= Kembali ke rumah sakit St. Collins. Masa sekarang. Jam 03.30 =
"Apa yang terjadi? Kami mendengar seperti ada perdebatan di dalam kamar."
Tampak Anna dan dr. Hills berdiri di depan Berger yang terlihat tegang. Tangan pria itu terkepal kencang dan ia memandang pria di tempat tidur. Mata hijaunya sedikit melotot ketika melihat ekspresi temannya itu.
Bukannya menjawab pertanyaan, Bram malah memandang Anna dengan tatapan polos. Suaranya terdengar tidak berdosa saat ia bertanya ragu-ragu. "Baby...?"
Kali ini, eskpresi sangat kaget terlihat di wajah Anna. Kedua alisnya terangkat naik dan ia melirik Berger. Pria itu terlihat salah tingkah dan tidak tahu harus mengatakan apa. Ia mengangkat kedua bahunya. Saat ini, ia sama sekali tidak tahu apa yang ada di otak temannya itu. Sejujurnya, ia memang seringkali tidak tahu.
Menatap kembali ke suaminya. Anna bertanya dengan nada cukup tinggi. "Baby?"
Mendongak menatap Berger dan Anna bergantian, kembali pria itu mengeluarkan suara polosnya.
"Kata Berger, kamu adalah isteriku? Kita menikah hampir 2 tahun lamanya. Benarkah?"
Hampir saja makian keluar dari mulut wanita itu, ketika ia sadar dr. Hills berdiri di belakangnya. Berusaha mengatur nafasnya yang mulai menderu, Anna menyilangkan kedua tangan. Ia mengangguk kaku.
"Benar. Kita telah menikah. Kau tahu siapa namaku?"
Tepukan pelan di punggungnya membuat tubuh Anna sedikit terhuyung. Ia menoleh ke samping dan melihat dr. Hills mengerutkan kening tidak suka.
"Kenapa?"
"Apa yang kau lakukan, Ann? Dia suamimu, kan? Seharusnya kau memeluknya setelah dia sadar, dan bukan berkata kasar seperti itu."
Raut Anna berubah cepat. "Apa? Kenapa aku harus-"
"Uh!"
Perdebatan mereka terhenti dan ketiganya menoleh bersamaan.
Di tempat tidur, tampak Bram menunduk dan memegang kepalanya. Ekspresinya terlihat kesakitan. Dokter Hills yang melihatnya langsung panik dan mendekatinya.
"Ben! Ben, kau tidak apa-apa?"
Cekatan dr. Hills memeriksa pasiennya. Tampak Anna berdiri di belakangnya dan mukanya kosong. Ia masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.
Mengangkat kepalanya, Bram mengangkat salah satu tangannya dan berkata lemah. "Ann..."
Meski kebingungan, tapi wanita itu refleks meraih tangan suaminya. Ia cukup kaget ketika pria itu menarik tangannya kencang dan memeluk pinggangnya erat-erat.
Tidak nyaman, Anna menggeliat dan berusaha melepaskan diri. "Ben! Lepaskan-"
"Ann! Diamlah! Saya berusaha melihat luka di kepalanya!"
Pelototan mematikan dari dr. Hills membuat nyali wanita itu menciut. Bahu Anna terangkat saat ia menarik nafas marah. Dengusan kasar terdengar dari lubang hidungnya yang melebar. Kedua pipinya merona.
Pasrah, wanita itu berusaha mengacuhkan tangan Bram yang melingkari pinggulnya. Salah satu tangannya otomatis berada di bahu pria itu yang kuat.
"Apa yang dokter lakukan?"
Sang dokter tampak fokus dengan pekerjaannya dan memberikan senter kecil pada Anna.
"Tolong senter bagian itu. Saya tidak bisa melihatnya jelas."
Perhatiannya yang teralih, membuat Anna berkonsentrasi membantu dokter tua itu. Sama sekali tidak sadar, kalau tangan Bram dengan kurang ajarnya berpindah ke area b*kongnya. Pria itu semakin menempelkan kepalanya di perut wanita itu.
Berger masih terpaku di tempatnya dan hanya menatap pemandangan di depannya. Tapi saat melihat pria di tempat tidur itu mengangkat pandangannya, ia tidak tahu harus tertawa atau marah.
Senyuman kecil dan licik yang terlihat di mulut temannya itu membuat Berger memutar matanya ke atas, kepalanya menggeleng pelan. Dalam hatinya, ia mulai menyesal memaksa Bram untuk datang ke CNC dan bertemu dengan saudara kembarnya. Sepertinya, sifat manipulatif memang diturunkan di keluarga Collins.
***
= Blackrock Bar. Jam 05.30 =
Di pagi yang dingin itu, tampak sebuah mobil pelan terparkir di samping jalan. Asap yang keluar dari knalpot terlihat putih dan tebal. Cuaca yang membekukan membuat situasi di sekeliling masih terlihat sunyi dan senyap. Tampaknya banyak orang malas keluar rumah di jam-jam seperti ini. Apalagi di hari sabtu begini.
Menepuk seseorang di depannya, orang yang duduk di belakang memberikan instruksi dengan nada rendah.
"Tunggu di sini. Kalau aku tidak keluar dalam waktu setengah jam, kau tahu apa yang harus dilakukan."
Pria di depan kemudi itu tampak khawatir. "Anda yakin akan melakukan ini, bos? Bisa saja dia-"
Kepala pria yang berambut cepak itu menggeleng. "Dia yang langsung menghubungiku, Ilya. Percuma aku menghindar darinya. Kau tahu sendiri dia bisa melakukan apa."
Meski tidak setuju, tapi pria bernama Ilya mengangguk. "Aku mengerti."
Mer*mas bahu pria itu, kembali si bos mengingatkan. "Lakukan yang kukatakan tadi, kalau aku tidak keluar dalam waktu setengah jam. Kau mengerti?"
Kembali kepala Ilya mengangguk. Setelah itu, pria cepak itu membuka pintunya.
Udara yang dingin langsung masuk ke dalam mobil. Berdiri di depan pintu yang terbuka sejenak, pria itu menutup pintunya pelan. Menoleh ke kiri-kanannya, ia merapatkan mantel tebalnya. Kabut putih keluar dari hidung dan mulutnya saat ia menarik nafasnya panjang. Menepuk atap mobil beberapa kali, barulah pria itu melanjutkan langkahnya menuju sebuah gang sempit yang tampak gelap di samping jalan.
Dari sebuah jendela kecil di lantai atas, seseorang tampak mengawasi pergerakan pria di jalan itu.
"Dia sudah datang."
"Bagus. Sambut dia di ruangan yang biasa."
Sementara itu di bawah, pria cepak tadi berhenti di sebuah pintu yang tertutup. Kepalanya menoleh ke sekitarnya dengan waspada. Setelah menghela nafasnya beberapa kali, barulah ia mengetuk pintu kayu itu dengan ketukan yang terdengar berirama.
Tidak lama, terdengar seruan teredam dari dalam. "Blackrock."
"Elbrus Two."
Suara kunci yang dibuka terdengar, dan pintu kayu itu pun terbuka. Di baliknya, terlihat seorang pria tinggi besar. Pria itu mengenakan kaos lengan pendek berwarna hitam, menampilkan otot-otot tangannya yang dapat membuat nyali siapa pun menciut dalam sekejap.
Tanpa suara, pria besar itu menunjuk sebuah tembok di depannya dan dari kegelapan, muncul beberapa orang di belakangnya.
Cukup terkejut dengan situasi itu, tanpa daya pria cepak itu pun menuruti kemauan si pria besar. Ia akhirnya berdiri di depan tembok dan membiarkan salah satu dari mereka memeriksa tubuhnya. Menemukan senjata berlaras pendek dan sebilah pisau tentara, sang pemeriksa melucuti kesemuanya dan menyerahkan benda-benda itu ke rekan yang berdiri di belakangnya.
Melihat situasi yang cukup berbahaya, salah satu dari mereka mengeluarkan senjata apinya pelan dari jasnya dan menyilangkannya di depan perutnya. Menunggu. Sedangkan yang lain dalam posisi waspada.
Pemeriksaan itu berlangsung beberapa saat. Memastikan sudah tidak ada benda berbahaya lagi, barulah sang pemeriksa berdiri dan mengangguk. Ia menyerahkan mantel dan jas yang dibukanya tadi pada tamunya.
Pria besar si penjaga pintu memberi tanda pada pria cepak itu, dan keduanya berjalan memasuki ruangan yang cukup luas. Melewati ruangan yang berupa bar itu, mereka menaiki tangga menuju lantai kedua dan akhirnya berhenti di salah satu pintu yang tertutup.
Si penjaga pintu mengetuknya dan terdengar jawaban dari dalam. "Masuk."
Membuka pintunya, pria besar itu mempersilahkan tamunya memasuki ruangan.
Dengan pelan, pria cepak itu masuk ke ruangan dan berhenti di tengah-tengah. Di depannya terlihat seorang pria plontos yang sedang menyulut cerutunya. Posisinya membelakanginya dan berdiri di depan satu-satunya jendela kecil yang ada di ruangan itu. Di sekelilingnya beberapa pria duduk dan tampak cuek, tapi jelas aura yang ada di tempat itu tegang dan penuh intimidasi.
Meletakkan mantel dan jasnya di salah satu kursi, sang tamu menatap kembali tuan rumahnya yang masih belum mau untuk menoleh dan menyambutnya.
"Vinz."
Masih sibuk dengan cerutunya, Vinz hanya bertanya pelan. "Apa yang sudah kau lakukan, Sergey?"
Memasukkan dua tangan ke saku celananya, Sergey menatap punggung Vinz yang lebar.
"Apa aku punya kesempatan untuk menjelaskannya?"
Kepala Vinz sedikit meneleng. Hembusan asap tebal cerutu terlihat keluar dari mulutnya yang membuka.
"Apa penjelasanmu cukup berharga untuk aku dengarkan?"
Menjawab pertanyaan itu, Sergey mengangguk. "Mungkin bagi Vasiliev biasa saja, tapi tidak bagi Komarov."
Akhirnya Vinz membalikkan tubuhnya. Ia menyenderkan punggungnya yang bidang di tembok dan menatap Sergey di depannya beberapa saat. Ia kemudian berkata kasar.
"Tinggalkan kami."
Beberapa pria yang ada di sana saling bertatapan dan tanpa menanyakan apapun, mereka pun berdiri dan keluar dari ruangan itu. Meninggalkan keduanya di dalam.
Mematikan api cerutunya di asbak kristal, Vinz pun menghempaskan tubuh besarnya di salah satu sofa. Ia merentangkan tangan lebarnya di kepala sofa dan matanya memberi tanda agar Sergey duduk di depannya.
Menurut, pria cepak itu duduk di kursi yang telah tersampir mantel dan jasnya tadi. Ia sedikit menunduk dan memangkukan kepalan tangan di kedua pahanya.
"Aku mendengarkan penjelasanmu, tapi belum tentu akan menerimanya. Karena kau sudah melewati batas kesepakatan. Dan tindakanmu ini berpotensi mengacaukan semuanya. Kau mengerti?"
Sergey mengangguk kaku. "Sangat mengerti."
Sejenak suasana hening, sampai pria cepak itu bersuara lagi. "Kau masih ingat Viktoriya?"
Kening plontos Vinz berkerut. "Viktoriya, adik tirimu?"
"Ya."
"Ada apa dengannya? Bukannya Ria ada di Amerika sekarang ini?"
Mer*mas kedua kepalan tangannya lebih kuat, Sergey berkata lirih. "Dia sudah meninggal."
Tampak berita itu membuat Vinz terdiam. Ia memang tidak mengenal Viktoriya secara personal, tapi cukup tahu Sergey menyayangi adiknya itu walau mereka hanyalah saudara angkat.
"Apa yang terjadi?"
Kedua mata gelap Sergey tampak berkaca-kaca. "Benjamin Collins telah menghamilinya dan membiarkannya m*ti, dengan bayi masih berada di dalam perutnya."
Berita mengejutkan itu membuat Vinz tidak mampu berkata-kata. Ia melihat setetes air mengalir di pipi pria berwajah keras di depannya. Tampak mata Sergey terangkat dan menatap tajam padanya.
"Bagaimana menurutmu, Vinz? Apakah sebagai kakak, aku membiarkan kem*tian adikku berlalu begitu saja. Atau, setidaknya melakukan sesuatu untuk dapat membuatnya sedikit tenang di alam sana?"
Sama sekali pertanyaan itu tidak dapat dijawab Vinz.