Chapter 13 - Her past

1776 Kata
Ditinggalkan di dalam kamar, Anna terperangah. Ia benar-benar merasa marah. "Babe. Makananku?" Menoleh kesal, ia menatap raut suaminya yang seolah tidak memiliki salah sama sekali. Ia menghentakkan sendoknya ke piring, dan hampir berdiri saat tangan kuat Bram mencengkeram lengannya. "Ann! Kamu mau kemana?" "Kau makanlah sendiri, Ben! Aku tidak bisa mengurusmu!" Ekspresi pria di depannya yang berubah, membuat Anna mulai merasa bersalah. Apalagi saat melihat kedua mata gelap itu sedikit berkaca-kaca dan tampak sendu. Otaknya langsung teringat pada kata-kata dr. Hills tadi, yang memperingatkannya untuk tidak kasar pada suaminya yang amnesia. Karena hal itu dikhawatirkan malah dapat membuat pria itu semakin sulit untuk mengingat. "Kamu... benci aku, Ann?" Entah kenapa, pertanyaan tanpa dosa itu membuat Anna tergagap. "Ti- Tidak. A- Aku-" Tatapan Bram terlihat nanar dan ia meraih piring dari isterinya sedikit kasar. Ia tidak memandang wanita itu. "Kamu benar. Pulanglah, Ann. Sudah cukup kamu mengurusku di sini." Melihat tangan suaminya yang sedikit gemetar saat memegang piring, membuat Anna terdorong merebut benda s*alan lagi kembali. Saat akan menariknya, ternyata pria itu memegangnya kencang. "Lepaskan, Ben. Biar aku yang membantu untuk menyuapimu. Setidaknya sampai tanganmu sembuh." Berusaha menariknya dengan tangannya yang terluka, pria itu menggeleng pelan. Ia masih belum mau memandang isterinya. "Tidak usah. Kamu pulang saja, Ann. Aku bisa mengurus diriku sendiri." Perdebatan tidak penting ini mulai membuat Anna naik pitam. Entah kenapa, tapi pria yang menjadi bos besarnya ini memang selalu membuatnya jengkel dari dulu. Terutama sejak mereka menjadi suami-isteri. Tapi meski hubungan mereka didasari kontrak, ia tidak membenci pria itu sampai harus menyakitinya. Ben tetaplah atasannya dan juga suaminya di mata umum. Ia tetap harus menjaga martabatnya sebagai isteri. "Sudahlah, Ben! Aku bilang lepaskan piring itu! Biar aku yang menyuapimu!" Tarik-menarik piring itu menjadi lebih brutal sampai suatu ketika, pria itu dengan sengaja menumpahkan isi piring itu ke bajunya sendiri tanpa disadari Anna. "Oh!" Tangan wanita itu terangkat dan salah satunya memegang piring yang telah kosong. Ia melihat penampilan pria di depannya yang berantakan, dan tampak ada makanan yang menempel di sela-sela janggut tebalnya. Merasa bersalah, Anna segera menyimpan piring itu dan mengambil lap tangan. "Oh, lihatlah! Apa kataku tadi!" Terburu-buru, ia membersihkan pakaian suaminya yang ternyata telah kotor dengan sia-sia. "Buka pakaianmu, Ben." Memandang Anna, mulai muncul semburat merah jambu di pipi pria itu yang tertutup jenggotnya. Suaranya terdengar serak saat ia bertanya, "Kenapa?" Sibuk memilih salah satu baju suaminya dari lemari, Anna menjawab tanpa menoleh. "Bajumu kotor. Harus diganti. Cepat bukalah!" Meski canggung, tapi Bram menuruti perintah isterinya. Ini adalah kali pertamanya ia bert*lanjang d*da di depan seorang wanita, dan cukup malu. Pria itu tahu badannya bugar karena latihannya selama ini, tapi ia tidak tahu penilaian wanita itu pada tubuhnya nanti. Jantungnya bertalu-talu di d*danya. Selama ini pengalaman kencannya hanya sebatas berc*uman dan meraba-raba saja. Semuanya berakhir ketika para wanita itu mulai mengelus senjatanya. Bukannya membuat benda itu menegang, sentuhan itu malah membuatnya langsung mundur. Kencan itu berakhir tanpa pernah dimulai sama sekali, dan Bram selalu pulang dengan perasaan bersalah. Ia seperti telah berkhianat pada seseorang. Benaknya kerap dipenuhi oleh janjinya pada seseorang bertahun-tahun lalu, yang membuatnya sulit untuk menjalin hubungan. Baru setelah berkenalan dengan Anna-lah, pria itu merasa membutuhkan seseorang. Ia juga mau untuk mencoba bersentuhan dengannya, bahkan menikahinya. Mer*mas gumpalan pakaian kotor di tangannya, kepalanya menunduk. Pria itu baru sadar isterinya telah ada di depannya, saat benda itu ditarik paksa dari genggamannya. Ketika ia menengadah, apa yang dilihatnya membuat kepercayaan dirinya bangkit. Wajah cantik isterinya dipenuhi semburat merah sampai ke lehernya. Jelas wanita itu salah tingkah saat melihat tubuh suaminya. Wanita itu menyerahkan baju bersih di tangannya tanpa mau menatap Bram. "Pakai ini." Menatap pakaian di tangan isterinya, benak Bram mulai dipenuhi oleh berbagai akal bulus. Kesempatan ini tidak akan datang lagi. Memberanikan dirinya, pria itu mencoba mengeluarkan jurus manipulatifnya. Selama ini, jurusnya itu berhasil menipu banyak orang di perusahaan. Masa sama isterinya sendiri, dia tidak bisa? "Tanganku sakit. Aku tidak bisa memakainya sendiri." Kata-kata itu berhasil membuat Anna menoleh kembali. Keningnya berkerut dan tampak jengkel. "Kau tadi bisa melepas pakaianmu dan sekarang kau bilang, tidak bisa memakainya sendiri?" Mengangkat tangan kanannya, suara Bram terdengar mengeluh. "Mudah untuk melepasnya tadi, tapi memakainya butuh tenaga. Dan sekarang, tanganku sakit." Memicingkan matanya, wanita itu menggeram. "Ben. Jangan main-main denganku!" Mend*sah lelah, pria itu menatap isterinya dengan pandangan menuduh. "Tanganku sakit karena kamu tadi memaksa menarik piringku, Ann. Aku juga tidak akan meminta bantuanmu kalau memang tidak perlu." Seperti dugaannya, wanita itu membisu. Akhirnya dengan terpaksa, Anna setuju untuk membantu suaminya memakai pakaiannya. Mengatur pakaian itu di tangannya, wanita itu berkata ketus. "Diam di sana. Aku akan memakaikan baju ini ke kepalamu." Mengerjapkan kedua matanya genit, Bram berkata polos. "Aku sudah diam dari tadi." Tidak menanggapi kelakuan suaminya, dengan sedikit kasar Anna memasukkan baju melalui kepala Bram. "Angkat tanganmu." Pria itu mengangkat tangan kirinya dan wanita itu kembali membantunya. "Satunya." Bram mengangkat tangan kanannya, dan berpura-pura merasa berat saat melakukannya. "Angkat lebih tinggi, Ben!" "Sakit ini, babe. Kamu bantu aku, dong!" Kembali geraman terdengar dari tenggorokan Anna, tapi salah satu tangannya memegang lengan suaminya. Meski kesal, tapi sentuhannya hati-hati. Ia tidak mau sampai membuat luka di lengan pria itu terbuka. Merasakan kulit tangan suaminya yang hangat dan tampak dihiasi bulu-bulu halus berwarna hitam, pipi Anna kembali terasa panas. Berusaha mengacuhkan getaran aneh itu, ia membantu pria itu merapihkan bagian punggungnya dan menarik ujung kaosnya. Posisi ini membuatnya seolah memeluk Bram. Mengambil kesempatan dalam kesempitan, lelaki itu langsung memeluk isterinya erat dan menghempaskan tubuh keduanya ke tempat tidur. "Ben!" Jeritan wanita itu langsung ditutup benda kenyal yang mendarat di mulutnya sendiri. Mata Anna membelalak lebar, ketika pria di atasnya mulai menc*uminya. Dorongannya di bahu pria itu sama sekali tidak berguna. Selama beberapa saat, ia akhirnya membiarkan suaminya berbuat seenaknya. Sentuhan pria itu yang lembut di bibirnya membuatnya sedikit terbuai dan perlahan, ia menutup matanya. Ia mulai membalas c*iuman itu tanpa sadar, sampai tangan kiri Bram mengelus d*danya. Sentuhan itu membuat rasa panik mulai menjalari punggungnya. Refleks Anna mencengkeram pergelangan tangan kiri Bram dan langsung membalikkan posisi mereka. Tangan kirinya pun otomatis mencekik leher pria yang ada di bawahnya dan tatapannya terlihat nyalang. Melihat pandangan Anna yang tidak fokus, Bram sadar wanita ini dalam kondisi tidak baik. Meski cekikan itu mulai menekan jalur nafasnya, tapi ia berusaha untuk tetap tenang dan mengendalikan situasi. "Anna?" Lebih mer*mas leher jenjang suaminya, telinga Anna sudah tidak bisa mendengar apapun. Bram memegang pergelangan isterinya dan berusaha tidak menyakitinya. Di sisi lain, ia juga menyadari situasi yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan juga wanita itu. Isterinya adalah mantan bodyguard terlatih. Ia bisa saja memb*nuh seseorang dengan tangan kosong dan dalam kondisnya yang tidak sadar seperti ini, Anna dapat menyakiti seseorang tanpa diinginkannya. Pria itu menyadari, kalau ia harus segera menenangkan wanita ini sebelum terjadi sesuatu. "Ann-" "APA YANG KAU LAKUKAN!?" Teriakan dari arah pintu terdengar menggelegar dan dalam waktu singkat, tubuh mungil Anna sudah terseret dari atas Bram dan terlempar ke samping. Hampir saja salah satu tangan Berger akan mendarat di pipi wanita itu, saat pergelangannya tiba-tiba ditahan dengan sangat kuat. "BERGER!?" Selama beberapa saat, tiga orang dalam ruangan itu seperti berada dalam ruangan tanpa waktu. Semuanya diam dalam posisi masing-masing. Berger dengan bogemnya, yang tertahan karena cengkeraman Bram di tangannya. Sedangkan Anna tampak terduduk di lantai dan matanya nanar. Raut ketiganya tegang dan deru nafas terdengar nyaring di ruangan yang tiba-tiba senyap itu. Keheningan itu terpecah saat terdengar suara ragu-ragu dari arah pintu yang terbuka. "Tuan-tuan?" Bram-lah yang sadar pertama kali. Ia langsung melepaskan Berger dan tanpa diduga, Anna juga berdiri dan segera melesat dari sana. Melihat isterinya yang lari seperti kijang ketakutan, pria itu tahu harus ada yang mengawasi wanita itu. Dan tidak mungkin dirinya, karena seluruh tubuhnya masih terasa sakit. "Leon! Kejar dia! Jangan sampai dia hilang dari pandanganmu!" "Ba- Baik, Tuan Reiss!" Melihat sosok anak buahnya menghilang dari pandangan, akhirnya Bram terduduk di tepi tempat tidur dan memegang rusuknya. Tekanan dari Anna tadi mungkin sedikit membuat cederanya memar lagi. Menatap Berger yang masih membeku, pria itu sedikit membentaknya. "Tutup pintunya, Berg! Kita harus bicara!" Setelah menenangkan diri dan Bram telah kembali berbaring, barulah ia menoleh pada temannya. Ekspresi Berger tidak baik dan terlihat cemberut. Jelas, bawahannya itu sangat marah padanya. Menghela nafasnya, pria itu memutuskan melakukan pendekatan halus saat membuka pembicaraan. "Kau tidak memberinya briefing sebelumnya, Berg? Leon tadi memanggilku 'Reiss'." "Aku sudah melakukannya. Dia mungkin lupa." Jawaban ketus itu membuat Bram terdiam. Ia mend*sah lelah dan mulai mengurut pelipisnya. "Apa yang terjadi tadi?" Pertanyaan itu membuatnya menengadah dan menatap Berger kembali. Melihat rautnya yang tampak lebih tenang, Bram akhirnya memutuskan untuk mengatakan sebenarnya. "Aku menc*umnya." "APA!?" "Aku menc*umnya, Berg. Tidak ada yang aneh dari itu." Mengerjapkan mata hijaunya, kepala Berger akhirnya mengangguk kaku. "Kau benar. Tidak ada yang aneh. Toh, dia isterimu sendiri." Terdiam beberapa saat, pria berjas itu kembali bertanya. "Tapi kenapa dia sampai mencekikmu tadi? Maaf saja, tapi tindakannya tadi refleks membuatku ingin menghabisinya, Bram! Dia berniat menyakitimu!" Tidak terpancing kemarahan Berger, raut Bram malah terlihat berfikir. "Ada yang aneh dari reaksinya. Tapi untuk yang satu ini, biar aku yang mengurusnya sendiri. Omong-omong, kau sudah datang sepagi ini. Ada urusan yang perlu segera aku ketahui?" Topik yang beralih itu membuat Berger mengingat tujuan kedatangannya. Tadinya banyak hal yang ingin ia bicarakan bersama Bram. Tapi melihat Anna telah datang mendahuluinya, pria itu mengurungkan niatnya. "Ya. Sebenarnya banyak berita yang harus ku-update. Untuk urusan perusahaan, sejauh ini terbilang cukup aman. Tetap ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan, tapi bisa menunggu. Sedangkan mengenai kejadian yang menimpamu, aku telah meminta tolong Vinz menyelidiki. Dan sudah ada titik terang." Kening Bram berkerut dan ia menyilangkan tangan di depan d*danya. "Vinz? Bukannya dia mantan bosmu dulu? Yang membuatmu masuk penjara?" "Benar. Dia tadi meneleponku dan aku akan menemuinya sekarang." Mendengar itu, kepala Bram mengangguk. "Baiklah. Oh ya. Kau membawa permintaanku tadi malam?" Menyerahkan tas ransel dari bahunya, Berger mendengus. "Baguslah kau sudah bisa bekerja lagi. Aku cukup kewalahan harus menangani dua hal sekaligus. Belum lagi masalah yang ditinggalkan saudaramu itu." Tersenyum menerima tas itu, Bram menepuk ranselnya. "Terima kasih, Berg. Karena sudah membantuku." Berdiri dari duduknya, Berger merapihkan jasnya. "Aku akan ke tempat Vinz dulu sebentar, sebelum ke CNC. Aku akan mengabarimu lagi. Dan Bram?" "Ya?" Tampak Berger menghela nafasnya. "Jangan terlalu memforsir dirimu. Kau ini baru sadar." Kepala Bram mengangguk dan ia terkekeh. "Jangan khawatir. Aku tahu batasanku. Kau pergilah sekarang." Segera setelah temannya pergi, Bram mengeluarkan laptop-nya dari tas ransel dan juga kacamatanya. Dan dalam waktu singkat, pria itu sudah tenggelam dalam penyelamannya di dunia maya. Tidak ada satu pun yang sadar, kalau hari ini adalah hari sabtu. Yang ada di kepala semuanya adalah banyak urusan yang harus mereka selesaikan secepat mungkin. Tidak ada waktu beristirahat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN