Bertemu Dengannya

1565 Kata
Dua tahun lalu... “Sial...!” Aku mendengkus kesal mendapati ban motor yang kempes setelah diarak oleh Ali semalam. Arlojiku sudah menunjukkan hampir pukul delapan. Aku terkesiap, sebentar lagi perkuliahan akan dimulai. Aku mendesah dan segera berlari ke jalan raya untuk menghentikan angkot yang lewat. Kukibaskan tanganku  untuk mendinginkan wajah yang panas. Aku tidak boleh terlambat hari ini. Aku harus tampil untuk presentasi kelompok. Suasana di dalam angkot masih sepi. Aku menjadi satu-satunya penumpang setelah seorang gadis berseragam SMA turun di persimpangan jalan. Setiba di Jalan Bypass, seorang lelaki ikut naik. Dia melempar senyum padaku. Penampilannya begitu amburadul. Celana robek, rambut gondrong, memakai jaket levis warna biru yang kotor dan berbau asap rokok. Aku pun bergidik ngeri saat melihat tato di lehernya. Dia duduk tepat di sebelahku. Padahal masih banyak bangku yang kosong. Anehnya dia malah duduk memunggungiku. Harusnya dengan posisi duduk menyamping di angkot, dia lurus menghadap ke depan. Kali ini dia membuka kaca jendela lebar-lebar. Angin berhembus masuk, membuat rambut panjangnya beterbangan menyapu wajahku. Aku memalingkan wajah mencoba menghindar dari sapuan rambutnya. Tapi rambutnya tetap saja berkibar menjangkau wajahku. Aku mulai merasa terganggu. Kuketuk punggungnya dengan jari telunjuk pelan. “Maaf rambutnya,” ucapku sambil menahan dongkol. “O iya, maaf.” dia tersenyum, lalu memutar tubuhnya, bukan kedepan tapi malah menghadap padaku. Aku menatap heran. Ada yang aneh dengan lelaki ini. Harusnya dia lurus menghadap ke depan, bukan malah menghadap padaku seperti ini. Lama kelamaan aku mulai merasa risih. Sementara, dia masih menatapku sambil senyum-senyum tak menentu. _ Berbagai pikiran aneh mulai menggerayang di otakku. Apa jangan-jangan dia itu jambret? Atau dia sedang bekerja sama dengan sopir angkot untuk menculikku? Aku menelan ludah membayangkan skenario terburuk. Tidak ada juga penumpang lain yang ikut naik. Hanya ada aku, dia dan sopir angkot yang sibuk berdendang dan sesekali bersiul-siul ria. Aku mencoba tetap tenang dan berlagak cuek. Sementara dia terus menatapku dengan senyum anehnya. “Aduh...!” Tiba-tiba angkot berhenti mendadak. Aku terkejut dan hampir saja terjatuh. Tapi lelaki itu dengan cepat menahan tubuhku dengan lengannya. Aku terperanjat dengan denyut nadi yang semakin cepat.  “T-terima kasih.” Kupaksakan bibirku tersenyum padanya. “Indak masalah,” jawabnya. Dia tersenyum, lalu kembali menatapku. Kali ini sambil bertopang dagu.  Aku gelisah menatap ke depan. Tidak sabar untuk segera turun dari angkot ini. Begitu sampai di simpang Ketaping, aku turun dan bergegas naik ke angkot jurusan kampus. Aku menghela napas lega saat sudah duduk di dalam angkot yang ramai. Tapi tunggu, siapa yang ikut naik dibelakangku?  Mataku terbelalak, dia ikut naik dan kembali duduk di sampingku.  “Kamu kuliah di Universitas Andalas ya?” dia bertanya sambil nyengir memamerkan gigi gingsulnya. Aku tidak menjawab dan memalingkan wajahku. “Mahasiswa kebanyakan emang gitu ya, sombong kalau diajak bicara,” lanjutnya. “Kata siapa?” Aku terpancing dan tidak terima dengan pendapatnya. “Kata aku!” dia menunjuk wajahnya sendiri. “Kamu salah... nggak semua mahasiswa seperti yang kamu bilang.” aku menjawab ketus tanpa melihat padanya. “Oke, kalau gitu namanya siapa? Alamatnya dimana? Katanya kamu nggak nggak sombong, jadi mau dong ngejawab pertanyaan itu, iya kan?” dia menyipitkan matanya. Kupejamkan mataku sembari menghirup napas dalam-dalam. Mimpi apa aku semalam sampai harus bertemu sama orang aneh ini. Aku tetap membisu. Mana mungkin aku memberikan identitasku pada orang seperti dia. Aku tidak tahu apa tujuannya dan mungkin saja dia punya niat buruk padaku. Dia masih menunggu jawaban seraya memutar-mutar telunjuknya di depan wajahku. Kalau saja tidak ramai, sudah kugigit jarinya itu. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi. Kampus masih jauh. Sementara lelaki aneh ini juga tak kunjung turun. “O iya, kamu tadi naiknya di simpang Bypass Siteba, kan?” dia menjentikkan jarinya. “Kamu pasti tinggal di Siteba?” tebaknya. Aku meniup poniku, wajahku semakin terasa panas. “Kalau iya kenapa?” “Sering  tenggelam dong... di sana kan, sering kebanjiran.” dia terkikik lalu kembali berbicara. “Siteba itu kan kepanjangannya siap terima banjir.”  “Terserah,” jawabku ketus. “Mulai bete ya? Ya udah, namaku Hasbi.” dia memperkenalkan diri tanpa diminta. Aku tak menyambut uluran tangannya. “Aku nggak nanya siapa nama kamu.” Dia kembali menarik tangannya yang masih mengawang, lalu tersenyum “Nanti kamu pasti bakalan nyariin aku... Alia!”  dia berbisik pelan lalu segera turun dan menghilang dibalik padatnya kendaraan. Aku syok dan tidak percaya. Untuk sesaat aku berhenti bernapas. Setelah itu ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya. Siapa sih dia? Bagaimana dia bisa tahu namaku? Aku melirik modul yang sedari tadi kupeluk. Sial, ada namaku terpampang di sana. Tapi apa maksudnya mengatakan kalau nanti aku akan mencari dia? Ah sudahlah, lupakan saja. _ Aku terus merogoh ke dalam tasku dengan panik. Benda itu tetap tidak ada di sana.  Kupikir tadi ketinggalan di rumah, tapi ternyata tidak. Aku sudah mengobrak abrik seluruh ruangan mencari handphone-ku. Ada salinan makalah yang datanya kusimpan di sana. Sudah berapa kali kucoba menelepon melalui handphone milik Ali. Tersambung, tapi tidak terdengar suara dering dan juga tidak ada yang menjawab panggilan itu. Kucoba menghubungi sekali lagi, tersambung dan kali ini seseorang menjawabnya. “Halo.” seseorang menyapa di seberang sana. “Halo... maaf sebelumnya, apa anda yang menemukan handphone ini? Lokasinya dimana, ya? Ada data penting di dalamnya. Apa kita bisa ketemu?” aku berujar penuh harap. “Tuh, kan, aku bilang, kamu bakalan nyariin aku,” jawabnya. Aku terkejut, handphone yang sedang kugenggam melorot jatuh ke lantai. Kenapa handphone-ku ada sama dia? Gila. Kuambil handphone itu kembali dan lanjut berbicara. “Halo... Haloo....” Dia sudah memutus panggilannya. Aku kembali mencoba menghubungi, namun dia terus menolak panggilanku. Sampai akhirnya sebuah pesan masuk. Isinya, Malam ini jam 20.00 di Jembatan Siti Nurbaya. Aku tertawa dengan tatapan nanar. Kubalas pesan itu dengan mengatakan bahwa aku tidak akan pernah pergi kesana dan melempar handphone itu dengan penuh rasa kesal. _ Pukul setengah sembilan malam. Ubun-ubunku mendidih, sudah setengah jam aku di sini. Aku mencoba untuk tetap bersabar dan tenang. Ini malam minggu, Jembatan Siti Nurbaya disesaki anak-anak muda. Mereka bersenang-senang dan aku tidak. Deretan lampu di sepanjang jembatan menghiburku sejenak, terlihat indah dan cantik. Cahayanya memantul ke air sungai Batang Arau dibawahnya. “Udah nunggu lama, ya?” dia muncul, lalu bersandar membelakangi pagar jembatan. “Mana handphone-ku?” “Ada,” jawabnya. Tapi bukannya memberikannya, dia malah merentangkan tangan di atas pagar dengan santai. “Sini handphone-nya!” aku menengadahkan telapak tanganku. Dia merogoh kantong jaketnya, “Sabar dong... tunggu sebentar!” dia meletakkan sesuatu di telapak tanganku, tapi itu bukan handphone.  