Kebohonganku dan Lela memang sudah terbuka. Rasa malu dan menyesal pasti ada dalam diriku dan Lela. Tapi kini aku dan Lela lega, karena orang tua Lela sudah mengetahui keadaan keuanganku dan Lela. Aku tak perlu lagi menutupi kebohonganku dengan setiap hari membawa buah tangan tiap pulang mencari kerja.
Aku juga tak perlu terus mengambil simpanan untuk membeli buah tangan setiap hari pada mertuaku. Aku tak lagi menggunakan sisa uangku untuk menyenangkan mertua. Aku bisa sedikit menghemat pengeluaran.
Ternyata pikiranku dan Lela salah. Orang tua Lela bersikap biasa saat mengetahui aku yang saat ini seorang pengangguran. Orang tua Lela terutama enyak, hanya meminta aku untuk memegang janji sebelum menikahi Lela. Kalau aku akan membahagiakan hidup Lela.
“Neng, Abang gak sangka! Enyak itu baik banget! Kita diizinkan tinggal di sini sementara sampai Abang dapat kerja yang layak. Abang jadi gak enak karena sudah membohongi enyak selama ini.” Ucapku pada Lela.
“Iya Bang! Eneng juga gak sangka. Mudah-mudahan enyak akan terus bersikap baik meski penghasilan Abang nanti tak sebesar saat kerja di perusahaan dulu!” Lela berharap.
“Ya Neng mudah-mudahan! Tapi Abang juga gak mau santai-santai! Besok pagi, Abang akan pergi pagi-pagi cari kerja. Kerja apa saja yang penting ada pemasukan.” Aku bertekat.
“Iya benar Bang! Meski enyak sudah baik sama kita, Abang gak boleh memanfaatkan buat tenang-tenang di rumah. Terus gak cari-cari kerja!” Lela setuju dengan ucapanku.
“Oh ya Neng! Kalau misalnya Abang dapat kerja bukan di perusahaan kaya kemarin. Eneng malu gak?” Ucapku tiba-tiba.
Aku juga gak tahu. Pikiranku saat ini hanya ingin cepat dapat kerja. Gak harus kerja di perusahaan atau toko besar. Kerja apa saja yang penting ada pemasukan buat istri serta makan sehari-hari. Tidak mungkin aku makan sehari-hari menumpang terus pada mertua. Tidak mungkin, istriku yang sudah bersuami masih meminta pada orang tua.
“Kenapa mesti malu Bang? Eneng gak masalah yang penting halal. Terus kita punya pemasukan. Yang paling penting kita gak numpang sama orang tua terus. Memangnya Abang mau kerja apa?” Lela menurut. Bagi Lela apa pun pekerjaanku tak masalah baginya.
“Gak juga! Abang sih belum jelas mau kerja di mana. Ini kan cuma seandainya Neng!” Aku hanya menguji Lela.
“Oh, kira Abang sudah punya kerjaan. Ya sudah Abang istirahat gih, sudah malam.” Lela menyuruhku istirahat.
Lela tidur di ranjang sendiri. Selama dia dalam pemulihan, aku tidak mau mengganggunya. Aku pun memilih tidur di bawah ranjang istriku menggunakan karpet. Aku hanya ingin yang terbaik buat istriku. Apa pun akan aku lakukan untuk istriku.
“Bang, kenapa gak tidur sebelah Neng saja? Neng kan sudah baikkan. Sudah bisa bergerak bebas ataupun tidur miring. Gak masalah kalau tidur berdua.” Lela memintaku tidur si sebelahnya.
“Gak usah Neng! Neng tenang saja! Abang gak papa! Sudah Eneng tidur saja! Abang juga sudah mengantuk. Besok Abang pengin berangkat pagi-pagi cari kerja.” Aku meminta istriku tidur.
Memang ranjang tempat tidur cukup besar. Untuk aku dan istriku masih cukup muat. Tapi aku menolak. Karena aku ingin, istriku segera sembuh. Serta mendapat kenyamanan dalam pemulihannya. Kalau aku tidur di sebelah istriku, aku takut tiba-tiba kaki atau tanganku menindasnya. Apalagi kalau sampai tubuhku yang tak sengaja menindas istriku. Karena aku sadar, pola tidurku tak bisa diam. Selalu bergerak tanpa sadar. Hingga membuat orang yang tidur di sebelahku merasa kesempitan. Dan aku tidak mau, istriku yang masih sakit mengalami seperti itu.
***
Usai shalat Subuh, aku langsung berpamitan pada Lela. Aku ingin berangkat pagi-pagi sekali sebelum sinar mentari muncul menyinari bumi. Aku tak ingin kalah darinya. Yang setiap hari mampu menyinari dunia. Dan aku juga ingin seperti mentari, yang mampu menerangi istriku dalam kesedihan saat ini.
Mertuaku juga masih belum terdengar suaranya. Mungkin mereka masih terlelap. Ya, sejak enyak tahu aku hanya pengangguran. Enyak tak lagi bangun pagi-pagi. Enyak tak lagi repot membuat sarapan pagi-pagi. Tapi aku tak masalah.
Aku sudah diizinkan tinggal bersama mertua juga sudah senang dan berterima kasih. Dengan begini aku tak perlu mengeluarkan uang untuk bayar kost-kost an. Karena saat ini aku sedang benar-benar menghemat. Uang simpanan pesangonku saja aku irit-irit. Untuk menjaga, kalau-kalau istriku melahirkan.
“Abang mau ke mana pagi-pagi sudah mandi?” Tanya Lela padaku.
“Abang mau cari kerja Neng.” Jawabku jelas.
“Kok pagi-pagi sekali? Mentari saja belum muncul. Memangnya Abang mau cari kerja di mana?” Istriku penasaran. Karena aku tak biasa pergi sepagi ini.
“Iya Neng, katanya kalau semakin pagi rezekinya semakin baik. Jadi Abang coba berangkat pagi-pagi sekali.” Ucapku jelas.
“Oh, tapi Abang gak sarapan dulu? Maaf ya Bang, Eneng belum bisa urus Abang?” Lela merasa bersalah.
“Gak papa, Neng kan masih sakit. Abang tadi sudah bikin kopi sendiri. Nanti Abang sarapan di jalan saja! Abang berangkat dulu Neng! Nanti kalau enyak sama babe tanya, bilang Abang sudah berangkat.” Aku berpamitan sekaligus berpesan pada Lela.
“Iya Bang hati-hati! Semoga hari ini berhasil! Istriku menemani dengan doa nya.
Aku mengulurkan tangan kananku pada Lela. Lela pun mencium punggung tangan kananku. Tak lupa aku memberi kecupan lembut di puncak kepala istriku.
***
Pagi ini aku berniat mencari kerja di pasar. Makanya pagi-pagi sekali aku sudah berangkat. Aku tak ingin ketinggalan orang-orang yang pergi ke pasar.
Saat ini, yang terlintas di pikiranku hanya tempat itu. Mungkin di pasar aku bisa jadi kuli angkut dagangan. Pasti banyak orang yang kerepotan. Terutama pedagang perempuan. Mereka pasti membutuhkan bantuan tenagaku.
Awalnya aku masih belum punya keberanian untuk menawarkan tenagaku. Namun kebutuhan memaksaku untuk punya keberanian.
“Maaf Bu, apa Ibu butuh kuli panggul untuk angkat dagangan Ibu ke pasar?” Tanyaku dengan mulut bergetar.
“Oh iya-iya! Kebetulan sekali, tolong ya Mas!” Jawab pedagang senang.
Tanpa ragu, aku langsung mengangkat karung berisi sayuran dari dalam mobil pick up. Karena belum terbiasa, aku hampir saja jatuh terbawa karung. Untung saja aku berhasil menahannya. Hingga aku tak sampai jatuh.
“Eits... eits... pelan-pelan Mas! Nanti kalau dagangan saya jatuh, rusak semua, jadi rugi saya!” Jawab pedagang ketus.
“Iya maaf Bu!” Aku tidak enak.
“Kamu masih baru ya? Masa angkat begitu saja mau jatuh?” Celetuk pedagang lagi yang rasanya membuat aku sakit.
“Iya Bu, sekali lagi saya minta maaf!” Aku kembali meminta maaf.
“Ya sudah, lain kali hati-hati dong! Kalau dagangan saya rusak, memangnya kamu bisa ganti? Kamu angkut sepuluh karung pun belum cukup buat mengganti dagangan saya yang rusak itu!” Pedagang tadi masih mengatai aku.
“Ini upah kamu!” Pedagang tadi masih ketus.
“Makasih Bu!” Ucapku tetap baik.
“Ya ampun, pinggangku berasa sakit banget! Masih sangat terasa karung itu berada di pundak. Hanya segini yang bisa aku dapat!” Keluhku sembari melihat uang selembar sepuluh ribuan di telapak tangan kananku.
“Apa ini cukup untuk memenuhi kebutuhanku dan istriku? Belum aku harus bayar kost juga! Ya Tuhan, kenapa cobaan ini gak habis-habis?” Aku terus mengeluh.
“Tapi gak papa lah! Untuk saat ini yang penting aku punya penghasilan. Aku harus tetap semangat mesti punggungku terasa mau copot.” Aku berusaha tak mengeluh lagi.
Aku kembali mencari pedagang yang membutuhkan kuli panggul barang dagangannya. Ternyata tidak hanya aku yang mencari rezeki dari kuli angkut barang di pasar. Banyak juga kuli angkut lain di sini.
Untuk kedua kalinya aku mendapat pelanggann. Dari pengalaman pertama tadi, aku tidak ingin membuat kesalahan kedua. Aku harus lebih hati-hati dalam menjaga keseimbangan. Agar aku tak sampai jatuh. Lalu membuat pelangganku kecewa lagi. Aku akan jalani semua ini meski berat. Demi membahagiakan istriku aku rela.
“Terima kasih Mas! Ini ada sedikit buat beli rokok!” Pedagang memberikan uang sebagai upah atas jasa angkut barang dari mobil ke dalam lapak nya.
“Sama-sama Bu!” Aku senang karena kali ini aku tak sampai membuat pemakai jasaku kecewa.
“Alhamdulillah, ibu tadi memberiku lebih. Dua kali lipat dari yang pertama. Mudah-mudahan aku bisa menambah penghasilanku lagi hari ini!” Aku berucap syukur, karena pagi ini, aku sudah mendapat rezeki. Setidaknya aku bisa membawa hasil hari ini.
Aku kembali melangkahkan kedua kakiku. Mencari pedagang ataupun pembeli yang membutuhkan tenaga angkut. Baru beberapa langkah aku berjalan, dua orang laki-laki dengan penampilan seperti preman tiba-tiba mendekatiku.
“Eh lo anak baru! Berani-beraninya lo ambil lahan kita! Tempat ini sudah milik kita, lo gak berhak cari uang di sini! Kecuali lo mau setor sama kita!” Ucap salah satu dari kedua laki-laki yang berpenampilan seperti preman.
“Maaf Bang, ini kan pasar tempat umum, siapa saja bisa cari rezeki di sini! Termasuk saya.” Aku membela.
“Apa lo kata! Ini wilayah kita! Kalau lo mau cari duit di sini, lo harus setor dulu sama kita setiap hari! Mana uang nya?”
Kedua laki-laki berpenampilan preman mencoba merebut hasil jerih payah yang aku dapatkan dengan susah payah. Tentu saja aku mencoba mempertahankannya. Namun, karena mereka berdua aku tidak sanggup melawannya. Mereka memukulku dan hampir merebut paksa penghasilanku hari ini.
“Tolong!” Teriakku pada siapa saja yang bisa menolong.
Beruntung ada orang yang melihat kejadian ini. Orang tadi pun berteriak meminta bantuan. Posisi pasar yang ramai, memudahkan mengumpulkan orang. Dua laki-laki yang berpenampilan preman tadi langsung lari tunggang langgang ketakutan di amuk masa.
“Makasih Pak!” Ucapku pada beberapa orang.
“Eh lo ngapain berurusan sama mereka? Jangan berani-berani lagi lo berurusan sama mereka! Bahaya. Untung di sini ramai dan ada yang lihat lo! Kalau gak, gak tahu deh apa jadinya lo!” Seseorang memperingatkan aku.
“Iya Pak! Saya juga gak tahu, mereka tiba-tiba menyerangku. Katanya aku gak boleh jadi kuli panggul di sini. Kalau tetap ngeyel aku harus setor pada mereka. Aku menolak dan mereka memukulku.” Aku menjelaskan kejadiannya.
“Ya udah, kain kali lo hati-hati! Kalau bisa sih jangan jadi kuli panggul lagi deh di sini! Takutnya lo ketemu mereka lagi terus dihajar lagi!” Seseorang kembali menasihati.
“Baik Pak, terima kasih! Saya permisi!” Aku berpamitan.
Aku tak ingin cari masalah lagi. Lebih baik aku meninggalkan pasar ini. Dari pada bermasalah sama dua preman tadi. Mending aku cari tempat lain saja. Sapa tahu di tempat lain rezekinya lebih banyak.
Sebelum aku meninggalkan pasar, aku ingin mencari sarapan dulu. Usai dikuras tenaganya tadi untuk memanggul barang dagangan orang. Rasa lapar serta lemas mulai menderaku. Aku mengambil dari hasil kerjaku hari ini. Untuk menghemat aku pun hanya makan nasi dengan sayur serta kerupuk. Aku ingin memberi rezeki lebih untuk istriku.