Perlahan Tania mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Rasa pening menghantamnya seakan ada ribuan ton yang menimpa kepalanya. Gadis itu mengubah posisinya menjadi bersandar di kepala ranjang. Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul ia mulai menatap ke segala arah. Matanya menatap langit-langit yang tak asing baginya. Pandangannya beralih pada seisi ruangan yang sedang di tempatinya. Semua terlihat sama. Ranjangnya, catnya, lemarinya, meja belajarnya, meja riasnya, semuanya tak ada yang berubah. Bahkan sebuah rumah boneka yang kini terlihat sudah alot masih berada di sudut sana. Ruangan itu adalah kamarnya. Kamar yang sudah ia tinggalkan selama lima belas tahun ini.
Entah bagaimana caranya Tania bisa berada di kamar itu. Seingatnya ia dibawa oleh pria yang tak dikenalnya. Saat ia tersadar dirinya sudah berada di atas awan. Ingin sekali ia berontak, berteriak meminta tolong kalau ada yang menculiknya. Namun pria itu mengatakan bahwa ia adalah orang suruhan ayahnya.
Sial, mengapa pria tua itu melakukan semua ini. Apa pria tua itu marah, karena ia tak kunjung juga membalas pesan singkat dari istri tercintanya.
Tania bergidik ngeri kala memikirkan hal buruk apa yang akan ayahnya lakukan. Oh ayolah, aku hanya tidak membalas pesan itu dan juga ... mengabaikan ratusan panggilan dari Ibu. Itu bukanlah sebuah kesalahan besar. Benar begitu, 'kan? batinnya mulai bertanya-tanya.
Tania menelan salivanya dengan susah payah. Ia menggelengkan kepalanya untuk mengusir segala kemungkinan terburuk yang akan menimpanya. Tidak mungkin saat itu ia loncat dari pesawat. Selintas ide pun muncul. Membentuk lampu pijar yang menyala terang di atas kepalanya. Gadis itu tersenyum simpul memikirkan idenya. Ia berencana akan kabur sesampainya di bandara. Namun alih-alih rencananya berhasil, sudah ada dua pria berbaju hitam lainnya yang menantinya. Tak hanya itu, pria itu lagi-lagi membuat kesadarannya hilang. Sial. Mengapa hidupnya penuh ironi.
Nasi telah berubah menjadi bubur. Yang bisa gadis itu lakukan hanya tinggal menikmatinya. Tiba-tiba gadis itu terlonjak. Pandangannya langsung beralih pada nakas yang berada di sebelah kanannya. Mencari sesuatu yang amat dirindukannya. Tidak ada. Ke mana benda itu pergi. Gadis itu langsung mencari ke segala tempat. Namun hasilnya nihil. Perih dan amarah membuncah di relung hatinya. Siapa yang berani-beraninya menyingkirkan benda itu.
Dengan langkah yang masih begitu lemah Tania membopong tubuhnya ke luar kamar. Ia perlu penjelasan mengapa benda berharganya tidak ada. Hanya benda itu yang ia punya. Benda itu amatlah berharga baginya.
Sebuah ketukan ingin Tania layangkan di depan pintu yang berdiri kokoh di depannya. Namun gadis itu mengurungkan niatnya. Sebuah rasa penasaran menyergapnya. Ingin tahu apa yang sedang sepasang paruh baya itu bicarakan.
Dari balik celah pintu yang tak tertutup rapat Tania mulai mengintip. Dilihatnya ayahnya sedang bersandar lemah ke kepala ranjang dengan mata yang tertutup. Ternyata benar apa yang ibunya katakan bahwa ayahnya sedang sakit. Lalu atas dasar apa pria tua itu memintanya untuk kembali. Apa pria tua itu ingin menyampaikan sebuah wasiat atau mungkin soal pembagian warisan. Kalau benar, sungguh ia tak tertarik akan sepeser pun harta pria tua itu.
"Apa kau yakin ini adalah keputusan yang benar?" Suara lembut ibunya mulai terdengar. Elena duduk di samping suaminya sambil memijat-mijat kaki suaminya. Sosok istri yang berbakti pada suaminya. Pantas saja ayahnya begitu mencintai ibunya. "Aku yakin Tania tidak akan mudah menerimanya," lanjutnya.
Apa Ayah tidak akan membagikan sepeser pun padaku? Ah ... Ibu, kau tak perlu khawatir, karena itulah yang aku inginkan, batin Tania mulai menerka-nerka.
"Aku sangat yakin atas keputusanku. Kau lihat sendiri kelakuannya di Amerika yang membuat darahku naik. Sejak kecil anak itu seperti tak ingin melihat diriku ini hidup tenang," jawab Ayden sambil membuka kedua matanya dan menatap istrinya penuh cinta.
"Tapi aku yakin putri kita tidak bertindak terlalu jauh," ujar Elena.
"Aku hanya menginginkan yang terbaik untuknya, Lena. Jika dibiarkan kemungkinan terburuk bisa saja menimpanya," ujar Ayden sambil sedikit meringis—menahan sakit yang kembali menyerang kepalanya. Sementara itu Tania tersenyum getir memikirkan sejak kapan pria tua itu memikirkan yang terbaik untuknya.
"Tapi keputusanmu belum tentu yang terbaik untuknya. Tidak bisakah kau menunggunya setelah ia lulus kuliah? Dia masih begitu muda untuk menjalaninya." Elena menatap wajah suaminya dengan tatapan memohon. Berharap suaminya mau mengubah pemikirannya.
"Kita tidak mempunyai banyak waktu lagi, Elena. Dirga terus mendesakku untuk segera melangsungkan pernikahan ini, kalau tidak ia akan mencabut semua sahamnya. Sebagai seorang ayah aku pun tidak mungkin menjerumuskan putriku sendiri. Kutahu bahwa keluarga Dirga terkenal baik-baik. Aku yakin putranya mampu membahagiakan putri kita. Dan pernikahan itu akan membuat pikiran Tania semakin dewasa," balas Ayden sambil menggenggam erat dan mengecup punggung tangan istrinya.
"Tapi aku takut pernikahan itu tidak akan berhasil. Aku takut bukan bahagia yang dia dapat melainkan luka." Berbagai ketakutan menghantui pikiran Elena. Jujur saja ia tidak setuju dengan keputusan suaminya. Ia pernah dengan kedua matanya sendiri melihat hancurnya sebuah pernikahan, karena perjodohan dan ia tidak mau hal itu menimpa putrinya. Ia hanya menginginkan putrinya bisa menikah dan bahagia bersama pria yang menjadi pilihan putrinya sendiri.
Tetes demi tetes butiran bening yang sedari ditahan seketika runtuh. Elena sungguh tak mampu memikirkan masa depan putrinya akan seperti apa. Ayden mengerti akan ketakutan yang dirasakan istrinya. Namun ia juga tak mampu membatalkan rencana pernikahan itu. Ada ribuan karyawan yang menjadi tanggung jawabnya. Bukan maksud ia mengorbankan putrinya. Namun, ia rasa menyerahkan Tania pada keluarga Dirga bukanlah suatu masalah besar. Yang bisa Ayden lakukan hanya membawa istrinya ke dalam dekapannya. Mengelus punggung istrinya agar sedikit tenang.
Sementara itu tak jauh dari sana Tania berdiri tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya. Ia berharap bahwa pendengarannya salah. Pernikahan. Saham. Dirinya. Kata-kata itu bagai tombak yang menghunus tepat di jantungnya. Gadis itu berjanji akan membalas cepat pesan dan mengangkat telepon ibunya asal apa yang baru saja didengarnya dapat dibatalkan. Atau ia rela pipi mulusnya ditampar kembali sebagai bentuk hukuman ayahnya. Tidak. Tidak dengan pernikahan. Tania benci itu. Jangankan harus menikah dengan pria yang tidak dikenalnya, bahkan ia tidak akan menikah dengan seseorang yang dicintainya. Tidak. Tidak akan.
Dengan mulut yang masih dibekap agar isaknya tak terdengar, Tania mencoba untuk meninggalkan tempat itu. Namun karena kecerobohannya ia justru tak sengaja menyenggol sebuah vas yang berada di luar kamar orangtuanya hingga terdengar bunyi pecahan yang cukup keras.
Elena dan Ayden tersentak mendengar bunyi pecahan itu. Elena pun melepas rengkuhan suaminya dan keluar untuk mencari sumber suara. Dirinya terbelalak kala melihat putri yang selama ini ia rindukan sedang membereskan pecahan yang ada.
"Tata," panggil Elena lirih. Hatinya membuncah hangat menatap putrinya.
Tania yang sadar segera membereskan pecahan vas yang sudah ia perbuat dengan cepat hingga tak sadar pecahan itu mengenai jarinya hingga membuat gadis itu meringis.
Elena yang melihat kondisi kacau dan kesakitan putrinya langsung mensejajarkan tubuhnya. Wanita paruh baya itu segera menarik jari putrinya yang terluka. Menyedot darahnya agar tidak infeksi.
"Jangan sentuh aku," ujar Tania sambil menarik jarinya. Tak memedulikan jarinya yang sudah mengeluarkan banyak darah, gadis itu kembali membereskan pecahan vas itu.
"Biar Ibu yang bereskan, sebaiknya kau obati lukamu itu," saran Elena. Tangan wanita itu tergerak menumpuk pecahan vas yang sudah berserakah di lantai.
Tania mencekal tangan ibunya. "Tidak perlu. Sebaiknya Ibu pergi. Aku bisa membereskannya sendiri."
"Astaga, Sayang, lukamu cukup dalam sebaiknya kau segera mengobatinya!" teriak Elena sedikit histeris kala melihat darah yang mengalir dari jari putrinya semakin banyak keluar.
"Ada apa ini?" Suara Ayden menggema bagai sebuah sangkakala. "Tania," ucapnya lirih.
Tania beranjak dari posisi jongkoknya, ia berlari meninggal kedua orangtuanya. Air matanya terus saja bercucuran. Bukan menahan sakit di jarinya melainkan rasa sakit yang tak mampu dijabarkan oleh kata-kata.
Ingin sekali Elena mengejar putrinya. Namun, suaminya mencekal tangannya. "Biarkan ia sendiri. Mungkin tadi ia tidak sengaja mendengar pembicaraan kita." Ayden benar, Tania butuh sendiri untuk memikirkan semuanya.
***
Elena mengetuk pintu kamar putrinya dengan sebuah nampan dibawanya. Ia merasa de javu. Saat itu Tania menolaknya dan ia berharap kali ini gadis kecilnya yang mulai beranjak dewasa mau menerimanya.
"Tania, Sayang, makan dulu, yuk!" bujuk Elena. Sejak kejadian tadi Tania masih betah mengurung diri. Gadis itu juga melewatkan makan malamnya.
Sebuah senyuman terbit di bibir Elena kala melihat Tania membuka pintu kamarnya. Mata sembab menghiasi wajah gadis itu.
"Terima kasih," ujar Tania sambil membawa nampan yang Elena bawa. Hal itu membuat wanita paruh baya itu menghangat. Pikiran buruk bahwa putrinya akan mendorongnya kembali hingga nampannya terjatuh sempat menghantuinya
"Ibu suapi, ya," tawar Elena yang baru saja duduk di sofa panjang yang tersedia di kamar Tania.
"Aku bisa sendiri," tolak Tania dengan dinginnya. Tangan kanannya mulai menyendokkan makanan ke mulutnya.
Elena terus saja memandangi wajah cantik putrinya. Ia menyisipkan helaian rambut yang menghalangi putrinya ke belakang telinga. Pandangannya lalu jatuh pada jari telunjuk sebelah kiri yang sudah terbalut plester.
"Apa masih sakit?" tanya Elena sambil mengecup jari yang terluka itu.
Tania kaget melihat apa yang baru saja Elena lakukan. Ia pun tersenyum kecil dan menggeleng tanda rasa sakitnya telah hilang.
Setelah selesai makan Elena membawa Tania ke dalam pangkuannya. Ia terus mengelus lembut surai coklat kepala putrinya yang sedang berbaring di atas pahanya.
"Ibu akan membujuk Ayah agar mengurungkan niatnya," celetuk Elena.
Tania yang sedari tadi terpejam menikmati belaian lembut tangan renta itu tiba-tiba membuka kedua matanya. "Itu tidak mungkin. Sejak dulu Ibu tidak pernah berhasil."
"Maafkan Ibu, Sayang," sesal Elena. Tania mengangguk dan sedikit berdeham, lalu memejamkan matanya kembali.
"Apa kabar, Tania?" tanya Ayden sontak membuat mata Tania kembali terbuka.
"Seperti yang kau lihat, Ayah," jawab Tania. Ia kemudian mengubah posisinya menjadi duduk. "Kudengar Ayah sedang sakit, tapi sepertinya sekarang Ayah sudah sembuh. Sungguh kehormatan bagiku Ayah mau mengunjungiku," ucapnya terdengar sarkasme.
"Kutahu kau telah mendengar semua percakapanku dan Elena, kuharap kau mengerti, Tania." Tanpa mau berbasa-basi Ayden langsung pada inti. Tania tersenyum miris, ayahnya begitu tenang menjualnya.
"Dan Anda pun tahu apa jawabanku, Tuan Ayden," balas Tania. Ayahnya berkata kau dan aku dengannya, jadi ia pun membalasnya.
Ayden mengetatkan rahangnya kala mendengar ucapan formal putrinya. Ia pun geram melihat reaksi penolakan yang dilayangkan putrinya.
"Kau tidak bisa menolaknya, Tania. Kumohon sekali saja kau melakukan sesuatu yang menyenangkanku," ujar Ayden.
"Apa dengan menjual putrimu sendiri termasuk kesenanganmu, Tuan?" tanya Tania berapi-api. Sedangkan Elena yang berada di sampingnya langsung menggenggam tangan putrinya—memerintahkannya agar putrinya bisa menahan amarahnya.
"Aku tidak menjualmu, Tania. Aku pun tidak menikahkanmu dengan pria tua berperut buncit. Aku memberimu calon suami yang tampan dan juga mapan. Seharusnya kau merasa beruntung mendapatkannya," bantah Ayden. Kedua tangannya mengepal. Ia mencoba sedikit tenang. Mungkin dengan cara itu Tania bisa luluh padanya.
Tania menatap tajam ayahnya. "Beruntung? Apa Anda sudah mengenal baik pria itu?"
"Aku yakin dia pria yang baik. Aku tidak mungkin menjerumuskan putriku sendiri," jawab Ayden jujur. Ia mungkin membenci putrinya. Namun, ia juga tidak ingin putrinya itu sengsara.
"Bagaimana jika pernikahan itu gagal? Apa jaminan yang Anda tawarkan bahwa aku akan bahagia bersamanya?" tanya Tania. Saat ini keduanya berbicara seolah dua orang asing yang tak memiliki ikatan apa pun.
"Aku akan menghajar pria itu dengan tanganku sendiri sampai pria itu bersujud meminta ampun di bawah kakimu," jawab Ayden yakin.
Tania menyeringai mendengar jawaban ayahnya. Ingin sekali ia mati saja daripada menerima perjodohan ah ... lebih tepatnya kesepakatan penjualan dirinya. Namun, ia berpikir mungkin inilah permainan takdir untuknya. Ia pun memikirkan ribuan nasib karyawan ayahnya jika perusahaan itu bangkrut.
Tania mengulurkan tangan kanannya kepada ayahnya. "Jika rumah tanggaku hancur dan harus berakhir dengan perceraian, aku ingin Ayah juga menceraikan Ibu, deal?"
Elena dan Ayden terbelalak mendengar tawaran putrinya yang begitu menohok, membuat pria itu mengepalkan kedua tangannya tak mampu lagi menahan amarah atas sikap putrinya. Darahnya terasa mendidih dan rasa sakit di jantungnya kembali dirasanya.
Di saat Ayden hendak melayangkan tangannya ke udara untuk kembali mendarat di pipi mulus Tania, Elena secepat kilat menahannya.
Mata Ayden memincing tidak suka atas apa yang sudah Elena lakukan. Istrinya itu terlalu memanjakan putrinya hingga bersikap keterlaluan seperti ini.
"Deal." Bukan Ayden yang menjawab, melainkan Elena. Belum juga amarahnya reda, pria itu semakin tak percaya atas apa yang baru saja istrinya lontarkan. Sementara itu Tania memandang dengan tersenyum puas, walau hatinya menyimpan sejuta kepedihan.