07
Suara lembut milik Linda, teman satu band-ku mengalun lembut di ruangan yang masih kosong ini. Perempuan berambut panjang dan berwajah manis itu tampak sangat menghayati lagu berjudul Love is in the air, milik penyanyi Tarmiga & 2 Bad itu, dengan sesekali mengulaskan senyuman, seakan-akan benar-benar tengah jatuh cinta.
Aku yang tengah mengiringi nyanyiannya dengan menggunakan gitar, menatap wajah gadis yang usianya lebih tua dua tahun dariku itu seraya mengulum senyum. Gaya menyanyi Linda sangat berbeda dengan kesehariannya.
Bila saat menjadi penyanyi Linda akan sangat anggun, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari dia agak tomboi dan humoris, serta sedikit latah, yang menjadikan dirinya sebagai bahan ledekan teman-teman band.
Selain aku dan Linda, ada juga Mbak Yeni dan Mas Fabian yang biasa dipanggil Fa. Mereka merupakan pasangan suami istri yang bertemu dan saling jatuh cinta di kafe ini. Mereka pula merupakan anggota band pertama yang dibentuk oleh Ryan, sang bos.
Selain itu, ada Mas Steven dan Bang Ali, dua sahabat lama Mas Fa, yang akhirnya ikut direkrut oleh Ryan. Bang Ali merupakan kru tertua, usianya tiga puluh tahun dan telah menikah serta memiliki dua anak balita.
Mas Steven usianya sama dengan Mas Fa, yaitu dua puluh delapan tahun. Perbedaannya terletak di status, kalau Mas Fa sudah menikah beberapa bulan lalu, Mas Steven belum menikah, bahkan saat ini masih jomlo.
"Istirahat dulu kita. Makan dan salat Magrib," ujar Bang Ali, sesaat setelah kami menyudahi acara latihan.
"Nah, bener itu. Aku juga udah lapar," sahut Mas Steven. "Lin, bikinin kopi dong. Mau ditambahin sandwich pedas buatanmu, aku nggak bakal nolak," imbuhnya sambil merayu Linda yang tengah merapikan mikrofon.
"Mas nih, aku mulu yang disuruh bikinin kopi!" sungut Linda sembari mengerucutkan bibir.
"Itu karena perutku cuma cocok sama buatanmu. Buatan Yeni nggak enak," imbuh Mas Steven yang langsung dipelototi Mbak Yeni, yang tengah mencari nada terbaik di keyboard organ.
"Udah, bikinin aja. Anggap amal ama yang tua, Lin," sela Bang Ali sembari menepuk puncak kepala Linda. "Abang juga mau, ya. Sekalian bikinin buat yang lain," sambungnya yang dibalas Linda dengan lirikan tajam.
Akan tetapi, penolakan Linda itu hanya di mulut saja. Sedangkan hatinya tetap mengerjakan apa yang diminta para pria tua tersebut. Aku yang tidak enak hati untuk meminta dibuatkan, akhirnya mengekori langkah Linda memasuki dapur yang tidak terlalu ramai.
Linda menyapa koki utama yang tengah duduk sambil memegangi cangkir yang tampak mengepul, sementara aku hanya mengangguk kecil karena memang belum terlalu dekat dengan orang-orang di bagian dapur.
Dengan lincah dan tangkas, gadis bertubuh tidak terlalu tinggi itu mengolah potongan roti dan membuat sandwich sederhana yang tampak menggugah selera. Aku yang tadinya hanya memerhatikan, akhirnya ikut turun tangan dan membuat sandwich ala-ala kesukaan orang rumah.
"Enak, ya, pakai telur gitu?" tanya Linda sembari menyiapkan kopi di teko berukuran sedang.
"Yoih, kalau daging kan mahal. Ini versi murah meriah tapi rasanya nggak kalah enak," jelasku sambil menuangkan saus sambal ke atas telur, sebelum menumpuknya dengan selapis roti.
"Aku boleh nyoba?"
"Bentar." Aku mengambil garpu dan pisau, memotong benda itu separuh dan memisahkan potongan di atas piring. "Aaa," pintaku sembari menyuapinya yang sempat tercengang sesaat, sebelum akhirnya membuka mulut dan mengunyah makanan dengan pelan.
"Gimana?" tanyaku sambil memotong-motong lagi sandwich di piring.
"Enak, tapi pedesnya!" Linda buru-buru meraih gelas tinggi berisi jus jeruk yang tadi dibuatnya, dan segera menyedot air oren kekuningan itu dengan semangat.
Aku tertawa kecil melihat tingkahnya, sementara Pak Jo, sang koki tergelak sambil memegangi perut. "Kenzo ngerjain kamu, Lin," ujar pria berkumis itu di sela-sela tawa.
"Nyebelin!" Linda memukuli lenganku dengan semangat, tak peduli aku meringis dan mengaduh.
Waktu terus berjalan. Tamu-tamu kafe makin bertambah seiring dengan larutnya malam. Mungkin karena hari ini adalah penghujung minggu, jadi banyak orang yang menghabiskan waktu untuk berkumpul bersama dengan keluarga, pasangan atau teman-teman.
Linda memberi kode agar kami berduet dalam menyanyikan sebuah lagu romantis. Aku memulai dengan petikan gitar elektrik, disambung Mas Fa pada bass, Mbak Yeni pada keyboard, Bang Ali pada drum dan Mas Steven memegangi biola.
Sebuah lagu syahdu kami lantunkan dengan merdu. Aku mengagumi nada suara tinggi milik Linda yang bisa pas mengambil suara dua. Tepuk tangan membahana mengiringi berakhirnya nyanyian kami, yang disertai dengan suara-suara yang meminta kami melanjutkan duet.
"Ayo, Ken, satu lagu lagi," ujar Ryan, yang entah kapan sudah berada di dekat Mbak Yeni.
"Ehm, lagu apa, Kang?" tanyaku meminta pendapat.
"Yang ada unsur rap-nya," celetuk Aleea yang ternyata telah hadir sejak tadi dan kini tengah jalan menghampiri.
"Emang Kenzo bisa nge-rap?" sela Mas Fa.
"Bisa, lagu daerah aja dia bisa rap-in. Apalagi lagu yang lain," jelas Aleea dengan sepasang mata berbinar-binar.
Mbak Yeni memberikan isyarat dengan nada pembuka sebuah lagu milik Linkin Park yang dibuat versi slow. Aku dan yang lainnya mengimbangi permainan musiknya dengan semangat.
Tanpa diduga-duga, Aleea berdiri di tengah-tengah ruangan dan mulai berlenggak lenggok bak penari profesional dengan gerakan yang sangat lentur.
Linda ikut turun dan memancing tamu-tamu lain untuk bergabung. Dalam sekejap di hadapan sudah dipenuhi orang-orang yang menari dengan berbagai gaya. Menambah semangat kami untuk terus bernyanyi dan bermain musik, hingga tanpa sadar telah menyelesaikan lima buah lagu berirama cukup cepat.
"Udah kubilang, Kenzo itu entertainer sejati," ucap Bang Ali, sesaat setelah kami menuntaskan penampilan di malam yang makin larut.
"Satuju. Nyanyi bagus. Main gitar oke. Bisa nge-rap. Daya tangkap nadanya cepat. Dia pun tau lagu-lagu apa yang lagi hits," imbuh Mas Steven.
"Jangan lupa faktor utamanya," timpal Mas Fa.
"Apaan?" tanyaku dengan sangat penasaran.
"Good looking." Pria beralis tebal itu mengulaskan senyuman.
"Nah, bener itu. Daya jual paket komplit!" seru Linda. "Siap-siap bentar lagi fans-nya bakal tambah banyak," sambungnya sembari menusuk-nusuk lenganku dengan kuku.
"Di kampus juga udah banyak yang ngefans ama Kenzo," celetuk Aleea yang kini tengah menyandar di lengan kanan sang tunangan.
"Iyakah?" Aku pura-pura terkejut, padahal dalam hati merasa sangat senang.
"Iya, saking ngefansnya, sampai ada yang minta tolong aku buat ngasih surat ajakan kencan," jelas Aleea.
"Oh yang itu. Padahal aku tadinya ngarep banget kalau kamu yang beneran ngajakin kencan," sahutku dengan santai, tak peduli bila wajah Aleea berubah memerah.
Ryan yang mengira bila aku hanya bercanda, menanggapi ucapanku dengan senyuman merekah. Kalau saja dia tahu bila perkataanku barusan itu benar bersungguh-sungguh, pasti dia akan mengamuk.