"Rasanya dia merasa ini tidak adil."
***
Hari ini adalah hari minggu, Mario kebetulan libur. Tadinya, Mario mengajaknya jalan-jalan tapi entah kenapa rasanya dia malas untuk pergi dan hanya ingin di rumah saja.
Jam sepuluh mereka baru ke luar kamar. Bahkan sudah disuruh sarapan dari pagi oleh Mario tapi Veni menolak. Jadi, yasudah tadi Mario hanya membuatkan s**u untuk Veni saja.
Sampai di bawah melihat Mamanya sedang mengobrol entah dengan siapa. Paling, temannya dan Veni harus siapa nanti namanya dikaitkan.
"Eh menantunya ini ya." Veni mengangguk dan tersenyum.
"Iya ini istrinya, Mario lagi hamil, jeng."
"Oalah saya kira istrinya Marvel loh soalnya 'kan Marvel duluan yang nikah. Istrinya Marvel belum nikah ta, Jeng?"
"Hahaha, belum, Jeng."
"Wah padahal nikahnya duluan ya."
"Sempet hamil cuma ya gitu."
"Gitu kenapa?" Veni melihat ke arah Mario. Mario mengajaknya masuk saja ke dapur. Tapi, walaupun mereka sudah sampai dapur dan duduk di meja makan dekat dapur suara Mamanya masih juga kedengaran olehnya. Dia merasa kasihan dengan Mbak Bhiya karena dia juga seorang perempuan. Dia takut kalau memang nantinya posisinya merasakan juga apa yang dirasakan Mbak Bhiya. Tapi, jangan sampai naudzubillah minzalik.
"Sempet hamil cuma karena orangnya 'kan kerja terus jadi ya bayinya enggak ada deh."
"Keguguran maksudnya?" tanya teman Mamanya lagi.
"Iya. Lagian salahnya juga udah saya bilangin jangan kerja tapi tetep kekeh kerja yaudah deh biar dia rasain aja."
"Ih emang ya kalau anak enggak nurut sama mertua gitu. Padahal, 'kan mertua juga orang tuanya 'kan kalau udah nikah."
"Nah, betul."
Veni menghembuskan napasnya kasar. Dia rasanya tidak mood makan, hampir setiap hari entah kenapa harus mendengar ucapan menyakitkan Ibu mertuanya. Walaupun, bukan ditunjukkan kepadanya tapi hati wanita mana yang akhirnya juga tidak merasakan apa ucapan dari mertuanya itu.
"Ven, makan. Udah siang kamu tadi udah enggak sarapan loh."
"Mood makan aku jadi enggak ada, Mas. Aku enggak pengen makan," jawab Veni jujur.
"Loh kok gitu. Kamu dari pagi belum makan loh, Ven. Kasihan anak kita. Kamu mau makan apa sekarang? Biar aku cariin dan beliin. Yang pennting kamu makan."
"Gatau lagi enggak pengen apa-apa."
"Biasanya Ibu-ibu hamil pengen makan sesuatu tapi kamu selama hamil ini belum pengen apa-apakah, Ven?" Veni terkekeh.
"Malah bagus dong, berarti anak kita enggak pengen yang aneh-aneh. Jadi, dia anteng aja. Enggak bikin Ibunya mual-mual aja udah syukur banget aku, Mar."
"Tapi kayaknya kalau aku pengen kamu nyidam deh, Ven soalnya aku pengen kayak suami lain gitu yang istrinya nyidam cari kepengenan istrinya. Ini kok kamu enggak." Veni tertawa masih memaksakan agar makanan yang dirinya makan bisa masuk.
"Ya gimana soalnya juga baru sebulan nanti semoga aja ngidamnya aneh-aneh ya biar kamu pusing nurutinnya."
"Eh ya ga gitu juga. Kalau aneh-aneh nyidamnya terus enggak ketemu nanti anak kita ileran gimana? Enggak ah. Ngidamnya jangan aneh-aneh ya anak Ayah...." Mario mengelus perut Veni. Veni tersenyum bahagia dengan kehamilannya ini. Semoga kehamilannya ini terus terjaga dan sehat sampai bayinya lahir.
Veni dan Mario langsung menengok ke belakang. Kala dia mendengar suara riuh Mamanya. Mario menyuruh untuk Veni diam saja di sini saat istrinya ingin bangkit ikut.
"Kamu mau ngapain?"
"Itu kayaknya Mbak Bhiya, Mar."
"Udah kamu di sini aja."
"Tapi, kasihan." Mario dengan kode matanya tetap menyuruh Veni untuk diam di sini. Karena dia tahu kalau istrinya ke luar masalah akan semakin rumit. Tapi, baru kali ini dia mendengar Bhiya sampai membantah.
***
"Ah Jeng, ini dia mantu saya yang pertama." Mamanya mengenalkan Bhiya. Bhiya pun tidak merasa ada yang aneh dia tetap tersenyum ramah dengan tamu Mamanya itu.
"Oalah ini toh cantik ya istrinya Marvel. Panjang umur juga nak kamu baru juga diomongin udah dateng aja." Bhiya pun juga hanya sopan salim lalu tersenyum.
"Iya Marvel emang enggak salah pilih istri tapi ya gitu tadi yang aku bilang."
"Iya cantik tapi enggak mau denger omongan orang tua ya?"
"Nah iya."
"Lain kali denger omongan Mamanya, Mbak. Mbak kan masih muda di sini mertua juga orang tuanya, Mbaknya loh. Kalau disuruh resign kerja mending resign jadi enggak keguguran dan sekarang jadi belum hamil lagi 'kan? Saya emang denger-denger juga gitu, Mbak kalau orang udah keguguran punya anak laginya susah. Biasanya harus bedrest juga tapi Mbaknya masih kerja."
"Iya terimakasih atas nasihatnya, Bu. Tapi, saya tetap kerja tidak lama saya juga proses untuk segera resign soalnya."
"Halah kamu bilang juga gitu terus loh, Bhiy. Kamu enggak nurut kayak Veni. Veni disuruh resign aja dia udah resign masa kamu yang kakak seharusnya nyontoh yang baik malah kerja terus. Apa sih yang kamu kejar. Marvel udah kaya lho kenapa kamu masih aja pengen kerja heran loh saya."
"Bhiya udah mau resign, Ma. Tapi, perusahaan ngasih waktu Bhiya dulu untuk dapet Pengganti dan emang Bhiya harus nurutin 'kan seharusnya karena dari awal Bhiya juga udah kontrak kerja. Nanti juga pasti Bhiya akan ke luar kok, Ma."
"Nahkan Jeng kalau dibilangin ya pasti jawabannya gitu terus makanya kadang saya udah males lah ngingetinnya."
"Mah—"
Mario datang memotong ucapan Bhiya, "Bhiya aku boleh minta tolong. Itu Veni butuh kamu sesuatu soalnya," panggil Mario. Mereka menengok ke arah Mario.
"Minta tolong apa?" tanya Bhiya lagi.
"Enggak tahu tolongin dulu ya katanya urusan perempuan dan aku enggak bisa kebetulan kamu dateng," kata Mario lagi. Mario hanya tidak mau perdebatan mereka semakin panjang jadi Mario menyuruh Bhiya untuk menemui istrinya saja.
"Baik saya permisi dulu, Ma, Bu," ucap Bhiya sopan.
***
Mario tadi mengusulkan kalau panggil Bhiya aja atas nama Veni. Veni sempat curiga dengan Mario tapi kemudian jawaban Mario membuat dia pun menganggukkan kepalanya. Ya jadilah Bhiya sekarang ada dihadapannya saat ini.
"Kamu manggil aku ada apa, Ven?" tanya Bhiya saat sudah berada dihadapannya. Veni tersenyum, "Mbak udah makan belum?"
"Udah kok. Ini ke sini malah bawa masakan."
"Oh gitu yaudah yuk makan di kamar Veni aja. Veni mau cerita banyak sama Mbak."
"Oh gitu. Tadi, kata Mario kamu butuh sesuatu butuh apa?" tanya Bhiya lagi. Veni tersenyum dan menggelengkan kepalanya dia memang tidak butuh apa-apa dia hanya alibi agar Bhiya tidak terus dipojokkan oleh Mamanya dan juga teman Mamanya itu.
"Yaudah kalian ke kamar aja. Aku mau joging aja di lantai atas." Mario memang punya ruangan olahraga sendiri di rumahnya. Jadi, kapanpun dia mau tidak perlu mengeluarkan uang karena sudah ada lengkap di rumahnya.
"Emang enggak apa-apa di kamar?"
"Gapapa kok. Yuk."
"Veni aku ke ruang olahraga dulu ya. Kalau kamu butuh sesuatu panggil aku aja. Setelah makan aku mau ke ruang olahraga. Kamu jangan lupa makan juga. Awas aja kalau makanannya cuma dianggurin. Bhiya nanti suruh Veni makan ya. Jam segini dia baru mau diajak makan dari pagi maunya di kamar doang minum susu." Bhiya tertawa, "Iya, nanti aku suruh makan sekalian aku siapin makananku juga."
"Nah bagus." Veni dan Bhiya pun berjalan ke kamarnya.
***
Sampai di kamarnya untuk kamarnya sudah rapi dan bersih dan itu pasti suruhan pembantunya Mario karena Mario menyuruh Veni untuk tidak kelelahan.
"Gimana tadi kamu butuh apa?" tanya Bhiya lagi.
"Iya, aku denger semua tadi yang Mama sama temannya ucapin. Jadi, yaudah alibi aja kamu dipanggil aku."
"Oalah. Padahal, enggak papa kok aku udah biasa digituin sama Mama jadi lama-lama udah kebal," ucap Bhiya sambil tertawa. Walaupun, tidak tahu saja hatinya selalu remuk apalagi suaminya pun yang tidak membelanya dan malah mendukung Ibunya.
"Tapi, tetep aja pasti ada rasa sakit hati 'kan, Mbak? Aku jadi kasian gitu dengernya."
"Ya gimana emang salah, Mbak juga yang belum bisa resign sampe sekarang."
"Aturan to ya, Mama support tapi bukan malah jatuhin Mbak Bhiya bikin mental makin down gitu."
"Ya udah biasa juga."
"Maaf ya, Mbak," ucap Veni lagi. Bhiya pun mengerutkan keningnya bingung, "Loh, Maaf kenapa? Kamu 'kan enggak salah apa-apa."
"Aku tadi denger, Mbak Bhiya dibandingin sama aku. Akunya jadi enggak enak, Mbak."
"Wkwkwkw ... ya enggak papa kali, wajar aja."
"Mbak kok enggak marah sih sama aku? Padahal, aku kan udah buat Mbak Bhiya jadi dibandingin gitu."
"Bukan salah kamu, Ven. Udah enggak usah dibahas enggak papa kamu fokus aja sama kehamilan kamu semoga aja sehat sampe proses melahirkan. Dan ada cucu keturunan keluarga kita." Veni tersenyum dan menganggukan kepalanya.
"Aamiin, semoga aja Mbak Bhiya juga cepet hamil ya biar anak kita enggak beda jauh besarnya nanti."
"Aamiin deh."
"Kamu udah periksa lagi?" tanya Bhiya.
"Belum, Mbak."
"Harus sering-sering kontrol ya...."
"Iya, sip Mbak."
Mereka sedang asyik mengobrol dan ada yang mengetuk pintu kamar Veni, "Bentar ya, Mbak aku buka pintu kamar dulu."
"Iya."
Veni bangkit dari kasur untuk membuka pintu, dia kira tadi Mario yang datang ternyata Mamanya. Mamanya datang sambil membawa pizza.
"Loh Mama bawain aku pizza."
"Iya ini pizza tuna. Kata orang kalau mau anaknya cowo sering-sering makan ikan atau kacang-kacangan yang pennting yang amis-amis deh," kata Mamanya lagi.
"Oh gitu yaudah iya, Ma," jawah Veni menerima pizza yang dibawakan oleh sang Mama.
"Btw Bhiya di kamar kamu? Soalnya dia enggak ada di bawah." Veni menengok ke belakang.
"Iya, Ma tadi aku ada urusan jadi aku minta tolong aja sama Mbak Bhiya."
"Oh gitu. Yaudah kalau bisa diingetin deh ya, soalnya kalau dibilangin Mama enggak ngerti. Udah disindir temen Mama juga kayaknya orangnya cuek beda banget sama kamu."
"Ah enggak kok, Ma. Yaudah aku masuk ya."
"Iya sehat-sehat ya jaga kandungannya. Dijaga yang bener bayinya," ucap Mamanya mengelus kepala dan kemudian perut menantunya itu. Wajahnya terlihat bahagai berbeda saat dengan Bhiya tadi.
"Makasih, nenek," jawab Veni.
"Yaudah Mama ke bawah dulu ya."
"Iya, Ma." Setelah kepergian Mamanya Veni pun masuk lagi ke dalam kamarnya sambil membawa pizza tadi.
"Mbak Bhiya kalau apa yang diomongin Mama tadi kedengaran sama Mbai Bhiya aku minta maaf ya. Aku bener-bener sama sekali enggak ada maksud buat apa-apa gitu, Mbak. Justru aku selalu merasa bersalah sumpah."
"Udahlah, Ven enggak usah dipikirin. Wah dibawain pizza ya sama Mama?" tanya Bhiya mengalihkan ucapannya agar Veni tidak terus-terusan merasa bersalah dengan dirinya karena menurutnya ya tidak apa. Toh, apa yang diucapkan Mamanya itu benar adanya.
"Iya, ini dibawain Pizza Tuna sama Mama katanya biar anaknya cowo. Waktu itu Mario juga bilang buat sering-sering konsul ke dokter biar anaknya cowo. Padahal, kalau aku sendiri cewe atau cowo itu sama aja. Yang penting sehat enggak kekurangan satu apapun."
"Mama selalu aja menuntut apa yang dia mau. Semoga aja kalau gitu anak kamu cowo ya. Jangan sampai nantinya kamu merasakan apa yang aku rasakan juga kayak belum hamil ini. Tapi, aku berdoa aja sama Allah biar hati aku diberikan kesabaran juga."
"Aamiin."
"Yaudah dimakan juga, Mbak. Masa cuma dilihatin aja."
"Kamu juga makan nanti diomelin Mario juga loh kalau kamu belum makan. Ini nasi kamu juga Dari tadi jadi dianggurin udah adem deh."
"Hehehe ... enggak papa kok, Mbak udah adem malah enggak niupin," gurau Veni.
"Ya tapi jadi enggak kerasa anget. Kalau aku ya, Ven enggak tahu kenapa kalau makan makanan yang udah dingin rasanya kayak gimana gitu. Mending anget."
"Oh kalau aku seneng dingin sih. Btw ini udang kejunya tadi Kakak buat sendiri?" tanya Veni lagi."
"Iya tadi aku buat udang keju karena liburan gabut juga. Aku kira tadi Mama emang enggak ada loh di rumah. Biasanya kalau minggu enggak ada soalnya, eh ternyata malah temennya yang ke sini." Veni tersenyum sambil makan.
"Aku juga baru ke luar kamar banget tadi, Mbak. Mario cuma bikinin aku s**u aja tadi soalnya emang males makan," jawab Veni lagi. Dia pun juga sudah mulai harus kebal dengan Mamanya yang juga sama kadang berbicara dengannya pun menyakitkan.
"Oh gitu, kamu enggak mual atau lagi nyidam gitu enggak sih, Ven?" tanya Bhiya lagi.
"Enggak, Mbak aku juga bingung kenapa enggak mual enggak nyidam juga."
"Enak ya. Waktu aku hamil kemarin dari awal hamil aja aku udah mual-mual, makan apa aja enggak masuk. Pokoknya lemes banget tapi sayang pas kita udah bahagia udah seneng anaknya cuma bertahan dalam tiga bulan aja." Veni mengelus pundak Bhiya.
"Sabar ya, Mbak pasti nanti Mbak Bhiya bisa hamil lagi kok. Berdoa aja aku juga doain biar cepet nyusul dan anak kita jadi enggak beda jauh."
"Aamiin ... lucu kali ya kalau anak kita bedanya enggak jauh. Biar kita sering belanja bareng gitu."
"Hahaha iya...." Mereka pun kini sedang bercengkerama ringan. Berharap mereka sebagai istri benar-benar bisa membahagiakan suami dan mertua mereka. Walaupun, kadang kala kesal pun suka menghampiri mereka tapi mereka berusaha sabar menerimanya.
***
Malam harinya, Mamanya mengajak mereka untuk makan di luar. Dikarenakan Arum yang meminta. Veni tadinya malas ikut untuk apa juga tapi karena Mama mertuanya yang menyuruhnya juga akhirnya mau tidak mau dia ikut dari pada harus berdebat dan Veni enggan untuk berdebat.
"Ven udah siap?"
"Akutu sebenernya males banget loh, Mar. Pengen di rumah aja. Lagian Arum tu sampai kapan si di sini."
"Arum 'kan enggak punya keluarga lagi. Jadi, ya dia mungkin bakal seterusnya di sini."
"Kita enggak ada harapan buat tinggal di rumah sendiri apa ya, Mar kayak Mbak Bhiya dan Mas Marvel. Aku pengen kita bangun keluarga di rumah kita sendiri. Bahkan aku enggak papa kalau rumah kita kecil atau ngontrak," ucap Veni masih dengan menggunakan kerudungnya. Mario masih menunggunya selesai berdandan.
"Kenapa kamu enggak betah tinggal di sini? Padahal, rumah ini gede. Bahkan rumah Marvel sama rumah ini aja gedean rumah ini loh, Ven masa kamu engga betah."
"Kan walaupun rumahnya besar tapi—"
"Veni, Mario ayo nak berangkat keburu kemaleman Arum udah minta buruan ni sayang." Belum sempat Veni melanjutkan omongannya Mamanya sudah memanggilmya lagi. Mario pun yang dengan sigap ke luar kamar.
"Ayo, Mario Arum udah laper banget katanya. Takutnya nanti juga macet kemaleman kasihan Veni butuh istirahat jadi enggak bisa malem-malem. Veni udah selesai belum?" tanya Mamanya lagi.
"Udah kok, Ma. Bentar lagi kita turun ya lagi nyiapin sesuatu soalnya tadi."
"Yaudah tapi buruan ya, kasihan Veni kalau dia kemaleman nanti." Mario pun mengangguk. Dia menutup pintu kamarnya lagi setelah Mamanya sudah pergi.
"Sudah selesai, Ven? Katanya Mama Arum—"
"Iya aku tahu Arum yang minta buru-buru 'kan?" tanya Veni sinis memutar bola matanya malas. Dia pun berjalan melewati Mario tapi Mario langsung menahannya.
"Maksudnya Mama baik kok sayang ke kamu juga bukan cuma Arum. Mama bilang biar enggak kemaleman biar kamu bisa istirahat 'kan Mama aku lebih perhatian sama kamu."
"Hmm...." Veni sudah malas berkata-kata. Memangnya dia tidak mendengar semuanya tadi. Lagian Arum kenapa jadi sok banget sih di rumah ini. Ingin rasanya batinnya meronta-meronta mencaci maki Arum tapi dia hanya bisa menahan marahnya saja.
Setelah itu Mario menggandeng Veni ke luar. Padahal, Veni malas digandeng oleh Mario tapi yasudahlah dia pasrah saja.
"Kak Mario lama banget sih udah tahu kaki aku pegel ni nunggu Kak Mario. Aku juga udah laper."
"Arum Kak Mario kan pasti nungguin istrinya dulu. Istrinya harus apa-apa hati lagi hamil dan bentar lagi punya cucu buat Mama, kamu enggak pengen jadi aunty apa."
"Ma udah ayo berangkat enggak usah ngobrol nanti kemaleman." Mario mengajak mereka untuk berangkat.
"Oiya, Ma pakai supir aja soalnya aku mau duduk dibelakang aja sama Veni. Biar Arum yang di depan sama supirnya 'kan dia enggak bisa lagi duduk di belakang katanya mual. Jadi, sama supir aja, Ma."
"Oh gitu yaudah kalau gitu." Veni melihat seperti Arum ini kesal karena yang menyupir malah supirnya apa dia berharap suaminya yang menyetirnya. Veni malah tertawa puas dengan hal itu. Apa perasaannya benar kalau Arum yang notabennya sepupunya itu malah suka dengan suaminya. Tidak bisa dibiarkan kalau begitu.
"Oh yaudah kalau gitu. Arum kamu enggak bisa duduk di belakang? Setahu Mama kalau naik mobil di mana aja enggak pernah mual."
"Hehe ... iya enggak tahu, Tan semenjak pulang dari Jepang kayak gimana gitu kalau duduk di belakang. Apa Mobil di Jepang sama Indonesia beda kali ya."
"Mana ada kayak gitu. Udah yuk sayang kita duluan aja," ucap Mario merangkul pinggang istrinya. Veni malah senang saat Mario seakan memojokkan Arum dan lebih membela dirinya.
***
Akhirnya mereka sudah sampai di restaurant. Pesanan pun sudah dipesan hanya tinggal menunggu masakan datang.
"Kenapa tadi kita enggak ajak, Mbak Bhiya aja, Ma? Padahal, Mbak Bhiya juga tadi siang dari rumah."
"Kak Bhiya dari rumah, Tan? Ah sayang banget aku enggak ketemu padahal udah lama kita enggak ketemu," ucap Arum tiba-tiba.
"Iya dia ke rumah nganterin makanan. Tapi, ya makanan gitu doang murahan gitu loh, Rum."
"Tapi tadi aku makan udang kejunya enak kok, Ma," saut Veni lagi. Veni berharap Mamanya tidak memojokan Bhiya terus karena bagimana pun 'kan Bhiya itu menantunya. Dan kita semua masih keluarga. Veni mau keluarganya itu saling mensupport bukan saling menjatuhkan karna saat di rumahnya dulu mereka saling mensupport satu sama lain.
"Aduh kalau bisa jangan deh, Ven takutnya dia iri sama kehamilan kamu nanti makanannya di apa-apain loh, Mama kalau dianterin makan sama dia ya Mama kasih pembantu aja." Veni menggelengkan kepalanya. Mamanya ini sebenernya sudah sangat keterlaluan tapi apa daya. Dia pun hanya bisa diam. Kemudian makanan datang jadi bisa membuat mereka hening dan mulai menikmati makanan yang datang.
Sesekali Mario menyuapi Veni dan Veni tersenyum. Tapi, Veni melihat gelagat makan Arum yang sepertinya kesal. Fiks feeling sebagai perempuan dia yakin Arum ini suka dengan suaminya. Dia akan selalu menjaga suaminya dari pada direbut wanita itu.
***
Setelah makanan semua habis. Mereka langsung membayar dan pulang.
"Dah yuk kita langsung pulang aja. Udah malem besok Mario kerja dan Veni juga harus istirahat," kata Mamanya lagi.
"Yah kok langsung pulang. Nanti aja, Tan, masa langsung pulang sih."
"Arum besok Mario sama Mama mau Cek kandungan Veni jadi kita harus buru-buru pulang."
"Ngapain Cek kandungan segala."
"Arum enggak boleh gitu. Kita Cek sekalian konsul biar anaknya laki-laki dulu, Om kamu kan pengennya punya anak laki-laki dan cucu juga laki-laki makanya harus sering konsul sama Dokternya juga," jawab Dian.
"Yaudah aku ikut."
"Eh bukannya besok kamu kerja 'kan? Mending enggak usah, Rum. Nanti ngerepotin lho gaji kamu dipotong cuma gara-gara mau ikut aku kontrol kamu kerja aja," saut Veni dengan cepat dia tidak mau kalau sampai Arum ini ikut dan selalu saja membuat moodnya berantakan.
"Enggak papa kok. Lagian kalau dipecat yaudah enggak usah kerja."
"Arum kamu kok ngomong gitu sih. Kalau kamu dipecat enggak kerja lagi gimana? Masa kamu mau tinggal di rumah Tante tapi cuma nganggur." Arum memanyunkan bibirnya kesal.
"Yaudah iya enggak, Tan besok aku tetep kerja aja."
"Nah gitu. Lagian nanti juga kita ceritain kok," jawab Dian lagi. Arum pun pasrah dan Veni pun malah senang. Satu sisi ada positifnya juga dia sama sang Mama mertua.
"Yaudah yuk kita pulang," ucap Mario. Mereka pun mengangguk lantas bangkit dari duduknya. Berjalan ke basement dan langsung pulang ke rumah. Lagian Veni juga sudah pegel ingin cepat-cepat tidur saat sampai rumah. Untung saja Mama mertuanya mendukung dirinya untuk segera pulang. Dia kira Mamanya akan menyetujui usul Arum yang minta jalan-jalan karena setahunya apapun yang Arum Mau pasti dituruti.
"Lihat 'kan Arum Mama lebih sayang aku. Walaupun kadang suka sakit hati sama ucapan Mama," batin Veni.