Lima belas menit berlalu namun gadis itu tak kunjung juga kembali, membuat Dimas merasa kebingungan. Pun dengan Ayden dan Elena yang takut putrinya melakukan kegilaan yang memalukan.
"Aku akan menyusulnya," ujar Dimas.
"Aku ikut," serbu Abyan seraya melayangkan tatapan nyalang pada ayahnya yang sepertinya ingin ikut mencari. "Sebaiknya kalian di sini agar para tamu tidak curiga," usulnya.
Dimas mengangguk. Akhirnya kedua pria tampan dengan mata yang sama-sama hitam itu pergi mencari Tania. Fokus pertama mereka adalah toilet terdekat, karena gadis itu mengatakan ingin ke belakang. Namun, apa yang pria-pria tampan itu dapat? Orang yang dicari tidak ada di dalam.
"Sebaiknya kita berpencar," usul Abyan dibalas Dimas dengan sebuah anggukan.
Abyan merasa frustasi. Ayolah, itu hotel besar. Di mana dan di lantai berapa adiknya itu berada? Pikiran buruk mulai menghantuinya. "Apa jangan-jangan … Tania kabur? s**t!" gumamnya.
Waktu terus berjalan, kedua pria itu terus mencari ke sana kemari. Mereka tak peduli akan tatapan aneh para pengunjung yang melirik ke arahnya, terutama Dimas. Hotel itu adalah miliknya, jika sampai ada yang berani macam-macam padanya, pria itu tak segan-segan melakukan hal buruk sekalipun.
"Kak Aby." Di tengah-tengah keputusasaannya, suara itu terdengar bagai melodi indah yang melantun merdu di telinga Abyan.
Abyan membalikkan tubuhnya. Sebuah senyum kelegaan terbit di bibirnya kala pandangannya jatuh pada sosok yang tengah dicarinya. Bagai sebuah film romantis ala-ala Bollywood di mana adegan saat takdir mempertemukan sepasang kekasih yang baru saja bertemu, tanpa pikir panjang pria itu berlari dan berhampur memeluk adiknya dengan erat.
"Kau ke mana saja? Tidakkah kau tahu aku panik sekali, takut kehilangan dirimu?" tanya Abyan tanpa melepaskan pelukannya.
"Kakak, sesak," lirih Tania membuat Abyan melonggarkan kedua tangannya.
Raut wajah kekhawatiran Abyan berubah menjadi menakutkan. "Jawab aku! Apa kau berniat lari tanpa memberitahuku, Tania?" tanyanya membuat Tania sedikit bergetar. Kakaknya di kala marah sama menyeramkannya dengan ayahnya.
"Aku tidak ke mana-mana. Bukankah aku sudah izin ke toilet?" Gadis itu malah balik bertanya.
"Setengah jam lamanya. Memangnya apa saja yang kaulakukan di dalam sana? Kau tahu, aku dan Dimas panik saat kami tidak menemukanmu di toilet," ucap Abyan dengan geram.
"Hah! Kalian mencariku?" Tania bertanya dengan tampang tidak percaya. "Aku tidak menggunakan toilet umum, tapi toilet kamar inapku," lanjutnya.
Abyan berdecak kesal sambil menggeleng. "Kukira kau akan kabur."
"Tadinya, tapi ... tidak jadi," balas Tania seraya mengembuskan napas kasar. "Ayo, kita kembali. Bisa-bisa pria tua itu memakiku," lanjutnya.
Abyan mengangguk dan menggandeng tangan adiknya. "Maaf soal yang tadi," sesalnya. Sementara itu Tania hanya membalas dengan sebuah dehaman.
"Tania, kau dari mana saja?" tanya Dimas dengan napas terengah di saat berpapasan dengan istri dan kakak iparnya.
"Tadi 'kan aku sudah mengatakannya," sahut Tania seraya memutar kedua netranya.
Abyan yang mengerti segera menyerahkan adiknya pada suaminya yang terlihat penuh kekhawatiran. Membiarkan sepasang suami istri itu berjalan beriringan, sedangkan dirinya berjalan lebih dulu.
"Kau membuatku khawatir," ucap Dimas. "Kukira kau akan pergi karena menyesali pernikahan ini."
"Bagaimana jika seandainya aku pergi?" Tania menghentikan langkahnya, lalu menatap lekat wajah suaminya.
"Aku takkan membiarkanmu pergi," balas Dimas.
"Bagaimana jika aku pergi dalam arti sebenarnya? Emmm ... maksudku pergi meninggalkan dunia ini?" tanya Tania lagi.
"Aku akan merengek pada Tuhan 'tuk mengembalikanmu kembali," jawab Dimas penuh keyakinan.
Tania menatap manik hitam di depannya. "Bagaimana jika Tuhan tak mengizinkanku kembali?"
"Kalau begitu aku akan menanti saat di mana Tuhan mempertemukan kita kembali walau di dimensi yang berbeda," balas Dimas yang mulai jengah dengan pertanyaan konyol istrinya.
Tania terkekeh kecil. "Kukira, kau akan menjawab 'Aku akan mengakhiri hidupku dan menyusulmu', seperti orang-orang alay lainnya."
"Karena itu hanya hal bodoh, Tania. Mengakhiri hidup hanya membuat orang lain tertawa di atas penderitaanmu," tukas Dimas. Pria itu memejamkan matanya, lalu mengembuskan napas kasar. "Please, stay with me, my wife," pintanya seraya menggenggam tangan istrinya.
"Tunjukkan padaku mengapa aku harus berada di sampingmu," tantang Tania seraya berlalu begitu saja.
***
Langit semakin menghitam dan waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Para tamu undangan telah pulang ke rumahnya masing-masing, menyisakan sepasang suami istri itu dan kedua orangtua mereka.
"Kau terlihat pucat, Sayang. Apa kau grogi akan malam pertamamu?" goda sang ibu mertua pada Tania, membuat semburat rona mera menjalar di pipi sang menantu.
"Perlakukan menantuku dengan lembut, Dimas. Ini kali pertama untuknya." Kali ini Dirga yang menggoda.
Dimas hanya menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. Pertama dari mana, Papa? Aku bahkan tidak tahu berapa kali Marcel menyentuhnya sampai mereka membuahkan hasil, batinnya.
"Kami pulang dulu, Sayang. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian," ucap Elena dengan lembut.
"Jaga putriku baik-baik, Dimas," pesan Ayden pada menantunya.
"Jangan pernah kau lukai adikku," desis Abyan pada adik iparnya.
"Tentu, aku akan selalu menjaganya dan hanya akan membuatnya menitikan air mata bahagia," ujar Dimas seraya merengkuh pinggang istrinya.
"Satu lagi, Tania masih kuliah, aku tidak ingin kalian terburu-buru memberiku cucu. Sebaiknya kalian menikmati saja waktu berdua. Tapi, kalau sudah terlanjur hamil juga tidak apa-apa sih, seperti kita dulu," goda Dirga seraya mengedipkan sebelah matanya, membuat Sarah mencubit perutnya.
Tania tanpa sadar menyunggingkan senyumnya. Bolehkah ia berharap mendapat perlakuan manis dari suaminya seperti yang didapat ibu dan ibu mertuanya? Seketika ia hapus pikiran itu cepat-cepat.
Dimas berdecak. "Hei, berhentilah bertingkah seperti anak muda, Papa," guraunya. Sebenarnya pria itu hanya tidak ingin mengingatkan kesedihan orangtuanya yang harus kehilangan kakaknya—Clarinda—di saat gadis itu berusia lima tahun.
Dirga terkekeh. "Sepertinya putraku sudah tidak sabar. Baiklah kalau begitu, kita semua pulang dulu."
Satu persatu mereka pamit. Namun Tania enggan melepaskan dirinya yang memeluk seraya mencengkram jas ayahnya.
"Hei, putri Ayah sudah besar, janganlah bermanja-manja. Kau tidak malu dengan suamimu? Bermanjalah pada suamimu," ujar Ayden. Pria itu mulai melepaskan tangan putrinya. Namun, cengkraman itu terlalu kuat. Kini pria itu bisa merasakan jasnya basah akibat air mata yang jatuh dari pelupuk putrinya. Pria itu pun mendongakkan wajah putrinya seraya berkata, "Kau akan selalu menjadi gadis kecilku. Aku akan selalu menantimu mengunjungiku."
Tania menggeleng. Mungkin Dimas dan kedua orangtuanya menyangka ia adalah gadis kecil ayah yang manja. Nyatanya, sejak kecil ia haus akan tingkah itu. Saat ini gadis itu hanya ingin mengungkapkan betapa ketakutan menghantamnya.
"Sayang, besok kita akan berkunjung ke rumahmu, ya," bujuk Dimas. Namun, Tania masih saja menggeleng.
"Tania, kita pulang dulu, ya," pamit Elena. Akhirnya, Tania perlahan melepaskan rengkuhannya.
Ayden menyeka butiran bening yang membasahi wajah putrinya, kemudian mengecup dahi putrinya. "Doaku selalu menyertaimu."
Akhirnya drama itu usai, Dimas mendesah lega. Akhirnya ia bisa menikmati waktu berdua bersama istrinya. Persetan ia bukan yang pertama untuk gadis itu. Gadis itu memiliki wajah cantik dan tubuh yang indah. Ia akan menghapus semua jejak lelaki lain dengan miliknya.
"Aku atau kau dulu yang mandi? Atau bagaimana jika kita mandi berdua?" tanya Dimas seraya mendekatkan wajahnya pada istrinya.
"A—aku dulu," jawab Tania sambil berlari terbirit-b***t memasuki kamar mandi.
Dua puluh menit berlalu, tapi gadis itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Dimas berdiri di depan pintu kamar mandi, lalu mengetuknya. Ia sudah kesal menunggu, tak sabar membasuh rasa lengket di tubuhnya akibat keringat. Meski ia tahu semua itu percuma saja, karena setelahnya tubuhnya akan bermandikan keringat bersama Tania.
"Tania, apa kau sakit perut lagi?" tanya Dimas dari luar.
Bukan jawaban yang Dimas dapat, melainkan Tania yang menyembulkan kepalanya, kemudian membuka pintu kamar mandi tersebut.
"Aku tidak bisa membuka ritsletingku, bisakah kau membantuku?" tanya Tania dengan malu.
Dimas menahan tawanya. "Jadi, rupanya istriku ini sedang mencoba menggodaku. Baiklah, kalau begitu kita akan mandi berdua."
"Ti—tidak! Aku tidak mau. Kau cukup membukanya saja," tolak Tania dengan wajah yang semakin memucat.
"Baiklah," ujar Dimas.
"Tutup matamu," titah Tania sebelum membalikkan tubuhnya.
"Kenapa harus ditutup, padahal nanti juga aku akan melihat semuanya?" tanya Dimas.
"Pokoknya tutup," ujar Tania geram.
"Kau mau aku bantu atau tidak? Kau tak perlu malu dengan suamimu sendiri. Bukankah sebelumnya kau pernah memperlihatkan tubuhmu pada pria lain?" Ucapan Dimas seketika begitu menohok hatinya.
"Pokoknya tutup!" geram Tania.
"Baiklah, baiklah." Akhirnya Dimas mengalah.
Setelah dilihatnya Dimas memejamkan kedua matanya, Tania membalikkan tubuhnya. Pria itu mulai meraba-raba punggung gadis itu yang terhalang gaun yang indah.
Tania mendengus kesal, Dimas tak kunjung jua membuka ritsletingnya, malah bermain-main dengan punggungnya. "Kau ini sebenarnya bisa tidah, sih?"
"Susah, Tania. Aku tidak bisa melihat di mana ritsletingnya. Kau sendiri yang memintaku menutup mata," jawab Dimas.
Tania mengembuskan napas kasar. Dengan terpaksa ia berkata, "Baiklah, kau boleh membuka matamu."
Seringai kemenangan tercetak di wajah tampan Dimas. "Nah, kalau seperti ini 'kan gampang."
Dimas memang sudah menemukan letak ritsleting itu. Pertama-tama pria itu membuka kancing yang bertengger di bagian atas dengan mulutnya hingga sesekali Tania merasakan napas pria itu di kulitnya. Setelah itu, dengan sangat pelan tangannya menurunkan ritsleting itu.
"Bisa cepat sedikit, tidak?" tanya Tania. Pasalnya ia tahu kalau ternyata suaminya itu semakin mempermainkannya.
"Sabarlah, Sayang," ujar Dimas. Tak lama kemudian akhirnya ritsleting itu berhasil terbuka hingga bawah. Menampakkan punggung putih mulus istrinya. Dengan berani, bibirnya mulai mengecupi punggung itu.
Tania segera melangkahkan kakinya untuk melindungi dirinya dari terkaman suaminya dengan kedua tangan yang mencengkram gaunnya bagian depan agar tidak melorot. Namun, baru saja beberapa langkah, suaminya langsung menggendong dan menghempaskannya ke ranjang.
"Jangan bermain-main, Tania," ucap Dimas yang sudah terbakar gairahnya.
Tania terlihat panik. "Jangan macam-macam!" Namun Dimas tak menghiraukannya. Pria itu justru mengusap bibir ranum istrinya dengan ibu jari. Tanpa sadar Tania menutup kedua matanya kala ibu jari itu menyentuh bibirnya. "Dam—"
"Kau mengumpat atau menikmatinya?" goda Dimas menghentikan aksinya.
Sial, bukan kata damn yang Tania maksud. Entah mengapa gadis itu merasa de javu akan perlakuan Damian pada bibirnya. Gadis itu merutuki dirinya sendiri mengapa memikirkan pria lain saat bersama suaminya. Tidak-tidak, bukan berarti ia menikmati sentuhan Damian, tapi ia merasa telah mengecewakan pria yang sekarang sedang berhijrah itu. Entah seberapa besar kekecewaan yang dirasakan pria itu, jika tahu gadis pujaannya telah menikah diam-diam.
Tania mendorong tubuh Dimas hingga terjengkang. "A—aku sedang kedatangan tamu bulananku," ucapnya. Semburat pink pun menghias pipinya menahan malu.
Dimas mengangkat sebelah alisnya, tak percaya. "Really? Jangan menipuku, Tania."
"Aku tidak berbohong. Dia baru saja datang saat kita dansa tadi. Itulah mengapa aku pamit ke belakang," sanggah Tania.
Dimas tetap tak percaya. Ia akan membuktikannya sendiri. Di saat bibirnya ingin menyentuh bibir istrinya, gadis itu malah membekap mulutnya.
"Aku mual," ucap Tania terdengar kurang jelas. Gadis itu kembali mendorong tubuh suaminya, kemudian berlari ke kamar mandi sambil mencengkram gaunnya.
Tak lama kemudian, Tania berulang kali memuntahkan cairan bening dari mulutnya, bahkan ada sedikit sisa makanan yang ikut dikeluarkan. Dengan lemas gadis itu membersihkan mulutnya. Dimas yang sedari tadi terpaku pun akhirnya menghampiri istrinya. Pria itu mulai memijit tengkuk istrinya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Dimas khawatir.
Tania mengangguk. "Aku baik-baik saja. Sebaiknya kau ke luar."
Dimas pun mau tak mau menurutinya. Pria itu mendesah frustasi. Ia tak menyangka malam pertamanya harus sekacau ini. Tepat di saat gadis itu dengan beraninya membakar hangus gairahnya.