Pukul enam sore. Orang-orang sudah ramai memadati GOR Haji Agus Salim. Hari ini pertandingan Semen Padang vs Persija, dimana Semen Padang menjadi tuan rumah. Stadion sudah dipenuhi masing-masing suporter. Tapi tentu saja, The Jak kalah jumlah sama suporter Semen Padang yang main di kandang. The Kmers dan Spartack mendominasi. Mereka kompak dengan pakaian merah menyala dengan gambar kerbau sebagai lambangnya.
Sebetulnya aku sama sekali tidak tertarik dengan sepak bola. Semua gara-gara Abi. Dia yang mengajakku untuk menonton malam ini. Tapi kebiasannya membuatku jengkel, selalu telat. Aku menunggunya di tribun sebelah timur yang sudah disesaki penonton lainnya.
“Halo, kamu dimana?” aku langsung bertanya dengan nada gusar begitu Abi mengangkat telepon.
“Di rumah, ini baru mau mandi,” jawabnya santai.
“Baru mau mandi...!” Aku berteriak keras, orang-orang yang berada di dekatku ikut terkejut.
“Tunggu aja, nanti aku juga akan nyampe di sana.”
“Kalau dalam 15 menit kamu masih belum muncul, aku bakalan pulang,” ancamku.
“Kamu nggak akan bisa ninggalin aku,”
“Iya... tapi kamu yang selalu ninggalin aku,” jawabku ketus.
Aku menutup telepon sambil berpikir. Abi benar, kenapa aku tidak pernah bisa meninggalkan dia. Semenjak pertemuan pertama kali di Jembatan Siti Nurbaya malam itu, Abi sering mengulang kalimat yang sama. Apa dia sedang menanamkan sugesti kepadaku untuk terus bersamanya? Jika memang iya, misi Abi sudah berhasil.
_
Akhirnya dia muncul tepat saat pertandingan akan dimulai. Kedatangan Abi pun langsung menarik perhatian banyak orang. Bagaimana tidak, dia datang memakai kostum Persija dan bergabung ke dalam barisan suporter Semen Padang. Keisengan Abi kumat, semua mata kini tertuju padanya.
Aku menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kok malah pakai bajunya Persija?” tanyaku.
“Memangnya kenapa? Aku ogah memakai baju yang ada foto akunya.” Abi menunjuk bajuku yang ada gambar kerbaunya.
Tawaku pecah.“Iya ya, kamu itu kan, saudaranya kabau.”
“Ya sudah gabung sana sama The Jak,” aku mengibaskan tangan mengusirnya pergi. “Katanya kemaren mau ngedukung Semen Padang, eh sekarang malah berpaling.”
“Aku ngedukung Semen Padang kok, tapi ngedukung Persija juga,” jawab Abi.
“Pilih Persija apa Semen Padang?”
“Aku nggak bisa memilih diantara keduanya.” Abi memasang wajah serius.
“Aneh, memangnya kenapa?”
“Pertanyaan milih Semen padang atau Persija, sama aja kayak kamu nyuruh aku milih bapak atau ibuk.” jawab Abi.
Aku berusaha menahan tawa. Aku lupa kalau ayah Abi asli orang Jakarta. “Oke... aku mengerti.” aku mengacungkan jempolku dengan tawa yang belum juga surut.
“Eh iya, kata sandi f*******: kamu ganti ya?” tanya Abi.
“Iya, biar nggak dibajak lagi sama kamu.” aku mencibir penuh rasa senang.
“Kasih tau kata sandinya sekarang,” pinta Abi.
“Besok aku kasih tau.”
_
Pertandingan mulai berlangsung, seru juga ternyata. Bola menukik kesana kemari. Para suporter menyanyikan yel-yel yang menggema memenuhi stadion. Aku ikut berteriak heboh meski kadang tak mengerti kenapa aku harus berteriak.
“Ternyata asyik juga ya.” suaraku tenggelam ditengah riuhnya sorak sorai penonton.
“Apa...?” Abi mendekatkan telinganya padaku.
“Aku bilang, ternyata asyik juga,” ulangku.
“Iya, aku juga cinta sama kamu,” jawab Abi.
Aku menepuk keningku sendiri. Aku yakin sebenarnya Abi mendengar dengan jelas. Perhatianku kembali terfokus pada pertandingan. Sampai sejauh ini skor masih 0 – 0. Sebentar lagi babak pertama akan segera berakhir. Aku melihat ke sekeliling mencari Abi. Tiba-tiba saja dia menghilang. Aku terus memanjangkan leher mencari keberadaannya.
Tiba-tiba penonton menjadi riuh. Apakah ada yang berhasil mencetak gol? Tidak, papan skor masih menunjukkan angka yang sama. Astaga, mataku terbelalak begitu melihat ke tengah lapangan. Ada seorang laki-laki berkostum Jak Mania menerobos masuk ke tengah lapangan dan merebut bola yang masih menggelinding. Itu Abi.
Aku berhenti bernapas melihat Abi yang kini berada di tengah lapangan. Pertandingan pun terhenti, para pemain tampak saling pandang dan kebingungan. Sekarang Abi melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Kemudian dia mengambil sebuah alat pengeras suara.
“Test tes...”
“Aliaaaaa...!”
“Aku cinta sama kamu...!”
“Aliaaaa...!”
“Aku sayang sama kamu...!”
“Kamu mau, kan, jadi pacar aku...?”
Suara Abi menggema keras. Penonton bersorak riuh. Siulan dan tawa terdengar bersahutan. Sementara aku terpana dan mendadak linglung. Separuh nyawaku pergi meninggalkan raga. Pipiku terasa panas. Aku merasa malu, tapi juga bangga. Petugas keamanan segera menyeret Abi keluar. Dalam keadaan itu dia masih sempat berbicara.
“Aku tunggu jawabannya besok...!”
“Di tempat biasa...!”
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Ingin rasanya aku ikut turun ke lapangan dan langsung menjawab pintanya. Untunglah kadar kewarasanku masih stabil. Kalau tidak tentu bakalan heboh. Akan ada judul berita hangat terpampang di koran-koran dengan judul Sepasang kekasih memadu cinta di lapangan hijau atau Laga panas Semen Padang vs Persija berakhir cinta.
_
Aku kembali menatap bayanganku di cermin. Sudah tak terhitung banyak baju yang aku coba, tapi rasanya masih belum ada yang pas. Tumpukan pakaian sekarang berhamburan di atas kasur. Aku nyaris mengosongkan semua isi lemari mencari pakaian yang kurasa pantas.
Setelah memilih cukup lama, pilihanku jatuh pada mini dress warna putih setinggi lutut dengan motif bunga mawar. Aku tidak mengikat rambutku seperti biasa, kali ini aku membiarkannya tergerai lepas. Setelah itu aku sibuk memoles wajahku dengan sedikit make up dan lipstick berwarna merah muda.
Aku menatap cermin dengan rasa puas. Aku yakin pasti Abi akan terkesima melihat penampilanku yang begitu feminim hari ini. Aku tidak sabar melihat ekspresinya nanti. Abi pasti akan memujiku, menyanjungku dan hanyut dalam pesonaku hari ini.
_
Dugaanku salah. Abi tidak memujiku. Dia juga tidak terkesima melihat penampilanku. Mulai dari awal kedatanganku sampai detik ini, Abi masih terus tertawa. Dia bilang aku terlihat seperti ondel-ondel. Aku merasa malu dan hampir menangis. Ingin rasanya aku berlari pulang ke rumah, tapi Abi langsung mencegahku.
“Cuma becanda kok,” katanya. “Kamu kelihatan cantik,” lanjutnya sambil menahan tawa.
“Makasih, tapi pujiannya udah telat,” jawabku ketus.
“Aku serius.” Abi kembali meyakinkanku, tetapi bahunya masih bergetar menahan tawa.
Setelah puas menggodaku, kami berdua terdiam. Sesekali aku melihat padanya. Tapi ketika Abi balas menatapku, aku segera memalingkan wajah. Aku mengayun-ayunkan kakiku yang menjuntai ke bawah. Menunggu Abi mulai berbicara. Tapi sepertinya dia sendiri juga butuh waktu untuk bisa berkata-kata.
“Alia...” Abi memanggilku pelan.
Aku menelan ludah, “ini dia” batinku.
“Jadi gimana jawaban untuk yang kemaren?”
Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin mengalir di kudukku. Padahal dari semalam aku sudah berlatih untuk menjawabnya. Tapi sekarang lidahku kelu, rasanya sulit walau hanya untuk sekedar menjawab “iya”.
“A...aku... mau,” aku menjawab dengan malu-malu. kuyakin wajahku sudah memerah saat ini.
“Mau?” Abi mengernyitkan dahinya.
“Iya, aku mau,” jawabku yakin.
“Ya udah, mana...?” tanya Abi.
“Kok mana?” Aku tidak mengerti maksud Abi.
“Oo, kamu pasti salah paham ya?” Abi tertawa lagi. “Kemaren, kan aku minta kata sandi baru f*******: kamu dan kamu bilang bakalan dikasih besok yang berarti hari ini.”
Aku terperanjat. Malu sekali rasanya. Kemaren Abi memang meminta kata sandi f*******: yang sudah kuganti. Aku menutup mukaku menahan malu. Ini semua benar-benar diluar dugaan.
“Memangnya kamu pikir aku minta jawaban apa?” Abi cekikikan.
Aku mengangkat wajahku, lalu menatapnya penuh rasa kesal. “Kemaren kan, kamu nembak aku dan minta jawabannya sekarang,” jawabku.
“Oo itu.” Abi tertawa.
“Iya,” jawabku kesal.
“Kalau itu aku udah tau jawabannya,” Abi mencibir.
“Iya, karena barusan udah aku jawab.”
“Nggak... sebelum kamu jawab tadi, aku juga udah tau jawabannya,” Abi tersenyum.
“Sok tau.”
“Emang tau.”
“Nggak.”
“Tau.”
“Nggak”
“Tau... kamu kan, nggak pernah bisa ninggalin aku,” Kali ini Abi berkata serius. “Aku sayang sama kamu,” dia berucap lembut.
Aku memberanikan diri melihat matanya. Tatapan teduh Abi membuatku terhanyut dalam sejuta rasa yang bergejolak di hatiku. Aku sudah sering mengecap indahnya cinta, tapi cinta Abi terasa begitu berbeda. Cinta yang membuatku takut kehilangan bahkan sebelum memilikinya.
Abi tersenyum lalu menyentuh rambutku dengan punggung jarinya. “Mulai sekarang, kamu nggak boleh mikirin lelaki lain selain aku,” katanya. “Mulai hari ini aku adalah lelaki ketiga yang akan terus ada di hati dan hidup kamu.”
“Ketiga?” tanyaku.
“Iya, setelah ayah kamu dan Ali.” Abi tersenyum lalu lanjut berbicara. “Mulai hari ini kita resmi sebagai sepasang kekasih.”
Aku mengangguk tanda setuju. Hari ini adalah hari bersejarah dalam hidupku. Hari dimana aku resmi menjadi kekasihnya. Resmi menjalin hubungan spesial dengannya. Aku siap untuk memulai cerita indah bersamanya. Aku siap untuk menghabiskan sisa waktuku untuk terus mencintainya.
_