Dia Tidak Sombong, Hanya Jaim!

1045 Kata
Dia Tidak Sombong, Hanya Jaim! Benar dugaan Khansa, di balai RW sudah ada Zyan yang duduk di bangku paling depan, bangku kehormatan yang biasanya digunakan oleh Pak Lurah, pak Camat atau tamu-tamu istimewa lainnya seperti sekarang Zyan Alex. Khansa mengira pertemuan ini hanyalah pertemuan yang akan dihadiri bapak-bapak seumuran papinya. Yang saat pak RW menyampaikan sambutannya mereka akan terantuk-antuk kalau kata orang Garut istilahnya Nundutan. Ternyata dugaannya meleset. Para remaja yang sama-sama mengidolakan Zyan datang berbondong-bondong dan mengintip dari jendela balai RW. Tidak lupa ART ART seumuran dirinya yang berusaha memotret Zyan dengan kamera ponsel dengan ukuran sekian megapiksel. Tahu begini Khansa sebaiknya menunggu di depan rumah saja, daripada harus berdesakan bersama perempuan perempuan dengan parfum menyengat bercampur bau keringat. Beruntung Khansa adalah putrinya Wisnu Wardana. Jadinya dia dipersilakan masuk dan duduk tepat di belakang Zyan. Deketan sama aktor terkenal mah beda. Khansa menebak, parfum yang Zyan gunakan adalah Parfum yang dibeli dari paris. Bukan kaleng-kaleng, bukan abal-abal. Sambutan demi sambutan ketua Rukun Warga sama sekali tidak membuatnya bosan, satu setengah jam berlalu rasanya hanya sekejap mata. Tiga keluarga warga baru plus Zyan Alex berdiri untuk menerima sambutan selamat datang dari perwakilan warga yang menghadiri pertemuan tersebut. Tentu saja Khansa paling depan, dia tidak mau ketinggalan untuk menjabat tangan Zyan, sudah dia bayangkan betapa lembut telapak tangan sang aktor kesukaan. Keinginan Khansa untuk semakin dekat dengan Zyan kini selangkah lagi bisa terwujud. Dengan percaya diri Khansa yakin bahwa suatu saat nanti dirinya akan kenal lebih akrab dengan Zyan. “Buruan maju, ngelamun mulu!” Wisnu mendorong Khansa. Lalu mulai berkenalan secara simbolis dengan keluarga Arya Dinata yang menempati Blok C nomor 13 dan keluarga Dewa Sadewa di Blok F, Keluarga Paramitha di Blok paling depan dan juga Zyan yang rumahnya persis berhadapan dengan rumah Khansa. “Hai Mas Zyan, saya Khansa, semoga betah di komplek ini ya, kalau ada apa-apa ketuk saja pintu rumah saya, persis berhadapan dengan rumah Mas Zyan.” “Hai, Khansa.” Sudah, gak ada kata yang terucap dari bibir Zyan. Dia bahkan tidak melirik Khansa sedikit pun. Khansa, masih berpikir positif, ya memang harus seperti itu. Harus sedikit jual mahal. Gak apa-apa, dia maklum, memang begini risiko menjadi aktor terkenal. Cewek-cewek yang ada di luaran sana mencibir, antara pengen ada di posisi Khansa dan sebal kepada Khansa. Khansa mengeluarkan ponselnya, dia ingin selfie dengan Zyan, sayangnya ketua RW yang terhormat buru-buru mencegah. Sudah perjanjian dengan Zyan, dalam pertemuan ini dilarang ada kamera termasuk Selfie. “Itu yang diluar foto fotoin Mas Zyan pak RW gak larang?” protes Khansa. Suaranya sengaja dibuat manja olehnya. Harapannya sih mendapat perhatian dari Zyan. “Itu mah kameranya gak sebagus kamera neng Shasa, gak bakalan keliatan jelas, makanya gak pak RW larang, sok atuh jalan kasian itu yang antri pengen salaman sama Mas Zyan.” Sebelum berjalan, Khansa melirik Zyan yang sama sekali tidak melihat ke arah Khansa. Ish, menyebalkan apalagi gadis gadis yang diragukan kegadisannya mentertawakan Khansa di luar sana. Awas saja! Atas permintaan Zyan juga, kerumunan di depan harus dibubarkan sebelum Zyan meninggalkan balai RW, jadinya pemuda karang taruna RW 11 bahu membahu meminta kerumunan untuk segera membubarkan diri. Zyan menunggu jemputan yang tidak kunjung datang. Dengan mengenakan kacamata hitamnya lelaki itu terus mengawasi jalanan komplek nunggu sopirnya jemput. “Nak Zyan, mari pulang bareng kami,” ajak Papi. Waduh, Khansa merasa di atas angin, sang papi ternyata bisa diandalkan. “Saya nunggu jemputan, Om.” Khansa menganga mendengar suara Zyan. Luar biasa menggetarkan jiwa dan raga. Khansa semakin merasa kagum dan tidak pernah menyesal mengidolakan lelaki yang tingginya kira kira lebih dua pulus senti meter di atasnya. “Dekat ini, hayuk jalan bareng Om, sekalian liat-liat sekitaran komplek biar Nak Zyan tahu.” Zyan tampak termenung. Gak enak juga kalau dia menunggu sendirian di depan balai. Bagaimana kalau ada fans gila yang menyerangnya, atau menyerobot minta selfie dan lain-lain. Lelaki itu akhirnya menyetujui ajakan Wisnu. “Nak Zyan katanya cedera, ya?” tanya Wisnu. Jangan tanya Khansa sedang apa, dia sedang berusaha menetralkan detak jantungnya. Berjalan berdekatan dengan Zyan adalah momen yang harus diabadikan, sayangnya Khansa tetap menahan diri, dia khawatir jika mengambil foto Zyan diam-diam maka lelaki itu akan marah kepadanya. “Iya, Om. Di Bima. Sekarang sih udah mendingan, Cuma kalau dipake angkat angkat berat rasa sakitnya ada lagi.” “Om kira jadi aktor gak ada risiko kayak begini, kan biasanya ada pemeran pengganti.” “Risiko sih banyak banget, Om. Terutama diikuti oleh Fans fanatik, pernah ada yang cubit lengan saya sampe memar, pernah ada yang terus mengintai saya dua puluh empat jam, bahkan pernah ada yang yang mau nikam saya pakai pisau.” Khansa menyimak, keinginannya untuk berfoto dengan Zyan akhirnya dia urungkan, padahal dia sudah memikirkan untuk minta izin dan tidak mencuri gambarnya diam-diam. “Sepadan dengan pendapatan yang didapatkan, itu nilai plusnya, bukan begitu?” Zyan tersenyum, dan mengangguk. Tiga orang itu berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan dalam diam. “Pak Wisnu!” panggil seorang pria di salah satu rumah, “Gak kerja, pak?” “Saya cuti,” jawab Wisnu. “Wah, kebetulan, bisa bantu saya sebentar?” “Boleh boleh, Nak Zyan maaf gak bisa nemenin sampai rumah, Sha, papi ke rumah pak Iwan dulu. Kamu pulang duluan bareng Nak Zyan, ya,” ucap Wisnu. Dengan gugup Khansa menjawab. Lalu dia berusaha mensejajarkan langkah agar bisa jalan bersama dengan Zyan. Segala cara Khansa lakukan untuk menarik perhatian Zyan. Sayangnya lelaki itu sama sekali tidak tertarik. Khansa pura pura mengaduh, Zyan tidak peduli. Khansa terbatuk-batuk Zyan pun sama sekali tidak melirik. Bahkan ketika Khansa berusaha bertanya kepada Zyan jawabannya tidak sesopan jawaban Zyan kepada Wisnu. “Saya sudah lama ngefans sama Mas Zyan.” “Terima kasih.” Meski ketus, Khansa senang mendengar jawaban Zyan. “Saya juga menonton semua film dan Series Mas Zyan, Cinta Dua Alam, Petualangan Sang Pemimpi, Kanan Kiri Jalan Terus, My Perfectionist Man ....” Khansa terus mengabsen deretan Film yang dibintangi oleh Zyan. Lelaki itu tidak peduli dia terus berjalan meninggalkan Khansa yang terus terusan bicara. Sementara itu Khansa tercenung di tempat. Dia berpikir keras, apakah aktor memang begitu? Khansa tidak bisa menebak, apakah Zyan sombong atau berusaha jaim? Khansa terus memperhatikan Zyan yang berjalan menjauh, punggungnya saja begitu indah, Tuhan tidak pernah salah menciptakan suatu keindahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN