap saja telinganya tuli, tidak tidak mendengari apa yang Sella lontarkan. Seperginya Sella, Daniar yang masih setia memperhatikan tentu saja merasa senang. Di depan matanya ada sumber uang baru. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN