06
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah memacu motor kesayangan di jalan raya yang padat bin macet. Hal ini terjadi setiap hari kerja, kalau di penghujung minggu biasanya lebih lengang.
Setibanya di kampus, senyumanku mengembang kala melihat mobil sang putri pujaan hati sudah terparkir di tempat biasa. Setelah memasang standar dengan baik dan benar, aku mengunci setang motor sebelum beranjak berdiri dan jalan menjauh.
Sembari melepaskan helm dan merapikan rambut, mataku melirik ke sana kemari, berharap bisa menangkap sosok gadis yang kian lama kian melekat dalam hati. Entahlah, sepertinya aku harus pasrah akan terus menyayangi Aleea, meskipun hanya bisa dilakukan dari jauh tanpa punya kesempatan untuk diungkapkan.
"Udah sembuh?" tanya Ijan yang tengah berdiri menyandar di dinding kelas, mungkin menyamar jadi cicak.
"Hu um," jawabku sembari menaikkan tali ransel yang agak melorot.
Alisku terangkat saat menyadari penampilan Ijan yang berbeda dari biasanya. Bila sehari-hari sahabatku yang mengaku mirip David Beckham itu hanya mengenakan celana jin belel dan kemeja motif abstrak, kali ini berbeda.
Ijan tampil cukup rapi dengan celana kain hitam dan kemeja polos hijau daun pohon jambu biji. Rambut belah tengahnya disisir rapi dan sepertinya diolesi gel pewangi dan pengeras, karena sedikit pun tidak ada helaian yang tertiup angin.
Aroma parfum yang kutahu belinya eceran botol kecil isi ulang itu menyergap penciuman dan membuatku agak engap saat kami berdekatan.
"Kamu mandi parfum?" selorohku.
"Berisik!" desisnya.
"Oh, berarti nggak mandi."
"Ken!"
"Hmm?"
"Bisa nggak, kalau sekali-sekali nggak rese?"
"Emangnya aku rese? Orang kalem, tampan dan gagah gini."
Mulut Ijan sudah terbuka dan sepertinya tengah bersiap untuk memuntahkan omelan, tetapi tiba-tiba bibirnya terkatup dan berubah membentuk senyuman. Alisnya yang mirip ulat bulu itu dinaikturunkan dan mata bergerak cepat ke kanan membuatku penasaran, serta segera menoleh ke arah pandangannya tertuju.
Aku langsung paham kenapa Ijan tampil rapi dan bergaya bak fotomodel papan reklame, ternyata dia tengah menebar pesona pada teman sekelas kami yang bernama Seftyani, biasa dipanggil Tie.
"Hai, Tie," sapaku seraya mengulaskan senyuman manis.
"Halo, Ken, ke mana aja nih? Bolos mulu," sahutnya sembari memandangiku dan Ijan bergantian.
"Lagi sibuk jadi kuli panggul," balasku.
Sudut bibir Tie terangkat membentuk sebuah senyuman memikat. Hal itulah yang membuat Ijan terpesona dan sejak tadi hanya cengengesan tanpa menyapa gadis pujaan.
"Ehh, Ijan, nanti kita kerja kelompok lagi. Yang kemaren belum beres," tukas Tie yang dibalas anggukan oleh Ijan. "Aku ke kelas duluan, ya. Mau ngecek sesuatu," lanjutnya sambil jalan memasuki ruangan di sebelah kananku.
Aku memandangi Ijan yang tubuhnya masih miring dan kepala terjulur mengikuti langkah Tie. Aku menunduk dan menutupi area hidung dengan tangan, tetapi tawa yang hendak ditahan akhirnya tumpah juga tanpa sempat dicegah.
Ijan mengulum senyum dan menyugar rambut dengan gerakan canggung. Mungkin dia malu karena tertangkap basah sedang memperhatikan Tie yang kuakui cukup manis.
"Masuk, yuk!" ajak Ijan beberapa menit kemudian.
"Duo tukang makan itu ke mana? Tumben belum nongol," tanyaku.
"Nggak tau, mungkin masih di jalan."
Ijan merangkul pundak dan menyeretku masuk ke ruang kelas yang suasananya cukup ramai. Tak berselang lama dosen yang tidak ditunggu pun hadir dan langsung memberikan kuis tanpa boleh mencari data dari Mbah G ataupun buku.
Mati!
***
Malam harinya, tepat seusai salat Magrib aku berangkat menuju kafe tempat janji temu dengan Aleea dan tunangannya. Jujur, menyebut kata tunangannya itu membuat hatiku teriris, pedih banget. Kayak diiris pakai pisau plastik mainannya Khanza.
Di tengah perjalanan aku sempat berhenti di depan mini market yang buka dua puluh empat jam. Ijan, Sandy dan Willy yang sudah menunggu sejak zaman Fir'aun itu sempat mengomeliku yang kata mereka terlambat.
Sandy langsung menaiki motorku, sementara Ijan memboncengi Willy. Motor kami meliuk-liuk lincah di jalanan yang tidak terlalu padat tetapi tetap ramai. Tidak berani untuk mengebut karena ingat nyawa itu cuma satu, enggak ada yang jual cadangannya.
Setibanya di tempat tujuan, aku menguatkan hati untuk jalan dengan tubuh tegap, tidak mau menampilkan suasana hati yang enggak karuan. Sedapat mungkin memperlihatkan ketegaran dan ketampanan yang hakiki.
"Kirain nggak jadi datang!" sungut Aleea sambil menepuk lengan kiriku.
"Sorry telat, tadi dandan dulu ke salon," selorohku yang dibalasnya dengan pelototan, tetapi bibirnya membingkai senyuman.
"Ayo, kuantar ke kantor, kalian bertiga tunggu di sini!" titah Aleea pada ketiga bujangan di belakang.
"Kami nggak nolak ditraktir, Lea," ungkap Sandy tanpa basa basi.
"Iya, pesan aja, nanti aku yang bayar," sahut Aleea sebelum menarik tangan dan menyeretku menaiki tangga yang berada di sudut kanan ruangan.
"Aku deg-degan," imbuhku dengan jujur.
"Santai, jangan tegang gitu deh," jawab Aleea.
"Nih, tanganku dingin kan?" Aku sengaja menyentuhkan telapak tangan kanan ke tangan kirinya yang halus.
"Ehh, iya, dingin banget ini."
Aleea berhenti tepat di pinggir tangga teratas dan menarik kedua tanganku. Meletakkan kedua tangannya di masing-masing tangan dan menatapku dengan lekat.
"Tenang, Ken. Ini cuma interview ringan. Gimana kalau kamu mau sidang skripsi? Pasti lebih tegang dari ini," ujarnya seraya mengulaskan senyuman yang membuatku terpana.
"Kayaknya aku bakal lebih tegang kalau ngelamar kamu," timpalku yang langsung dibalasnya cubitan di lengan.
"Masih aja ngegombal. Udah tau aku punya tunangan juga!"
"Baru tunangan kan? Belum nikah, dan berarti aku masih punya kesempatan."
"Ken!"
"Ya?"
"Aku serius!"
"Aku dua rius!"
Aleea menarik napas panjang, seakan-akan tengah menenangkan diri. Sementara aku tetap memandanginya seraya mengulum senyum.
Gadis yang malam ini mengepang rambutnya yang panjang dan mengenakan setelan blus putih motif bunga-bunga kecil itu mendelik, kemudian melangkah menjauh dan meninggalkanku yang terpaksa mengekori.
"Kang, ini orangnya udah muncul," ujar Aleea sesaat setelah kami memasuki ruangan kerja milik Ryan.
"Halo, selamat malam semuanya," sapaku dengan suara sehangat kuah bakso.
"Hai, Ken. Ayo, duduk sini. Dan perkenalkan, ini Sarah, dia manajer di sini," sambut Ryan yang kali ini tampak sangat tampan dan membuatku sedikit terintimidasi.
Seorang perempuan dewasa yang tampak sangat anggun segera berdiri dan jalan mendekat. "Hai, senang berkenalan denganmu, dan aku sudah mendengar tentang suaramu yang bagus dari Aleea," ucap Sarah seraya menyunggingkan senyuman tipis.
"Iya, Mbak. Aku juga senang berkenalan dengan seorang perempuan cantik dan anggun kayak Mbak," tukasku yang membuat senyuman di wajah Sarah melebar.
"Mulai!" desis Aleea yang masih berdiri di sebelah kanan.
"Apa sih? Cemburu?" timpalku dengan memasang wajah santai. Sementara mata sipit Aleea langsung membeliak, sedangkan Ryan tertawa kecil. Mungkin pria itu tidak menyadari bila aku tengah menggoda tunangannya.
Obrolan kami berlanjut dengan pembahasan mengenai deskripsi pekerjaan yang akan menjadi tanggung jawabku. Rupanya Ryan dan Sarah tengah menggagas konsep live musik setiap malam sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pengunjung.
Selain sebagai penyanyi, aku juga diharapkan bisa menjadi pemandu acara untuk beberapa event yang akan diadakan dalam waktu dekat. Ryan dan rekan bisnisnya telah menandatangani nota kesepakatan, sehingga kafe yang lokasinya strategis dan berkapasitas cukup besar itu menjadi tempat jumpa penggemar sebuah agensi artis Indonesia.
Pendapatan yang akan kuterima ternyata cukup besar untuk ukuran pendatang baru. Demi menyukseskan acara, Ryan tidak tanggung-tanggung menggelontorkan dana.
"Bagaimana, Kenzo. Kamu setuju?" tanya Ryan seusai menjelaskan semuanya.
Aku menimbang-nimbang sejenak dalam hati, kemudian mengangguk mengiakan ucapannya.
"Oke, selamat bergabung dengan kami, Kenzo. Kapan kamu siap untuk memulai bertugas?" tanya Rian sambil menjabat tanganku dengan kuat.
"Besok, Kang. InsyaAllah," jawabku mantap.