Chapter 13

1563 Kata
Entah sudah berapa kali gadis itu memutari kolam renang yang begitu luas itu. Seolah tak lelah, kaki dan tangannya terus bergerak di dalam air. Sesekali kepalanya mendongak ke atas untuk mengirup oksigen, sebelum kembali berenang. Kali ini gadis itu mengubah gaya renangnya menjadi gaya punggung. Kepala gadis itu menengadah ke langit dengan mata yang terus terpejam. Kaki dan tangannya bergerak pelan, bahkan nyaris tak melakukan pergerakan. Telentang begitu saja bagaikan orang tenggelam. "Faster, Tania, faster!" Kilasan lima belas tahun yang lalu menghampirinya. Di mana seorang gadis kecil yang dipaksa tetap berenang oleh ayahnya. Di saat kakinya kram dan meronta meminta tolong namun sang ayah mengabaikannya, justru malah menuduhnya ber-acting. Gadis kecil itu menangis dalam diam. Air matanya bercampur dengan air yang ada di kolam renang. Perih menggerogoti hati gadis kecil itu. Bukan hanya karena ayahnya bersikap tak peduli padanya, tetapi sebuah pemandangan yang dilihatnya sebelum cahaya terang yang menyilaukan berubah menjadi gelap—menarik kesadarannya. Ayahnya merangkul Elena dengan cinta dan mengecup perut buncit wanita itu dengan lembut dan penuh rasa sayang. Ia benci pemandangan itu. Sangat membencinya. Apalagi setelah itu sepasang suami istri itu pergi mengabaikan dirinya yang sedang bertarung nyawa. Hal yang terkadang membuat rasa sayang pada janin yang tumbuh itu berubah menjadi iri dan benci. "Berhentilah berniat melenyapkan nyawamu sendiri, Tania!" seru Abyan membuat gadis yang sedang terapung itu tersentak dari lamunannya dan tak bisa mengontrol pergerakannya hingga tubuhnya masuk ke dalam air. Tak berapa lama kemudian gadis itu muncul kembali ke permukaan. Kaki dan tangannya bergerak menuju pinggir kolam. Dengan kepala yang dibaringkan di atas kedua tangannya yang terlipat di atas keramik pinggir kolam, gadis itu memejamkan kedua netranya. "Berhentilah mengatakan bahwa aku ingin melenyapkan diriku sendiri, Kakak! Walau pada kenyataannya aku menginginkannya," keluh Tania. "Tanganmu itu belum pulih benar, Tania," balas Abyan khawatir. Namun Tania malah bersikap biasa saja. "Lima belas tahun lalu seharusnya gadis kecil itu mengembuskan napas terakhirnya di sini, tapi kemudian pria tua itu datang seolah menjadi pahlawan. Pada kenyataannya, dia menghentikan kematian itu untuk menyakiti gadis kecil itu lebih dalam," gumam Tania dengan mata yang masih tertutup. "Dia adalah iblis, tapi dia tetap ayah kita. Aku tak bisa membencinya," ujar Abyan dengan nada sendu. Tania membuka kedua netranya, kemudian bangkit dari kolam renang. Kakaknya dengan lembut menyelimuti tubuh basahnya dengan bathrobe. Kini kakak beradik itu duduk di kursi yang di tengahnya ada meja yang memiliki payung. "Kakak tak pantas membencinya, karena dia memperlakukan Kakak dengan baik," sanggah Tania seraya meminum segelas jus yang tersedia di meja. "Maaf," ucap Abyan merasa bersalah. Tania tersenyum getir. "Tak perlu meminta maaf, karena Kak Aby tidak salah," tukasnya. Untuk beberapa saat gadis itu terdiam sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan. "Terkadang Ayah bilang aku lahir di saat yang salah. Apa seandainya aku terlahir sama dengan Kakak, Ayah juga akan menyayangiku?" tanyanya. Abyan menghela napas. "Dia juga menyayangimu. Setidaknya itulah yang aku dengar darinya semalam." Tania terkekeh dan menatap lekat kakaknya. "Sejak kecil aku selalu penasaran bagaimana kala dia memelukku, seperti dia memeluk Kak Aby. Dan beberapa hari yang lalu aku mendapatkannya. Apa benar dia juga menyayangiku?" "Kuharap ia benar atas ucapannya," balas Abyan seraya mengangguk. Tangan pria itu terulur memegang sebelah tangan adiknya seraya berkata, "Tawaranku masih berlaku, Tania. Pergilah sebelum terlambat." Tania menarik tangannya. Jemarinya kembali memainkan sedotan, sedangkan pandangannya jatuh pada kolam renang. "Aku tidak bisa," tolaknya. "Apa karena kau menginginkan perceraian mereka, begitu?" tanya Abyan dengan sedikit meninggikan suaranya. "Mungkin," jawab Tania tidak yakin. "Mengapa?" tanya Abyan penasaran. Namun adiknya itu malah diam membisu, membuatnya berdecak kesal. "Tania, please, forget that. Dia wanita yang tela—" Tania beranjak dari duduknya, membuat ucapan sang kakak terpotong. Dengan mulut yang seakan dikunci, gadis itu pergi meninggalkan kakaknya. Kedua tangan gadis itu mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. d**a gadis itu turun naik menahan buncahan yang semakin kuat. Sementara Abyan mengusap kasar wajahnya. *** Dimas berkutat dengan beberapa berkas yang harus ia pelajari dan tanda tangani. Di usianya yang ke dua puluh lima, pria itu sudah menjadi seorang CEO di perusahaan ayahnya. Sebuah ketukan menghentikan aktivitas Dimas sejenak. "Masuk," titahnya. Tak lama kemudian, ia mengernyit kala melihat seorang pria tampan bersama sekretarisnya. "Maaf, Tuan, tapi Tuan ini memaksa masuk," ucap sekretarisnya. Dimas mengangguk, tangannya memberi isyarat agar sekretarisnya ke luar. "Silakan duduk," ucapnya tenang. Pria itu mengulurkan tangannya kepada Dimas. "Aku Abyan Enver Rizky, kakak dari Mina Tania Rizky." Dimas tersenyum dan membalas uluran tangan Abyan. "Sungguh kehormatan bagiku bisa bertemu dengan calon kakak iparku," ucapnya ramah tamah. Abyan menyeringai, sikap dinginnya tak memedulikan pria yang jauh lebih tua tiga tahun di atasnya. Kedatangannya hanya ingin menuntaskan keinginannya setelah tadi siang ia tidak berhasil membujuk adik kesayangannya. "Mengapa kau menerima perjodohan itu?" tanya Abyan seraya menatap tidak suka Dimas. Dimas mengerutkan dahinya seraya melipat kedua tangannya di atas meja. "Apa yang salah dengan itu?" Bukannya menjawab pria itu malah balik bertanya. "Dengan kekuasaan yang kau miliki, kau bisa menggaet wanita mana saja. Aku tidak suka keluarga kalian menumbalkan adikku sebagai bentuk pertolongan kalian bagi perusahaan ayahku," sahut Abyan tidak suka. Dimas mencondongkan tubuhnya ke depan hingga wajahnya berdekatan dengan Abyan. "Kami tidak menumbalkan adikmu. Seharusnya kau beruntung ada pria yang mau menerima adikmu dengan tulus." "Haruskah aku tersanjung?" Abyan terkekeh. "Aku mencintai adikmu, karena itulah aku menerimanya." Ucapan Dimas membuat Abyan terpaku. "Omong kosong," desis Abyan. "Bagaimana mungkin kau mencintainya secepat itu?" lanjutnya. Dimas menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kebesarannya seraya sedikit memutar-mutarkan tubuhnya. "Love is blind, Abyan. Tak ada yang mampu mengetahui kapan dan pada siapa cinta atau benci akan berlabuh. Kau tahu istilah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, 'kan?" balas Dimas dengan tenang. "Jangan permainkan adikku, Dimas, karena jika itu terjadi maka aku akan membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri," ancam Abyan. "Kau tenang saja, Kakak Ipar. Aku tidak mungkin menyakiti seseorang yang aku cintai," sahut Dimas seraya menampilkan senyuman ramahnya. Abyan menghela napas kasar. Sepasang calon pengantin ini sangat sulit sekali dibujuk, seolah tak ada celah memisahkan keduanya. Padahal pernikahan mereka tidak didasari rasa cinta. "Sejak kecil hidup Tania menderita, bahkan orang yang selalu membuatnya tersenyum pergi meninggalkannya. Aku ingin menyaksikan adikku satu-satunya tersenyum bahagia. Kumohon batalkan pernikahan itu, Dimas." Kali ini Abyan memohon dengan lirih. Aura dingin dan tegasnya kini berubah sendu, menyiratkan sebuah luka yang kembali menganga. Dimas mengepalkan kedua tangannya. Hatinya tersulut kala membayangkan Marcel yang meninggalkan Tania. Sumpah demi apa pun, pria itu akan menghapus bayang-bayang pria b******n itu dari ingatan calon istrinya. "Akan kupastikan senyuman itu terukir di bibirnya." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Dimas. Abyan beranjak dari kursi. "Pikirkan lagi, Dimas," ucapnya. Sepersekian detik selanjutnya pria itu berkata, "Sebenarnya aku tersinggung dengan kata-katamu yang seolah merendahkan adikku. Adikku adalah gadis yang cantik, cerdas, dan dia mempunyai hati yang baik. Banyak lelaki yang tergila-gila padanya. Jadi, jangan besar kepala, Dimas." Mungkin bukan hanya banyak lelaki yang tergila-gila padanya, tapi juga banyak yang sudah tidur dengannya. Membayangkannya saja diriku sudah jijik, batin Dimas tertawa pedih membayangkan tubuh Tania pernah dinikmati lelaki lain. *** Tania membulak-balikkan tubuhnya ke sana kemari di atas ranjang. Langit sudah berubah menjadi hitam. Namun, ia sama sekali tidak bisa memejamkan kedua netranya. Ibunya telah menyarankannya agar tidur lebih awal, karena esok adalah hari di mana ia resmi menyandang status sebagai istri dari seorang pria bernama Dimas Rafael Martin. Tak pernah ia bayangkan di usianya yang belum genap dua puluh tahun dirinya sudah mengemban amanah seorang istri. Dirinya tak ingin terbelenggu dalam pernikahan yang menyeretnya hingga jatuh ke dalam jurang pengkhianatan. Sebuah ketukan terdengar dari luar kamarnya. Gadis itu menyibakkan selimutnya dan beranjak membuka pintu. "Apa Ayah mengganggu?" tanya Ayden. Pria itu semakin ke sini semakin sering mengunjungi putrinya. Tania menggeleng. "Silakan masuk," ajaknya. Ayden memilih duduk di sebelah putrinya di sisi ranjang. Tangan kasar pria itu memegang tangan putrinya dengan sesekali menepuk-nepuk punggung tangannya. "Jangan gugup. Semua pasti berjalan lancar," ucap Ayden dengan netra teduhnya, Tania pun mengangguk pelan. "Hadiah apa yang kau inginkan dari Ayah?" tanyanya. "Aku hanya menginginkan benda itu," jawab Tania. "Maaf jika Ayah tak bisa mengabulkannya," sesal Ayden. "Ayah tahu calon suamimu kaya, tapi emm ... bagaimana jika sebuah mobil mewah?" tawarnya. "Ayah sedang membutuhkan banyak uang. Aku tak menginginkan apa pun selain benda itu," ujar Tania sambil membaringkan tubuhnya di ranjang, menarik selimutnya hingga d**a, dan memosisikan tubuhnya miring, membelakangi sang ayah. "Jika tidak ada lagi yang ingin Ayah katakan, sebaiknya Ayah ke luar. Aku ingin beristirahat." Ayden mengembuskan napas panjang, kemudian dielusnya surai putrinya. "Selamat malam, tidurlah yang nyenyak, Sayang. Ayah selalu berdoa demi kebahagiaanmu." Tania mulai memejamkan kedua netranya. Ia tak peduli akan sikap baik ayahnya. Di saat ayahnya mengecup kepalanya sebelum meninggalkan kamar, dirinya hanya bisa diam mengabaikan. Sebuah bunyi notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya. Tania membuka kembali kedua matanya seraya melihat isi pesan tersebut.   Cinderella, ternyata rasanya dikhitan itu sakit sekali, tapi tak apa. Semua demi dirimu, Cinderella. Tunggu aku, ya. Biarkan aku di sini memantaskan diriku untuk menjadi imammu.   With love, Your future imam     Damian   Tania tersenyum getir, setiap hari ada saja yang pria itu laporkan. Hatinya sungguh menghangat kala mengetahui pria itu benar-benar bersungguh-sungguh. Kebimbangan menyeruak dalam hatinya. Apakah ia sudah membuat keputusan yang benar dengan menerima Dimas, tapi jujur saja ia tak ingin membuat Damian kecewa, meski jujur lubuk hatinya belum merasakan desiran aneh yang membuat berjuta kupu-kupu mengepak dalam perutnya. Gadis itu menatap layar ponselnya. Tangannya mengetikan nama kakaknya. Haruskah ia mengikuti saran dari kakaknya untuk lari atau tetap pada keputusan awalnya?   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN