Di pelataran parkir rumah sakit, tampak Anna menelungkupkan kepala di atas kemudinya. Bahunya yang mungil naik-turun tidak teratur. Nafasnya menderu dengan cepat.
Merasa tidak sanggup lagi, ia akhirnya meraih tas tangannya dan merogoh-rogoh panik ke dalamnya. Wanita itu mengeluarkan sebuah botol, dan terburu-buru mengambil satu pil dari dalamnya. Ia menelannya begitu saja. Kepalanya menengadah. Salah satu tangannya menekan kuat titik di antara kedua matanya.
Selama beberapa saat, ia berusaha untuk mengontrol jalan masuk udara dari kedua lubang hidungnya. Tarik... buang... Tarik... buang... Tarik... buang...
Kata-kata yang seperti mantra itu akhirnya membuatnya sedikit merasa tenang. Membuka mata kelabunya lagi, ia mengeluarkan nafas yang panjang dari mulutnya selama beberapa kali. Kedua tangannya masih berada di kemudinya dan mencengkeram erat. Berusaha menyalurkan energi negatifnya ke benda mati itu.
Setelah merasa kontrol dirinya telah kembali, ia membenarkan spion di depannya dan gerakannya tiba-tiba berhenti. Matanya yang terlatih menyadari, kalau seseorang tengah mengawasinya. Tapi saat mengetahui kalau itu adalah orang yang dikenalnya, wanita itu menjadi rileks kembali.
Dengan tenang, ia menyalakan mobilnya dan mulai mengarahkan kendaraan itu menuju kantornya. Sudut matanya menangkap mobil lain mengikutinya, tapi ia tidak peduli.
Ia tidak punya waktu untuk tenggelam dalam pengalaman masa lalunya atau hal-hal tidak penting lainnya. Sekarang. Saat ini. Cukup banyak hal yang harus diselesaikannya di kantor. Belum lagi absennya Ben dan juga Aaron dari perusahaan, yang membuat Anna harus banyak berhubungan dengan Yale sebagai wakil CEO.
Dan ia sama sekali tidak menyukai pria buncit itu.
***
= Zermatt, Switzerland =
"Ada yang ditemukan?"
Orang yang ditanya tampak menggeleng. Di lereng pegunungan itu, terlihat sejumlah orang yang tergabung dengan tim SAR. Mereka semua mengenakan pakaian berwarna cerah, untuk memudahkan penglihatan.
"Yang lain?"
Seruannya disambut dengan gerakan tangan yang mengartikan tidak ada apapun di sepanjang lereng itu.
Tapi sejumlah para petugas masih aktif menyisiri lereng itu, berharap TIDAK menemukan sesuatu. Karena bila menemukannya, maka bisa dipastikan itu adalah m*yat seseorang. Hal ini mengingat waktu kejadian sudah berlangsung 1 minggu dan tidak ada manusia normal, mampu bertahan dalam kondisi cuaca ekstrim seperti ini lebih dari 3 jam. Mereka akan hypothermia dan terburuk, mati membeku kedinginan.
Merasa sudah tidak ada gunanya lagi mereka ada di sana lebih lama, pria tadi mengeluarkan benda semacam HT dari saku jaketnya. Ia mengatur frekuensinya dan baru akan berbicara saat ada suara teriakan seseorang.
Kaget, ia melihat ada seseorang di ujung sana memberikan tanda dan beberapa dari rekannya langsung mengarahkan papan ski-nya mendekati lokasi, yang mulai terlihat seperti kerumunan kecil. Saat ia akhirnya berhasil menyusul, nafasnya terasa tercekat di tenggorokannya.
Di hadapannya, tampak beberapa sosok yang sudah membeku. Dua di antaranya mengenakan pakaian ski berwarna hitam dan lainnya hijau. Salah satu pe-ski berpakaian hitam ditemukan terpisah dengan kepala terluka parah. Sepertinya, ia membentur batu ketika terbawa longsor.
Sedangkan dua lainnya ditemukan berdekatan. Satu berpakaian hitam terbujur dengan posisi kaki yang aneh, dan yang berpakaian hijau dengan sebilah pisau mencuat dari d*danya. Pergumulan tampaknya terjadi di antara mereka dan keduanya meninggal dengan mata membelalak lebar. Sepertinya kejadian longsor itu terjadi bersamaan ketika terjadi pertikaian, dan mereka tidak bisa menghindar.
Salah satu dari petugas menoleh pada atasannya yang baru datang. Tampangnya terlihat tegang. Sadar kalau situasi ini akan memancing pihak-pihak yang lebih berwenang nantinya.
"Kita harus melapor pada bagian pembunuhan, bos."
Mengangguk, pria yang membawa HT pun langsung menghubungi seseorang di sana. Tidak lama, beberapa helikopter dan sejumlah petugas khusus mulai berdatangan di area yang kini tertutup itu.
Kabar itu meski masih rahasia, tapi dengan cepat sampai ke telinga seseorang di belahan dunia lain.
"Kau yakin? Sudah kau konfirmasi identitas ketiganya?"
Mendengar informasi dari orang di seberangnya, kepala botak pria itu mengangguk.
"Komarov sudah tahu?"
Memandang jalanan di bawahnya, ia melihat seseorang berjalan mendekati pintu kayu di samping lorong. Kepala orang di bawah tiba-tiba memandang ke atas. Ke arahnya. Keduanya seolah saling memandang, padahal jelas kaca jendelanya gelap. Membuat orang di bawah tidak bisa melihat apapun di dalamnya.
"Bagus. Kau uruslah segera. Jangan sampai temuan ini memancing para tikus melakukan penyelidikan lebih dalam. Kita tidak butuh kehadiran hewan pengerat sekarang ini. Segera hubungi aku begitu ada kabar lain."
Puas dengan pembicaraannya, pria itu memutus panggilannya. Orang yang tadinya ada di bawah ternyata telah masuk ke dalam dan beberapa menit kemudian, ketukan pelan terdengar di depan pintunya sendiri.
"Masuk."
Tanpa menoleh, pria botak itu sudah tahu siapa yang datang. Dua tangannya yang berotot ada di dalam saku jinsnya. Ia mendengar tamunya berjalan mendekatinya dan berhenti tepat di belakangnya.
"Vinz."
Otak Vinz mencoba memilih dan memilah kata-kata paling tepat untuk menyampaikan berita ini pada sosok di belakangnya. Ia cukup bingung. Apakah akan mengatakannya to the point, atau justru dengan cara yang lebih halus. Ia benar-benar tidak tahu orang ini akan bereaksi seperti apa.
Setelah diam sejenak, ia akhirnya berkata cukup pelan. "Aku sudah mengetahui siapa penyerangnya."
Berita itu membuat Berger menunduk menatap tangannya yang bersarung kulit. Ketika tatapannya kembali naik, yang ada di hadapannya hanyalah pemandangan punggung lebar Vinz. Tubuh pria botak itu menutupi jendela kecil di ruangan itu. Ia masih belum berbalik.
Nada datar yang keluar dari mulut Berger, menandakan antisipasinya. "Salah satu dari keluargamu?"
Terdengar helaan nafas dari pria plontos itu. Kepalanya mengangguk. "Tepatnya, salah satu keluarga jauh."
Ketegangan mulai terasa dalam suara Berger. "Alasan?"
"Personal. Tapi ini ada hubungannya dengan yang dilakukan Benjamin Collins."
Belum mendengar respon apapun dari pria di belakangnya, tubuh Vinz akhirnya berbalik. Melihat tampang Berger yang datar, pria botak itu mengerutkan keningnya.
"Kau tidak kaget dengan berita ini?"
"Sama sekali tidak. Pria itu memang seringkali melakukan sesuatu yang t*lol dalam hidupnya."
Kerutan di kening pria plontos itu semakin dalam. Kepalanya kali ini meneleng, menandakan kecurigaannya.
"Kau yakin? Bukannya kau bekerja untuk orang itu, Jackal? Dan seingatku, kau bersedia memberikan seluruh loyalitasmu pada orang itu? Apa kita membicarakan orang yang sama di sini?"
Senyuman dingin muncul di bibir Berger. "Kau memang pantas menjadi pimpinan Blackrock, Vinz. Aku hanya bisa mengatakan itu padamu saat ini."
Tarikan nafas tajam terdengar dari hidung Vinz. Tampangnya tegang, dan kedua tangannya mengepal.
"Yang kau maksud..."
"Aku tidak bisa menjelaskan apapun sekarang tapi aku minta, agar hal ini dapat dirahasiakan dulu dari semua orang. Termasuk saudara jauhmu itu."
Kembali tarikan nafas tajam terdengar dari lubang hidung pria besar itu. Tampangnya tidak setuju.
"Kau bermain-main dengan malaikat maut, Jackal. Kau tahu kalau untuk soal keluarga, Blackrock tidak akan memberi ampunan. Ini sudah kedua kalinya nyawa pria itu dalam bahaya. Kau yakin akan membiarkannya untuk ketiga kalinya? Karena aku tidak bisa menjamin, kalau percobaan ketiga akan gagal lagi."
Menyilangkan tangan di d*danya, Berger tampak berfikir. Meski ucapan Vinz terdengar mengancamnya, tapi perkataan itu mengandung banyak kebenaran.
Blackrock bukanlah kumpulan preman jalanan biasa. Mereka adalah komplotan yang terorganisir dan dalam skala yang besar, berpusat pada satu organisasi di Rusia sana. Bisa dikatakan, Vinz hanyalah satu dari sekian raja kecil di Amerika. Dan seperti umumnya keluarga, kadang ada saja anak yang tidak mau menurut pada orangtuanya. Salah satunya kasus yang sedang terjadi sekarang ini.
Anomali seperti ini memang sudah bisa diduga, tapi masalahnya yang dihadapinya adalah orang dengan skill yang hampir menyamai atasannya. Apakah ia sanggup menempatkan Bram dalam situasi berbahaya lagi? Sepertinya ada beberapa hal yang harus ia pertimbangkan kembali.
Kepala Berger terangkat. "Apakah ada orang lain di baliknya? Orang yang juga dendam pada Benjamin?"
Kedua mata Vinz mengerjap dan ia bersedekap. Pria itu tampak berfikir.
"Kau benar juga. Aku baru terfikir. Karena kejadian mengenai Viktoriya ini sebenarnya telah berlangsung cukup lama, tapi entah kenapa Sergey baru mengambil langkah sekarang. Pasti ada pemicunya."
"Viktoriya?"
Mend*sah, Vinz akhirnya mengarahkan Berger untuk duduk di salah satu kursi bar. Pria besar itu langsung berdiri di balik meja bar kecil itu dan mulai sibuk meracik sesuatu.
"Aku butuh minum. Seperti biasa?"
Terkekeh pelan, Berger mengangguk. "Seperti biasa."
Memperhatikan Vinz, ia sadar kalau pria botak itu telah terselip lidah. Pria besar itu selalu mencari kesibukan di tangannya, bila ia melakukan kekeliruan. Hal inilah yang membuatnya mudah terbaca bagi orang yang cukup dekat dengannya, tapi tidak bagi yang lain. Dia tidak akan bisa bertahan menjadi pimpinan Blackrock selama hampir dua dekade, bila tidak memiliki kemampuan memimpin yang luar biasa.
Sepertinya masalah ini cukup menyita perhatiannya, sampai membuatnya melakukan kesalahan kecil itu.
Selesai dengan racikannya, Vinz mendorong kuat gelas kecil itu ke hadapan tamunya yang langsung sigap menerimanya. Melirik ke arah Berger yang mulai menikmati sajiannya, pria besar itu meneguk cairan kuning dari gelasnya sendiri.
Sejenak keduanya hanya menikmati minuman di musim dingin, sampai Berger meletakkan gelas kosongnya di meja. Ia menengadah menatap Vinz yang tampak termenung di depannya.
"Kau mau menjelaskan, siapa Viktoriya ini?"
Mempermainkan gelas di depannya, kedua tangan Vinz memegang benda kristal itu erat-erat.
"Viktoriya adalah adik tiri Sergey yang telah meninggal. Selama hidupnya dia tinggal di Rusia tapi sekitar tiga tahun lalu, datang ke Amerika. Tujuannya datang awalnya hanya untuk liburan bersama teman-temannya, sampai ia bertemu dengan Benjamin Collins di sebuah pesta."
"Pesta apa?"
Kepala Vinz menggeleng. "Sergey tidak ingat, tapi sepertinya pesta perusahaan. Viktoriya diundang oleh seorang kenalannya yang bekerja di sana dan terjadilah pertemuan itu. Sejak itu, ia memutuskan tinggal di Amerika dan mencoba melamar bekerja di CNC. Kencan satu malam mereka tampaknya cukup berkesan bagi anak itu, sampai ia rela mengejarnya seperti itu."
Mengetuk-ngetuk meja bar, benak Berger berputar cepat seperti roda di dalam kepalanya. Ia berusaha mengingat informasi apapun yang pernah diberikan Benjamin saat mereka bertemu lagi untuk kedua kalinya.
Masih belum menemukan titik terang, Berger mengangguk pada Vinz. "Teruskan ceritamu."
"Intinya, ternyata pria itu sudah bosan padanya. Ia juga menolak lamaran Viktoriya bekerja di tempatnya. Tapi anak itu memang tidak mudah menyerah. Sepertinya beberapa kali ia datang ke CNC dan kau tahu sendiri para lelaki. Kejadian itu terulang lagi dan kali ini, anak itu hamil."
"Apa yang kemudian terjadi?"
Dengusan kasar terdengar dari mulut Vinz. "Saat mengetahuinya, Sergey menyuruh adiknya pulang ke Rusia. Dia menyuruh Ria melakukan ab*rsi, yang membuat adiknya kabur lagi ke Amerika. Salah satu temannya mengatakan kalau dia menemui pria itu lagi tapi kemudian kehilangan kontak. Beberapa hari kemudian, tubuh anak itu ditemukan mengambang di sebuah sungai."
Cerita ini membuat alis Berger berkerut. Seperti ada yang tidak pas. "Dia b*nuh diri atau dib*nuh?"
Kembali kepala botak Vinz menggeleng. "Tidak jelas. Dari tubuhnya, tidak ditemukan petunjuk apapun. Dia mengenakan bikini dan masalahnya, anak itu tidak lihai berenang. Awalnya kejadian ini diterima sebagai kasus kecelakaan dan keluarga menerimanya. Tapi tiba-tiba sekitar 1,5 tahun lalu Sergey mendapat kabar kalau Viktoriya ternyata masih mengandung, dan seseorang bertanggungjawab atas kematiannya. Dan orang itu adalah Benjamin Collins, sebagai orang terakhir yang ditemuinya."
Salah satu tangan Berger mengepal. "Siapa yang mengatakannya?"
Bahu Vinz terangkat. "Sergey tidak mau bilang. Kalau melihat gelagatnya, aku curiga kalau orang itu adalah salah satu klien-nya. Tapi tidak ada yang tahu pasti, selain dia sendiri."
Merasa kalau hal ini harus diselidiki lebih jauh, Berger berdiri dari duduknya. Ia mengeluarkan ponselnya.
"Kau tahu tepatnya lokasi Viktoriya dimakamkan?"
Tampak Vinz mengeluarkan ponselnya sendiri dan mengirimkan pesan ke pria di depannya.
Membaca pesan itu, Berger mengangguk dan menyimpan kembali benda pipih itu ke saku jasnya.
"Terima kasih. Aku menghargai bantuanmu, Vinz. Aku berhutang padamu."
Melihat tamunya akan pergi, Vinz berseru. "Apa yang akan kau lakukan? Dia cukup berbahaya, Jack!"
Menoleh sebentar, Berger tersenyum. "Aku tahu. Tapi justru disitulah menariknya, Vinz. Sampai jumpa!"
Menatap pintu yang tertutup, kepala botak Vinz menggeleng-geleng.
"Dasar orang gila. Dia tidak berubah. Kalau dia se-gila ini, bagaimana dengan orang yang menjadi bos-nya?"