Melainkan sebiji permen dengan kemasan yang sudah kusut. Aku mengigit bibirku menahan emosi, “Ayolah... jangan bercanda terus. Ini udah malam. Siteba kesini itu jauh tau,” umpatku. “Romantis, kan, ketemuan di sini?” dia mengangkat alisnya. “Kamu tau dong kisah Siti Nurbaya?” dia menatapku dengan mata berbinar. “Romantis apanya? Bukannya kisah itu berakhir tragis? Aku bukan Siti Nurbaya, dan nggak mau seperti Siti Nurbaya. Dasar kabau.” aku memanggilnya kerbau karena kesal. “Mirip sih....” jawabnya. “Sama-sama cokelat, terus sama-sama kuat, gagah dan perkasa. Wajar orang Minang memakai kerbau sebagai filosofi.” Aku kehabisan kata-kata dan mati gaya melawan dia. “Bisa serius nggak, sih? Nggak semua orang bisa kamu ajak bercanda.” aku menatapnya tajam. Dia balas menatapku. Apa ini? Kenapa aku merasa aneh. Ada perasaan lain saat aku melihat matanya. Dadaku berdebar semakin kencang. Untuk sesaat separuh kesadaranku melayang entah kemana. Kemudian kalimat itu terlontar dari bibirnya. Singkat, namun membuat perasaanku terguncang hebat. “Tapi untuk kamu... aku nggak akan pernah bercanda.” Semilir angin malam membelai kudukku. Perasaan apa ini? aku belum pernah merasa begini sebelumnya. Apa yang baru saja dia perbuat?  Apa jangan-jangan dia menghipnotisku? Apa ini modus penculikan model terbaru? Tidak, ini sesuatu yang lain. Sesaat telinga mendadak tuli, riuh tak terdengar dan waktu seakan terhenti. _ “Ini handphone kamu,” Akhirnya dia memberikannya. “Terima kasih banyak!” aku tersenyum, kali ini tulus. Tapi dia masih memegang handphone itu dengan kuat, seolah enggan melepaskannya. “Ya udah lepasin handphone-nya!” pintaku. “Nggak.” “Lepasin.” “Nggak.” “Lepasin.” Dia melepas handphone itu pada saat aku menariknya sekuat tenaga. Hal itu membuatku hampir terjengkang ke belakang. Aku menatapnya marah. Sementara dia malah tertawa girang. “Aku pulang sekarang!” aku mendengkus kesal. “Pulang? terus kamu ninggalin aku sendirian di sini?” ekspresi wajahnya persis seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan mainan. “Maksud kamu?” aku mengernyitkan dahi, bingung dengan maksud perkataannya. “Hahaha....” dia tertawa sebentar, ekspresinya kembali berubah menyebalkan. “Anterin aku pulang,” pintanya. “Apa...?” aku terkejut mendengar pintanya. “Iya, sebagai balasan karena udah ngembaliin handphone kamu,” dia memutar bola matanya. “Anggap aja ini sebagai bentuk ucapan terima kasih.” Ini sudah kelewatan. Kalau tidak karena data itu, aku lebih rela kehilangan handphone ketimbang bertemu dengan dia. Sekarang dia minta aku mengantarkannya pulang? Aku mendelik lalu segera balik badan. Handphone-ku sudah kembali, jadi aku tidak punya urusan lagi dengannya. Setelah melangkah cukup jauh, aku kembali menengok ke belakang. Dia masih berdiri di sana. Tatapannya sayu, raut wajahnya terlihat kecewa. Aku sedikit merasa bersalah.  Hasbi... aku menyebut namanya dalam hati. Langkahku terhenti, bagaimana bisa? Aku berbalik dan kembali padanya. Dia tersenyum, seakan menyihirku untuk terus mendekat. Aku manatapnya tanpa berkedip. Dia tertawa, lalu kembali memasang wajah serius. “Kamu nggak akan pernah bisa ninggalin aku,” ucapnya. _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN