Ayden terus menggerutu dalam batinnya. Ia sungguh tidak habis pikir dengan jalan pikiran istri dan putrinya. Apakah ini rencana mereka berdua agar ia memikirkan ulang rencana perjodohan ini dan membatalkannya. Sungguh darahnya terasa mendidih dan amarahnya terasa mengepul di atas kepalanya.
"Apa kalian berdua mencoba mempermainkanku, huh?! Jangan harap aku akan berubah pikiran mengenai perjodohan itu. Suka tidak suka pernikahan itu akan tetap berlangsung," sungut Ayden sambil terus berdiri mondar-mandir di dalam kamarnya. Tadinya pria itu ingin sekali melanjutkan perdebatan sengitnya bersama sang putri. Namun, istrinya itu melarangnya dan menariknya ke luar kamar Tania. Alhasil kini ia mulai berdebat dengan istri tercintanya itu.
"A—aku tidak mempermainkanmu. Aku pun kaget ketika Tania berkata seperti itu. Mungkin memang benar ia berharap kau berubah pikiran," balas Elena. "Atau mungkin ia masih membenciku," batinnya.
Setelah perubahan sikap Tania yang baik pada Elena, wanita paruh baya itu kira putrinya tak lagi membencinya. Beberapa menit sebelumnya putrinya masih dengan nyaman berbaring di pangkuannya. Namun, tawaran terakhir yang dilayangkan putrinya tak pernah sedikit pun terlintas di pikirannya. Tawaran itu begitu menohok hatinya. Gadis itu benar-benar penuh kejutan.
"Lalu mengapa kau menyetujuinya, Lena?!" tanya Ayden dengan amarah yang masih membuncah. "Ini sungguh tidak adil. Pernikahannya yang hancur, lalu mengapa kita juga harus ikut hancur," tambahnya tak terima. Ya, tawaran putrinya itu bagaikan sebuah lelucon baginya.
"Ini adil, Ay. Sangat adil. Kita sendiri yang telah mengorbankannya ke dalam pernikahan itu. Kita telah mempermainkan masa depannya. Menghilangkan segala kebebasannya. Menghancurkan perasaan dan angan-angannya. Jika ia tidak bahagia, maka diri kitalah yang paling pantas disalahkan. Belum lagi, jika suatu saat ia mempunyai anak dari pernikahan itu. Bukan hanya satu orang yang terluka dalam hal ini, kau juga menghancurkan perasaan seorang anak tak bersalah. Tidakkah kau berempati pada darah dagingmu sendiri?" balas Elena tak kalah geram. Sudah cukup ia menuruti perkataan suaminya yang tak mempunyai belas kasih sedikit pun pada Tania. Terlalu banyak penderitaan yang dialami gadis itu. Ia tidak mau putrinya menanggung luka yang lebih banyak lagi.
Ayden termangu mendengar penuturan Elena. Sejak dulu wanita itu selalu memikirkan perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri. Elena adalah wanita yang baik, penuh kasih sayang dan berhati besar. Wanita itu pula tak pernah membantah apa yang pria itu perintahkan. Bahkan berulang kali pria itu menyakitinya, wanita itu dengan sabar memaafkannya, karena itulah Ayden begitu mencintainya terlebih wanita itu adalah cinta pertamanya. Tak ada seorang pun wanita lain yang bisa menggeser posisi Elena di hatinya, kendati ada yang jauh lebih baik dari wanita itu.
Apa yang diucapkan Elena adalah benar. Secara tidak langsung Ayden mempertaruhkan masa depan putrinya sendiri. Tapi tetap saja bahwa apa yang sudah putrinya tawarkan adalah permintaan yang terlalu sulit untuknya. Pria itu rela putrinya meminta apa pun termasuk benda termahal di dunia ini asal bukan perpisahan dengan istrinya. Tidak. Sampai kapan pun ia tidak ingin bercerai. Ia mencintai istrinya, begitu pun sebaliknya. Tak ada alasan dua insan yang saling mencintai di dunia ini untuk berpisah. Bukan ia tidak memiliki empati sedikit pun pada putrinya. Demi Tuhan ia tak peduli jika membunuh itu haram. Ia rela menanggung dosa untuk mematahkan leher siapa pun yang melukai putrinya.
Sebuah erangan cukup keras keluar dari mulut Ayden. Pria itu meremas jantungnya yang terasa berdenyut sakit. Sungguh sebetulnya ia tak ingin berada di antara pilihan ini.
Elena menghampiri suaminya yang nampak menahan kesakitan. Bagaimanapun Ayden baru saja keluar dari rumah sakit dan kondisi fisiknya masih jauh dari kata sehat. "Sebaiknya kau istirahat. Janganlah berpikir terlalu berat, Ay," bujuknya.
Ayden menepis tangan halus istrinya. Membuat istrinya itu berkerut dan mengembuskan napas panjang. Itulah Ayden dengan segala kekeraskepalaannya. Jangan salahkan Tania jika gadis itu berwatak keras, memangnya dari siapa lagi sifat itu menurun.
"Aku butuh sendiri," ujar Ayden sambil ke luar kamar. Ia langkahkan kakinya menuju ruang kerjanya.
Pikiran pria berusia lima puluh tahun itu terus berkecambuk. Dengan mata yang tertutup dan punggung yang bersandar di sandaran kursi kerjanya Ayden terus saja memijat pelipisnya yang terasa pening hingga perlahan rasa kantuk menyergapnya.
***
"Come on, faster, Tania, faster!" seru Ayden sambil menepukkan kedua tangannya.
Bukannya menuruti ucapan ayahnya Tania kecil malah menghentikan aksinya.
"Tata sudah tidak kuat lagi. Kaki Tata pegal," keluh Tania yang berada di tengah-tengah kolam renang.
"Tidak, satu putaran lagi setelah itu kau boleh istirahat, mengerti?" Ucapan tak terbantahkan Ayden membuat gadis kecil itu hanya bisa mengangguk pasrah. Apalagi tatapan membunuh yang pria itu layangkan membuat gadis itu bergetar ketakutan.
Tania mulai menggerakkan kaki dan tangan kecilnya menyelami air. Tinggal satu putaran lagi setelah itu ia bisa istirahat. Ia tidak boleh lemah. Satu putaran lagi, satu lagi, ucap batin gadis kecil itu berulang-ulang. Namun apa daya, belum sampai setengah putaran kakinya sudah terasa kram. Sekuat tenaga gadis kecil itu mengarahkan segala kekuatannya agar tetap bisa bergerak. Tapi apa yang gadis kecil itu dapat, pergerakannya tak menghasilkan apa pun.
"Ayah," panggil Tania sambil menyembulkan sedikit kepalanya ke atas permukaan air.
"Acting-mu sangat buruk, Tania. Cepat kau selesaikan putaran itu atau aku akan menyuruhmu untuk memutari kolam ini sebanyak sepuluh putaran," ujar Ayden tak peduli pada apa yang dilihatnya.
Tania sudah berusaha, dengan tangan kecilnya ia masih terus mencoba bergerak. Namun kakinya sungguh kebas dan mulai melemahkan anggota tubuhnya yang lain. Kepala gadis itu menyembul dan tenggelam selama beberapa kali. Pergerakannya membuatnya beberapa kali tak sengaja menelan air kolam.
"Dia terlihat kesusahan. Apa dia tenggelam?" tanya Elena mulai histeris menatap gadis kecilnya yang meronta-ronta di dalam air setelah ia mengantarkan minuman untuk suaminya.
"Dia sudah bisa berenang sejak usianya dua tahun kalau kau tidak lupa, Elena. Kaupikir ia tenggelam?" Ayden berdecak sambil meneguk teh hangat buatan istrinya.
Hati Elena tidak tenang. Kakinya mulai melangkah mendekati kolam renang. Namun langkahnya terhenti kala suaminya mencekal pergelangan tangannya.
"Sebaiknya kita masuk. Udara di sini tidak baik untuk kehamilanmu, Lena Sayang," ujar Ayden sambil mengelus dan mengecup perut istrinya yang menonjol. Elena mengangguk patuh walau hatinya tidak tenang.
Ayden bangkit dari duduknya. Dengan penuh kasih sayang dan kelembutan pria itu menautkan jemarinya pada jemari istrinya. "Jangan kau pikirkan anak manja itu," ucapnya sambil mengusap lembut pipi istrinya dengan jari telunjuknya.
Baru beberapa langkah yang sepasang suami-istri itu lakukan entah mengapa hati Elena tergerak untuk menoleh ke belakang. Kedua netra wanita itu membola kala melihat gadis kecil yang sudah terapung di atas air.
"Tania!" pekik Elena. Tak memedulikan panggilan suaminya, wanita itu segera meluncur ke air untuk merengkuh tubuh lemah putrinya. "Tata ... Sayang ... bangun, Sayang," ujarnya sambil menepuk-nepuk pipi putrinya yang sudah memucat dan membiru.
Kedua tangan Elena membopong putrinya yang tak bergerak. Ayden yang melihat hal itu pun segera masuk ke dalam kolam renang untuk membantu istrinya.
Ayden langsung membaringkan tubuh tak berdaya Tania di pinggir kolam. Ia terus menekan-nekan tubuh putrinya agar air yang kemungkinan masuk bisa keluar. Tak beberapa lama kemudian air keluar dari bibir kecil Tania. Gadis kecil itu mulai membuka kedua matanya secara perlahan.
"Ayah," panggil Tania dengan lirih sebelum kesadarannya kembali membawanya ke dalam kegelapan.
Senyum yang baru saja terukir di bibir Elena kembali menghilang. Digantikan butiran bening yang terus saja bercucuran.
Sepasang suami istri itu segera melarikan gadis kecil mereka setelah mengganti pakaian mereka yang basah terlebih dahulu.
Cukup lama mereka menanti kabar dari dokter yang menangani putri mereka. Elena, wanita itu sedari tadi menenggelamkan wajahnya di antara telapak tangannya sambil terus tersedu-sedu. Dan air mata wanita itu semakin deras kala dokter mengabarkan bahwa putri kecilnya telah tiada.
Ayden menatap nanar tubuh pucat gadis kecilnya. Tak seperti istrinya yang wajahnya sudah basah penuh air mata, wajahnya justru nampak datar tak terbaca. Pria itu mendekati tubuh putrinya yang sudah tak bernyawa. Dokter bilang terlalu banyak air yang tertelan oleh Tania, bahkan air itu sudah masuk ke dalam paru-parunya. Hal itu menyebabkan inflamasi dan pembengkakan atau pulmonary edema, sehingga pertukaran oksigen dan karbon dioksida di dalam paru-paru menjadi terhambat bahkan berhenti sama sekali. Hal inilah yang memicu terjadinya kematian, karena tak adanya oksigen yang mengalir.
Ayden mengguncangkan tubuh Tania beberapa kali dengan kasar. "Bangun, Tania, bangun!"
"Hentikan, Ayden! Biarkan ia tenang. Hiks ... biarkan kesakitannya hilang. Aku ikhlas ia pergi daripada melihatmu terus menyakitinya. Kau pembunuh, Ayden. Kau pembunuh!" Elena menarik tangan suaminya, lalu memukul d**a bidang suaminya itu dengan keras. Seandainya saja suaminya itu lebih peka, maka Tania bisa segera tertangani.
Ayden menghentikan aksi istrinya. Ia kembali menghampiri putrinya dan terus menguncang-guncangkan tubuh kecil nan dingin itu. "Tidak, aku bukan pembunuh, bahkan telah banyak yang aku korbankan untuk kehidupanmu. Bangun, Tania! Bangun! Aku tak mengizinkanmu mati semudah ini. Tidak setelah pengorbanan besar yang aku lakukan, karena kelahiranmu. Tidak! Bangun, Tania! Bangun!!!"
"Sadar, Ayden! Apa yang kau bicarakan?" Elena menghentak tangan suaminya dengan kasar.
Butiran bening entah mengapa meluncur begitu saja dari netra pria itu. Entah karena menahan sakitnya sebuah kehilangan atau apa, hanya pria itu yang tahu.
"Bangun, Tania, bangun!!!" ucap Ayden kencang sambil kembali menggoncangkan tubuh putrinya. Tak peduli kalau Elena menarik dan menghentikannya kembali.
"Uhuk ... uhuk ...." Suara batuk keluar dari bibir kecil Tania. Butiran bening yang sedari tadi keluar dari pelupuk mata Elena terhenti. Pun Ayden yang kini bahkan menjauh dari tubuh putrinya.
"Ibu ... hiks ... aku mau Ibu ... hiks ... jangan pergi," racau Tania dengan matanya yang masih menutup.
Elena menyeka wajahnya. Ia segera merengkuh tubuh gadis kecilnya. "Ibu di sini, Sayang, Ibu di sini," ujarnya sambil menggenggam dan menggosok-gosok punggung tangan putrinya untuk mengantarkan kehangatan.
"Ibu ...." Gadis kecil itu terus meracau. Setetes air mata jatuh di sudut matanya yang terpejam hingga gadis kecil itu kembali kehilangan kesadarannya.
Elena mulai panik kembali kala putrinya membisu. Beruntung dokter segera datang untuk memberi pertolongan terbaiknya.
"Dia hanya pingsan. Sungguh keajaiban ia hidup kembali." Ucapan dokter itu seketika membuat Elena menghangat. Entah apa jadinya jika Tania benar-benar tiada. Pasti penyesalan wanita itu semakin bertambah.
Ayden mematung kala melihat tubuh putrinya. Putrinya baru saja selamat dari maut. Putrinya masih ada di sisinya. Namun entah mengapa ia tak bisa mengekspresikan rasa bahagianya seperti istrinya. Bukankah ia sendiri yang meminta agar Tuhan mengembalikan buah hatinya. Mengapa ia tak merasa bahagia sedikit pun setelah Tuhan mengabulkannya.
"Jangan salahkan dia atas apa yang sudah kau perbuat. Jangan sia-siakan dia sebelum aku kembali membawanya pergi untuk selama-lamanya." Suara lembut itu berbisik di telinga Ayden bersamaan sebuah angin yang membelai dingin lehernya. Suara itu ... suara ....
Ayden tersentak dari tidurnya. Entah mengapa kilasan masa lalu itu tiba-tiba mendatanginya. Manik-manik keringat dingin membasahi dahinya Napasnya terus memburu. Pria itu mengusap wajahnya kasar.
Tak peduli waktu sudah menunjukkan tengah malam, tangannya tergerak untuk menghubungi seseorang.
Pria itu sabar menunggu agar panggilannya diangkat. Dan hatinya melega setelah terdengar sapaan serak dari seberang sana.
"Ada apa, Ayden hingga kau tak menunggu pagi untuk menghubungiku?" tanya orang di seberang.
"Putriku sudah pulang. Apa kau yakin akan keputusanmu itu, Dirga? Dia putriku satu-satunya. Aku tak bisa seenaknya menyerahkan putriku begitu saja pada pria yang tak dikenalnya. Aku menginginkan yang terbaik untuknya, Dirga," balas Ayden.
Pria di seberang sana terkekeh. "Tentu saja, Ayden. Aku pun menginginkan yang terbaik untuk putraku. Kau tenang saja, Dimas pasti akan menjadi suami terbaik untuk putrimu. Akan kupastikan itu."
"Kalau sampai putramu melukai putriku seujung kuku pun, aku tak segan-segan mematahkan leher putramu," ancam Ayden. Pasalnya rumah tangganya dengan Elena pun menjadi taruhannya saat ini.
"Silakan. Aku pun dengan senang hati membantumu mematahkan lehernya. Dia takkan berani macam-macam pada putrimu, karena setelah buku nikah itu ditandatangani, maka putrimulah pemegang warisanku terbesarku," balas Dirga tak main-main.
"Aku tak menginginkan warisanmu, Dirga. Aku hanya ingin putriku bahagia," ujar Ayden. Apa gunanya jika putrinya mendapatkan harta warisan Dirgantara Martin yang tak terhitung nilainya, jika ia harus berpisah dari Elena.
"Ternyata kau begitu menyayangimu putrimu, Ayden. Kupikir kau segera menyetujui penawaranku, karena saham itu," sindir Dirga dengan candanya.
"Aku tak sepicik itu, Dirga," bantah Ayden. Walau alasan lainnya, jika anak itu sudah menikah itu berarti aku tak perlu pusing-pusing mengurusinya dan khawatir akan tingkahnya yang sering keluar-masuk kelab malam hingga mencoreng nama baikku, lanjutnya dalam hati.
"Aku percaya itu. Lalu kapan kedua anak kita dipertemukan?" tanya Dirga. "Bagaimana jika besok?" tawarnya kemudian.
"Baiklah, terserah padamu saja," balas Ayden. Lebih cepat Tania pergi, lebih cepat ia tak melihat wajah yang ia benci itu, 'kan?
Setelah percakapannya selesai, Ayden memutuskan kembali untuk masuk ke dalam kamarnya. Sebuah isak tangis yang cukup memilukan seketika menghentikan langkahnya tepat di depan kamar putrinya.
"Jadi, dia belum tidur rupanya," gumam Ayden dengan telinga yang ditempelkan di pintu. Maafkan aku, Tania, kau lahir di saat yang tidak tepat dengan kondisi yang tidak sebaik kakakmu, batinnya berucap pilu.
***
Fajar sudah menyingsing dengan terangnya, membawa sang mentari untuk menyinari bumi. Denting sendok di atas meja saling bersahutan.
Ayden mengelap bibirnya—menghilangkan sisa-sisa makanan yang mungkin menempel di bibirnya. Ia meneguk air minum sampai tandas untuk menetralisir kegugupannya.
"Sore nanti calon suamimu mengajak kau bertemu. Kuharap kau tidak memberi kesan pertama yang buruk padanya," ujar Ayden setelah mengambil napas dalam. Ia mulai menyiapkan mental menerima teriakan bantahan atau mungkin denting sendok memecahkan piring akibat yang putrinya layangkan.
"Ok." Di luar dugaannya kata yang amat singkat itu membuat hati Ayden bahagia luar biasa. Mudah-mudahan saja tidak ada niat terselubung yang putrinya itu rencanakan.
Tania menyeringai, menertawakan nasibnya yang penuh ironi. Ia pikir ayahnya akan berubah pikiran mengingat betapa besar cinta ayahnya pada ibunya itu. Tapi lihatlah ... pria itu tetap pada keputusannya.
Baiklah jika itu maumu, Ayah. Akan kuikuti permainanmu, batin Tania menatap nanar takdir yang sedang tertawa mengejeknya.
Sore pun tiba, seorang pria tampan sedang duduk menanti gadis yang ayahnya bicarakan untuk menjadi istrinya.
"Hai," sapa gadis yang baru saja datang menghampirinya. "A-aku Tania. Bolehkah aku duduk di sini?" lanjutnya sambil menggenggam erat tas selempangnya.
Iris hitam pria itu meneliti gadis yang sedang berdiri di depannya dari atas sampai bawah. Mulutnya sedikit terbuka dan matanya terbelalak tak percaya.
Diakah gadis yang Papa katakan digila-gilai pria-pria di luar negeri? Sungguh aku pun merasa gila karenanya, batin pria itu.