Laki-laki itu mengendarai motornya dengan kecepatan yang tinggi. Seolah melupakan kehadiran seorang gadis yang kini tengah diboncengnya. Vanya, gadis itu memejamkan matanya erat. Meremas pinggiran jaket laki-laki itu erat.
“Aldi! lo bisa pelan-pelan nggak sih!” laki-laki itu tak menghiraukan ucapan Vanya.
“ALDI! LO DENGER GUE NGGAK SIH!”
“DI GUE NGGAK MAU YA KITA MATI SIA-SIA!”
“AL! LO BISA PELANIN MOTORNYA NGGAK SIH!”
“AL! LO DENGER GUE NGGAK? PELANIN MOTORNYA b**o! GUE NGGAK MAU MATI CEPAT-CEPAT! GUE MASIH PENGEN HIDUP! ALDI!”
Ciiitt…
Dug!
“Awwsshh…”
“Ck! Lo bisa diam nggak sih!” bentak Aldi ketika laki-laki itu baru saja menghentikan motornya.
Mendengar itu tubuh Vanya langsung menegang kaget. “Al..” cicit Vanya takut. Vanya tak pernah melihat dan menyangka jika Aldi marah akan terlihat semenyeramkan ini. Vanya menundukkan wajahnya dalam tidak mau menatap Aldi walaupun sebenarnya posisi laki-laki itu membelakangi gadis itu.
Aldi menghembuskan nafasnya kasar. Laki-laki itu melepaskan helmnya. Mengacak rambutnya gusar. “Sorry..” lirih Aldi.
Vanya diam tak menjawab. Gadis itu kini malah turun dari motor yang dikendarai oleh Aldi.
“Van.. lo ngapain turun? Lo mau kemana?” tanya Aldi. Namun Vanya mengabaikan ucapan itu. Vanya terus berjalan lurus menuju hamparan rerumputan yang ada didepan mereka.
Aldi yang melihat itu pun segera menyusul Vanya. “Van..” panggil Aldi. “Van.. Sorry.. Gue.. nggak bermaksud. Gue.. gue..”
“Nggak papa. Gue ngerti. Sekarang mending lo pulang duluan sana. Gue lagi mau sendiri.”
“Tapi Van..”
“Pulang Al. Gue bisa sendiri.”
“Tapi..”
“Please.. Pulang Al..”
Aldi mengepalkan tangannya kesal. “Oke. Tapi sebelumnya, gue minta maaf. Gue nggak bermaksud bentak lo. Sorry Van..”
***
Gadis itu menyunggingkan senyumnya ketika melihat kedatangan laki-laki itu. “Maaf lama.” Ucap laki-laki itu sesampainya di samping brankar gadis yang berstatus sebagai kekasihnya itu.
“Nggak masalah. Gimana hari ini? menyenangkan?” tanya Fany sambil mengusap surai rambut laki-laki di depannya.
Ardan, laki-laki itu tersenyum. “Yang pasti nggak semenyenangkan kalau ada kamu.” gombal Ardan.
Fany menoyor pipi laki-laki itu pelan. “Halah.. Receh banget sih! Aku serius, gimana hari ini? ada berita apa aja di sekolah?”
Ardan menyangga kepalanya dengan tangan kanannya. “Mmm… b aja. Nggak ada berita apa-apa juga. Oh iya, tadi sebelum aku kesini kamu ditemenin Reni?”
Fany mengangguk. “Iya. Kok kamu tahu?”
“Tadi aku nggak sengaja ketemu di loby. Kamu udah makan?”
Fany mengangguk-nganggukkan kepalanya mengerti. “Udah. Barusan sama Reni. Dan udah minum obat juga.” jawab Fany. “Sore ini aku udah bisa pulangkan?”
“Bisa. Tapi kita tunggu Om sama Tante dulu. Mereka lagi ngurus administrasi kamu dulu. Setelah selesai, kamu udah boleh pulang.”
Mendengar itu membuat senyuman Fany semakin merekah. “Yes! Aku nggak akan sumpek lagi!” seru Fany senang. Ardan yang melihat itu hanya tersenyum.
Ceklek
Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Kedua orang tua Fany bersama dengan Dokter Irwan dan satu orang perawat di belakangnya berjalan menghampiri mereka berdua.
“Fany, gimana? Masih ada yang sakit atau udah lebih baik dari sebelumnya?” tanya Dokter Irwan.
Fany tersenyum ramah. “Alhamdulillah.. udah baik Dok. Oh iya, aku udah bisa pulang kan? Besok udah boleh sekolah juga kan?” tanya Fany.
Dokter Irwan tertawa melihat keceriaan gadis itu. “Iya kamu udah boleh pulang. Dan nggak boleh langsung sekolah. Istirahat dulu di rumah 2 hari aja. Dan yang paling penting jangan sampai lupa minum obatnya. Oke?”
“Nggak bisa langsung sekolah aja Dok? Sumpek tahu Dok di kamar terus...” rajuk Fany.
“Sayang.. dengerin apa kata Dokter Irwan ya.. ini juga kan buat kebaikan kamu. Istirahat dulu di rumah. Mama janji dua hari ini bakal temenin kamu. Nggak akan pergi kemana-mana.” Ucap Wenda sambil mengelus rambut anak semata wayangnya itu lembut.
“Janji ya ma?”
Wenda tersenyum. “Iya Mama janji.” Jawab Wenda.
“Oke deh! Jadi aku bisa pulang kapan? Sekarang atau nanti sore?” tanya Fany sambil menatap Dokter Irwan.
“Pulang sekarang boleh. Asal janji, jangan lupa minum obatnya. Oke?”
“Siap Kapten!” jawab Fany antusias.
“Lia, tolong kamu lepas selang Infusnya ya..” ucap Dokter Irwan yang langsung diangguki oleh Lia. Perawat yang sedari tadi hanya diam menyimak komunikasi di antara mereka.
“Oh iya Ardan.. nanti setelah Fany lepas selang Infusnya tolong kamu ajak Fany keluar duluan ya. Tante sama Om mau beresin perlengkapan Fany dulu.”
Ardan mengangguk, “Iya tan..”
***
Vanya terdiam menikmati semillir angin yang berhembus di sekitarnya. Sejujurnya Vanya tidak marah kepada Aldi. Gadis itu hanya merasa kaget karena laki-laki itu membentaknya. Wajar bukan? Dan Vanya meminta laki-laki itu pergi semata-mata untuk membuat Aldi mencari ketenangannya. Vanya tidak ingin kehadirannya membuat Aldi risih atau apapun.
“Ahh.. udah sore. Gue harus cepat-cepat pulang. Pasti Bi Derti khawatir karena gue belum pulang juga.”
Benar saja. Tak lama handphonenya berdering. Menampilkan nama beserta nomor telepon rumahnya.
“Assalamu’alakum Kak.. Kakak dimana?”
“Waalaikumsalam.. Ini Uti lagi dijalan Bi. Sebentar lagi nyampe.”
“Oh iya Kak. Hati-hati ya..”
“Pasti. Yaudah kalau gitu Uti tutup teleponnya ya Bi. Assalamu’alaikum..”
“Waalaikumsalam..”
Setelah menyimpan handphonenya di tas Vanya berjalan menyusuri komplek perumahannya. Untung saja laki-laki itu memberhentikannya di sini.
Vanya menatap orang yang berlalu lalang. Mulai dari anak kecil sampai lansia ada di sini. Memang, area perumahan yang Vanya tempati selalu ramai jika sore hari seperti ini.
“Kak Anya!” panggilan itu membuat Vanya langsung menoleh.
“Tasya? Sama siapa kamu kesini?’ tanya Vanya heran.
Gadis kecil berumur lima tahun itu mengusap peluh yang bercucuran di keningnya. “Aku lagi main sama Bagas Kak. Kakak baru pulang sekolah?”
“Iya.. Kamu kok main jauh-jauh banget sih Tasy, emangnya Abang kamu nggak nyariin? Terus sekarang Bagasnya mana? Kok nggak ada?”
“Bagasnya udah pulang barusan.” Jawab Tasya.
Vanya menghembuskan nafasnya pelan. “Yaudah, sekarang Tasya pulang ya sama Kakak. Udah sore juga ini. Yuk!”
Tasya pun menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka pun berjalan beriringan dengan tangan yang saling menggenggam.
“Kak Anya kok nggak bareng Abang pulangnya?” tanya Tasya.
“Hah? Itu tadi Kakak ada urusan sebentar. Jadi, nggak bisa pulang bareng sama Abang. Abang kamu.. udah pulang kan?”
“Udah kok. Tapi Abang pulang mukanya sepet. Nggak tahu deh kenapa. Padahal tadinya Tasya pengen main sama Abang.” Ucap Tasya dengan nada bicara yang semakin lirih. Vanya bisa melihat gadis kecil itu merasa sedih.
“Besok kita main sama Abang.”
“Bener ya? Jangan bohong ya Kak! Ingat! Kalau Kakak bohong nanti Kakak dosa! Awas aja!”
“Iya.. Kakak janji.”
Tasya gadis itu pun kembali tersenyum ceria. Tasya adalah adik Aldi. Dan hubungan Kakak-Adik ini begitu dekat. Aldi terlihat sangat menyanyangi Tasya begitupun sebaliknya. Namun lagi-lagi gara-gara insiden kecil di Kedai tadi siang membuat gadis kecil bernama Tasya ini sedih karena mendapat penolakan dari sang Kakak.
“Yaudah sana kamu masuk kerumah.” Suruh Vanya sesampainya mereka di depan rumah Tasya atau Aldi.
“Kakak nggak mau mampir dulu?”
Vanya menggeleng. “Udah sore. Kakak belum mandi. Bau.” Balas Vanya.
“Oke deh! Kalau begitu aku duluan. Dah.. Kak..” Tasya melambaikan tangannya.
Vanya yang melihat itu terkekeh. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju rumahnya yang berada di sebelah rumah itu.
***
Ardan berjalan gontai memasuki apartementnya. Laki-laki itu menekan saklar lampu di setiap ruangan apartement yang gelap ini. Melempar tasnya sembarangan kemudian menjatuhkan tubuhnya ke sofa begitu saja.
Hari ini Ardan merasa lelah. Ardan memejamkan matanya. Seragam sekolah masih melekat erat di tubuhnya dan Ardan belum berniat untuk mengganti pakaiannya itu.
Drrtt… drtt…
Ardan merogoh saku celananya. Mengambil handphonenya yang tak kunjung berhenti bergetar itu.
Mama’s Calling…
Ardan menghembuskan nafasnya lelah. Mau tidak mau Ardan pun mengangkat telepon itu.
“Halo… kenapa Ma?”
“Nggak mama Cuma kangen sama kamu aja Ar. Gimana kabar kamu di sana sayang? Baik-baik aja kan?”
“Baik Ma, Mama apa kabar di sana?”
“Mama sama Papa baik-baik aja. Kamu sudah makan?”
“Udah Ma.”
“Oh iya, sekarang kamu ada dimana? Rumah atau apartement?”
“Di apartement Ma. Kenapa?”
“Besok kamu bisa kerumah?”
“Ke rumah? Ngapain?”
“Pokoknya besok kamu ke rumah. Papa dan Mama ini lagi mau terbang ke Indonesia. Dan kami akan kembali menetap di sana.”
“Serius? Kenapa baru ngabarin sih?”
“Yaa.. seriuslah sayang. Lagian Mama udah capek ngintilin Papa kamu terus. Lagian perusahaan di sini sekarang udah baik-baik aja. Jadi.. baik Papa maupun Mama udah bisa ninggalin lagi. Paling ngecheck sesekali. Dan maaf baru ngabarin kamu. Ini juga dadakan Ar.”
“Yaudah. Besok kalau sempat Ardan kerumah.”
“nggak ada sempet-sempetan! Pokoknya kamu harus kerumah! Nggak kangen emangnya sama Mama? Hmm..”
“Iya.. iya Ardan nanti ke rumah. Udah ya Ma, Ardan tutup teleponnya. Ardan capek. Hati-hati di jalan ya.. Assalamu’alaikum..”
“Oke.. kamu istirahat ya.. Waalaikumsalam..”
Setelah mendengar jawaban dari Mamanya, Ardan langsung menutup teleponnya. Ahhh.. kenapa orang tuanya itu harus kembali menetap di sini sih? Batin Ardan mengerang kesal.
***
Sepasang remaja ini kini sedang duduk berdampingan di balkon kamar sang gadis. Setelah menghabiskan waktu untuk bermain drama soal kejadian siang tadi, kini keduanya sudah berdamai kembali. Dengan syarat sang laki-laki membelikannya es krim dan beberapa cemilan. Dan dengan amat terpaksa laki-laki itu pun menurutinya.
“Cewek di kedai tadi.. Mantan lo?” tebak gadis yang tengah sibuk menikmati es krim kesukaannya itu.
“Iya. Dia mantan gue.”
“Kenapa lo sama dia bisa putus? Terus kenapa tuh cewek kaya seolah-olah ngejar lo gitu?”
“Dia selingkuh. Sama sahabat gue. Dan.. yaa gue paling benci kalau dikhianatin.”
“Selingkuh? Sama cowok tadi? Jadi cowok yang tadi itu sahabat lo?”
“Iya. Karel. Lebih tepatnya mantan sahabat gue.”
“Lo…masih cinta sama dia?” Aldi terdiam tidak menjawab. Vanya mengangguk-nganggukkan kepalanya mengerti. “Lo diam berarti jawabannya iya.”
“Van, lo tahu? Nggak ada hal yang lebih sakit daripada dikhianatin sama sahabat sendiri. Gue nggak pernah benci. Gue cuma kecewa. Diantara banyaknya laki-laki dibumi ini kenapa harus Karel yang jadi selingkuhannya?”