Cita-Cita Abi

1249 Kata
Gara-gara handphone itu, Abi jadi tahu semua tentang aku. Alamat rumah, tempat aku sering nongkrong, semua akun sosial media milikku, hobiku mengoleksi gambar kartun Doraemon, sampai kebiasaanku membuat catatan harian berupa rekaman video. Abi juga menertawakan selera musikku yang dianggap aneh. Dia bilang list song dihandphone-ku memakai bahasa planet asing semua. Padahal itu koleksi lagu barat favoritku. Seperti lagunya Charlie Puth, Jazon Mraz, Justin Timberlake, Bruno Mars, Rihanna, Miley cyrus, dan beberapa lagu sountrack Drama Korea. Mungkin itulah lagu berbahasa planet yang Abi maksud. Pokoknya Abi sudah  melakukan investigasi mendalam sebelum mengembalikan handphone itu padaku. Seperti kemaren, Abi kembali kumat. Aku keget ketika tiba-tiba akun f*******:-ku mengupdate status dengan sendirinya. Rangkaian status itu berupa sajak pendek yang telah menyedot komentar heboh dari teman-temanku. Abi menulis: Sejak malam itu aku selalu mengingatnya... Sejak malam itu aku selalu memikirkannya.... Sejak malam itu aku ingin lebih dekat dengannya...        Sejak malam itu aku ingin memilikinya... Sejak malam itu aku ingin selalu bersamanya...   Mataku melotot membaca barisan sajak yang terkesan klise dan kuno itu. Sontak aku langsung menghapus kiriman itu untuk meredakan kehebohan. Semua tahu kalau aku bukan tipikal orang yang puitis. Jadi sudah pasti heboh kalau tiba-tiba aku mendadak romantis. Aku merasa jengkel karena dia sudah membajak akun f*******:-ku. Terlebih Abi juga sering mengomentari fotoku melalui akun f*******:-ku sendiri. Tentu semua orang merasa aneh melihat komentar itu. Semua mengkritik dan menyebutku terlalu narsis karena memuji-muji foto sendiri. Aku merasa marah dan kesal. Tapi disisi lain aku juga merasa kalau itu adalah hal yang manis dan lucu. _ Aku menguap lebar, mataku masih berat menahan kantuk. Kuambil handphone-ku dari bawah bantal. Ada 27 panggilan tidak terjawab, semuanya dari Abi. Mataku langsung terbuka lebar. Semalam aku kelelahan setelah pulang dari Sawahlunto ke rumah Ayah. Aku tertidur dan tidak mendengar handphone yang berdering. Aku takut Abi salah paham dan mengira aku sengaja tidak mengangkat telepon darinya. Kuputuskan untuk menelepon balik. Kutunggu dia mengangkatnya sambil memikirkan kata-kata yang akan kuucap. “Halo....” aku menyapa dengan nada canggung. “Halo juga, selamat pagi.” Abi balas menyapa dengan suara santai.“Ada apa pagi-pagi nelpon? aku baru mau tidur, nih.” “Baru mau tidur...? Maksudnya baru bangun tidur?” aku merasa salah dengar. “Itu kamu...” Abi menguap di seberang sana. “Iya, kan?” “Nggak kok, aku udah bangun dari tadi,” “Bohong... itu ilernya masih belum kering.” Abi cekikikan. “Siapa yang ileran coba, nggak ada.” “Sekarang kamu pasti lagi ngehapus ilernya?” Aku tersenyum, lebih tepatnya menahan tawa mendengar pertanyaannya itu. Abi benar, aku sedang sibuk menyeka mulutku. “Sok tau,” jawabku sambil menahan tawa. “Jadi kenapa nelpon pagi-pagi?” tanya Abi. “Itu... semalam ada apa kamu nelpon aku?” aku bertanya dengan nada hati-hati. “Aku nggak angkat telepon dari kamu karena udah ketiduran,” jelasku. “Emang aku nelpon kamu semalam?” Abi balik bertanya. “Lho... kan, memang iya. sampai 27 kali malah” Jawabku. “Nggak ada.” “Ada.” “Nggak ada.” “Ada... cek panggilan keluarnya deh,” Aku mulai kesal. “Eh iya ada, kepencet sendiri itu,” kata Abi. “Kepencet..?” aku setengah berteriak. “Iya.”   “Kepencet kok ke aku terus? 27 kali lagi. Kamu pasti bohong,” tudingku. “Iya... kan, cuma kamu satu-satunya kontak di handphone aku.” “Bohong!” nadaku ketus, tapi aku tersenyum malu. “Nggak cuma di handphone, di hatiku juga hanya ada kamu seorang.” “Udah ah, bye.” Kututup teleponnya dengan d**a yang bergemuruh. Sesaat aku merasa kekurangan oksigen. Kubenamkan wajahku ke bantal, sementara kakiku menggelinjang ke udara. Sedikit memalukan untuk mengakuinya. Tapi  kupikir sepertinya aku memang sedang jatuh cinta. _ Semakin hari hubunganku dengan Abi kian dekat. Kami lebih sering berkomunikasi melalui telepon. Aku merasa lebih leluasa berbicara dengannya lewat telepon, daripada harus berhadapan langsung. Saat bertemu, aku memilih banyak diam dan terkesan malu-malu. Abi bahkan sempat curiga, dia bilang  bahwa aku sepertinya berbeda dengan orang yang berbicara dengannya ditelepon. Hari ini kami berjanji untuk bertemu di tempat biasa, di Jembatan Siti Nurbaya. Abi tidak pernah mau diajak ketemuan di tempat lain. Sepertinya dia begitu terobsesi dengan kisah Siti Nurbaya. Atau mungkin juga dia punya kenangan tersendiri di tempat itu. Entahlah, Aku juga tidak ingin menelisik masa lalunya. _ Aku duduk menjuntaikan kaki ke bawah jembatan. Langit sore ini cerah. Gumpalan awan berwarna merah keemasan bergerak pelan. Beberapa anak kecil berlari-larian penuh tawa. Banyak orang menghabiskan waktu sore hari di sini. Ada yang sibuk berfoto, bercengkerama bersama keluarga, atau sekedar bersantai sambil menikmati jagung bakar. “Udah lama nunggunya?” Abi tersenyum dan duduk di sebelahku. Aku menoleh padanya lalu tersenyum. “Nggak, ini juga baru nyampe.” “Kalau di telepon berani marah-marah, teriak-teriak, eh pas ketemu langsung malah ciut,” Abi mencibir padaku. Aku mendesah pendek, masih tidak menatapnya. “Kalau yang ngomong di telepon itu beda orangnya.” aku menjawab dengan nada serius. Abi langsung berdiri dan menatapku dengan mulut menganga, “Jadi selama ini benar kalau....” “Hahaha....” Aku tertawa keras. “Nggak lah... Alia itu cuma satu. Ada sih satu lagi kembaranku, tapi dia itu cowok, namanya Ali.” “Jadi selama ini Ali yang bicara sama aku?” Abi lebih syok lagi sekarang. “Bukan!” Aku memegangi perutku menahan tawa. “Kirain.” Abi menghela napas lega lalu kembali duduk. “Hari ini nggak kerja?” tanyaku. “Kerja.” “Oh, udah selesai kerjanya?” “Belum, ini sekarang juga lagi kerja,” “Sekarang?” “Kerja apa coba?” “Ngerjain kamu.” Aku membuka sepatuku dan memukul Abi sekuat tenaga. Dia terus tertawa sambil terus menggodaku. Sebenarnya aku senang dengan keusilannya, tapi aku tetap berpura-pura merajuk dan memasang wajah manyun. Aku suka saat Abi berusaha membujukku. Perlakuannya itu membuatku merasa istimewa. “Ngomong-ngomong itu jaketnya nggak pernah dicuci ya?” ledekku. “Jangan sembarangan, ini jaket bersejarah,” jawab Abi. “Bersejarah?” “Jadi ceritanya, dulu waktu masih kecil aku pengen punya jaket levis kayak gini. Tapi karena nggak punya uang, nggak pernah kesampaian deh....” Abi menatap langit mengenang masa kecilnya. “Makanya dari dulu aku bertekad kalau udah gede dan punya pekerjaan, aku bakalan beli jaket itu dengan gaji pertamaku.” Abi menepuk-nepuk jaketnya penuh rasa bangga. Aku tersentuh mendengar ceritanya, tapi enggan untuk memuji. “Pantas udah jelek, bau lagi,” aku menutup hidungku. “Enak aja bau, ini wangi tau.” “Wangi apa?” “Wangi kehidupan.” Abi tertawa keras. “Kalau udah punya cukup modal, jadi balik ke Jakarta?” tanyaku. “Jadi dong.” Abi menjawab santai. “Jadi begitu.” “Kenapa, kamu pasti sedih karena harus pisah sama aku?” “Siapa bilang? Nggak lah, biasa aja....” aku berusaha membuat mimik wajah sebiasa mungkin. “Sejauh apa pun jarak kita nanti, kamu akan tetap ada di sini,” Abi menunjuk dadanya. “Lagian ini juga untuk masa depan kita.” “Apaan sih... kita itu nggak punya hubungan apa-apa. Pakai acara ngebahas masa depan segala,” aku mencibir. “Oh iya. satu lagi, kenapa harus Restoran Padang?” tanyaku. “Soalnya Restoran Padang nggak pernah sepi.” Abi cengengesan. Aku tersenyum. Kutatap Abi yang masih memandang langit. Dalam hati aku turut berdoa agar impiannya itu terwujud. Abi mengajarkanku bahwa hidup akan lebih indah bila diisi dengan harapan. Jika harapan Abi adalah ingin membuka Restoran Padang, maka harapanku adalah berada disisinya pada saat mimpi itu terwujud. _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN