Memegang kemudinya erat, jantung Berger bertalu-talu di d*danya. Kasus terkait Benjamin Collins ini makin lama makin rumit, padahal pria itu sudah meninggal.
Pesan-pesan berantai mulai muncul sejak Ben diangkat menjadi CEO CNC tapi dari hasil penyelidikan, tidak ada yang menjurus ke arah berbahaya. Setelah ditelusuri, semuanya mengarah pada satu orang. Motifnya pun cukup sepele. Kemarahan karena hilangnya pemasukan sejak kehadiran pria itu. Apa yang dilakukan Bram pun sudah cukup untuk memperkokoh kedudukan saudaranya di CNC, membuat tidak ada lagi pihak-pihak yang mempertanyakan kredibilitasnya sebagai pemimpin.
Tapi beberapa tahun setelahnya, muncul ancaman-ancaman lain yang mulai menjurus serius. Beberapa di antaranya membuat Ben merasa takut, dan akhirnya meminta kembali bantuan Bram. Bahkan kali ini, nyawa pria itu akhirnya melayang di lereng gunung bersalju.
Informasi yang dikatakan Vinz tadi sudah menjelaskan, siapa orang yang mengincar nyawa Ben. Dan orang itu juga yang bertanggungjawab terhadap kejadian di Swiss dan juga bandara beberapa hari lalu. Tapi yang menjadi pertanyaan, kenapa hal ini baru terjadi sekarang? Setelah 3 tahun lamanya?
Lagipula yang menjadi pertanyaan, apakah Ben seb*doh itu menghamili seseorang? Berger memang tidak mengenal pria itu secara personal, tapi cukup tahu kalau lelaki itu playboy sejati. Dan tipikal orang seperti itu, maka akan melindungi adik kecilnya seketat mungkin. Dia juga seorang bangsawan dan berasal dari kalangan terhormat. Jika pun mau menghamili seseorang, pasti akan menjadi sangat pemilih.
Keluarga Vasiliev dan Komarov mungkin terkenal di Rusia, tapi tentunya keluarga St. Collins tidak akan mau dilibatkan dengan komplotan mafia. Tidak mungkin Ben bersedia membuat kencan satu malamnya dengan Viktoriya untuk mengarah ke jenjang yang lebih serius.
Sebr*ngsek-br*ngseknya pria itu, Ben tetaplah saudara kembar Bram. Berger tidak percaya kalau kembaran dari teman baiknya akan sekeji itu melakukan kejahatan, yang akhirnya menyebabkan kematian seseorang.
Benak Berger berfikir keras. Ada yang menjadi pemicu terjadinya hal ini, dan ia belum menemukannya.
Satu setengah tahun yang lalu, apa yang telah terjadi? Apa yang saat itu terjadi, sehingga memicu kejadian demi kejadian beberapa waktu ini?
Menginjak pedal gasnya semakin dalam, pria itu memacu mobilnya. Tujuannya adalah CNC. Sepertinya, ia harus rela menghabiskan weekend-nya untuk tenggelam dalam tumpukan dokumen.
***
= Rumah sakit St. Collins. Jam 22.30 =
Pintu ruangan kepala dokter itu terbuka pelan, dan seseorang tampak keluar dari sana.
"Kau jadi menginap di sini?"
Menoleh ke arah dr. Hills, kepala Anna mengangguk dan ia menunduk.
"Ya. Lagipula besok minggu. Tidak ada yang kulakukan di apartemen. Lebih baik aku menjaganya di sini."
Melihat wanita di depannya terlihat galau, dr. Hills menepuk bahu wanita itu pelan. Ia tersenyum.
"Bersabarlah, Ann. Suamimu perlu waktu untuk penyembuhan. Semakin kau bersikap lembut padanya, maka akan semakin membantunya untuk mengingat. Kau juga ingin dia segera kembali ke perusahaan, kan?"
Tanpa mengangkat wajahnya, wanita itu kembali mengangguk. "Ya..."
Setelah terdiam sejenak, ragu dokter itu bertanya. "Bagaimana dengan Yale? Dia menanyakan sesuatu?"
"Aku bisa mengatasinya. Pria itu hanya mementingkan kedudukannya saja. Absennya Ben membuatnya malah merasa senang. Ia tidak peduli apakah Ben masih hidup atau tidak. Semakin lama, aku semakin tidak mengerti jalan pikiran keluarga itu."
"Welcome to the jungle. Kau mungkin baru merasakannya setelah menjadi bagian dari keluarga besar St. Collins. Yang ada di otak mereka hanyalah bisnis dan bisnis. Pasangan dan keturunan, hanyalah alat untuk memperbesar kekuasaan mereka. Saya juga tidak yakin, ada yang namanya 'cinta' di dalam keluarga itu."
Mendengar itu, Anna semakin menunduk. Kedua tangannya sedikit mengepal.
"Anna?"
Mengerjapkan matanya, barulah wanita itu mendongak dan menatap dokter di depannya.
"Saya tahu pertanyaan ini akan terlalu pribadi, tapi saya ingin tahu. Anggap saja keingintahuan seseorang yang sudah tua, yang tidak memiliki lagi sesuatu yang menarik di hidupnya."
Raut Anna tampak melembut. "Apa yang ingin dokter ketahui?"
"Apakah kalian menikah karena cinta? Karena saya melihat, kalau suamimu sangat menghargaimu. Sebelum dan setelah kalian menikah. Gosip-gosip mengenai kelakuannya yang dulu pun perlahan mulai menghilang. Tampaknya kau membawa kebaikan baginya, Ann. Kau sadar itu?"
Perkataan sang dokter membuat wanita itu tertegun. "Apa yang membuat dokter mengatakan itu?"
Terlihat senyum bijak di mulut tua sang dokter. "Begini-begini, saya juga seorang pria. Saya punya seorang isteri dan juga putera-puteri. Dan dari kacamata orang tua, suamimu itu sayang padamu."
Kembali wanita itu tertegun. Berusaha meredakan degup jantungnya yang liar, Anna menepuk lengan si dokter ringan. Bibirnya tersenyum lembut.
"Dokter jangan khawatir. Hubungan antara aku dan Ben adalah hubungan yang saling menguntungkan. Kami saling menghormati, mungkin karena itulah dokter jadi salah sangka. Tapi percayalah dok, aku tidak akan pernah menyakiti suamiku sendiri. Aku sudah berjanji akan menjaganya. Bahkan dengan nyawaku sendiri."
Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, Anna meninggalkan sang dokter yang terpaku di tempatnya.
Setelah menaiki lift dan berjalan di sepanjang lorong VVIP yang sepi itu, ia berhenti di depan sebuah kamar. Tampak Anna tersenyum pada seseorang yang langsung berdiri dari duduknya.
"Nyonya Collins. Selamat malam." Senyum sumringah tampak di mulut pria muda itu.
"Selamat malam, Noah Miles. Jack Berger sudah datang?"
Gembira karena namanya diingat oleh wanita cantik itu, kepala Noah menggeleng antusias.
"Tuan Jack mengatakan tidak akan datang malam ini. Ada sesuatu yang harus dilakukannya."
Mengangguk, Anna memberikan sebuah kotak berukuran cukup besar untuk pria itu.
"Itu untukmu. Karena sudah menjaga suamiku."
Sekali lagi, pria muda itu tampak sangat gembira. "Oh! Terima kasih banyak, Nyonya. Anda baik sekali!"
Wanita itu tersenyum dan meraih gagang pintu di depannya. Ia berkata ramah.
"Baiklah. Kalau begitu, malam ini aku yang akan menemaninya di dalam. Kau mungkin akan baru melihatku pergi besok pagi. Selamat malam, Noah Miles."
"Selamat malam, Nyonya!" Nada suara Noah tanpa sadar meninggi.
Pria yang memegang kotak pizza itu masih berdiri di depan pintu selama beberapa saat dan menghembuskan nafasnya. Betapa inginnya dia memiliki pacar seperti Nyonya Collins. Wanita itu dewasa, pintar dan cantik. Benar-benar wanita sempurna untuk menjadi pasangan Benjamin Collins. Betapa beruntungnya pria itu.
Sampai di dalam, Anna meletakkan tas tangan dan mantelnya di sofa. Di tempat tidur, terlihat suaminya telah tertidur pulas. Laptop masih di sampingnya. Ia juga masih mengenakan kacamatanya.
Memandang pria di tempat tidur, kening Anna berkerut. Ia baru mengetahui kalau Ben ternyata memiliki kacamata berbingkai tebal. Seingatnya, pria itu tidak pernah mengenakan alat bantu apapun ketika ia membaca dokumen-dokumen kerjanya.
Menggelengkan kepalanya, wanita itu berusaha menepis perasaannya. Mungkin ia yang tidak ingat dan juga hal-hal kecil seperti itu, bisa saja terlewat olehnya.
Kehidupan Ben selama ini pun tidak terlalu dipedulikannya. Sebelum dan semenjak menikahinya, Anna juga tidak mengetahui dan tidak peduli seperti apa kehidupan s*ksual pria itu. Mau suaminya berselingkuh di belakangnya, ia juga tidak perlu tahu. Mereka menikah karena kontrak. Titik, dan tidak ada koma.
Hubungan mereka sebenarnya cukup baik beberapa tahun belakangan ini, setelah pria itu berusaha cukup gencar untuk mendekatinya. Ia tidak membenci suaminya tapi untuk menyukainya?
Mengamati profile pria di depannya, Anna cukup tahu diri untuk tidak sampai jatuh dalam pesona pria ini.
Hati-hati, wanita itu merapihkan laptop suaminya dan membuka kacamatanya. Gerakannya meski pelan, ternyata membangunkan pria itu. Tampak mata gelap lelaki itu terbuka dan menatapnya sayu.
"Kamu sudah datang...?"
Menyimpan barang-barang tadi di meja, Anna menjawab pelan. "Tidurlah lagi, Ben. Berger tidak jadi datang. Aku yang akan menemanimu malam ini."
Pria itu malah menggeser tubuhnya, ia membuka selimut tebalnya.
"Kemarilah, Ann."
Ajakan itu membuat Anna terdiam. Ia berdiri tegak dan mengerjapkan matanya.
"Aku akan tidur di sofa saja. Kau-"
Menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya, kening lelaki itu berkerut dan ia terdengar merengek. Pria itu masih menutup erat kedua matanya.
"Aku bilang kemarilah, babe... Ini sudah malam... Jangan berdebat lagi."
Ragu-ragu, Anna menatap sofa yang keras itu. Meski ada selimut tambahan, tapi bahannya tipis dan cuaca malam ini cukup dingin. Ia mungkin akan merasa tidak nyaman nantinya.
"Ayolah, babe... Aku kedinginan ini..."
Mengalah, akhirnya wanita itu duduk di tepi tempat tidur. Ia memandang wajah suaminya yang tampak mengantuk dan matanya masih menutup erat.
"Jangan macam-macam tapi. Kalau kau melakukan hal seperti tadi pagi, aku tidak bertanggungjawab nanti."
Tampak senyuman di wajah mengantuk itu dan ia mengangguk. "Hmmh! Ayo sini!"
Masuk ke dalam selimut yang hangat, Anna sedikit tegang saat tangan suaminya melingkari pinggangnya. Pria itu semakin merapatkan tubuhnya. Punggungnya mulai menyerap hawa panas dari pria di belakangnya.
"Bagaimana? Nyaman?"
Hembusan halus nafas pria di belakangnya, membuat bulu kuduk Anna meremang tapi ia mengangguk.
Semakin menyurukkan wajah ke leher isterinya, lelaki itu mempererat pelukannya yang terasa mantap.
"Bagus. Tidurlah yang nyenyak, babe. Aku akan membangunkanmu nanti."
Selama beberapa saat, mata kelabu wanita itu terbuka lebar.
"Ben?"
"Hmm?"
"Aku minta maaf sudah mencekikmu pagi tadi. Aku-"
Semakin memeluk pinggang isterinya, pria itu mengecup belakang leher Anna dan berbisik lirih.
"Sstt... Sudahlah. Ayo kita tidur, babe. Sudah malam. Besok saja kita bicarakan lagi. Sweet dream, baby."
Kedua mata Anna masih terbuka dan badannya cukup tegang. Tapi setelah merasakan d*sah nafas pria di belakangnya terdengar teratur, barulah ia berani untuk menutup matanya dan merasa lebih tenang.
Tangannya yang terasa dingin tanpa sengaja menyentuh tangan hangat pria yang memeluknya. Menunduk, Anna melihat betapa besar tangan lelaki itu dibanding tangannya sendiri. Tanpa sadar, jari-jarinya mengusap lembut sebentuk cincin yang melingkari jari manis suami yang memeluknya ini.
Mengangkat tangan pria itu yang terasa berat, Anna menyentuhkannya ke d*danya sendiri. Jantungnya terasa berdebar liar tapi kehangatan yang mulai menjalar dari telapakannya, akhirnya membuatnya tenang kembali. Ia semakin menekankan tangan itu dan menutup kedua matanya. Tidak lama, ia pun tertidur.
Tanpa diketahui Anna, kedua mata pria di belakangnya perlahan membuka. Sedikit menyangga tubuhnya, lelaki itu menatap wajah isterinya yang tampak rileks dan mengecup pelipisnya sangat lembut.
Ia semakin memeluk erat wanita itu dan berbisik lembut. "Tidurlah, schatzi... Mimpi indahlah."
Malam itu, pertama kalinya pasangan itu berpelukan dan tidur besama. Dua mahluk nokturnal itu akhirnya menemukan tempat berlabuh, yang membuat keduanya menutup mata dengan perasaan nyaman dan juga aman. Untuk pertama kalinya, keduanya dapat tertidur nyenyak hingga keesokan paginya.