Hari ini Pak Gunawan, guru Sejarah mereka tidak masuk. Membuat Vanya beserta teman sekelasnya yang lain menikmati waktu kosongnya ini untuk mengobrol dengan membentuk kubu masing-masing.
“Van, kenalin ini Rio. Sahabat gue. Kemarin dia nggak nongol-nongol karena lagi di skors gara-gara kepergok tawuran.” Ucap Aldi yang tiba-tiba saja datang menghampiri Vanya dan Jessica bersama seorang laki-laki yang dandanannya tidak jauh berbeda dengan Aldi. Namun, laki-laki itu terlihat lebih tampan dari Aldi.
“Eh.. hai. Vanya.” Ucap Vanya sambil mengulurkan tangannya.
Laki-laki itu pun mengulurkan tangannya juga. Lalu tersenyum tipis. “Rio.” Setelah itu, Rio pun melepaskan tangannya kemudian duduk di samping Aldi.
“Oh iya Van. Sore ini lo jadi tanding?” tanya Aldi.
“Iyalah. Gue pengen banget ngalahin tuh cowok. Greget abisnya gue sama dia.” Jawab Vanya sambil meremas buku yang ada di atas mejanya.
“Yakin lo bakal ngalahin dia?” tanya Aldi lagi.
“Udah berapa kali gue bilang, gue bisa ngalahin dia. Mungil-mungil gini di sekolah dulu gue jagonya.” Balas Vanya.
Rio yang sedari tadi menyimak merasa penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. “Tanding? Tanding apa?” ucap Rio membuka suaranya.
“Tanding taekwondo.” Kini Jessica yang bersuara.
“Sama?”
“Si raja taekwondo.” Jawab Aldi sambil membuka seluruh kancing seragamnya yang kini memperlihatkan kaos putih polos di balik seragamnya itu. Bagi Vanya dan Jessica hal ini sudah biasa.
“Ardan maksud lo?” tanya Rio sambil memainkan satu batang korek api yang entah laki-laki itu dapatkan darimana.
“Yaiyalah, siapa lagi coba?” ucap Aldi gemas.
“Ehhh.. guys gue izin kamar mandi dulu ya! Kebelet nih. Bye..” tanpa menunggu jawaban dari ketiga temannya, Vanya langsung pergi begitu saja.
Panggilan alamnya yang sedari tadi ditahannya kini sudah benar-benar berada di ujung. Saking buru-burunya Vanya menuruni satu persatu anak tangga dengan cepat. Hingga tanpa sadar gadis itu menginjak tali sepatu sebelah kananya. Dan…
‘Bruk..’
Vanya terjatuh dengan begitu keras membuat gadis ini mengaduh kesakitan terutama di bagian pergelangan kakinya. Untung koridor lantai satu saat ini sedang sepi. Sehingga kemungkinan tidak ada yang melihat insiden terjatuhnya tadi.
“Awwshhh….” Ringis Vanya ketika dirinya mencoba berdiri. Pergelangan kakinya kini terasa sakit. Gadis itu pun mencoba untuk berjalan walaupun sedikit tertatih-tatih menuju kamar mandi.
Setelah selesai dengan urusannya di kamar mandi, Vanya pun kembali menuju kelasnya dengan perlahan. Kakinya terasa sangat sakit. Sesekali Vanya meringis ketika harus menaiki satu persatu anak tangga untuk menuju kelasnya yang sialnya berada di lantai tiga.
Jessica yang melihat Vanya masuk kedalam kelas dengan pincang serta ekspresi wajah yang seperti menahan rasa sakit pun segera menghampiri sahabatnya itu.
“Lo kenapa Van?” tanya Jessica lalu menggandeng tangan Vanya. Membantu gadis itu menuju kursinya.
“Tadi gue jatuh di tangga. Terus kaki kanan gue kayanya ke kilir. Sakit banget ini.” Jawab Vanya kemudian duduk di kursinya.
Aldi yang melihat pun langsung menghampiri Vanya dan berjongkok di depan gadis itu. “Sepatunya gue buka ya..” ucap Aldi. Vanya hanya menganggukkan kepalanya. Aldi pun dengan perlahan membuka sepatu Vanya diiringi ringisan dari Vanya.
“Iya, kaki lo ke kilir. Bengkak gini soalnya.” Ucap Aldi setelah membuka kaos kaki Vanya.
“Terus gimana dong, hari ini gue tanding.” Ucap Vanya.
“Yaa… lo nggak usah tanding aja dulu lah..” seru Aldi enteng sambil sesekali memijat pelan pergelangan kaki Vanya yang membuat gadis itu meringis.
“Tapi kalau gue nggak tanding hari ini, berarti gue kalah. Dan gue nggak mau kalah cuma gara-gara kaki gue keseleo.” Ucap Vanya frustasi.
“Tapi nggak mungkin juga kan, lo tanding dalam keadaan kaki lo kaya gini Van? Yang ada kalau lo maksain kaki lo tambah parah nantinya.” Balas Jessica.
“Terus gue harus gimana dong?” kesal Vanya. Vanya sangat merutuki keadaannya saat ini. Kenapa dirinya harus terjatuh di saat hari pertandingannya ini? Vanya tidak mau Ardan memenangkan pertandingan ini dengan mudah hanya karena kondisinya itu.
“Ya.. lo nggak usah ikut pertandingan itu lah..”
“Tapi kalau gue nggak ikut, gue bakal kalah.”
Rio yang sedari tadi memperhatikan perdebatan ketiga makhluk itu pun menghampiri mereka. “Awas lo!” ucap Rio kepada Aldi dan langsung mengambil alih kaki kanan Vanya yang kini diletakkan di atas pahanya.
“Biasa aja jing!” balas Aldi yang diacuhkan oleh Rio.
“Ini yang sakit?” tanya Rio sambil menekan sedikit mata kaki Vanya.
“Iya sshh…” Jawab Vanya sambil menahan rasa sakitnya.
“Lo tahan ya. Kalau mau teriak-teriak aja. Itupun kalau lo nggak malu.” ucap Rio. Perlahan Rio pun mulai memijat pergelangan kaki Vanya. Awalnya pelan. Namun, lama kelamaan Rio mengeraskan pijatannya.
“AWWW!! PELAN-PELAN b**o! SAKIT!” teriak Vanya. Persetan dengan teman-temannya yang kini sedang memperhatikan ke arahnya.
Vanya yang tidak tahan meremas apapun yang ada disampingnya. Kebetulan yang ada di sampingnya adalah Aldi. Vanya menjambak rambut Aldi tanpa ampun. Membuat Aldi meringis.
“Van lepasin! Sakit ogeb! Pusing pala gue!” ucap Aldi.
“Diem lo! Gue juga sakit!” bentak Vanya sambil menggerakkan jambakannya ke kanan dan kekiri. Membuat Aldi merasa pusing sekaligus. “RIO! PELAN-PELAN OGEB!” Teriak Vanya lagi membuat teman-teman sekelas yang melihat mereka tertawa geli.
“Toa banget sih lo! Nih udah selesai.” Ucap Rio. Vanya yang mendengarnya langsung melepaskan jambakannya pada Aldi. “Coba lo berdiri.” Lanjut Rio.
“Buat?” tanya Vanya bingung. Di sampingnya Aldi sedang memijat kepalanya yang sangat pusing akibat jambakan sadis dari Vanya.
“Ya… buat ngecek kaki lo masih sakit atau nggak lah tulul!” ucap Jessica.
Vanya pun manggut-manggut. Gadis itu pun mencoba berdiri. “Shh… lumayan sih. Nggak sesakit tadi.” Ucap Vanya. “Berarti.. gue bisa ikut tanding dong?” lanjut Vanya senang.
“Terserah lo! Tapi lo harus hati-hati. Jangan terlalu banyak pakai kaki kanan lo. Takutnya, nanti kaki lo malah bengkak lagi.” Ucap Rio. Vanya yang mendengarnya hanya menganggukkan kepalanya. Walaupun Vanya tidak yakin, tidak akan menggunakan kaki kanannya terlalu banyak.
***
Jam istirahat berdering. Fany pun langsung keluar dari kelasnya dengan kotak bekal yang berada di tangannya. Melangkahkan kakinya menuju kelas Ardan yang berada di ujung koridor lantai tiga ini. Sesekali gadis ini tersenyum ketika beberapa temannya menyapa dirinya.
Sesampainya di kelas Ardan, Fany langsung menghampiri laki-laki itu yang kini sedang berkumpul dengan ketiga sahabatnya. Alwan, Andra dan Rizky yang kini tengah tertawa akibat celetukan Andra. Fany pun tersenyum lalu mendekat ke arah sekumpulan laki-laki itu.
“Haaiii…” sapa Fany kemudian menarik kursi yang berada di dekatnya dan duduk di kursi tersebut.
“Itu yang di tangan lo apaan Fan?” ucap Andra basa-basi.
“Waffle. Gue tadi pagi sengaja bikin. Kenapa?” balas Fany.
“Nggak.. nanya doang.”
Alwan yang berada di sampingnya langsung menempeleng kepala Andra. “Elah.. bilang aja lo mau ogeb!” ucap Alwan.
“ohhh.. lo mau Dra? Buka aja. Gue bawanya lumayan banyak kok.” Fany pun meletakkan kotak bekal itu di meja.
“Gara-gara lo sih Wan! Gue jadi enak nih..” ucap Andra lalu mengambil kotak bekal itu dan membukanya. “Wahh..enak nih.” Lanjut Andra lalu mengambil satu potong waffle tersebut dan memakannya dengan lahap.
“Biasa aja kali Dra makannya. Lo kaya orang yang nggak makan seminggu aja dah!” ucap Rizky saat melihat mulut Andra yang penuh oleh makanan.
“Bwodwo amwat. Gue lapwer bwanget..” ucap Andra dengan mulut yang penuh oleh makanan.
“Oh iya Ar, hari ini aku ikut kamu ekskul ya. Nonton doang di pinggir, kaya biasa.” Ucap Fany pada Ardan.
Ardan yang sedari tadi diam pun membuka mulutnya. “Iya. Tapi kamu nggak papa nunggu lama?” tanya Ardan lalu mengambil satu potong waffle dan memakannya.
“Gapapa. Lagian di rumah juga bosen. Nggak ada siapa-siapa.”
“Oh iya hari ini lo beneran tanding lagi sama si Vanya?” ucap Alwan.
Fany yang mendengarnya pun penasaran. “Tanding? Vanya?” Fany menatap ketiga lelaki itu dengan tatapan bertanya. Seolah meminta penjelasan dari ucapannya tadi.
Andra pun menelan makanan yang ada di mulutnya lalu membuka suaranya. “Jadi gini, Ardan itu mau tanding taekwondo sama Vanya. Murid cewek kelas sebelah.” Jelas Andra singkat, padat, jelas.
Fany pun menatap Ardan. “Serius kamu Ar?” tanya Fany.
“Yaa.. serius. Mana ada aku bohong.” Jawab Ardan santai.
“Tapi dia cewek Ar. Kalau dia kenapa-napa gimana?” ucap Fany khawatir.
“Kamu tenang aja. Dia emang cewek. Tapi dia lumayan jago buat lawan aku.” Balas Ardan.
“Yaudah terserah kamu. Tapi kalau ada apa-apa kamu harus tanggung resiko kamu sendiri.” Peringat Fany. Ardan menganggukkan kepalanya. Bagaimanapun dia bukan lelaki yang lari dari tanggung jawabnya.
***
Setelah mengganti bajunya, Vanya dan Jessica pun berjalan menuju pinggir lapangan. Menyimpan tasnya kemudian duduk dengan kaki yang diselonjorkan.
“Lo yakin tetap mau tanding?” tanya Jessica.
“Iya. Kenapa?” jawab Vanya sambil merapihkan ikatan rambutnya.
“Gue takut kaki lo makin parah.” Ucap Jessica.
Vanya tersenyum. “Lo tenang aja. Kaki gue udah mendingan kok. Udah nggak sakit lagi malah.” Ucap Vanya menenangkan.
“Yakin?”
“Iya.” Balas Vanya menyakinkan. Padahal nyatanya, rasa sakit di kakinya masih terasa. Hanya saja, dirinya tidak mau membuat Jessica khawatir.
“Oke… gue percaya. Tapi kalau ada apa-apa lo harus berhenti.” Ucap Jessica. Vanya menganggukkan kepalanya. “Iya. Gue bakal berhenti.”
“Heh cewek boncel!” Vanya yang mendengar panggilan itu, langsung menolehkan kepalanya. Di sana Ardan berdiri dan di sampingnya terlihat seorang perempuan yang Vanya ketahui bahwa itu adalah Fany. Pacar Ardan.
Vanya pun berdiri. Dan berjalan menghampiri Ardan. Sebisa mungkin, Vanya mencoba berjalan dengan normal. Tidak memperlihatkan kakinya yang masih terasa sakit itu. “Ehh.. cowok m***m. Apa kabar?” ucap Vanya.
Ardan yang menyadari cara jalan Vanya yang sedikit terseret itu pun mengernyitkan dahinya. Merasa ada yang janggal. Namun, sedetik kemudian menormalkan ekspresinya itu. “Baik.. lo apa kabar? nggak ada masalah kan?” jawab Ardan dengan seringaian menyebalkan khas cowok itu.
Vanya menyedekapkan tangannya. Menatap Ardan dengan senyumnya yang meremehkan. “Baik. Bahkan sangat baik.” ucap Vanya. “Oh iya, kenalin. Gue Vanya.” Lanjut Vanya sambil menjulurkan tangannya ke arah Fany.
“Fany.” Fany pun balas menjulurkan tangannya ke arah Vanya. Kemudian melepaskan tangannya kembali.
“Lo kok mau-maunya sih Fan, pacaran sama cowok m***m kaya dia. Kalau gue sih ogah.” Ledek Vanya.
Ardan yang mendengarnya menatap Vanya dengan senyumannya yang menyebalkan itu. “m***m-m***m gini gue udah ada yang punya. Nggak kaya lo! Udah pendek, jomblo lagi!” ledek Ardan balik.
Fany yang mendengar ledekan Ardan, mencubit pinggang laki-laki itu. “Kamu kalau ngomong itu dijaga! Kebiasaan.” Omel Fany.
Vanya yang melihatnya tertawa. “Denger tuh! Dasar cowok m***m!” ucap Vanya.
Ardan yang baru saja akan membuka mulutnya langsung tertutp kembali karena suara pluit Pak Gani yang sudah meminta mereka untuk segera berkumpul ke tengah lapangan.
“Van, ayok! Pak Gani udah datang tuh.” Ucap Jessica menghampiri Vanya dan langsung menarik lengan Vanya menjauh dari pasangan tersebut.
“Aku latihan dulu. Kamu duduk di sana aja.” ucap Ardan sambil mengusap puncak kepala Fany lalu pergi meninggalkan Fany menuju ke tengah lapangan.
“Agenda kita hari ini adalah latihan berpasangan. Kalian bebas memilih pasangan kalian. Kecuali Ardan dan Vanya. Kalian harus berpasangan. Karena Bapak ingin melihat sejauh mana kemampun kalian terutama Vanya. Bapak ingin lihat apa kamu sebanding dengan Ardan atau… bisa jadi di atas Ardan. Kalian mengerti?” Ucap Pak Gani. Semua murid pun menjawab ‘Iya.’. Ardan dan Vanya justru saling melempar senyum meremehkan.
“Yasudah, kalian silahkan berpencar. Ardan dan Vanya kalian di sini.” Lanjut Pak Gani.
Semuanya pun berpencar. Sedangkan Ardan dan Vanya langsung berhadapan dan membungkukkan badan mereka sebelum memulai latihan sekaligus pertandingan bagi mereka berdua. Setelah itu, mereka pun langsung memasang kuda-kuda sebelum melayangkan serangan mereka.
“Lo yakin, bakal menang?” ucap Ardan dengan nada yang meremehkan.
“Gue yakin. Kenapa? Lo takut?” balas Vanya sambil memutar begitupun dengan Ardan.
“Cih! Gue takut sama lo? Hhhh.. nggak. Nggak sama sekali.” Jawab Ardan.
“Kalau lo nggak takut, coba serang gue duluan. Berani?” Ucap Vanya memancing.
Ardan yang mendengarnya tersenyum kemudian langsung menyerang Vanya dengan tendangan ke arah depan dengan sedikit hentakkan. Namun, dengan sigap Vanya langsung menangkisnya dan balik menyerang Ardan.
“See? Gue nggak selemah yang lo pikirin.” Ucap Vanya. Kemudian menyerang Ardan lagi yang langsung saja ditangkis oleh laki-laki itu.
Pertandingan keduanya pun semakin memanas. Membuat semua murid yang tadinya fokus latihan kini beralih untuk fokus pada pertandingan kedua makhluk yang tidak pernah akur itu. Fany yang menonton dari jauh merasa sangat khawatir. Bukan. Bukan kepada Ardan melainkan kepada gadis yang menjadi lawan Ardan. Fany sangat tahu betul bagaimana Ardan ketika sedang menyerang lawannya. Namun, rasa khawatir itu perlahan berkurang ketika Fany tahu dan sadar. Bahwa, gadis itu tidak selemah yang Fany fikirkan.
Ardan berhenti sejenak untuk mengatur pernapasannya begitupun Vanya. Keduanya memasang posisi kuda-kuda. Setelah dirasa cukup, tanpa aba-aba Vanya menyerang Ardan kembali dan untung saja Ardan mampun menangkisnya dan membalikkan serangan tersebut.
Vanya sedikit meringis ketika kaki kanannya memijak pada lapangan. Rasa sakit itu semakin bertambah. Namun, Vanya mencoba menahannya. Gadis itu mencoba tetap fokus untuk menangkis satu persatu serangan yang dilayangkan oleh Ardan. Hingga saatnya, gadis itu pun memberanikan diri untuk menyerang Ardan kembali dengan tendangan memutar. Dan…..
‘Bruk….’
“Sial!”