Chapter 16 - Who's Bram?

1404 Kata
"Selamat pagi, baby." Sapaan itu membuat kedua mata yang tadinya masih menutup itu perlahan membuka. Cahaya matahari pagi yang lembut, tampak menembus tirai-tirai berwarna putih di depannya. Samar-samar, tercium bau harum masakan yang mulai membuat perutnya keroncongan. Setelah mengerjapkan matanya berkali-kali, Anna langsung bangun dan terduduk cepat. Ia memandang sekelilingnya dan melihat pria di depannya tengah membereskan pakaian, dalam sebuah koper yang cukup besar. Rambutnya yang mulai memanjang, tampak sedikit basah. "Di mana ini?" Sedikit menoleh, Bram tampak tersenyum pada isterinya. "Masih di rumah sakit, babe. Kamu makanlah dulu. Aku sudah memesan makanan tadi." Baru sadar dengan situasi yang dihadapinya, Anna akhirnya mengingat kejadian tadi malam. Dengan malu, wanita itu berdiri dari duduknya dan mulai merapihkan tempat tidur di hadapannya. "Untuk apa kamu merapihkannya? Kita akan keluar beberapa jam lagi." Berhenti melakukan kegiatannya, wanita itu menoleh pada pria yang masih berjongkok itu. "Kau akan keluar? Memangnya dr. Hills sudah mengijinkannya? Bukannya masih banyak yang-" Tiba-tiba saja pria itu sudah berdiri di hadapannya, dengan satu jarinya berada di bibir isterinya. Tangan kiri lelaki itu memeluk pinggang wanita itu dengan luwesnya. "Kamu ini cerewet sekali, babe. Aku tadi sudah membicarakannya dengan si pak tua dan dia sudah setuju. Kamu jangan terlalu khawatir, oke?" Dengan cepat, Bram mencuri ciuman dari isterinya dan pria itu langsung terkekeh saat melepaskannya. "Sebaiknya kamu mandi dulu, babe. Mulutmu bau bawang. Tadi malam kamu makan pizza?" Ucapan ledekan itu berhasil membuat wajah Anna merah membara. Dengan muka terbakar, ia menyambar tas tangannya di sofa dan langsung membanting pintu kamar mandi. Suara tawa suaminya terdengar makin menggelegar di dalam kamar itu. Suara ketukan pelan yang disusul dengan terbukanya pintu, membuat tawa Bram mereda. Ia memandang malas orang yang baru datang itu. "Berger. Kau datang di saat yang tepat, dude. Bagus sekali." Nada sarkas itu membuat alis Berger terangkat tinggi. Ia akhirnya mengerti saat melihat sajian makanan di depannya. Tidak peduli, pria itu membanting tubuhnya di kursi dan mulai mencomoti makanan dari meja. "Apa yang kau lakukan, Berg?" Sambil mengunyah rakus, Berger menatap Bram polos. "Aku lapar. Aku belum makan dari tadi malam. Dan itu salahmu. Jadi makanan ini jatah untukku." Memutar matanya malas, Bram menutup kopernya dan menyusul temannya. Ia mengambil sebutir anggur dan memakannya. Matanya mengawasi Berger yang memang terlihat kelaparan. Wajah pria itu pun sedikit kusut dan lingkaran hitam terlihat di bawah matanya. "Tampangmu menyedihkan, kawan. Kau tidak tidur semalaman?" Kepala Berger menggeleng. "Aku hanya bisa tidur selama dua jam, Bram. Aku-" "Siapa 'Bram'?" Pertanyaan pelan itu tedengar seperti sambaran petir di pagi hari, yang membuat kedua pria itu terdiam. Dari arah kamar mandi, Anna keluar dengan sebuah handuk kecil di tangannya. Ia memandang para pria di depannya bergantian. Wajahnya yang tanpa make-up tampak polos dan membuatnya jauh lebih muda. "Aku mendengarmu mengatakan 'Bram'. Siapa itu Bram, Jack? Seingatku, tidak ada karyawan bernama Bram di CNC. Atau aku salah?" Berger yang sedang memegang sandwich di depan mulutnya, membeku. Otaknya yang lelah terasa tumpul. Ia tahu harus menjawab sesuatu, tapi ia tidak bisa menemukan jalan keluar dari situasi ini. "Sepertinya dia terlalu lelah, babe. Berger barusan mengatakan dia harus lembur di kantor dan baru tidur dua jam saja. Dan seingatku, Bram itu adalah salah satu teman baikmu di Jerman. Bukan begitu, Berg?" Menangkap tali penyelamat itu, kepala gelap pria malang itu mengangguk panik. "Ya. Maafkan aku, Ben. Bram, Ben, keduanya cukup mirip. Kadang aku salah memanggil kalian berdua." Insting Anna yang tajam merasakan sesuatu yang disembunyikan tapi melihat tampang Berger yang tidak baik, ia cukup setuju kalau pria ini memang kelelahan. Wajar jika lelah, dia melakukan kesalahan seperti itu. "Hmm. Kau benar. Nama berawalan sama, memang terkadang membuat bingung." Berusaha mengalihkan pembicaraan, Bram tersenyum dan menepuk bangku kosong di sampingnya. "Kemarilah, Ann. Makan dulu." Menurut, Anna menyampirkan handuknya ke punggung kursi dan duduk di sebelah suaminya. Saat menatap makanan di depannya, wanita itu melirik suaminya dengan pandangan bertanya. Senyuman Bram terlihat merasa bersalah. "Maafkan aku, babe. Kamu lihat sendiri, orang ini kelaparan. Kamu makanlah bagian yang masih belum disentuhnya." Merebut paksa piring yang masih bersih dari tangan Berger, Bram menyerahkannya pada isterinya. Matanya sedikit melotot pada pria tidak tahu malu di depannya. Sudah makan satu porsi, masih juga ingin mengambil jatah makanan orang lain. "Punyamu?" Pertanyaan itu membuat Bram menoleh dan tangannya mengelus kepala wanita itu. "Kamu makanlah dulu. Lagipula setelah ini kita pulang ke apartemen. Kalau masih lapar, aku bisa memesan makanan dari sana nanti." Menyendokkan makanannya, Anna malah mengarahkannya ke mulut suaminya. "Kita makan bersama saja. Kau juga harus minum obat pagi ini, kan? Ayo, buka mulutmu." Inisiatif isterinya, membuat raut Bram berubah sumringah. Dengan gembira, ia menerima suapan itu. Selama beberapa saat, pasangan itu sibuk dengan dunianya sendiri dan sama sekali tidak mengacuhkan pria di depan mereka yang tampak muak dengan kelakuan mereka berdua. Untunglah hal ini hanya berlangsung beberapa menit saja, membuat mata Berger terselamatkan dari adegan menjijikkan lainnya. Otak pria itu pun sudah sadar sepenuhnya, setelah ia menenggak dua cangkir kopi pahit. Tampak ketiganya duduk santai sambil menikmati kopi di pagi hari. Setelah menilai situasi cukup kondusif, Berger meletakkan cangkir kopinya dan memandang pasangan di depannya. "Sebenarnya, aku ke sini pagi-pagi karena memang ada hal penting yang harus segera aku katakan. Dan ini menyangkut keselamatan kalian berdua." Dua orang di depannya mengangguk. "Kau sudah mengetahui siapa penyerangku." Menatap Bram dan Anna bergantian, Berger mengiyakan pernyataan itu. "Benar sekali. Masalahnya, yang kita hadapi bukan orang sembarangan. Penyerangmu tergabung dalam sebuah organisasi kriminal. Tidak hanya memiliki sumber daya tidak terbatas, kita juga tidak tahu dengan siapa dia melakukan kontak selama ini. Karena tidak semudah itu menemukan keberadaanmu Ben, terkecuali dia memiliki informasi orang dalam. Satu-satunya yang baru aku ketahui, hanyalah motifnya." "Apa motifnya?" Pertanyaan itu diajukan Anna, tapi Berger malah menatap Bram tajam. "Dendam pribadi. Dan ini berhubungan dengan masa lalu Benjamin Collins. Maaf Anna, tapi permasalahan ini menurutku cukup personal untuk diceritakan. Aku harus membicarakannya secara pribadi dengan Ben lebih dulu, sebelum dapat mengatakannya padamu. Kau keberatan?" Menghela nafasnya, wanita itu menggeleng. "Tidak masalah. Aku juga tidak perlu tahu mengenai masa lalu Ben sejauh itu. Ada beberapa hal yang memang sebaiknya tetap terkubur rapat-rapat." Melihat reaksi isterinya, Bram meletakkan satu telapak tangannya di paha wanita itu. Pria itu mer*masnya pelan, berusaha menenangkannya. "Aku janji setelah semuanya beres, aku akan menceritakan semuanya padamu. Kamu mau menunggu, kan?" Kedua alis Anna terangkat heran, tapi wanita itu hanya tersenyum kecil. "Terserah padamu saja." Kembali menoleh pada Berger, Bram bertanya datar. "Apa lagi yang kau ketahui?" "Ada kemungkinan, kalau seseorang telah menjadi dalang di balik kejadian demi kejadian yang menimpamu selama ini. Aku masih belum mengetahuinya, tapi hal ini sepertinya berhubungan dengan sesuatu yang terjadi sekitar 1,5 tahun yang lalu." Tangan Bram tampak bertumpu di bawah dagunya. Pria itu terlihat berfikir. "Satu setengah tahun lalu?" Menatap dua orang di depannya, Berger akhirnya mengajukan usulan yang telah dipikirkannya semalaman. "Ya. Karena itu aku ingin membicarakannya dengan kalian berdua. Anna, selama ini kau terlibat di CNC sebagai seorang Public Relations. Perananmu cukup penting dan aku yakin, ada beberapa skandal atau pun kasus dari perusahaan maupun petingginya yang selama ini harus kau selesaikan. Apa kau bisa memberikan data-data itu, dengan rentang kejadian sekitar 1,5 hingga 2 tahun yang lalu?" Tampak wanita itu mengangguk anggun. "Tentu saja. Tidak masalah, selama mendapatkan persetujuan dari Ben selaku pimpinan perusahaan." Tatapan Berger beralih pada Bram yang masih tampak berfikir. "Ben? Kau setuju?" Mengusap bibirnya, Bram mengangguk pelan. "Tentu saja. Kau lakukanlah itu." Perkataan mengambang itu membuat kening Berger berkerut. "Ben? Ada yang kau pikirkan?" Hampir saja Bram mengucapkan sesuatu saat ia teringat dengan kondisinya. Memilih kata-katanya dengan hati-hati, ia bertanya. "Kalau tidak salah, kau karyawan departemen FA? Di bawah pimpinan Morris?" Sadar dengan situasi yang dihadapi Bram, Berger segera mengangguk. "Benar." Selama ini, Anna tidak mengetahui secara jelas peranan Berger di perusahaan selain sebagai teman satu alumni Ben di sekolah. Ia juga masuk lewat jalur dalam dan karena telah ditolong mendapat pekerjaan, maka ia cukup dipercaya untuk memegang rahasia-rahasia tertentu. Seperti sekarang ini. "Coba cek laporan keuangan selama lima tahun terakhir. Entah kenapa, tapi aku yakin akan menemukan sesuatu di sana. Kau bisa melakukannya?" Mata hijau Berger mengerjap cepat dan ia memundurkan tubuhnya. "Akan cukup sulit melakukannya. Butuh approval berlapis. Lagipula Morris bukan orang yang-" "Aku yakin kalau kau AKAN menemukan caranya. Kau bisa melakukannya?" Terlihat mata Berger memancar tajam dan nadanya terdengar menantang. "Kau yakin?" Mengambil tangan isterinya, Bram meletakkannya di pahanya dan menatap wanita itu sambil tersenyum. "Tidak pernah aku seyakin ini, Berg. Kamu setuju kan, babe?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN