Chapter 12 - Jackal's loyalty

1542 Kata
Sepeninggal Sergey, Vinz tampak menghisap cerutunya lagi. Pikiran pria itu cukup kalut saat ini. Di satu sisi, ia menghadapi seorang kakak yang ingin membalaskan dendamnya tapi di sisi lain, ada seseorang yang ia tahu cukup berbahaya untuk diabaikan begitu saja. Permintaan Jackal saat itu sudah jelas. Pria itu ingin mengetahui siapa orang yang telah mencelakai atasannya. Masalahnya, atasan Jackal ternyata adalah orang yang selama ini ingin dib*nuh oleh Sergey Komarov. Vinz mengalami dilema. Pria Rusia itu adalah rekan satu negaranya. Mereka telah jatuh bangun bersama dan akhirnya tergabung dalam sebuah organisasi yang sama. Keduanya sepakat untuk tidak saling turut campur tapi kali ini, rekannya itu telah melanggar kesepakatan demi salah satu keluarganya. Tapi di lain pihak, Vinz tahu kalau Jackal adalah orang yang berbahaya. Ia mungkin tidak memiliki sumber yang luas seperti dirinya tapi bukan berarti, ia TIDAK memiliki sumber apapun. Dengan jari-jarinya, pria itu dapat mengorek rahasia terdalam seseorang. Ia seorang hacker yang sangat handal di bidangnya. Banyak rekan satu profesi yang mengakui kemampuannya itu, membuat Vinz akhirnya menarik pria itu ke timnya beberapa tahun yang lalu. Awalnya Jackal tidak mau menuruti kemauan Vinz. Tapi siapa pula remaja yang mampu menahan godaan tawaran uang sangat banyak, dan dengan cara yang cukup mudah. Hanya dengan membantu pria botak itu menerobos sistem keamanan beberapa bank, dalam jangka waktu 2 tahun remaja miskin itu sudah hidup bergelimang harta. Ia mampu menghidupi dirinya sendiri dan bahkan merawat ibunya yang sedang sakit. Merasa tidak ada yang bisa mengalahkannya, pria muda itu semakin berani dan misi yang dijalaninya pun makin lama makin menantang. Ia tidak sadar kalau kelakuannya itu telah memancing minat seseorang yang tadinya hanya bersembunyi dalam kegelapan, dan menunggu pancingan seperti dirinya. Kesialan datang ketika dalam misi terakhirnya, Jackal melawan seseorang yang ternyata memiliki skill jauh di atasnya. Anak muda itu akhirnya baru menyadari, kalau di atas langit masih akan ada langit. Dirinya telah dikalahkan oleh kesombongannya sendiri, saat ia dihabisi dengan telak oleh orang asing itu. Dirinya yang saat itu sedang berada di salah satu Cafe, harus pasrah diseret oleh para petugas kepolisian dan dijebloskan ke dalam penjara. Ibunya yang mendengar berita itu pun terkena serangan jantung dan akhirnya meninggal dunia. Semua harta yang susah payah ia kumpulkan untuk kesembuhan ibunya, telah sia-sia. Saat itulah Jackal tersadar dengan kebodohannya, dan membuatnya memutus hubungan dengan Vinz. Ia memang tidak membongkar kejahatan pria itu, tapi ia juga tidak mau berhubungan lagi dengan mereka. Hal terakhir yang ia dengar, komplotan pria botak itu akhirnya dipenjara tapi karena kasus lain. Sekeluarnya dari penjara, tidak ada yang mau mempekerjakannya. Namanya telah rusak dan ia sendiri juga menghancurkan masa depannya. Pendidikan yang sedang ditempuhnya berhenti di tengah jalan. Semua harta bendanya disita oleh negara. Ia sendiri baru dibebaskan setelah menjadi sapi perah pemerintah untuk meringkus para penjahat cyber selama beberapa tahun. Setelah selesai, ia ditendang begitu saja ke jalanan. Janji yang awal mula diumbar mereka, tidak ada satu pun yang terealisasikan. Meratapi nasibnya yang buruk, pria itu terduduk di salah satu kursi taman. Sudah dua hari, ia hanya makan seadanya. Perutnya lapar, badannya letih berjalan kaki di tengah teriknya matahari. Ia mulai merasa marah. Di tangannya terlihat seberkas dokumen lamaran yang telah ditolak oleh semua tempat yang didatanginya. Gemetar, pria itu memegangnya erat dan akan merobeknya saat terdengar suara dari arah punggungnya. "Itu lamaranmu? Berikan padaku." Kata-kata itu membuat Jackal menoleh. Orang di belakangnya terlihat memutari bangku untuk duduk di sampingnya. Matahari sore awalnya membuat pria itu tidak dapat melihat wajahnya tapi setelahnya, barulah ia melihat profile samping pria asing itu. Terlihat garis rahangnya tegas dan hidungnya lurus. Rambutnya hitam legam dan ia memakai kacamata. Saat menoleh padanya, mata gelapnya tajam dan memancar cerdas. "Namamu Jack Aloysius Berger, aka Jackal? Si oportunis yang mengambil celah dalam setiap kesempatan yang dilihatnya. Kau orang itu, kan?" Pernyataan itu membuat Jackal menelan ludahnya. Selama ini, tidak ada yang tahu nama aslinya. "Siapa kau?" Senyum sinis terlihat di bibir pria asing itu dan dia mengulurkan tangannya. "Namaku Abraham Reiss. Tapi kau mungkin lebih mengenalku dengan A10-R." Setelah nama pria itu terserap dalam otaknya, kedua mata hijau Jackal membelalak lebar. "Kau...!" "Bagaimana kabarmu setelah menetap di hotel prodeo selama beberapa tahun?" "Kau...!?" Penuh kemarahan, Jackal berdiri dan langsung melayangkan tinjunya ke arah pria itu. Dan tanpa diduganya, tubuhnya dengan mudah dirobohkan hanya dengan beberapa pukulan. Juga tendangan. Lagi. Pria ini lagi-lagi dengan mudah mengalahkannya. Tidak hanya telah kalah dalam bidang yang selama ini menjadi kebanggaannya, ternyata ia juga dikalahkan lagi dalam pertarungan secara fisik. Meringkuk kesakitan di rerumputan, ia hanya bisa pasrah saat melihat kaki-kaki yang telah menendangnya itu datang mendekatinya dan berhenti tepat di depan wajahnya. Ia menutup matanya, bersiap menyambut rasa sakit yang siap untuk diterimanya. Selama beberapa saat tidak terjadi apa-apa, membuat Jackal memberanikan diri membuka satu matanya. Ternyata pria tadi telah berjongkok di hadapannya, dan rautnya tampak bingung. "Kau sedang apa?" Mengerjapkan kedua mata hijaunya, Jackal bertanya lirih. "Bukannya kau mau menghajarku lagi?" Terkekeh geli, pria itu malah berdiri dan mengulurkan tangannya. Ragu-ragu, Jackal menyambut uluran itu dan tubuhnya ditarik kuat untuk berdiri. Setelah stabil, ia menatap mata gelap di depannya dan menanyakan hal yang selama ini mengganggu otaknya. "Sebenarnya siapa kau?" Senyum kecil muncul di bibir pria itu yang setelah dilihat-lihat, ternyata sangat tampan. Tapi ketampanan itu tersembunyi dalam rautnya yang selalu menunduk dan tertutup kacamata berbingkai tebal. Caranya dalam berpakaian pun tampak asal. Kemeja di luar kaos oblong, dengan celana jins lusuh. Pria itu mengulurkan selembar kartu nama. "Namaku Abraham Reiss. Aku mencari seorang partner untuk membangun sebuah perusahaan start-up. Dan aku tertarik dengan kemampuanmu. Apakah kau berminat?" Menerima kartu nama itu, Jackal menelusuri penampilan pria di depannya yang sangat tidak meyakinkan. "Kau memiliki perusahaan?" "Kau tertarik?" "Gajinya?" "Cukup menjanjikan. Tergantung performance-mu nantinya." Menghela nafasnya, Jackal tahu ia tidak punya pilihan lain. Dengan sejarahnya yang pernah masuk penjara, tidak akan ada yang mau mempekerjakannya. Namun meski butuh pekerjaan, tapi ia tidak mau kembali ke jalan hitam seperti dulu lagi. Ia sudah kapok. "Bisnismu melanggar hukum?" Pertanyaan itu membuat pria di depannya bersedekap, salah satu tangannya di dagunya. Tampak berfikir. "Hmm... Tergantung sebenarnya." Melengos, Jackal mengulurkan kembali kartu nama itu. "Maaf. Aku tidak tertarik untuk terlibat dalam bisnis kotormu. Lebih baik-" "Bisnis kotor? Memangnya kau mengira bisnisku bergerak di bidang apa?" Tangan Jackal masih menggantung di udara. "Satu-satunya yang tertarik dengan kemampuanku hanyalah mereka yang ingin membobol rekening seseorang. Kau salah satunya?" Mata gelap di depannya tampak bersinar cemerlang. "Untuk urusan membobol, aku memang salah satunya. Tapi tenanglah, bisnisku bukan seperti itu. Dan aku jamin, tidak akan ada hukum yang dilanggar. Setidaknya, tidak dengan cara yang disengaja." Kening Jackal mengerut tidak mengerti. Tangannya ia tarik kembali dan berada di sisinya. "Aku masih tidak mengerti. Sebenarnya, kau ini ingin membangun perusahaan apa?" Kali ini, pria itu menatap Jackal dan senyum sumringah terukir di mulutnya. "Aku akan membangun perusahaan security kelas dunia. Yang tidak hanya berfokus pada penyediaan jasa keamanan secara fisik, tapi juga cyber security. Fokusku adalah perusahaan-perusahaan skala besar. Kau dan aku, kita bisa menjadi tim yang hebat. Bagaimana menurutmu? Kau tertarik?" Mengerjap takjub, Jackal bertanya dengan suara mencicit. "Kenapa kau memilihku?" "Karena hanya kau-lah yang mampu bertahan dari seranganku ketika itu. Kau mampu membuatku merasa tertantang kembali, dan aku membutuhkan orang seperti itu di sampingku." Pria itu kembali mengulurkan tangannya. "Kau tertarik?" Menatap pria di depannya, kepala Jackal diselimuti dengan pemikiran bahwa pria ini penuh dengan impian yang omong kosong. Membangun perusahaan tidaklah semudah menjentikkan jari. Tapi mengetahui tidak ada pilihan lain, akhirnya ia menyambut juga uluran tangan itu. Yang penting dia bisa makan. "Baiklah. Aku akan bekerja untukmu. Yang penting perutku bisa terisi dengan sesuatu yang halal." Sama sekali tidak ada dalam pikiran Jackal bahwa jangka waktu kurang dari 5 tahun, perusahaan mereka dapat berkembang pesat dan berhasil memiliki beberapa klien besar dari seluruh dunia. Insting pria yang menjadi partnernya sangat mengerikan. Analisanya tajam dan keputusan yang diambilnya hampir selalu tepat, karena telah didasari pertimbangan dari data-data yang akurat. Orang yang awalnya diremehkannya ini pun, ternyata adalah anak dari salah satu orang terkaya di Amerika. Tapi bukan semua itu yang membuatnya kagum dan memberikan loyalitasnya pada pria ini. Pria bernama Abraham Reiss adalah satu-satunya orang yang telah menyelamatkannya dari jurang keputusasaan. Ia akhirnya memiliki semangat untuk berjuang lagi dan juga berhasil membangun reputasi baru di atas nama baiknya yang telah hancur. Semua yang dicapainya sekarang adalah karena pria itu. Tidak akan ada yang dapat menggoyahkan kesetiaannya untuk atasannya itu. Suara getaran dari saku jasnya, membuat Berger tersadar dari lamunan masa lalunya. Mengeluarkan benda pipih itu, alisnya berkerut saat membaca ID di layarnya. Menempelkan ponsel di telinganya, pria itu mulai berjalan pelan ke arah pintu. "Kau mau kemana, Jack?" Pertanyaan itu menghentikannya. Saat menoleh, ia melihat Bram yang sedang duduk anteng di tempat tidur dan menunggu suapan dari isterinya. Tampak raut Anna meminta Berger untuk mengeluarkannya dari situasi ini. Ekspresi wanita itu terlihat panik dan tidak sadar kalau di belakangnya, mata gelap suaminya melotot ke arah temannya dan menyuruhnya untuk segera pergi dari sana. Menghela nafasnya dalam, Berger memutar matanya dan langsung keluar dari sana. Setelah menutup pintu di belakangnya rapat, barulah ia menjawab panggilan itu. "Halo, Vinz. Kau mendapatkan sesuatu?" Suara Vinz terdengar tegang di seberang sana. "Ada hal yang ingin kubicarakan. Penting." Setelah terdiam sejenak, barulah Berger menjawab. "Beri aku beberapa jam. Aku akan segera ke sana."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN