Liar Teriak Liar

1048 Kata
"Kamu belum jawab pertanyaan Ayah, Sella. Sekarang kamu kerja di mana? Siapa juga atasan kamu itu?" Meja makan kali ini terasa membosankan bagi Sella. Entah kenapa, tapi hatinya sedang gelisah. Sella tidak langsung menjawab, dia menatap sang Ayah dalam-dalam. "William. Nama bosnya Sella itu William, Mas. Asal Mas tau, yang bayar rumah sakitpun dia. Sella kerja di kantoran, mungkin dia ga mau kasih tau takut gajinya habis dimintain." Sella melirik Daniar dengan tajam. Sejak tadi tidak ada yang mengajak wanita itu bicara, tapi lancang sekali menimpali. Tatapan tajam yang Sella lontarkan tidak Daniar gubris, wanita itu sangat acuh bahkan tidak perduli. Daniar merasa kalau kata-katanya memang benar. Selama ini Sella bekerja namun uangnya habis untuk berobat. Kali ini bisa saja Sella merahasiakan fantastis gajinya. "William?" Wira berguman sambil menatap sang putri. Wira memang belum tahu bentuk wajah Willian yang istrinya maksud, tetapi Wira seperti tidak asing dengan nama itu. Pandangan Sella kembali beralih kepada Ayahnya. Ayahnya terlihat sedang berfikir sesuatu. "Apa yang Ayah fikirkan? Tuan Will memang bosku, dia juga yang bayar rumah sakit. Tapi Ayah tenang aja, itu aku anggap hutang, pasti aku bayar." "Halah, alibi aja. Sebelum ada uang, pasti dia udah dapat hal setimpal. Mana ada di dunia ini orang baik sampai mau mengeluarkan uang ratusan juta? Kamu itu aslinya liar, Sella, tapi di depan Ayah sok polos," sahut Daniar dengan cepat. Apapun perkataan Sella memang selalu Daniar sangkal. Daniar pun tidak percaya anak tirinya itu masih polos. "Liar teriak liar," sahut Sella santai. "Jangan bicara seperti itu, Daniar," tegur Wira. Sejak kemarin dia berusaha diam ketika istrinya mulai menebar sindirian kepada putrinya. Wira juga bingung kenapa mereka jadi berubah? Waktu dulu semuanya aman tanpa ada gesekan seperti sekarang. Daniar yang merasa suaminya mulai memihak kepada Sella memilih diam. Selama di depan sang suami dia selalu menjaga emosi agar tidak tersulut. Tatapan Daniar beradu sengit dengan Sella. Pasti anak itu kesenangan karena dibela. "Aku udah kenyang, ke kamar duluan ya? Ayah makan yang banyak, karna itu lebih penting daripada ghibahin orang. Orang senang ghibah itu cepat mati." Sella bangkit dari duduknya. Sebelum benar-benar pergi Sella mengecup pipi sang Ayah sekilas. Layaknya tidak ada orang lagi, Sella bergegas pergi meninggalkan meja makan. Samar-samar Sella mendengar Ibunya protes karena tidak dianggap. Malam ini Sella sedang lelah karena tadi pekerjaannya cukup banyak. Maka dari itu dia memilih menghindar dari Daniar untuk mewaraskan mentalnya. Sesampainya di kamar Sella memilih duduk di tepi ranjang. Tidak ada chat atau telepon dari Kenzo membuat hati Sella gusar. Apa kekasihnya marah? Sella jadi teringat sebuah foto yang dia terima tempo kemarin. Ingin rasanya dia membahas masalah itu tapi belum ada waktu pas. *** Dilain tempat William sedang menatap layar laptopnya dengan wajah serius. Beberapa rekaman mulai tersusun dan menyatu. Dari banyaknya bukti yang ada, fokus William tetap jatuh ke cctv. "Selamat malam, Tuan." "Bagaimana, Andrew? Apa semua selesai? Semua bisa?" "Saya sudah datangi beberapa tempat, jawaban mereka semua hampir sama. Cctv ini sudah rusak, mereka kesusahan untuk mengembalikan data-datanya. Tapi ada salah satu tempat yang mau coba membenarkan." William memutar kursi kerjanya menghadap ke depan. "Di mana Zaffan?" "Ada di bawah, Tuan, dia sedang berbicara dengan beberapa penjaga di sini." Terjadi keheningan beberapa saat sebelum William menyerahkan dua dokumen kepada Andrew. "Ini bukti p********n rumah sakit bisa kau simpan. Simpan baik-baik, karna ini akan sangat saya butuhkan nanti. Satu lagi, kalau paman Edward ke sini, jangan bicara apapun. Sekalipun dia bertanya, kasih tau saya dulu." Andrew mengangguk paham. Setelah memberi laporan dia kembali pergi meninggalkan ruang kerja William. Sebetulnya ada beberapa kejanggalan yang ingin dia sampaikan, tapi Andrew merasa belum banyak bukti untuk melakukan itu. Untuk sekarang, biarlah semua berjalan sesuai keinginan bosnya. Seperginya Andrew, William berniat untuk menyelesaikan lagi pekerjaannya. Namun belum sempat dia mengambil dokumen, suara dering ponsel sudah lebih dulu terdengar. Melihat nama Soraya seketika hati William menghangat. Diangkatnya video call itu, William langsung disambut senyuman manis sang Oma. "Di sana sudah jam sebelas, kenapa Oma belum tidur? Apa Oma sakit?" 'Mana bisa Oma tidur tanpa kamu di sini? Biasanya kamu pergi tidak lama, Will. Bisa kamu pulang besok? Oma akan urus semua tiket kepulangan kamu.' William tertawa kecil mendengarnya. Dari raut wajah dan juga suara William sudah hapal kalau Omanya itu sangat khawatir. Tapi kalau untuk pulang, tentu William belum bisa. 'Kamu harusnya fokus di sini, fokus sama Biel. Will, kalian mau menikah, apa pantas kamu pergi jauh seperti ini? Lekas pulang, ikhlaskan hati kamu. Semua yang telah terjadi tidak akan bisa kita ulang, sayang.' Dalam hati William masih mengharapkan itu terjadi. 'Ayah dan Ibumu sudah bahagia, sekarang giliran kamu. Tadi Biel telepon kamu tapi tidak ada respon. Kasihan dia nangis terus di sini, bahkan tidak mau makan.' "Oma, beberapa hari ini aku bertemu paman Edward. Kami banyak bicara, terutama soal perusahaan. Paman Edward banyak merekomendasikan para investor ke perusahaan kita." 'Edward?' William mengangguk mengiyakan. Wajah tenang Soraya seketika berubah, tentu saja William menangkap itu. Ada apa dengan Omanya? Kenapa wanita paruh baya itu terlihat tegang? "Oma, are you okay?" 'Dengarkan Oma, Will. Kamu jangan pernah masuk ke dalam circelnya. Cukup amati dari jauh, jangan terlalu mendekat. Oma berharap kamu tidak minta bantuan dia untuk misi dan tujuanmu.' Tatapan keduanya beradu. Tidak ada raut bercanda dari sang Oma, alhasil William hanya mengangguk patu. William tidak mau membuat wanita yang sudah merawatnya menjadi khawatir. 'Oma tau kamu sedang kerja, tapi sekarang lekas makan. Jangan dimatikan sampai kamu di meja makan.' Lagi-lagi William manut. Tanpa mematikan laptop apa lagi membereskan dokumen, William ke luar dari ruang kerjanya menuju meja makan. Walaupun terhalang jarak, William merasa ditemani secara langsung. Makan malam sudah tersusun rapih, tapi minat William untuk makan sudah lenyap. 'Segera makan, Oma matikan ya? Habis itu istirahat, kalau bisa kabari Biel. Hati-hati, Will, Oma masih menunggu kepulanganmu.' Tut! Baru saja beberapa detik video call mati, tetapi sudah berganti dengan panggilan. Nomer yang terteratidak William kenal. Kira-kira siapa yang berani menyebar nomer pribadinya? Rasanya tidak mungkin urusan pekerjaan, karena itu semua harus melalui Andrew atau Zaffan. Setelah mereka memberi ruang, baru bisa menghubungi. Penasaran, William mengangkat sembari menyesap kopi miliknya. '...' "Begitu? Saya kira siapa, soalnya kita tidak saling save nomer. Ada yang bisa dibantu?" '...' "Saya akan liat jadwal terlebih dahulu sebelum menjawab, nanti akan saya kabari, selamat malam." Panggilan terputus. William menatap tajam layar ponsel yang mulai meredup. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN