08
Waktu terus bergulir. Hari berubah menjadi minggu tanpa sanggup dihentikan. Aku masih disibukkan dengan berbagai aktivitas sehari-hari yang sangat menyita waktu.
Tibalah masa-masa paling mendebarkan bagi mahasiswa, terutama yang kesulitan mengatur waktu seperti aku. Sudah dua bulan berlalu aku kejar-kejaran dengan hitungan jam antara kuliah dengan kerja. Kadang sukses, kadang juga terlambat bangun dan akhirnya absen di kampus.
Sebab itulah sekarang hatiku kebat-kebit enggak karuan, terutama karena mata ujian pertama adalah satu-satunya yang paling tidak dikuasai. Udah pada tahu kan maksudku?
Akhirnya dengan terpaksa aku melakukan cara licik, yaitu menghitung kancing kemeja motif abstrak yang biasanya menjadi baju pembawa kabar baik alias keberuntungan untukku. Berharap kali ini baju tersebut kembali membawa inspirasi mengarang bebas di saat mengerjakan soal-soal esai.
Namun, sepertinya kekuatan sakti baju ini telah berakhir. Sampai waktu ujian selesai, aku hanya bisa menyelesaikan separuh soal esai. Hal itu membuatku gundah gulana bak layangan putus yang melayang tak tentu arah.
Hingga sore tiba, hatiku masih galau. Berangkat ke kafe dengan separuh jiwa dan banyak melamun di sana. Linda yang sepertinya paham dengan suasana hatiku, berusaha menghibur dengan berbagai cara, termasuk menyanyi sambil menari dengan lincah, hingga napasnya ngos-ngosan dan keringat bercucuran.
"Kamu tuh ... aku capek-capek ngibur ... nanggapinnya cuma ... senyum aja!" omelnya beberapa menit kemudian.
"Oh, lagi ngibur aku toh?" selorohku.
"Iyalah!"
"Kirain lagi pedekate sama Mas Steven."
Tawa pria berwajah manis itu menguar di ruangan yang masih sepi karena memang belum waktunya makan malam. Sementara Linda menekuk wajah sambil menggerutu tidak jelas.
Tiba-tiba terdengar bunyi tuts organ yang dimainkan oleh Mbak Yeni. Aku seketika menoleh dan mengerutkan kening, karena belum pernah mendengar nada itu.
"Lagu yang mana ini, Mbak?" tanyaku.
"Judulnya Kpaw, lagu bahasa Rusia," jawab Mbak Yeni. Perempuan itu berpindah ke sebelah kiri sambil mengusap layar ponsel dan memberikan benda itu padaku. "Dengerin, Ken. Lagu cinta, tapi riang banget," imbuhnya.
"Mbak kok tau itu lagu cinta?"
"Baca teks bahasa Inggrisnya."
Aku memasang headset dan menekan tombol play. Mendengarkan musik berirama cepat itu sambil mengecek artinya melalui terjemahan di Mbah Pintar alias Google.
Yang lain sepertinya juga sama denganku. Memasang earphone masing-masing dan mendengarkan lagu yang sama. Kepala kami yang bergerak mengangguk-angguk menandakan hal tersebut. Aku bertambah yakin saat melihat bibir Linda monyong-monyong, khas orang yang tengah mengucapkan kata-kata bahasa asing tersebut.
"Cakep ini, tapi kayaknya perlu penghayatan lebih karena bahasanya sulit," ujarku.
"Kamu pasti bisa, Ken. Mbak yakin, karena daya tangkapmu cepat banget soal lagu," sahut Mbak Yeni sembari menumpangkan tangan kanan di pundak kiriku.
"Kita coba, yuks!" ajak Mas Fa. "Selagi kafe masih sepi," lanjutnya yang dibalas anggukan persetujuan oleh yang lainnya.
"Kalau Kenzo masih susah nyebutnya, biar aku yang nyanyi," sela Linda. "Kamu bagi reffrainnya aja, Ken," sambungnya.
Aku mengangguk paham. Mengatur posisi kaki agar lebih enak untuk duduk. Telinga kiri ditajamkan untuk mendengar musik dari teman-teman, sementara headset tetap terpasang di telinga kanan, mendengarkan lagu milik Klava Koka itu berulang-ulang.
Sudut bibirku terangkat membentuk sebuah senyuman ketika menyadari bila akhirnya aku bisa menyelesaikan latihan dengan hasil yang cukup baik. Meskipun bibir masih keseleo mengikuti bahasa Rusia, tetapi setidaknya sudah ada kemajuan.
Hal yang sama bisa kudengar dari Linda. Lima kali latihan dengan lagu yang sama, dia makin fasih mengucapkan bahasa rumit tersebut.
Sesaat kami saling beradu pandang. Linda mengulaskan senyuman yang membuat wajahnya makin cantik. Tanpa sadar aku pun ikut melebarkan senyuman dan ternyata hal itu diperhatikan oleh ketiga pria tua tersebut.
"Ehem ... ehem. Ada yang lagi pandang-pandangan nih," ujar Mas Fa.
"Biarin aja, Fa, kali mereka beneran Crush, kayak judul lagu tadi," timpal Bang Ali.
"Kayak kamu dulu kan, Fa. Jatuh cinta sama Yeni gara-gara pandang-pandangan juga kan?" ledek Mas Steven.
Mas Fa manggut-manggut, mungkin lelah digoda terus sama dua sobatnya itu. Sementara Mbak Yeni tersenyum menanggapi candaan teman-teman. Linda menunduk, mungkin malu telah digodai pria-pria tua itu.
Aku sendiri menanggapi candaan mereka dengan santai. Tidak mau menganggap hal itu sebagai sesuatu yang perlu dimasukkan ke hati, dan memilih untuk fokus dengan permainan gitarku.
Detik demi detik berlalu menjadi menit. Waktu berputar cepat menuju jam. Hingga tibalah saatnya kafe ditutup dan kami berkemas-kemas untuk segera pulang.
"Ken, bisa temenin bentar nggak?" tanya Linda.
"Ke mana?" Aku balik bertanya.
"Ke atas, ruangan loker. Ngambil jaket, tadi kutinggal di sana."
Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya menaiki tangga. Setibanya di tangga teratas, kami berbelok ke kanan. Aku paham kenapa Linda meminta ditemani, hal ini karena di sini memang sangat sepi. Meskipun semua lampu dalam kondisi menyala, tetapi suasana yang hening pasti membuat perempuan itu ngeri bila harus sendirian di tempat ini.
Tiba-tiba panggilan alam meminta untuk dituntaskan. Aku menggeser tubuh ke kamar mandi yang berada di sebelah ruang kerja Kang Ryan yang berderet dengan ruang kerja Mbak Sarah.
Sayup-sayup terdengar suara aneh dari ruangan di sebelah kiri. Pada awalnya aku mengabaikan hal itu dan mempercepat penuntasan membersihkan diri.
Baru saja aku keluar dari kamar mandi, suara itu kembali terdengar dan memancingku untuk mendekat serta menempelkan telinga kiri ke pintu terdekat, yaitu ruang kerja kang Ryan.
Namun, suara itu menghilang dan membuatku berpikir bahwa itu hanya halusinasi.
Aku mengangkat bahu dan hendak menjauh ketika kembali mendengar suara yang sama. Aku memberanikan diri untuk menempelkan tubuh mepet ke dinding. Terkejut ketika pintu terdorong sedikit dan membuatku bisa melihat-lihat ke dalam ruangan.
Suasana remang-remang itu membuatku agak kesulitan untuk memastikan penglihatan. Apalagi celah pintu yang sempit, makin membatasi kemampuan mata untuk memindai sekitar.
Setelah beberapa lama, akhirnya mataku terbiasa dengan keremangan tersebut dan bisa memperhatikan sekeliling dengan cermat. Aku membeliakkan mata kala menyadari bila ada dua orang di ruangan tersebut yang tengah duduk membelakangi pintu.
Nyaris tidak percaya dengan kenyataan di hadapan, tetapi aku tetap tidak bisa mengalihkan pandangan dari kedua sosok yang sepertinya tengah berpagutan dan tenggelam dalam hasrat mereka, hingga tidak menyadari bila aku tengah mengintip dengan d**a berdebar-debar.
Tiba-tiba seseorang membekap mulutku dari belakang dan menyeret tubuhku menjauh dari tempat itu. Aku sudah akan memberontak ketika akhirnya mengenali suara orang yang telah membekap itu.
"Apa pun yang kamu lihat dan dengar, simpan untuk dirimu sendiri. Jangan pernah mengatakan hal ini pada siapa pun. Terutama pada Aleea!"