Chapter 12

1817 Kata
Pria itu duduk dengan perasaan tidak tenang. Ya, bagaimana ia bisa tenang jika ia belum juga berhasil mengutarakan niatnya untuk membawa Tania pergi. Semua karena wanita paruh baya itu yang tiba-tiba mendatanginya. "Bagaimana kabarmu?" tanya Elena seraya memberikan pria tampan itu secangkir jahe yang direbus bersamaan madu dan gula merah. Sejenis minuman yang disukai pria itu. "Baik," jawabnya sambil menyesap minuman itu. "Terima kasih." "Suka?" tanya Elena dengan wajah yang berbinar. Pria itu mengangguk. "Rasanya masih tetap sama." Elena mendekatkan tubuhnya ke sisi pria itu. Tangannya terulur memegang sebelah tangan pria itu yang tidak memegang gelas. "Ibu merindukanmu." Pria itu menepuk-nepuk punggung tangan Elena yang memegang tangannya. "Aku juga," balasnya seraya melemparkan senyum getir. "Hmm ... mengapa kau datang sendiri? Apa tidak ada satu pun wanita di Melbourne yang menarik perhatian putra tampanku ini?" goda Elena sembari menjawil dagu putranya. Beberapa saat berikutnya wanita paruh baya itu memberengut seraya melipat kedua tangannya di d**a. "Ibu kira kau akan datang membawa calon menantu Ibu. Padahal Ibu sudah memikirkan bagaimana jika lusa kedua anak Ibu menikah di hari yang sama. Bukankah itu bisa mengirit biaya pernikahan?" Pria yang terkenal dingin itu terkekeh kecil. "Ibu doakan saja semoga aku segera menyusul." "Seharusnya kaulah yang menikah lebih dulu, Abyan," ujar Elena dengan bibir yang dikerucutkan. "Lalu mengapa Ibu menikahkan Tania lebih dulu?" Pria itu berkata dengan nada dinginnya—jangan lupakan kilatan matanya. Ah, jika Tania mewarisi sifat keras kepala ayahnya, maka pria yang satu ini mewarisi sifat dingin dan datarnya. Untung saja keduanya memiliki sifat lembut ibunya. Elena sedikit tersentak dengan nada tak bersahabat putranya. "Andai Ibu bisa," ucapnya seraya menunduk. "Sudahlah, Kak, mungkin memang begini nasibku," celetuk Tania yang duduk di sofa seberang. "Pria tua itu memang keterlaluan," ujar pria itu yang mengundang gelak tawa Elena. Kakak beradik itu menatap heran ibunya. Elena yang menyadarinya pun menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Wanita paruh baya itu menatap kedua buah hatinya secara bergantian kemudian berkata, "Ibu heran mengapa kalian berdua senang sekali menyebut ayah kalian pria tua." "Itu karena ia sudah tua, kalau ia masih muda berarti Ibu menikah dengan brondong," jawab Abyan dengan tampang tak berdosa. Elena menjitak kepala putranya hingga pria itu sedikit meringis. "Sembarangan." Sore itu mereka habiskan dengan berbagi cerita—bagaimana kisah mereka di belahan benua yang berbeda. Secara Abyan telah menghabiskan waktu di Melbourne, Australia selama lima tahun lamanya, sedangkan Tania sendiri telah menghabiskan waktu selama tiga tahun lamanya di California, Amerika. Selama itu keduanya tidak pernah kembali menginjakkan kaki di tanah air—Indonesia—meski hari raya sekalipun. Gelak tawa mewarnai perbincangan mereka. Barang sejenak mereka tak membahas sedikit pun perihal pernikahan Tania—gadis itu tak mau membahas itu. Dalam hati Abyan membutuhkan ruang untuk berbicara dengan Tania mengenai sesuatu yang tertunda tadi di taman. Pria itu tidak mungkin membicarakannya di depan Elena. Wanita paruh baya itu pasti tidak akan setuju dengan ide gilanya. Pria itu hanya bisa menunggu waktu yang pas. *** Langit sudah berubah menjadi hitam. Semua penghuni rumah sudah memasuki kamarnya masing-masing untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran mereka sebelum menyambut esok pagi yang cerah, kecuali seorang pria yang sedang mengendap-endap. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu pria itu langsung membuka pintu hingga berderit, kemudian memasuki ruangan itu. Dengan langkah terkesan mengendap-endap ia menghampiri gadis yang sedang terbaring dengan damai. "Ta ... Tata ... Tania," panggil pria itu dengan lirih seraya mengguncangkan tubuh gadis itu. Gadis itu melenguh seraya mengerjapkan kedua netranya. "Kakak," ucap gadis itu seraya memosisikan tubuhnya menjadi duduk bersandar di kepala ranjang. Pria itu menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya. Seolah mengintruksikan agar gadis itu tidak mengeluarkan suara yang memekik. Sementara gadis itu pun mengangguk paham. "Mengapa Kak Aby ke sini?" tanya Tania dengan suara seakan berbisik. "Kau suka Fiji?" Bukannya menjawab Abyan malah balik bertanya. "Tidak, aku lebih suka Susanti. Dia tenang, cerdas, dan mudah bergaul," jawab Tania sekenanya. Abyan menoyor dahi adiknya hingga gadis itu mengaduh seraya mengusap-usap dahinya. "Fiji mana yang kau maksud?" tanyanya seraya berdecak kesal. Mungkin nyawa adiknya ini belum sepenuhnya terkumpul. "Upin Ipin, memangnya mana lagi?" balas Tania seraya mencebikkan bibirnya. Abyan menghela napas kasar. Pria itu tidak menyangka adiknya yang tinggal beberapa bulan lagi berusia dua puluh tahun masih suka tontonan anak kecil seperti itu. "Itu Fizi, sedangkan ini Republik Kepulauan Fiji, Tania!" tegasnya. Netra Tania membola sempurna dan sebuah senyuman terukir di bibir merahnya kala mendengar negara yang disebutkan kakaknya. Bagaimana tidak, negara kepulauan di Oseania, lebih tepatnya berada di sebelah selatan Samudra Pasifik itu terkenal akan keindahan alamnya. Fiji merupakan salah satu destinasi surga dunia di mana kita bisa hidup di pulau tropis terpencil sembari menikmati hamparan laut yang biru, piknik di pantai pasir putih pribadi yang menakjubkan, snorkeling seraya melihat keberagaman kehidupan bawah laut yang indah, air laut yang berubah menjadi jingga di kala senja menyapa, dan kilauan bintang yang berkelip di malam hari. Semua itu mengantarkan kita pada ketenangan dan terkesan romantis. Belum lagi sikap penduduknya yang terkenal ramah. Tania mengernyit kala ia membayangkan sebuah dinner di atas dermaga ditemani lilin-lilin kecil yang menari-nari kala tergoda angin, bintang benderang, dan cahaya rembulan. Sepersekian detik selanjutnya gadis itu melayangkan tatapan tajam pada kakaknya. "Jangan bilang Kak Aby mau memberiku tiket honeymoon ke sana?" tebaknya. Abyan berdecak kesal. Ingin rasanya ia menoyor dahi adiknya, hanya saja ia tidak tega. "Bukan honeymoon, tapi lebih tepatnya escape," ralatnya. "Maksudnya?" tanya Tania seraya menautkan alisnya. "Maksudku, kau lari dari pernikahan itu dan bersembunyi di sana," jawab Abyan dengan gemas. "Aku tidak rela adikku satu-satunya terjebak dalam situasi yang tidak diinginkannya," lanjutnya. "Tapi—" "Aku tidak ingin kau melakukan hal bodoh dan merugikan dirimu sendiri, Princess," potong Abyan cepat seraya memegang pergelangan tangan adiknya yang sudah membaik. Untung saja luka itu tak perlu mendapat jahitan, hanya diberi lem yang dalam waktu semenit sudah kering, sisanya tinggal menunggu proses pemulihan agar kulit bisa terlihat seperti semula kendati membutuhkan waktu cukup lama untuk menghilangkan bekasnya. Tania menarik tangannya. "Aku tidak sebodoh itu kakakku yang tampan. Mana mungkin aku seputus asa itu hingga melenyapkan nyawaku," tukasnya. "Lalu?" Abyan membutuhkan penjelasan yang sebenarnya mengapa kejadian itu bisa terjadi. Sebelumnya saat Tania dilarikan ke rumah sakit, Elena menghubunginya dan memberi tahu kalau adiknya itu melakukan percobaan bunuh diri, karena tidak ingin dijodohkan. "Saat itu aku tidak tahan dengan ocehan Ayah dan aku hanya ingin mengetes sejauh mana kepeduliannya padaku," jawab Tania. "Dan hasilnya?" Abyan sungguh penasaran. Tania mulai menceritakan semuanya. Bagaimana Ayden dengan panik menghampirinya dan melilitkan robekan seprai agar darah yang keluar tidak semakin banyak, bagaimana pria itu mengucapkan kata-kata manis tidak mau kehilangannya, dan perubahan sikapnya yang menghangat. "Tapi satu hal yang tidak aku mengerti adalah pengorbanan yang Ayah maksud karena kelahiranku," ucap Tania dengan tatapan yang entah tertuju ke mana—seperti orang linglung. Abyan mengusap wajahnya kasar dengan telapak tangannya. Pria itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya cepat. "Lupakan itu, Tania. Sampai saat ini aku pun tidak tahu kebenaran apa yang orangtua kita sembunyikan. Sekarang aku mau kau segera lari dari sini. Aku tidak mau kau berakhir mengenaskan seperti ...." Abyan tidak mampu melanjutkan kata-katanya lagi. Jangan sampai beban pikiran adiknya ini bertambah. "Seperti siapa?" tanya Tania penasaran. "Seperti ... Siti Nurbaya. Oh ... come on, ini jaman now, bukan jaman old di mana kita hanya mengangguk patuh meski menyakiti perasaan dan mengorbankan masa depan kita sendiri," jawab Abyan cepat. "Ini memang bukan jaman old, meski begitu seorang anak tetaplah harus patuh pada orangtua, karena mereka tahu yang terbaik untuk kita. Ridhonya adalah ridho Yang Maha Kuasa," ujar Tania dengan pasrah. "Jangan so bijak, Tania. Kita hanya diperintahkan patuh pada perintahnya yang baik, bukan mengadu nasib seperti ini. Kita tidak pernah tahu pilihan mereka ini baik atau tidak," sergah Abyan. Tania mengangguk. "Karena itu, tidak ada salahnya mencoba, 'kan? Lagi pula sejauh apa pun aku pergi, jika Tuhan sudah menakdirkannya, aku akan kembali, meski aku tidak menginginkannya. Takdir selalu tahu ke mana arah jalan pulangnya." "Jika sesuatu tidak ditakdirkan untukmu, maka selamanya takkan bisa kau miliki." Entah mengapa hati Abyan terasa berdenyut nyeri kala mengucapkannya. Tania mengangguk seraya menarik sudut bibirnya ke atas. "Tuhan tahu yang terbaik bagi setiap umatnya, termasuk kematian yang mengangkat penderitaan," ucapnya seraya memegang tangan Abyan. Abyan membawa tubuh Tania ke dalam dekapannya. "Mengapa kau mau, Princess? Persetan dengan kebangkrutan perusahaan itu, setidaknya pikirkanlah dirimu sendiri." "Karena apa pun hasilnya, aku mendapatkan keuntungan dari perjodohan ini," sahut Tania, membuat Abyan melepaskan rengkuhannya. "Keuntungan?" tanya Abyan yang dijawab Tania dengan sebuah anggukan. "Apa itu?" tambahnya. "Biarkan waktu yang menjawab," jawab Tania dengan senyuman teduhnya. Abyan mengacak-acak pucuk kepala adiknya. Pria itu tersenyum hangat. Tania mengingatkannya pada sosok yang tak pernah dilupakannya. "Baiklah kalau begitu, Kakak akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu." *** Abyan hanya mampu mengembuskan napas pasrah. Langkah kakinya terasa gontai kala ia menutup pintu kamar adiknya. Di saat ia mencapai door handle kamar miliknya, niatnya membuka pintu harus urung kala ia mendengar seseorang memanggil namanya. Pria itu pun menoleh ke belakang menuju sumber suara. "Ayah," lirih Abyan. "Mengapa kau keluar dari kamar adikmu malam-malam seperti ini?" tanya Ayden terkesan dingin. "Hanya melepas kerinduan antar kakak dan adik yang baru saja dipertemukan," jawab Abyan tak kalah dingin. "Jangan sampai kau berbuat yang macam-macam apalagi mencuci otak adikmu, Abyan," ancam Ayden seraya mendekatkan dirinya dengan tubuh putranya. Abyan tertawa sinis. "Percuma saja. Ayah seharusnya bersyukur memiliki putri sepenurut dirinya." "Jadi kau—" "Tenang saja, Ayah, aku hanya bercanda. Ayah tahu apa yang terbaik bagi kita semua," potong Abyan seraya menepuk-nepuk bahu ayahnya. Ayden mengembuskan napas kasar. Pria paruh baya itu merangkul tubuh putranya. "Kita akan bersama-sama memutus leher Dimas jika ia berani membuat Tania terluka." "Tentu Ayah," balas Abyan terdengar lebih ramah. Pria itu mengurai pelukan ayahnya. Menatap netra ayahnya. "Apa yang Ayah tawarkan hingga akhirnya Tania mau menerima perjodohan itu? Aku tahu anak itu keras kepala. Pasti ia dengan mudahnya berontak. Aku bahkan tidak percaya ia melukai dirinya sendiri," ucapnya penuh tanya. Ayden menetralkan napasnya barang sejenak sebelum akhirnya ia berkata, "Dia mengajukan sebuah penawaran yang tidak masuk akal. Kau tahu, Tania bilang, jika pernikahannya gagal dan berakhir dengan perceraian, maka Ayah dan Ibu pun harus bercerai." "Apa?! Bagaimana mungkin?" Abyan tak percaya. "Tapi itulah kenyataannya." Ayden meyakinkan. Abyan memperlihatkan seringai iblisnya. "Kalian berdua yang membuatnya seperti itu." "Dan Ayah sedang berusaha memperbaikinya," ujar Ayden. Pria itu lalu menatap putranya dengan tatapan memohon. "Kami menyayangimu, Abyan. Percayalah pada kami dan buat adikmu mempercayainya juga." "Aku tidak peduli siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi aku tidak ingin Ayah semena-mena pada adikku lagi," tegas Abyan. "Tentu, Abyan. Ayah pun menyayanginya," balas Ayden seraya mengangguk. Pria paruh baya itu lalu menepuk bahu putranya seraya berkata,"Tidurlah, maaf telah menganggu waktumu. Jujur saja Ayah merindukanmu." "Ayah tak perlu merindukanku. Aku hanya pergi selama lima tahun, tidak seperti Tania yang kau usir lima belas tahun lalu. Semoga Ayah benar-benar menyayanginya. Selamat malam." Tanpa menunggu jawaban Ayden, Abyan langsung membuka pintu dan masuk ke dalamnya—meninggalkan Ayden yang hanya mematung, memandang sikap tak percaya akan perkataan putranya yang begitu menohok hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN