Dalam sehari ini aku pindah ke tiga pasar berbeda di tempat berbeda pula. Ya, demi kebahagiaan istri aku rela melakukan apa saja. Aku gak mau sampai mertuaku mengecap aku sebagai laki-laki yang tak berguna. Sebagai suami yang tak bertanggung jawab pada istriku.
Sebelum azan Dzuhur, aku berniat pulang. Selain tubuhku terasa lelah, beberapa pasar tradisional di Jakarta juga mulai tutup. Aku tidak punya pilihan lain, kecuali pulang. Beberapa lamaranku di perusahaan besar juga belum mendapat tanggapan.
Satu-satunya pilihanku saat ini adalah pulang. Dari hasil kuli panggul, hari ini aku bisa mengantongi uang tujuh puluh ribu rupiah. Sementara untuk sarapan tadi pagi aku ambil sepuluh ribu rupiah. Kini tersisa enam puluh ribu rupiah. Aku bersyukur, meski tak sebesar pendapatanku dulu. Sekarang aku sudah punya pendapatan meski tidak tetap.
Aku bisa memberikan hasil kerjaku hari ini pada istriku. Meski tak seberapa aku terima, yang penting ada pemasukan untuk rumah tanggaku. Dari hasil kuli panggul juga, aku tidak hanya mendapatkan upah angkut barang. Terkadang ada pedagang yang memberi sayuran sebagai tambahan dari upahnya. Sayuran mereka yang sudah tak laku dijual diberikan padaku. Sayuran ini sebenarnya masih bagus. Karena sudah dari pagi, kesegarannya jadi berkurang. Aku pun menerima dengan senang hati. Toh, sayuran ini masih sangat layak konsumsi.
Aku begitu bersemangat menuju pulang. Hati suami mana yang tak bahagia akan bertemu istrinya setelah setengah hari ini mencari rezeki di luar rumah. Terik matahari siang ini tak jadi penghalang semangatku untuk segera pulang. Menyambut senyum manis di wajah istriku tersayang.
Aku sudah tiba di halaman rumah mertuaku. Tampak enyak dan babe sedang duduk santai di teras depan. Selain sinar matahari yang begitu terik, udara siang ini juga begitu panas. Sangat tidak nyaman saat berada di dalam rumah tanpa ada pendingin ruangan.
“Lo udah pulang Mat? Gimane lo udah dapat ntu kerjaan?” Tanya enyak Royani dengan campuran logat Betawi.
“Alhamdulillah Nyak, hari ini Rahmat sudah dapat pekerjaan. Oh ya ini ada sayuran dari pemakai jasa Rahmat tadi di pasar.” Aku tak mau berbohong untuk kedua kalinya.
Karena kebohongan itu hanya akan membuat kita terus kembali berbohong. Dan rasanya sangat malu saat kebohongan itu terbongkar. Enyak sama babe sudah terlalu baik sama aku. Dan aku tidak mau membohongi mereka lagi.
“Pemakai jasa? Pasar? Maksud lo apaan? Memangnya lo kerja di mana?” Enyak bingung.
“Gini Nyak, tadi pagi Rahmat coba jadi... ?” Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ragu untuk mengatakan pekerjaanku saat ini pada enyak dan babe.
“Jadi ape Mat? Lo jangan buat Nyak bingung?” Enyak Royani semakin penasaran.
“Jadi kuli panggul di pasar Nyak.” Mulut aku bergetar. Wajahku pun tertunduk. Sampai-sampai aku tak berani melihat bagaimana reaksi wajah enyak Royani.
“Ape, kuli panggul? Enyak gak salah denger kan Mat? Lo sekarang jadi kuli panggul di pasar? Terus, si Lela mau lo kasih makan apaan kalau lo cuma jadi tukang kuli panggul?!” Enyak Royani terlonjak. Tampak sekali kalau enyak tidak suka dengan pekerjaanku saat ini.
“Iya Nyak! Memangnya kenapa kalau saya jadi kuli panggul? Pekerjaan kuli panggul kan halal. Untuk sementara juga Nyak! Sembari nunggu panggilan dari perusahaan yang saya masuki lowongan.” Aku memberi penjelasan pada enyak.
“Halal sih halal! Masa aye punya mantu cuman kuli panggul?” Ya udah lah timbang lo kagak ada kerjaan! Kagak ape-ape! Tapi untuk sementara ya? Enyak gak mau, lo jadi tukang panggul selamenye!” Enyak akhirnya menerima alasanku.
“Udeh, kagak ape-ape Nyak! Lagian si Rahmat kan jadi tukang panggul hanya sementara. Sembari nunggu panggilan. Ya udeh biar aje!” Babe Abdul menimpali.
“Iye Be! Aye juga kagak ape-ape, kalau untuk sementare! Yang penting jangan selamenye!” Enyak setuju dengan ucapan babe.
“Ya udah lo sono masuk istirahat! Pasti lo capek. Tolong sekalian bawa ntu bungkusan sayur ke dapur ye!” Babe Abdul menyuruhku masuk.
Aku melangkahkan kedua kaki ke dalam rumah. Seperti biasa, tujuan utamaku ke kamar istriku. Menemui istriku yang kondisinya sudah semakin membaik. Sebentar lagi istriku juga sudah bisa beraktivitas normal. Yang penting hindari kegiatan yang bisa menguras tenaganya. Untuk sementara istriku hanya bisa melakukan aktivitas ringan.
***
Sampai di kamar, Lela tampak sedang mengipasi tubuhnya karena kegerahan. Seperti yang aku bilang tadi udara siang ini terasa panas.
Lela tak menyadari kalau aku sudah pulang. Memandangnya di depan pintu penuh cinta dan harapan. Berharap, istriku segera pulih seperti sedia kala. Serta berharap aku akan terus bisa memandang Lela setiap hari.
“Istri Abang kegerahan ya?” Ucapku mengagetkan Lela.
“Eh Abang! Abang udah pulang? Sejak kapan, kok Lela gak tahu?” Tangan kanan Lela meletakkan kipas dari anyaman bambu yang dibelah tipis-tipis.
“Sudah Neng. Ga kok, Abang baru saja datang.” Aku melangkahkan kaki mendekati ranjang istriku.
Namun, sebelum aku tiba di ranjang istriku, aku dikagetkan dengan istriku yang tiba-tiba turun dari ranjang lalu menghampiriku.
“Neng kok turun? Neng hati-hati?” Ucapku cemas.
“Abang tenang saja. Neng sudah sehat sekarang. Neng sudah gak papa.” Lela menenangkanku.
“Lagi-lagi aku berucap syukur atas kebahagiaan kedua yang aku raih hari ini. Setelah tadi pagi aku mendapat penghasilan. Kini aku melihat istriku sudah sehat.” Aku berucap dalam hati.
Istriku meraih tangan kananku. Lalu mencium punggung tangan kanan. Aku pun sontak langsung memeluk erat tubuh istriku.
“Neng beneran sudah sehat? Neng sudah kuat?” Ucapku masih dalam posisi memeluk istriku.
“Iya Bang, Neng sudah sehat dan kuat.” Lela meyakinkanku lagi.
“Sekarang Abang lihat Neng!” Lela mendorong tubuhku dari pelukannya. Lalu memutar tubuhnya sembari melebarkan kedua tangannya.
“Neng sudah sehat!” Lela kembali meyakinkan kalau dirinya saat ini sudah baik-baik saja.
“Iya Abang percaya Neng.” Lagi-lagi aku memeluk tubuh istriku.
Oh ya Neng, Abang juga punya berita gembira buat Neng. Abang sudah punya pekerjaan.” Imbuhku bersemangat.
“Yang bener Bang? Syukurlah. Berarti kita akan segera pindah dari rumah enyak dan babe kan Bang? Neng ingin hidup mandiri!” Lela tampak senang.
“Pindah dari rumah enyak sama babe? Tapi Neng?” Aku melepas pelukanku. Aku masih bingung. Karena pekerjaanku yang hanya kuli panggul dengan penghasilan tidak tentu. Apa sanggup membiayai aku dan istriku sekaligus menyewa tempat tinggal. Belum sebentar lagi anakku akan lahir ke dunia. Yang pasti pengeluaranku akan bertambah juga.
“Tapi Neng? Apa sebaiknya gak kita kumpulkan uang dulu buat persalinan Eneng? Masalahnya pekerjaan Abang yang sekarang tidak seperti pekerjaan dulu. Pekerjaan sekarang tidak pasti hasilnya seberapa.” Aku menyarankan istriku.
“Apa Bang? Memangnya pekerjaan Abang sekarang apa? Kenapa Abang merasa penghasilannya tidak cukup?” Lela ingin tahu.
“Abang, Abang hanya jadi kuli panggul Neng.” Jawabku jelas.
“Apa Bang kuli panggul?” Istriku tampak terlonjak. Wajahnya tertunduk. Tampak kesedihan menyelimuti senyumnya.
“Iya Neng. Abang hanya kuli panggul dengan pendapatan tidak tetap. Abang juga harus pindah dari pasar satu ke pasar lainnya. Tapi Neng tenang saja! Pekerjaan ini hanya untuk sementara sembari menunggu panggilan dari perusahaan yang aku masuki lowongan.” Aku kembali menjelaskan sekaligus memberi pengertian.
“Jadi, Abang hanya sementara jadi kuli panggul?” Lela memastikan.
“Iya Neng! Neng tenang saja, mudah-mudahan Abang segera mendapat panggilan kerja yang lebih baik!” Aku kembali menenangkan.
“Iya Bang. Abang udah makan belum? Abang makan dulu gih! Ayuk Neng temani!” Lela mengantarku ke meja makan.
“Tapi Abang mau bersih-bersih dulu Neng! Rasanya badan Abang lengket semua! Neng tunggu sini saja! Abang bersih-bersih sebentar!” Aku menuju ke kamar mandi.
Aku melihat wajah istriku tak seberapa senang. Saat aku bercerita kalau aku bekerja sebagai kuli panggul. Aku bisa memaklumi istriku. Karena aku yang tadinya bekerja di perusahaan besar. Dengan gaji tetap dan lumayan besar. Kini aku hanya kuli panggul dengan upah tidak menentu.
Namun, aku bersyukur dengan kondisi istriku saat ini. Istriku sekarang sudah bisa beraktivitas ringan sendiri. Itu artinya, dia tak perlu merepotkan enyak lagi. Setidaknya satu bebanku berkurang pada enyak.Aku dan istriku tidak terlalu membebankan enyak lagi. Terutama istriku yang seharusnya menjadi tanggung jawabku.
***
Tak terasa seminggu sudah aku tinggal di rumah mertuaku. Meski sikap mereka tak sebaik saat aku masih kerja dulu, tapi aku merasakan kebaikan enyak dan babe sama aku. Dengan mereka mengizinkan aku tinggal di rumah mereka saja aku sudah bersyukur.
Sudah tiga hari juga aku mencari penghasilan di pasar jadi kuli panggul. Penghasilanku hanya cukup untuk makan, bensin, serta biaya periksa istriku ke dokter kandungan. Aku tak lagi bisa memberikan sedikit rezekiku pada mertua.
Istriku sekarang juga sudah sembuh. Dia sudah bisa membantu pekerjaan ringan mertua. Seperti menyapu lantai atau membersihkan barang-barang dari debu. Meski orang tua sendiri, Lela tetap merasa menumpang. Dia merasa tidak enak kalau hanya bisa makan tidur saja.
Apalagi melihat penghasilanku sekarang yang pas-pasan. Tidak bisa berbagi sedikit rezeki pada orang tua Lela. Istri semakin merasa tidak enak sama enyak dan babe nya. Mau tidak mau, dia harus bisa membantu pekerjaan rumah orang tua meski kondisinya harus benar-benar dijaga. Ini sebagai ganti karena aku tak bisa memberikan sebagian rezekiku lagi pada enyak dan babe.
Pagi itu, istriku sudah bangun. Dia tampak sedang menyapu lantai lalu mengelap perabot rumah dari debu. Rasanya aku tidak tega melihatnya seperti ini. Harusnya dia hanya istirahat sembari menunggu proses kelahiran tiba.
Tapi aku juga tak mungkin melarang. Aku tahu bagaimana sikap istriku. Seperti saat pindah kost kemarin. Aku sudah melarangnya membereskan barang-barang. Tapi, istriku tetap saja nekat melakukannya saat aku tidak di rumah. Akibatnya, Lela mengalami pendarahan. Untung bayi dan Lela masih dalam perlindungan-Nya. Sampai saat ini Lela tak boleh melakukan aktivitas berat.
“Neng, mesti Neng sudah sehat, dijaga juga kandungannya. Jangan terlalu capek!” Aku mengingatkan Lela.
Aku tidak ingin terjadi hal yang lebih buruk dari kemarin. Aku harus selalu mengingatkan istriku. Demi keselamatannya juga anak yang ada dalam kandungan.
“Iya Bang, Neng ngerti! Neng juga cuma menyapu sama bersih-bersih. Rasanya bosan kalau Neng cuma duduk-duduk aja. Apalagi ini bukan rumah sendiri Bang, Neng gak bisa kalau harus berpangku tangan aja!” Lela menjelaskan.
“Iya Neng! Tapi Neng gak boleh kecapean juga! Ingat bayi dalam kandungan Neng! Anak Abang sama Eneng!” Aku terus berusaha mengingatkan.
“Abang tenang aja! Neng tahu dengan kondisi Neng! Kalau Neng udah merasa capek, Neng pasti istirahat.” Lela menenangkanku.
“Abang gak ke pasar, kok tumben jam segini masih di rumah?” Tanya Lela yang melihatku masih di rumah.
Selama menjadi kuli panggul, aku memang selalu berangkat cepat. Sehabis Subuh aku langsung berpamitan pada istriku. Tapi hari ini, aku merasa pinggangku mau patah. Pekerjaan berat yang belum biasa aku kerjakan selama ini membuat aku mudah sakit pinggang. Tidak hanya pinggangku yang terasa mau patah, pundakku juga pegal semua. Rasanya tulang-tulang belakangku ini remuk semua.
“Gak Neng! Hari ini Abang ingin istirahat! Rasanya tulang belakang Abang mau patah. Besok pagi Abang baru ke pasar.” Aku benar-benar tak kuat menahan sakit di bagian tulang belakang.
“Ya udah Abang istirahat aja dulu! Kalau perlu, Abang coba ke tukang urut aja! Takutnya ada yang keseleo apa salah urat. Abang kan gak pernah angkut-angkut berat selama ini.” Lela menyarankan.
“Gak usah Neng! Nanti dibawa istirahat saja pasti sembuh. Abang ke kamar lagi Neng! Sakit buat jalan sama berdiri.” Aku berjalan pelan dengan sedikit membungkuk.
“Kalau gitu terserah Abang aja! Ya udah Abang istirahat sono!” Perintah istriku.
Sebenarnya aku ingin tetap pergi pagi ini. Dari pada aku di rumah menganggur meski hanya sehari ini. Aku lebih suka di luar. Entahlah aku merasa pandangan mertuaku saat ini berbeda sama aku. Apalagi kalau enyak tahu aku gak kerja hari ini.