Tania duduk bersila di atas ranjang barunya sembari mengemil kacang-kacangan. Ya, ternyata ayahnya benar-benar mengubah dekorasinya. Ah ... dia ragu, jangan-jangan ini dekorasi pilihan ibunya saja. Tapi jujur saja ia begitu menyukai dekorasi barunya. Semuanya serba putih, mencerminkan warna kesukaannya.
Pandangan gadis itu kosong entah menatap apa. Namun, tangannya lagi-lagi bergerak memasukkan kacang ke dalam mulutnya. Padahal gadis itu sudah bosan dua hari ini mengemil makanan itu.
"Cie ... cie ... melamun saja. Sudahlah, besok juga Dimas kembali lagi untuk menjengukmu," goda Elena sambil memberikan putrinya itu jus jeruk.
Tania menerima gelas itu dan langsung meneguknya hingga tersisa setengahnya. Kemudian ia menaruh gelas dan piring berisi kacang di atas nakas. Gadis itu mengabaikan godaan ibunya. Cih, siapa pula yang memikirkan pria pencari perhatian itu.
Gadis itu merebahkan kepalanya di atas paha ibunya. Matanya tertuju pada langit-langit kamarnya. Hatinya bergemuruh, menatap kesal takdir yang lagi-lagi mengejeknya jika ia mengingat pertemuan tadi sore dengan pria yang sudah mengecewakannya.
"Apa kau mengenal pria itu, Sayang?" tanya Dimas saat ia terkejut pria yang sudah menyenggol gadisnya mengetahui nama calon istrinya itu.
Tania bergeming. Dunianya terasa berhenti sejenak. Pandangannya tak beralih dari pria yang sedari tadi menatapnya.
"Di—dia Marcel, temanku." Meski terbata-bata Tania berusaha menjawabnya.
"Oh, hai, aku Dimas, suami Tania, senang berkenalan denganmu," ujar Dimas memperkenalkan diri. Namun bukannya ia mengulurkan tangan pada pria yang berada di depannya, ia justru semakin mempererat rengkuhannya.
"Suami? Kau sudah menikah, Tania?" Bukannya membalas memperkenalkan diri, pria yang bernama Marcel itu malah bertanya seraya mengerutkan dahinya.
Dimas berdecak kesal. "Tentu saja sudah, kau tidak lihat betapa dekatnya kami?"
"Dimas, kepalaku pusing, bisa kita pergi sekarang? Ayah dan Ibu pasti sudah menunggu kita," pinta Tania lirih. Demi Tuhan ingin sekali ia segera pergi meninggalkan pria yang baru saja dipertemukan kembali dengannya.
"Kau pusing, Sayang? Baiklah, sebaiknya kita pergi," balas Dimas dengan raut penuh kekhawatiran. "Baiklah, kalau begitu kami pamit, Marcel," lanjutnya.
Di saat baru saja beberapa langkah Dimas memapah Tania, sebuah panggilan menghentikan mereka. "Tania, tunggu!"
Dimas dan Tania membalikkan tubuh mereka. Berbeda dengan Dimas yang menatap tidak suka Marcel, Tania justru mencengkram erat baju Dimas hingga kusut.
"Ada apa, Marcel?" tanya Tania memberanikan diri.
"Bisa kau tinggalkan kami berdua, Dimas? Ada sesuatu yang aku ingin bicarakan dengannya." Marcel meminta izin.
"Apa kau lupa bahwa kami ini sepasang suami istri? Urusan Tania adalah urusanku juga, jadi silakan jika ada sesuatu yang ingin kau utarakan. Aku akan ikut mendengarnya," sahut Dimas tidak suka. Hati pria itu semakin bergemuruh tidak suka. Well, ada hubungan apa antara Tania dengan pria itu.
Marcel sedikit menelan saliva dengan susah payah. Sejujurnya ia butuh privasi berdua dengan Tania. Namun, apa daya, Dimas memang suaminya, pria itu berhak tahu semuanya.
"Tania, aku minta maaf. Saat itu ak—" Perkataan Marcel harus terhenti kala ia tersungkur akibat bogeman keras yang Dimas layangkan.
"Jangan berani-berani muncul di hadapan istriku lagi, bastard!" Dimas membopong tubuh Tania yang membeku akibat syok dengan ala bridal style.
Tania tersentak dari keterkagetannya atas apa yang sudah Dimas lakukan pada Marcel. Gadis itu melingkarkan kedua tangannya di leher Dimas. Netranya bisa dengan jelas menatap rahang tegas pria itu yang mengeras, karena amarah yang membuncah. Sepersekian detik selanjutnya gadis itu memutar kepalanya ke belakang, menatap pria yang masih terduduk di lantai sambil mengusap sudut bibirnya yang terluka.
"Berhenti menatapnya, Tania," ucap Dimas dingin, membuat Tania hanya mengangguk pasrah.
Ada sedikit tidak tega sebenarnya yang Tania rasakan pada Marcel, tapi jauh di lubuk hatinya ia pun bersorak riang, karena pria itu meringis kesakitan. Luka pria itu tak sebanding dengan luka yang ia rasakan.
Netra Ayden dan Elena membola sempurna. Kedua paruh baya itu menyunggingkan senyuman kala melihat anak gadisnya sedang digendong calon menantunya.
"Kalian lama sekali. Kalian tidak berbuat hal yang tidak-tidak, 'kan?" tanya Ayden protektif. Kendati tinggal tiga hari lagi Dimas sudah resmi menyandang status sebagai suami putrinya, tapi tetap saja ia tidak ingin putrinya melewati batas.
"Sebaiknya aku harus memeriksakan alat pendengaranku pada dokter THT, Ay. Kudengar putri kita menolak untuk duduk di kursi roda, tapi yang kulihat saat ini ia justru bergelayut manja dalam gendongan Dimas. Ah, apa ini hanya akal-akalanmu saja, Sayang?" Elena terus menggoda putrinya.
Tania tersadar atas ucapan ibunya. Semburat rona merah menjalar di pipi putihnya. Ia pun langsung turun dari gendongan Dimas. Astaga, apa yang sudah ia lakukan? Mengapa ia bisa menerima perlakuan pria itu dengan mudah? Ia benar-benar merasa murah saat ini.
Dimas berdeham. "Tadi dia pusing, maka dari itu aku menggendongnya."
"Terima kasih, Dimas, kau memang sosok suami idaman," ujar Ayden bernapas lega, karena ia tidak salah menyerahkan putrinya pada sosok pria seperti Dimas.
Dimas tersenyum mendapat pujian dari calon mertuanya. Namun, tanpa seorang pun yang tahu di balik senyuman itu tersimpan sesuatu yang hanya pria itu dan Tuhan yang tahu.
"Sebaiknya Tania ikut dengan mobilku," tawar Dimas.
"Tap—"
"Baiklah. Hati-hati di jalan, Sayang," potong Ayden membuat Tania menggerutu dalam hati. "Jaga putriku jangan sampai ia terluka sedikit pun," lanjutnya sambil menatap tajam calon menantunya.
Di sepanjang perjalanan tak ada satu pun yang membuka suara. Keduanya seolah terjebak dalam keheningan. Tania pun hanya asyik memandangi jalan dari balik kaca jendela.
"Jangan temui pria itu lagi," ujar Dimas memecah keheningan.
Tania sedikit mengernyit, sebelum kesadarannya terkumpul memikirkan siapa yang Dimas maksud. "Mengapa?"
"Karena kau milikku," jawab Dimas tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
"Mengapa kau memukulnya?" tegas maksud pertanyaan Tania.
"Karena dia sudah menyakitimu," jawab Dimas dingin.
"Maksudnya?" tanya Tania lagi.
"Aku tidak ingin membahasnya atau membahas pria mana pun. Kau milikku, Tania. Persetan dengan masa lalumu, aku tidak ingin masa lalumu menghantui pernikahan kita," balas Dimas sambil memarkirkan mobilnya.
"Kalau begitu aku juga minta tidak ada wanita lain selain diriku di hidupmu, bisa?" Bukankah Dimas juga harus adil. Namun bukannya mengangguk pria itu malah melajukan mobilnya kembali, membuat Tania mendengus kesal. "Egois," gumamnya.
"Iya, Tania, iya," tegas Dimas.
Otak Tania terus saja berputar. Sikap Dimas tadi terlihat begitu posesif padanya. Pun panggilan sayang dan istriku yang pria itu layangkan untuknya. Semua itu membuat gadis itu gusar akan sikap pria itu sebenarnya. Ia dapat mengetahui pria itu adalah sosok pria keras dan juga kasar, terlihat dari sikapnya yang tak mau mendengarkan dan langsung memutuskan sesuatu seenaknya.
Pikiran gadis itu berkelana memikirkan mengapa Dimas terlihat begitu marah pada Marcel. Pria itu langsung saja menghajar Marcel tanpa mau mendengar penjelasan yang sebenarnya Tania ingin dengar.
"Apa jangan-jangan?" Tania mengubah posisinya menjadi duduk seraya membekap mulutnya.
"Jangan-jangan apa, Sayang?" Elena menjawil dagu putrinya.
Tania hanya cengengesan. "Tidak ada," jawabnya malu. Dimas begitu keras, jangan sampai pria itu melakukan hal yang lebih jauh pada Marcel, batinnya. Gadis itu hanya bisa berharap semoga takdir tidak mempertemukan mereka bertiga lagi.
***
Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa tinggal sehari lagi pernikahan Tania dan Dimas akan berlangsung. Semua persiapan nampak sempurna. Rasanya sudah tidak ada harapan lagi bagi gadis yang sedari tadi menghabiskan waktu di taman itu untuk menghindari dari perjodohan ini. Pernikahan bukanlah sesuatu untuk coba-coba, hanya saja tidak ada salahnya 'kan ia mencoba. Toh tidak ada yang tahu takdir akan menggiringnya seperti apa. Bisa saja ketakutannya hanya pikiran buruknya.
Di sisi lain seorang pria tampan yang baru saja keluar dari bandara tiada henti mengukir senyumnya. Pria itu menyetop taksi. Dalam hati ia sungguh tidak sabar untuk bertemu dengan sosok gadis yang dirindukannya.
Di perjalanan, pandangan pria itu jatuh pada sebuah toko bunga. Pria itu pun memutuskan untuk turun dari taksi dan masuk ke dalam toko.
Pria itu terus mengedarkan pandangannya pada seisi toko. Wajah asingnya membuat sang pelayan toko dan penggunjung terkesima dibuatnya.
Tak peduli akan beribu pandangan yang jatuh padanya, pria itu fokus mencari beberapa bunga yang ingin dibelinya. Tak perlu waktu lama, pria itu menemukan jenis bunga yang ingin dibelinya. Ada bunga lily, mawar, camomile, dan hortensia. Perpaduan putih dan biru yang sungguh indah dilihatnya.
"Ini sangat indah," ujar sang pelayan toko. Pria itu tersenyum ramah, membuat sang peyalan terasa meleleh dibuatnya. Setelah membayarnya pria itu segera bergegas pergi.
Satu jam kemudian akhirnya pria itu sampai pada tujuannya. Dengan sebuket bunga yang dibawanya, pria itu melangkah pelan agar tak membuat gadis yang sedari tadi duduk di ayunan sambil membaca sebuah buku tidak sadar akan kehadirannya.
Dengan jahil kedua tangan pria itu terulur menutup mata gadis itu dari belakang. Gadis itu menaruh buku yang sedari tadi dibacanya di samping tempat duduknya. Tangan gadis itu mencoba untuk melepaskan jemari yang menghalangi pandangannya.
"Lepaskan," ucap gadis itu.
Pria itu terkekeh dan terus membiarkan gadis itu berdecak kesal sambil mencubit-cubit punggung tangannya.
"Aku datang untuk membebaskanmu, Princess," bisik pria itu membuat gadis itu bergidik.
Gadis itu menghentikan pergerakannya. Tak lama kemudian pria itu melepaskan tangannya dari mata gadis itu.
Gadis itu beranjak dari ayunan dan menatap ke belakang. Dilihatnya tidak ada siapa-siapa. Namun, tiba-tiba sesosok pria muncul dari bawah dengan sebuket bunga yang diberikan padanya.
"Astaga, kau?!" ucap gadis itu sambil mengelus dadanya, sementara itu pria itu merentangkan kedua tangannya seraya melemparkan seringainya.
"Siap untuk terbang, Princess?" Ajakan pria itu membuat Tania diam menyimpan seribu bahasa.