1

1466 Kata
"Five for all: You are my everything..." *** Tertanda hari ini, tanggal 1 Maret tahun dua ribu lima belas. Hal yang indah baru saja terjadi. Jadi, terima kasih alam semesta. mari kita mulai ceritanya ... Sedihnya. Aku tetap salah kostum saat berjumpa denganmu di plaza f(x). Kau terperangah melihatku sambil bertanya dengan tampang aneh, “Kamu habis dari mana?”. Ya Tuhan, aku malu sekali. Tampaknya aku salah karena sudah terlalu berharap pada Gana, si sableng itu. Selama belanja ia menasihati bahwa aku harus terlihat berwibawa di kencan pertama. Walhasil ia membuatku membeli sepasang jas formal berwarna gelap. Lengkap dengan pantofel dan jam tangan. Ia juga berpesan untuk menata rambut dengan klimis. Ya ampun, ini aku mau jalan sama cewek atau rapat DPR? Untungnya kamu tidak terlalu mempermasalahkannya. Kamu sendiri menggunakan dress cantik bercorak floral yang terlihat santai. Mungkin tujuan pertemuan ini sebenarnya adalah agar kita bisa santai. Tapi kebodohanku merusak semuanya. Sepanjang perjalanan aku yakin orang-orang akan berpikir, padahal yang cewek cantik, good looking dan modis sekali. Yang cowok itu apaan? Harus aku akui kalau dandanan yang aku kenakan kini memang buat aku lebih terlihat lebih seperti orang tidak benar. Apa pun lah tidak benarnya. Ketimbang seorang cowok keren yang pantas berada dan berjalan di sisimu. Jyaah, faux pas ini mah. Kita masuk ke suatu restoran. Masih terasa pandangan aneh orang-orang. Yang melihat cowok bertampang m**o masuk bersama gadis modis. Selama makan. Sikapmu melepaskan kekhawatiranku. Habis dari tadi kamu terasa lebih pendiam. Aku kira kamu jadi bad mood karena aku datang seperti seorang dakocan rumah mode yang sama sekali tidak bermode. Setelah duduk kamu kembali mengatakan banyak hal. Dari luar kamu tampak begitu manis serta anggun. Namamu saja nama bunga. Jadi ingin memanggilmu Tsubaki chan. Yang membuat aku jauh lebih terkejut lagi adalah karena ternyata kamu merupakan seorang calon arsitek. Untung bukan calon insinyur. Profesi yang dekat dengan bangunan memang terasa dan terkesan sangat maskulin di pikiranku. Kalau mendengar dua kata itu, insinyur atau arsitek, yang aku bayangkan adalah para pria tua dengan kumis serta jenggot yang berwarna abu-abu sampai putih memenuhi bawah hidung hingga rahang mereka. Menggunakan baju kemeja lengan panjang berwarna biru muda dengan lengan yang dilipat sampai siku. Menggunakan sepatu pantofel warna cokelat gelap dan juga tidak lupa tentu saja sebuah helm proyek dengan warna… entahlah, mereka biasa memakai helm proyek warna apa, sih? Berdasar yang aku ingat sih kuning kalau tidak salah. Aku merasa beruntung karena memilih jadi dokter. Sejujurnya, sebelum lulus sekolah aku sempat ingin jadi perawat karena aku rasa itu akan jauh lebih mudah dan tanggung jawabnya juga tidak sebanyak apabila ingin jadi seorang dokter. Perasaan yang melanda diriku jadi sedikit syok. Tidak menyangka dirimu yang sebenarnya. Maka aku mohon diri untuk menghubungi Gana. Tak ayal Gana kembali menceramahi aku panjang kali lebar kali tinggi dan jadilah luas. Dia bilang bahwa seorang laki-laki itu tak boleh down. Malah harus terlihat jauh lebih keren dan sangar, dong. Dokter atau perawat kan profesi, pekerjaan yang dilakukan untuk menolong orang banyak. Posisi mereka sangat dibutuhkan terlebih apabila sedang terjadi bencana, wabah penyakit, atau yang semacamnya. Sama sekali tidak memalukan atau kalah gengsi meski dilakukan oleh seorang laki-laki. Gana, meski ia adalah seorang laki-laki yang cukup cerewet dan rada menyebalkan. Ternyata kamu oke juga. a***y waginjay. Saat kamu tertarik untuk meminta respon balik dariku. Maka aku menceritakan semua apa adanya saja. Aku seorang mahasiswa di fakultas kedokteran yang sangat pemalu dan tidak berlebihan kalau harus orang banyak bilang cenderung cuek. Karena tidak ingin memperburuk kesan mahasiswa kedokteran yang culun (yang tampak dari diriku, hanya aku yang culun, kalau teman sealmamater yang lain mah yang penampilannya keren banyak). Pada akhirnya aku memutuskan untuk menambah-nambahkan saja sedikit agar jadi lebih keren sekalian. Aku kira kamu akan jadi punya pikiran bahwa aku adalah seseorang yang sangat membosankan. Tapi, kamu selalu mengembangkan senyuman saat kita sedang saling bertukar cerita. Kita, tak diragukan lagi, memang sangat bertolak belakang. Sekaligus saling mengisi. Meski baru kenal sebentar. Tidakkah kamu merasa kalau kita berdua sangat cocok dan pantas menghabiskan masa depan bersama? Aku ceritakan pada dirimua juga soal Gana yang sudah sukses buat aku sampai berpenampilan salah kostum hari ini. Kamu langsung tertawa terpingkal seolah itu adalah hal yang sangat menggelikan. Walau aku tidak begitu percaya diri dengan kemampuanku untuk melawak atau yang semacamnya. Asal kamu tau ya, Kaelia, baru kamu lho perempuan pertama yang begitu semangat saat mendengar aku bicara dan berbagi cerita. Selama ini kan aku berteman hanya dengan Gana saja. Pergi ke mana pun bersama dengan dia. Sudah seperti kembar dempet yang hanya tidak mirip saja. Pertanyaan yang tak aku inginkan akhirnya kamu lontarkan juga. Kenapa aku memiliki nama Hal? Tidakkah itu terdengar aneh untuk telinga orang Indonesia? Aku pun menjawab bahwa sebenarnya aku ingin dipanggil begitu karena memang terdengar lebih macho saja. Itu semua karena nama asliku adalah Haruka Saputra Wijaya Nara (haru merupakan dialeg Jepang untuk mengucapkan hal. Lebih tepat ke hare). Kamelia, banyak orang mengira bahwa aku punya keturunan darah Jepang hanya karena nama itu. Tapi, pada kenyataannya mah sama sekali tidak, kok. Meski biasa dipanggil dengan nama singkat Haruka Nara, aku ini orang Indonesia tulen. Tidak ada satu tetes pun darah orang Jepang mengalir di pembuluh darahku. Lantas apa itu Nara? Sudah seperti nama salah satu karakter anime dan manga terkenal, Nara Shikamaru dari Naruto. Ckckck, tidak, Nara adalah nama daerah tempat aku lahir. Itu nama tempat, bukan nama orang apalagi nama keluarga. Kamu kuliah di jurusan arsitektur. Sebenarnya aku tidak mengerti itu jurusan yang seperti apa atau bagaimana. Sejauh yang aku tau itu adalah jurusan untuk orang yang ingin bekerja sebagai seorang perancang estetika bangunan. Aku ingat sekali kalau kamu pernah bilang bahwa sebenarnya kamu memiliki ketertarikan besar dan ingin sekali menempuh pendidikan di jurusan Manajemen Bandar Udara. Kamu bilang sejak kecil suk asekali naik pesawat dan bandara adalah tempat nongkrong paling menyenangkan lebih dari pusat perbelanjaan mana pun di kota ini. Aku tangkap dengan jelas kegelisahan itu dari raut wajahmu yang manis, namun kadang tampak sedih. Walau tak mengatakan apa pun secara jelas kamu seperti meminta aku untuk beri kamu nasihat agar bisa lebih menerima semua hal yang telah kadung terjadi. Habis, mau menyesal atau sebal tidak terima juga semua sudah jadi masa lalu. Sekarang yang ada hanya masa depan yang suka tidak suka harus kita hadapi dengan hati lapang. Meski selama ini aku sangat jarang berhubungan dengan perempuan. Aku merasa bersyukur karena untung saja aku laki-laki yang cukup peka pada perasaan orang lain. Aku, walau cuek bebek untuk beberapa hal, namun sangat sensitif untuk hal yang implisit. Itulah kenapa akhirnya aku hanya bisa berusaha untuk mengatakan apa pun guna menghibur dirimu. Meski kesedihan itu hanya tampak di pelupuk. Dan tak satu kali pun kamu utarakan dengan bibir yang orang bilang dalam satu hari bisa mengucapkan puluhan ribu kata hanya untuk keleluasaan perasan mereka. Aku jadi merasa lebih tenang dan sangat senang. Jika memang kamu merasa bahwa kamu bisa mengandalkan aku. Bukankah itu sama artinya kamu akan semakin membutuhkan aku? Ingin, uhukuhukhuuk, terus ada di dekatku? Aku harap ini bukan hanya mimpi, imajinasi, atau harapan yang tidak berdasar. Sungguh demi Tuhan, aku sangat berharap bahwa aku akan bisa untuk terus mendengar kamu dan semua ceritamu. Baik itu tentang kesedihan, perasaan durjana, putus asa, bingung, merasa hampa, atau bahkan yang lainnya. Tidak mengapa jika kamu hanya ingin mendengar pendengar atau suatu waktu tertarik mendengar apa yang aku pikirkan soal masalah yang tengah menimpamu. Tidak apa-apa. Aku akan selalu siap di sini, di mana pun dan kapan pun kamu butuhkan, Kamelia. Dan semua yang tertulis di buku yang sedang kamu pegang dan kamu baca ini, adalah luapan perasaan itu yang ingin sekali aku wujudkan sejak pertama kita bertemu. Berkat dirimu, aku jadi bisa lebih mengenal apa itu perasaan cinta. Hal yang bisa jadi tak akan pernah aku rasa apabila tidak berjumpa dengan dirimu, Kamelia. Sungguh cara yang unik dari semesta untuk menggerakkan nasib manusia yang hidup di dalamnya, bukan? Sekitar pukul tujuh malam kita berpisah. Perasaanku yang kadang tidak jelas ini tiba-tiba kembali terguncang saat melihat dirimu mengendarai mobil seorang diri. Dalam pandangan mataku yang belum banyak mengetahui apa pun soal dunia ini, kamu benar-benar terlihat seperti seorang gadis super mandiri yang sangat keren dan serba bisa. Aduh aku jadi malu kan dengan penampilan sebagai seorang pejantan kalau harus terlihat naik kendaraan umum. Nanti aku dikira habis kecopetan lagi. Walau alasan sebenarnya aku suka naik kendaraan umu itu karena untuk mengurangi emisi karbon yang menguasai planet ini. Karena perasaanku sedang sangat canggung maka jalan pintas pun terpaksa harus diputuskan. “Gana, jemput aku, dong…” Dan, yak, aku berakhir berniat akhiri hari yang sangat menyenangkan ini bukan dengan dirimu melainkan dengan Gana sahabat setia karibku. Ah, sungguh, yang namanya hidup memang tak bisa semudah itu direncanakan sesuka hati sebagaimana yang tertulis dalam buku motivasi seperti The Secret atau The Alchemist.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN