Seorang pria bernetra hitam legam itu berjalan dengan kedua tangan yang mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras. Giginya bergemeletuk. Segala macam umpatan ia layangkan pada gadis yang membuatnya nyaris gila.
Pria itu terasa seperti ingin meledak. Tak diindahkannya sebuah kesopanan, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu pria itu langsung membuka pintu ruang kerja seseorang yang memiliki kedudukan tinggi di perusahaan itu.
"Hai, bagaimana kesan kencan pertamamu, Dimas?" tanya seorang pria paruh baya sambil bersandar santai di kursi kebesarannya.
"Apa maksud Papa menjodohkanku dengan gadis sepertinya? Apa Papa sudah gila?" Bukannya menjawab Dimas malah balik bertanya.
Kedua alis pria paruh baya itu saling menyatu. "Tentu saja papamu ini waras, Dimas, bahkan sangat waras," balasnya.
"Papa tahu, gadis itu membuatku benar-benar gila," keluh Dimas sambil mengerang frustasi dengan menjambak rambutnya.
Dirga—pria paruh baya itu—terkekeh melihat reaksi putra tunggalnya. "Ternyata Ayden benar, putrinya memang sangat mudah membuat para pria tergila-gila pada pesonanya. Pantas saja pria itu begitu protektif pada putrinya. Kau adalah pria beruntung yang menjadi calon suaminya."
"Beruntung Papa bilang? Kalau aku tidak menghargai Papa dan orangtuanya, rasanya aku tak sanggup berlama-lama dengannya," ujar Dimas sambil menghempaskan bokongnya di kursi seberang ayahnya.
Dirga lagi-lagi terkekeh. "Oh ayolah, pernikahanmu tinggal sebulan lagi. Rupa-rupanya kau sudah tidak sabar untuk menerkamnya dalam kuasamu," godanya sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Aku ingin mundur dari perjodohan ini. Bagaimana mungkin Papa menjodohkanku dengan itik buruk rupa sepertinya?" tanya Dimas sarkasme. Ya, ia sungguh tidak rela harus menikahi seorang gadis yang wajahnya jauh dari kata standarnya.
Tak perlu jauh-jauh mengharapkan gadis berwajah seperti para model Victoria Secret yang putih mulus dan juga sexy, karena wajah gadis Indonesia dengan warna kulitnya yang khas pun tak kalah cantik. Tapi, gadis itu ... sungguh tak sebanding dengan wajahnya yang tampan. Oh ayolah ... apa tidak ada lagi gadis di dunia ini? Kenapa harus gadis berkacamata tebal, gigi tonggos, jerawat, dan tompel di wajahnya. Belum lagi standar gaya busananya yang jauh dari kata modis. Mau ditaruh di mana wajahnya di depan para wanita yang memujanya selama ini.
"Jangan menghina kamu! Jelas-jelas saja parasnya begitu sempurna. Dan jangan pernah berpikir untuk mundur dari perjodohan ini!" tegas Dirga dengan melayangkan tatapan intimidasinya.
"Sempurna dari mana, Papa? Rasanya aku ingin muntah melihatnya. Aku rasa Papa telah dibohongi oleh ayahnya atau mungkin ia kecelakaan sehingga wajahnya rusak," keluh Dimas membayangkan bagaimana rupa gadis yang beberapa waktu lalu telah berkencan dengannya. Ah, pantas saja dia mendapatkan beasiswa, pasti hanya buku-buku yang mau menemaninya, batinnya.
"Papa tidak mengerti dengan semua ucapanmu. Apa gadis ini yang tadi kau temui, Dimas?" tanya Dirga sambil memperlihatkan foto Tania yang ada di ponselnya.
Mata Dimas membola. Lidahnya terasa kelu untuk sekadar mengeluarkan satu kata. Ia tak sanggup untuk tidak menelan salivanya. Gadis yang kini sedang dilihatnya mengapa jauh berbeda 360 derajat dengan gadis yang tadi bertemu dengannya walau warna rambut gadis itu memang terlihat sama.
Gadis yang kini ditatapnya sedang memberi makan burung-burung di taman kota. Netra coklat madu gadis itu begitu teduh. Pipinya yang putih bersih dengan rona merah yang alami. Rambut hitam kecoklatan sedikit ikal yang sedang tersapu angin. Dan jangan lupakan bibir ranum yang sedang tersenyum indah itu. Membuat Dimas seketika bagai tersihir dibuatnya. Kakinya terasa seakan meleleh.
Pria paruh baya itu berdecak melihat tampang putranya yang hanya melongo. "Sudah, jangan menatapnya seperti itu. Ingat, kau belum sah, Dimas," ucapnya sambil menarik ponselnya kembali. Seketika Dimas tersentak dari keterpesonaannya.
Dimas mengerang. "Lalu bagaimana bisa gadis yang aku temui tadi berbeda dengan gadis yang di foto itu, Papa?"
"Mungkin ia hanya sedang mengetesmu," jawab Dirga. Ia condongkan kepalanya ke depan agar lebih dekat dengan putranya. Kedua tangannya bersidekap di atas meja dan matanya menatap tajam putranya. "Dengarkan Papa, Dimas. Papa tidak mungkin menjodohkanmu dengan gadis biasa. Dia adalah gadis yang baik dan sempurna untukmu," tambahnya.
"Harus aku akui kalau wajahnya memang sangat cantik, tapi tetap saja aku tidak tertarik akan pesonanya," ujar Dimas sambil menyandarkan punggungnya untuk sambil memijat pelipisnya yang terasa berdenyut memikirkan bahwa ia baru saja dipermainkan seorang gadis.
"Kenapa? Apa karena wanita itu, huh? Untuk apa kau memikirkan wanita pengkhianat sepertinya, Dimas?" tanya Dirga dengan geram.
"Cukup, Papa!" bentak Dimas tak terima.
"Memang itulah kenyataannya. Sudah kukatakan kalau dia bukan wanita baik-baik, tapi kau telah terperdaya oleh bisa ularnya," balas Dirga. Ia sungguh geram dengan sikap putranya yang begitu lemah, karena mengagungkan seorang wanita yang begitu rendah. "Lupakan wanita itu, Dimas. Suka tidak suka pernikahan itu akan tetap berlangsung," lanjutnya.
"Jika Papa begitu menyukai gadis itu, mengapa tidak Papa saja yang menikah dengannya?" tanya Dimas sambil mencebikkan bibirnya.
"Tutup mulutmu! Aku bukan pria yang menyukai daun muda. Terlebih lagi aku takkan mungkin mengkhianati ibumu, karena hanya dia satu-satunya wanita yang aku cintai," jawab Dirga dengan geram.
"Jika Papa bisa menikah dengan wanita yang Papa cintai, lalu mengapa aku tidak boleh memilih wanita yang aku cintai untuk menjadi istriku?" tanya Dimas tak kalah geram.
"Kau tidak mencintainya, kau hanya terobsesi padanya. Terlebih kau sudah tahu alasan mengapa aku tidak suka padanya," jawab Dirga. Ia sudah tidak tahu harus bagaimana menyadarkan putra satu-satunya itu.
"Aku tetap tidak akan menikahinya," tolak Dimas dengan tegas. Ia sudah tak mau lagi berdebat dengan ayahnya. Ia beranjak dari kursi. "Aku pergi," pamitnya.
Dirga menatap punggung putranya yang hendak membuka pintu meninggalkan ruang kerjanya. "Silakan, tapi kau sudah tahu konsekuensinya. Jangan pernah berpikir untuk lari, karena kau sendiri yang akan rugi."
Langkah Dimas terhenti begitu mendengar penuturan ayahnya yang membuat rahangnya mengetat dan mengepalkan erat kedua tangan yang berada di sisi kanan-kiri tubuhnya. Pria itu tak ingin membalas sepatah kata pun untuk membalas ayahnya. Tanpa membalikkan badannya, pria itu kembali melanjutkan niatnya untuk segera pergi.
Seringai iblis tercetak jelas di wajah tampan Dimas. Welcome to the hell, Tania, batinnya.
***
Deru mobil yang baru saja memasuki pelataran rumah membuat Elena bergegas membuka pintu utama untuk menyambut seseorang yang sedari tadi dinantinya. Bersamaan dengan pintu rumah yang terbuka lebar, Tania berdiri dengan sebuah senyuman yang terbit dari bibirnya. Wanita paruh baya itu merengkuh tubuh putrinya, membuat Tania mengernyit.
Sadar atas apa yang baru saja diperbuat, Elena langsung melepaskan pelukannya. "Masuklah, kau pasti lelah," titahnya dengan sedikit canggung mengingat apa yang putrinya semalam lontarkan begitu menyayat hatinya.
Tania mengangguk. Ia mengekor tubuh ibunya yang berjalan di depannya. Gadis itu sadar atas perubahan ibunya. Wanita paruh baya itu nampak membuat jarak dengannya.
"Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulut Tania sambil menghentikan langkah kaki ibunya.
Elena menoleh ke belakang. Seperti biasa wanita paruh baya itu selalu terlihat begitu lembut. Dan lihatlah kini, setelah apa yang semalam putrinya katakan, wanita paruh baya itu malah menerbitkan senyum tulusnya seraya berkata, "Itu memang keputusan yang baik."
Gadis itu berhambur ke pelukan ibunya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk mengatakannya," sesalnya.
"Aku tahu. Gadis kecilku takkan mungkin seperti itu," balas Elena sambil mengelus punggung putrinya.
Tania melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah tenang ibunya, meski ia tahu di balik wajah itu menyimpan raut kekecewaan. "Mengapa Ibu menyetujuinya?" tanyanya.
Tangan Elena memainkan helaian rambut putrinya. Matanya terlihat sendu, menyembunyikan kabut hitam yang sedari tadi bertengger manis di hatinya. "Karena Ibu pikir mungkin ayahmu akan berubah pikiran," jawab Elena. Karena itulah yang seharusnya aku lakukan berpuluh tahun lalu, lanjutnya dalam hati.
Tania berdecak. Kedua tangannya menyilang di d**a. "Tapi nyatanya tidak," keluhnya sambil mengerucutkan bibirnya.
Elena terkekeh. Tangannya gemas hingga mencubit pelan hidung putrinya. "Kau begitu mirip dengannya. Sama-sama keras kepala."
"Hei, aku tidak seperti pria tua itu," bantah Tania sambil memalingkan wajahnya—kesal.
"Siapa yang kau sebut dengan pria tua itu, Tania?!" Suara bariton terdengar menggelegar.
Tania menggigit bibirnya sambil menutup matanya. Dengan segenap hati ia membalikkan tubuhnya untuk menatap pria yang bertanya padanya.
"Kau sudah pulang, Ay," ujar Elena sambil membawa tas kerja suaminya, lalu mengecup punggung tangan suaminya penuh hormat. "Istirahatlah, kondisimu bahkan belum pulih benar." Wanita itu bergelayut di lengan suaminya sambil sesekali mengelusnya. Wanita itu tahu percikan amarah bersiap untuk meledak dari mulut suaminya.
Tak seperti biasanya yang hanyut dalam kelembutan istrinya, Ayden melepaskan tangan istrinya. satu tangannya merogoh saku kantong celana, mengeluarkan beberapa lembaran kertas bergambar, lalu melemparkannya tepat di wajah putrinya.
"Lihatlah kelakuan putri kesayanganmu yang bahkan tak menghargaimu, Elena!" ketus Ayden. "Anak itu benar-benar ingin membuatku cepat mati!" erangnya.
Elena segera memungut lembaran foto itu. Dahinya berkerut tak mengerti kala melihat sebuah foto sepasang pasangan yang sedang berkencan. Ia tahu bahwa gadis dalam foto itu adalah sosok yang tak asing baginya.
"Apa ini kau, Tania?" Dalam hati Elena berharap putrinya menjawab tidak. Namun, sebuah anggukan yang Tania lakukan membuatnya membekap mulutnya tak percaya.
Ayden mengepalkan kedua tangannya. "Mengapa kau mempermalukanku, mempermalukan dirimu sediri?!"
"A—aku hanya mengetesnya," jawab Tania jujur.
"Ini bukan ujian sekolah, Tania. Untuk apa kau melakukan tes segala?" Ayden meremas jantungnya—nyeri. Lama-lama dia bisa stroke melihat kelakuan putri bungsunya ini. Tadi sore ia memerintahkan orang suruhannya untuk mengawasi gerak-gerik putrinya. Orang suruhannya berkata putrinya datang ke sebuah salon. Lama orang suruhan itu menunggu hingga dahinya berkerut, karena sosok yang masuk ke dalam mobil putri majikannya itu berpenampilan berbeda.
"Aku hanya ingin tahu apakah ia akan tetap menerimaku dengan penampilan seperti itu atau tidak," jawab Tania sambil menundukkan kepalanya.
"Lalu apa reaksinya?" Kali ini bukan Ayden yang bertanya, melainkan Elena dengan segala rasa penasarannya.
"Dia bersikap biasa saja, tetap berbicara denganku, meski dia terlihat jijik dengan penampilanku," jawab Tania. Memang itulah yang Dimas lakukan. Ia pikir pria itu akan pura-pura ada acara agar bisa segera terbebas kencan dengannya, tapi ternyata pria itu masih mau berlama-lama menemaninya.
Elena menyunggingkan senyum lega. "Itu bagus. Itu berarti dia menerimamu tak peduli akan penampilanmu."
"Sudah kukatakan kalau pria itu adalah pria yang baik, Tania. Kau tak perlu meragukannya." Ayden nampak gembira.
Itu berarti pernikahannya dengan Elena bisa aman.
"Tapi belum tentu. Dia bisa saja hanya pura-pura menghargaiku. Aku yakin pasti ia akan mengadukan kepada kedua orangtuanya agar membatalkan perjodohan ini." Kali ini Tania berani menatap wajah ayahnya.
Tiba-tiba saja ponsel Ayden bergetar, menampakkan nama calon besannya. Pria itu pun mengangkatnya.
"Halo, ada apa, Dirga?" tanya Ayden di depan anak dan istrinya.
"...."
"Ok. Aku setuju. Baiklah kita bicarakan lagi nanti." Ayden menutup sambungannya. Pria tua itu tersenyum manis kepada putrinya, lalu berkata, "Pernikahanmu dimajukan menjadi dua minggu lagi, Tania Sayang."
"Apa?!" pekik Tania. "Tap—" Belum juga selesai ucapan gadis itu harus terpotong oleh ayahnya.
"Bantu putri kita tercinta mempersiapkan pernikahannya, Lena," ujar Ayden sambil merengkuh pinggang istrinya, lalu mengecup pipinya.
Tania sungguh muak melihat pemandangan yang seolah-olah sedang mengejek takdirnya. Gadis itu pun berlari ke kamarnya. Melempar guling tak berdosa, lalu menenggelamkan wajahnya pada bantal sambil terus memukul-mukul sisi bantalnya.
Sebuah notif masuk di ponselnya. Dengan tak bersemangat gadis itu mengecek ratusan pesan yang masuk di ponselnya. Rata-rata pesan itu dari sahabat-sahabatnya yang menanyakan kabarnya mengapa pergi begitu mendadak. Namun, dari ratusan pesan itu ada satu pesan yang cukup menarik hatinya.
Wahai Cinderella-ku, jika dalam dongeng seorang pangeran datang untuk menyempurnakan sebelah sepatu Cinderella yang tertinggal, berbeda dengan pangeran yang satu ini. Tunggulah pangeranmu ini datang untuk menyempurnakan setengah iman dan mempertemukan pemilik tulang rusukmu.
Your future imam,
D