Tania tak habis pikir atas apa yang telah dilakukannya. Semalam, di saat ia sudah selesai mengetikkan pesan bahwa ia menerima tawaran Abyan untuk melarikan diri sementara waktu, bukannya menekan tombol send, dirinya justru malah menghapus seluruh isinya. Lagi-lagi rasa gundah membelenggunya.
Selama ini mungkin gadis itu tak ada masalah berhubungan dengan pria mana pun, tapi menjalin sebuah komitmen apalagi sesuatu yang sakral seperti sebuah pernikahan tidak pernah terlintas di benaknya. Gadis itu telah mengeraskan hatinya untuk tak jatuh cinta. Ia tak ingin membahayakan cintanya. Jatuh pada kubangan kesakitan yang menuntut dirinya menginginkan mati. Namun, lihatlah apa yang terjadi saat ini. Sebuah cincin telah melingkar di jari manisnya.
Pagi tadi pria bernetra hitam legam itu telah memasangkan cincin bertabur berlian itu di jari manisnya setelah pria itu berhasil mengucapkan ijab kobul di depan penghulu, ayahnya, dan para saksi.
Bahagia? Entah apa yang dirasakan gadis itu setelah ia menyandang status resmi sebagai nyonya dari Dimas Rafael Martin. Gadis itu hanya diam menerima keadaan yang ada. Ia tak mampu lagi menggungkapkan seluruh perasaannya. Air matanya tak mampu menitikan setetes saja. Percuma—satu kata itu yang mampu mewakili semuanya.
Haruskah ia menyesal, sedangkan ia sendiri yang memutuskan semua ini? Bukankah Abyan sudah memeringatinya sejak awal? Gadis itu sudah memutuskan, dan ia harus siap atas segala konsekuensinya.
Gadis itu memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Bagaimana sedihnya para karyawan yang selama ini menggantungkan nasibnya pada ayahnya, termasuk kondisi fisik dan mental orangtuanya di kala mereka hidup dalam sebuah kebangkrutan yang kemungkinan berujung pada sebuah kemiskinan. Bukankah ayahnya pernah mengatakan bahwa ia pernah mengacaukan rencana ayahnya yang pada akhirnya mendatangkan kekacauan? Mungkin dengan cara ini ia bisa memperbaiki keadaan. Kali ini ia tidak akan menjadi pengacau lagi.
Keuntungan? Itulah yang dipikirkan gadis itu kala ia memutuskan. Berhasil tidaknya pernikahan itu memberikannya keuntungan. Pertama, jika pernikahan itu berhasil, maka ia akan hidup bahagia bersama suami dan keluarga kecilnya. Sedangkan kedua, jika pernikahan itu gagal, maka orangtuanya akan bercerai. Tak ada lagi roman picisan yang harus ia lihat setiap saat dari sepasang sejoli itu. Namun, gadis itu sanksi atas kemungkinan yang kedua. Akankah benar perceraian itu mampu membuat dirinya bahagia?
Gadis itu terduduk dengan pandangan yang jatuh pada gemerlap lampu bangunan pencakar langit yang ia bisa lihat dari kaca jendela kamarnya.
Sebuah ketukan terdengar. Namun, gadis itu enggan beranjak, bahkan lidahnya kelu untuk sekadar mempersilakan masuk.
Deritan pintu terdengar. Tak lama kemudian gadis itu merasa ranjang yang ia duduki bergerak.
"Kau sudah siap?" tanya Elena seraya mengelus surai putrinya.
Tania bergeming, kepalanya terus miring menghadap jendela tanpa mau membalas pertanyaan ibunya.
"Sebaiknya kita segera berangkat. Aku tidak mau membuat keluarga Martin menunggu terlalu lama." Suara bariton dari seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamar terdengar dingin.
Tania menolehkan kepalanya. Wajahnya tak memperlihatkan ekspresi apa pun. Dirinya sungguh tak b*******h. "Aku sudah tahu hadiah apa yang kuinginkan," celetuknya.
Ayden memperlihatkan senyumnya. "Tentu saja, Sayang. Sekarang, apa hadiah yang kau mau?" tanyanya.
"Aku ingin mengunjungi makam mereka," jawab Tania dengan memperlihatkan manik matanya yang telah berkabut.
Ayden mengepalkan kedua tangannya menahan sebuah rasa yang mulai bergejolak. Pria paruh baya itu menarik napas dalam seraya menutup kedua netranya, lalu mengembuskannya perlahan.
Elena menggeleng di saat ia melihat suaminya berjalan ke arahnya dan putrinya—mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin melihat pertengkaran antar ayah dan anak itu. Ayolah, bukankah ini hari yang berbahagia?
Tania menatap lekat wajah pria paruh baya yang kini telah menghempaskan bokongnya di ranjang samping dirinya. Gadis itu diam di saat ayahnya mengelus surai halusnya dari atas ke bawah, lalu berakhir dengan elusan di pipinya.
"Kau masih ingat perkataanku? Tidak ada yang meninggal. Jadi, makam siapa yang akan kau kunjungi?" Ayden berkata dengan sehalus mungkin.
"Jadi, mereka masih hidup?" Senyuman yang baru saja terbit itu tercetak jelas di bibir Tania bersamaan manik mata yang berbinar.
"Tidak ada kata mereka. Ayah mohon berhentilah, Sayang," balas Ayden seraya menggenggam tangan putrinya.
Tania segera menarik tangannya cepat dan beranjak. "Ok, tidak ada kata mereka. Tapi, dia ada dan aku menginginkannya!"
"Tania, cukup!" bentak Ayden.
"Ayden," ucap Elena lirih memeringati suaminya untuk tidak semakin menyulut api.
Elena mendekati Tania. Kedua tangannya menyentuh kedua bahu putrinya yang sedang turun naik akibat hatinya yang bergemuruh. Namun, gadis itu malah segera menepisnya.
"Kak Aby benar, Ayah memang iblis," ucap Tania berapi-api. Gadis itu membalikkan tubuhnya, menatap dari atas hingga bawah tubuh ibunya. Sebuah seringai tercetak di wajahnya. "Dan kau ... iblis berkedok malaikat," lanjutnya yang seketika membuat kedua orangtuanya terbelalak.
"Tania!" pekik Ayden seraya melayangkan sebelah tangannya di udara, sementara itu Elena langsung menarik tubuh putrinya dan menyembunyikannya ke dalam dekapannya—menghalangi agar tidak terkena tamparan suaminya.
"Jika sampai tangan kotormu menyentuh adikku, aku tak segan-segan membawanya pergi sejauh mungkin." Perkataan Abyan membuat Ayden mengepalkan tangannya yang di udara tadi, lalu menurunkannya.
"Dia sudah menjadi istri orang, Abyan. Kau tak bisa seenaknya membawa dia pergi," kekeh Ayden. Mata kedua pria itu beradu, saling melemparkan kilatan menyeramkan.
"Pernikahan bisa dibatalkan dengan berbagai alasan, salah satunya karena adanya unsur paksaan untuk sebelah pihak. Jika kau belum pikun, maka kau ingat siapa yang memaksa adikku menyetujui perjodohan gila ini, Tuan Ayden yang terhormat," balas Abyan penuh sarkasme. "Aku akan ke Pengadilan Agama dan mengajukan pembatalan nikah," lanjutnya.
"Jangan gila, Abyan!" pekik Ayden seraya mecengkram kerah putranya.
"Kau yang gila," balas Abyan. Pria itu bahkan sudah tak lagi menyebut pria yang telah berjasa menghadirkannya ke dunia ini dengan sebutan ayah. "Kau bilang, kau menyayanginya. Kau pun berjanji takkan menyakitinya lagi. Tapi ... apa yang kulihat?"
"Dia yang memulainya," tuduh Ayden seraya melemparkan jari telunjuknya ke arah Tania.
"Aku hanya ingin melihat makamnya," Abyan sangat mengerti apa yang adiknya maksud.
"Aku tidak tahu di mana dia. Mungkin keluarganya membawanya pergi jauh. Dan jikalau aku tahu, aku takkan mengizinkanmu menemuinya." Ucapan Abyan bagaikan pukulan telak di jantung gadis itu.
"Kakak, dia—"
"Aku tak mau mendengarnya, Princess," potong Abyan cepat seraya membalikkan tubuhnya untuk segera pergi. Maafkan aku, Tania, lanjutnya dalam hati.
Tania luruh di lantai. Gadis itu tak peduli akan riasan di wajahnya mulai memudar akibat butiran bening yang membasahi wajahnya. Sebelah tangannya meremas dadanya yang berdenyut nyeri. Ia tak mampu menelan kekecewaan, karena kakaknya tak mendukungnya. Tak jauh dari sana, Ayden pun menatap aneh putranya. Apa ia tidak salah dengar bahwa perkataan putranya seakan-akan mendukungnya?
Ayden menekuk kedua lututnya agar sejajar dengan putrinya. Kedua tangannya kembali merengkuh tubuh lemah putrinya. "Jangan buat Ayah semakin gila, Tania. Ayah mohon," pintanya dengan lirih.
"Tania," panggil Elena dengan lirih. Tangannya terulur ke depan dengan ragu.
Tania melepaskan diri dari rengkuhan Ayden dan menghamburkan tubuhnya pada dekapan Elena. Wanita paruh baya itu terlonjak, kedua tangannya membalas rengkuhan putrinya dan sesekali mengelus punggung putrinya.
"Ibu rasa kita harus memperbaiki riasanmu. Dimas pasti kecewa melihatnya," ujar Elena seraya melepaskan rengkuhan putrinya, lalu menyeka kristal bening itu.
Elena menarik Tania agar sama-sama berdiri seperti dirinya. Wanita itu lalu membawa putrinya duduk di depan meja rias. Tangannya piaway mematut penampilan putrinya agar terlihat sempurna, sementara itu Ayden duduk bersandar di sofa sambil memijat-mijat pelipisnya.
***
Tania menuruni mobil yang sedari tadi ditumpanginya bersama Ayden, Elena dan Abyan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara kasar seraya menatap bangunan hotel megah.
"Ayo," ajak Ayden seraya mengulurkan sebelah tangannya pada putrinya. Mau tak mau Tania menerima uluran tangan itu dan mengaleng lengan ayahnya, sementara itu Elena mengaleng lengan putranya.
Ballroom hotel itu dihias begitu megah untuk acara dua insan yang baru saja dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan. Sebenarnya pesta ini lebih terlihat sebagai makan malam mewah, dibandingkan dengan sebuah resepsi. Tak banyak tamu yang diundang, hanya keluarga inti kedua mempelai, beberapa kerabat dekat, dan kolega dua pengusaha besar itu. Kedua keluarga memang sengaja tidak mengundang banyak pihak, terlebih lagi Tania yang memintanya.
"Biar aku saja." Dimas datang menghampiri Ayden dan Tania yang baru saja sampai.
Tania tak langsung menerima uluran tangan pria yang kini menjadi suaminya. Gadis itu mematung, sepersekian detik selanjutnya ia menatap wajah ayahnya. Ayden pun hanya bisa membalas dengan anggukan.
"Tentu," balas Ayden. Tangannya yang memegang tangan putrinya ia serahkan pada menantunya.
Seperti biasa Dimas tersenyum ramah pada siapa saja. Pria itu benar-benar tahu bagaimana memikat orang agar terjebak dalam pesonanya, terkecuali seorang gadis yang juga mempunyai pesona yang tak kalah memikat, seperti Tania.
Pesta itu berlangsung cukup meriah. Sebagian orang ada yang duduk manis di mejanya sembari menikmati berbagai hidangan, ada pula yang menari dan bernyanyi. Kini giliran lagu dansa yang diputar. Lampu utama dimatikan, menyisakan lampu hias yang temaram. Beberapa pasangan pun mulai mencari posisi yang mereka mau, termasuk sang pemilik acara.
"Terlambat satu jam dan datang dengan mata yang memerah. Apa kau baru saja menangis, karena menyesali pernikahan ini, istriku sayang?" tanya Dimas dengan suara setengah berbisik.
"Tidak," jawab Tania dingin. "Sebaiknya kau coba merasakan bagaimana pedihnya matamu terkena eyeliner," dustanya.
Dimas terkekeh. "Kau sudah cantik alami, Tania. Aku lebih suka melihat penampilanmu tanpa menggunakan make-up," ucapnya terdengar sexy dan menggelitik di telinga gadis itu.
Tania bergeming meski di tubuhnya rasa panas mulai menjalar. Seperti biasa, ia akan membangun bentengnya untuk seorang pria.
Lagu baru sudah diputar. Namun, gadis itu tak memperlihatkan sedikit senyuman sama sekali, membuat sang pria terasa geram. Gadis itu hanya bergerak mengikuti iringan musik dan memerhatikan langkahnya agar tidak menginjak kaki pria itu.
Dimas memutar tubuh Tania ke depan hingga gaun gadis itu mengembang sempurna, lalu pria itu menariknya dengan keras hingga punggung gadis itu tersentak pada d**a bidangnya yang cukup keras. Sekarang posisi mereka berdansa dengan posisi Tania yang membelakangi Dimas. Pria itu melangkahkan kakinya ke kanan dan kiri secara pelan.
Tania merasa risih dengan posisi kali ini. Ia bisa merasakan embusan napas pria itu yang sesekali menggoda ceruk lehernya. Tangannya terasa gatal ingin meninggalkan jejak merah dari telapak tangannya di pipi pria itu. Sungguh ia ingin pesta ini segera berakhir.
"Jangan dekat-dekat, Dimas," ujar Tania kesal.
Dimas membalikkan posisi tubuh Tania agar kembali menghadapnya. "Apa salahnya dekat-dekat, bukankah sekarang kau sudah menjadi milikku? Aku bahkan sudah tidak sabar lebih dekat denganmu."
Tania mendengus kesal. Gadis itu memutar kedua bola matanya jengah. Ia tidak mau meladeni suaminya ini.
"Kau sungguh menggemaskan dengan wajah ini, Tania," ujar Dimas seraya mencubit gemas pipi merah merona istrinya.
"Aww!" Ringisan Tania malah membuat Dimas semakin gemas.
"Jangan gigit bibirmu, Tania, atau aku akan menggigitmu sekarang juga," ancam Dimas dengan kekehan kecilnya. "Itu hanya cubitan kecil, kau tak perlu terlihat kesakitan seperti itu," ejeknya.
"Pe—perutku sakit. Aku permisi ke belakang," izin Tania. Tanpa menunggu Dimas bersuara, gadis itu sudah meninggalkan pria itu yang melongo menatap kepergiannya.
"Sakit perut?" Dimas yang baru saja tersadar hanya mengernyit lucu.