"Satu isi dia merasa beruntung dijadikan ratu."
***
"Veni kamu mau makan apa? Oiya Ven, Mar kalian udah kontrol ke dokter? Tanya gih gimana biar dapet anak cowo," ucap Mamanya saat mereka sedang sarapan bersama. Bhiya sudah pulang tadi, menyisakkan Veni yang merasa bersalah dengan Kakak Iparnya karena ucapan mertuanya.
"Emm ... belum, Ma mungkin nunggu, Mas Mario free soalnya 'kan aku baru resign juga ini," ucap Veni lagi.
"Oiya kemarin-kemarin masih kerja. Udah Mama bilangin juga 'kan enggak usah kerja kamu ngeyel si masih masuk."
"Ma, yang pennting 'kan sekarang udah resign enggak usah dibahas lagi," ucap Mario angkat bicara.
"Iya-iya, Mama 'kan cuma ingetin biar enggak kayak Kakak ipar kamu itu udah Mama bilangin bahkan sampe sekarang belum resign."
"Belum bisa katanya, Ma. Lagian udah diusahain bulan depan kok kata Kak Marvel juga."
"Seharusnya kalau enggak tu Marvel juga angkat bicara kek. Masa istrinya masih kerja dibiarin aja."
"Udahlah, Ma kita masih sarapan aja bahas orang lain terus. Udah biarin aja urusan mereka."
"Ya jadinya 'kan dia ga hamil-hamil Mario. Temen-temen Mama jadi pada nanya, pada iniin Mama karena enggak bisa ngasih saran buat menantunya. Kalau gitu siapa yang malu?" Veni hanya diam saja. Dia tidak mau ikut campur masalah mertuanya dan juga Kak Bhiya. Satu sisi dia juga merasakan kasihan dengan Kak Bhiya yang harus dibahas.
"Udahlah enggak usah dibahas." Mario memilih untuk tidak lagi membahas itu dari pada harus merusak sarapan mereka.
"Veni mau nambah? Biar Mama ambilin kamu harus makan yang banyak nanti kalau lapar lagi makan lagi enggak papa."
"Iya, Ma ini udah cukup nanti kalau kurang Veni ambil lagi."
"Nah iya." Mereka pun makan dengan tenang.
Setelah selesai makan, Veni ke kamarnya mengambil jas untuk suaminya kerja. Sudah Veni ingatkan jas tadi di kamar malah tidak dia bawa.
"Nih, jasnya padahal dari tadi aku udah ingetin kamu tapi kamu kebiasaan."
"Iya namanya lupa tadi biasanya 'kan kamu yang bawa kalau kamu kerja."
"Tapi kan udah aku ingetin."
"Iya-iya, Maaf aku salah."
"Hm...."
"Kak Mario anter aku dulu ke kantor sekarang 'kan Kak Veni udah enggak kerja jadi aku enggak bakalan telat lagi ke kantor." Veni memelototkan matanya. Jadi, Arum bakal satu mobil dengan suaminya.
"Kenapa enggak naik angkutan umum aja? Atau taksi online atau yang lainnya kenapa harus sama aku."
"Mario jangan gitu, itu kan adek sepupu kamu juga. Anter dia dulu ke kantor," ucap Mama mertuanya yang baru datang mendengar keributan mereka.
"Tapi, kantor aku sama Arum 'kan beda arah, Ma. Kalau aku anter dia nanti aku kena macet masuk kantor siang."
"Suruh siapa kamu enggak pagi berangkatnya jadi bisa anter Arum dulu," saut Mamanya lagi.
"Kalau enggak kenapa enggak pake supir Mama aja sih. Aku ada client Ma pagi ini dan Kak Marvel lagi ada acara di luar kota juga."
"Oh gitu, yaudah kamu berangkat sama supir Tante aja, Rum kalau gitu. Enggak papa 'kan? Jadi kalau apa-apa sama supir Tante aja." Veni tersenyum puas sedangkan Arum terlihat kesal karena usahanya tidak berhasil lagian kenapa caper banget sama suami orang. Atau jangan-jangan....
Seperti yang di sinetron-sinetron kalau memang wanita ini menyukai suaminya. Sepupu kan bisa menyukai sepupunya 'kan? Duh kalau seperti ini tidak bisa dia biarkan.
"Tapi, kalau nanti supir Tante kena macet gimana? Kantorku jauh. Kalau Tante mau pergi gimana?" Arum sepertinya masih melanjutkan trik liciknya itu.
"Tante enggak mau ke mana-mana kok lagian di rumah udah ada Veni jadi Tante kayaknya di rumah aja betah. Yakan, Ven? Kalau kita bosen baru kita nanti jalan-jalan." Veni tersenyum puas lagi dengan jawaban mertuanya.
"Yaudah deh, Tante," jawab Arum mengalah dengan lesu. Setelah itu mereka berjalan ke luar. Arum akhirnya ke luar lebih dulu setelah berpamitan dengan Mamanya saja. Tapi, Mamanya kemudian memanggil Arum untuk pamit ke Mario dan Veni juga.
"Arum...." panggil Tantenya lagi.
"Kenapa, Tante?" tanya Arum lagi.
"Kamu belum pamit sama Mario dan Veni mereka kakak kamu enggak boleh kamu main nyelonong gitu aja."
"Iya." Arum pun menyalami Mario dan Veni barengan. Setelah itu dia berjalan ke luar duluan meninggalkan Mario dan Veni.
"Kamu udah enggak ada yang ketinggalan lagi? Nanti takutnya bolak balik."
"Kayaknya enggak ada sih. Yaudah aku berangkat dulu ya."
"Iya hati-hati. Kalau udah waktunya pulang langsung pulang ya," ucap Veni lagi. Padahal, di sana masih ada Mama mertuanya tapi entah kenapa Veni berani sekali menebar keromantisan dengan Mario.
"Iya sayang. Nanti kalau free juga aku langsung telepon kamu. Kamu di rumah jangan capek-capek ya. Istirahat aja."
"Kalian bikin Mama iri aja pagi-pagi." Veni menunduk Malu sedangkan Mario santai saja lalu mengecup kening Veni dan mengelus perut istrinya itu. Setelah itu dia berangkat ke kantor.
"Mama mau ke kamar dulu ya ambil rajutan terus ke Taman Belakang ngerajut. Kamu tunggu di sana aja kalau mau ke mana ya terserah."
"Iya, Ma." Mamanya pun berlalu meninggalkan Veni. Veni pun kembali ke dapur membereskan perlengkapan makan mereka dan cucian piring yang belum dicuci." Dia tidak mau dibilang menantu malas yang tidak membantu apa-apa di sini. Walaupun, sejujurnya dia lebih memilih untuk tinggal sendiri tanpa harus merasa canggung tapi apa daya Ibunya itu memaksa untuk mereka tetap tinggal di sini.
***
"Veni kamu ngapain?" tanya Mamanya yang datang ke dapur melihat Veni sedang mencuci piring.
"Cuci piring, Ma. Soalnya enggak enak habis makan pada numpuk tadi aku beresin makanannya dulu sekarang baru aku cuci piringnya."
"Astaga, Nak. Enggak perlu kita ada pembantu. Kalau kamu yang nyuci pembantu Mama nanti kerjanya apa?" tanya Mamanya lagi.
"Enggak papa, Ma. Mereka 'kan bisa ngerjain yang lain kayak ngepel, nyapu."
"Pembantu di sini udah ada jobnya masing-masing, Ven. Soalnya Mama sengaja biar enggak terlalu capek ngurus rumah segede ini. Jadi, kamu ya enggak perlu bantuin juga."
"Jadi di sini pembantunya banyak, Ma?" tanya Veni lagi masih sambil mencuci piring. Dia tidak tahu sebanyak apa pembantunya di rumah ini. Dia kira satu pembantu untuk semua kerjaan. Karena biasanya setiap rumah seperti itu bukan. Karena dia kadang berangkat pagi dan pulang sore kadang tersisa satu dua pembantu saja.
"Enggak mereka sendiri-sendiri. Enggak banyak kok cuma sekitar Lima belasan aja. Mana mampu Mama banyak-banyak ambil pembantu."
What????
Lima belas pembantu cuma? Astaga bahkan dulu di rumah Veni saja satu pembantu kadang dia bingung untuk membayarnya. Makanya kadang dia memberhentikan pembantu dan mencari lagi kalau memang benar-benar dibutuhkan.
"Kenapa kamu diam saja? Dikit ya? Ya gimana ya, Ven Mama cuma mampu bayar segitu. Atau dulu kamu lebih banyak pembantunya? Tapi, rumah kamu 'kan sama ini enggak terlalu besar ya? Apa emang tapi pembantunya banyak?" tanya Mamanya lagi. Apakah Mamanya memang sedang sombong kepadanya makanya dia dengan gayanya merendahkan Veni. Definisi mertua yang merendah untuk meroket.
"Enggak, Ma. Aku enggak pakai pembantu bahkan aku aja kadang pakai pembantu cuma satu kalau Umi sama Abi atau aku bener-bener sibuk. Tapi, kita jarang pake pembantu semua kerjaan rumah kita kerjakan sama-sama, Ma."
"Wah capek banget dong ya kalau gitu. Padahal, keluarga kamu kerja semua 'kan? Masa enggak bisa bayar pembantu aja dari pada kecapekan terus sakit." Veni tersenyum tipis. Setelah selesai mencuci piring Veni mengelap tangannya.
"Kita melakukan itu biar kita kompak dalam rumah, Ma. Keluarga aku emang enggak sekaya Mama yang bisa ambil pembantu segitu banyaknya. Tapi, ya wajar juga soalnya rumahnya gede kalau cuma satu pembantu terus ngerjain semuanya kasihan. Tapi, kalau keluargaku pribadi rumah kita enggak terlalu besar jadi kita kerjainnya ya sama-sama karna kita emang suka kerja bareng-bareng jadi ada family time sama, Ma."
"Hmm ... ya tapi kamu lagi ngandung cucu saya juga disini jadi mending kamu enggak usah capek-capek kamu diem aja di rumah. Nonton tv atau apa kan bisa."
"Iyasih, Ma cuma tadi piringnya udah numpuk jadi ya Veni cuci aja sekalian."
"Pembantunya emang baru dateng jam 9 an, Ven sekarang masih jam 8 emang biasanya gitu."
"Oh siang ya kayak kerja kantoran."
"Ya emang saya juga enggak harus berangkat pagi. Kecuali lagi kayak ada acara arisan saya. Mereka saya suruh berangkat pagi beres-beres bantu-bantu. Atau temen saya 'kan banyak sukanya pada main ke sini wajarlah di antara mereka ya bukan mau sombong 'kan saya juga yang paling ... kamu tahulah enggak perlu saya jelasin."
"Hmm gitu."
"Yaudah ayo nonton tv aja."
"Tapi, aku belum selesai ini, Ma beresin makanannya."
"Makanan itu nanti bakal dibuang aja, Ven soalnya nanti siang bakal beda menu. Tapi, kadang dibawa pembantu si suka-suka mereka aja asalkan setiap makan itu emang udah beda menunya."
"Oh gitu ya." Mamanya mengangguk lagi.
"Udah ayo sekiranya enggak ada kerjaan. Mending ngerajut nemenin Mama di belakang enggak usah ngurus kerjaan. Saya bayar mereka percuma kalau mantu saya yang kerjain."
"Ya enggak papa si, Ma kan tadi Veni bilang biasanya di rumah juga gitu."
"Tapi ini kan lagi di rumah saya. Udah biar pembantu saya aja yang beresin bentar lagi juga mereka datang. Yuk ikut, Mama." Veni benar-benar tidak tahu kalau Mamanya benar-benar sombong sekali. Dia takut ikut kena imbas kesombongan Mamanya nanti tapi apa daya. Dia memag sudah terbiasa di rumahnya. Jadi, wajar kalau di sini ya dia seperti itu.
Dalam hati Veni juga sayang setiap makan mereka harus ganti dan katanya makanannya juga kadang dibuang bukankan itu sama saja mubazir. Tapi, apalah daya dia hanya bisa menuruti ucapan Mamanya.
***
"Kamu dulu lulusan S1 aja ya, Ven?" tanya Mamanya.
"Iya, Ma." Veni hanya memperhatikan Mamanya yang sudah mulai merajut.
"Kenapa enggak lanjut S2 kayak Mario. Mario itu saya paksa loh biar dia bisa kuliah sampe S2 bahkan mau saya suruh lanjut S3 lagi tapi katanya.mikirin kamu."
"Mikirin aku kenapa?"
"Ya dia mau waktunya buat kamu sama kerjaan aja yang bikin pusing dia enggak mah nambah lagi gitu katanya."
"Oh gitu." Jadi, Veni bikin pusing Mario hingga membuat dirinya tidak mau S2 lagi. Kenapa rasanya omongan Mamanya itu pedas-pedas sekali lebih pedas dari teman kantornya yang suka menjulidnya. Kalau ucapan mertuanya ini terlalu halus namun menyakitkan saat diterima.
"Oiya Mama ingetin lagi kamu program anak cowo ya, Ven jangan sampe nanti enggak program. Dulu suami saya pengen banget anak-anaknya nikah dan juga dapet cowo."
"Inshaallah, Ma kan Allah yang atur. Kalau Veni apapun dikasihkan kalau dia sehat dan sempurna Veni udah bersyukur."
"Hih kamu ini kalau cowo nanti anak kamu punya hak ngewarisin hartanya beda sama cewe. Lagian cewe tu nanti kamu ngurusnya ribet. Kamu harus ini itu kalau cowo 'kan enggak."
Mama mertuanya ini 'kan padahal cewe kenapa pemikirannya malah begitu. Sebenernya wanita itu pernah mengandung tidak hingga sangat memaksa untuk mendapatkan anak cowo sama persis dengan Mario tempo hari lalu. Pasti ini akubat desakan dari Mamanya juga.
"Iya, Ma nanti aku sering-sering Cek ke dokter dan nanya saran biar bisa anak cowo." Veni lebih memilih menuruti ucapan Mamanya saja.
"Kamu enggak bosen, kalau di rumah gini? Kamu biasanya kalau di rumah lama ngapain?"
"Saya jarang di rumah lama, Ma. Kerja terus."
"Padahal enak di rumah tapi kamu kok seneng kerja."
"Ya karena dapat teman terus dapat gaji juga."
"Kalau gaji Mama rasa Mario mampu ngasih semuanya ke kamu. Gimana Mario ngasih uang bulanan berapa digit? Paling dikit dua kan pasti enggak pernah satu?"
"Iya, Ma."
"Nah iya, yaudah kamu enggak usah ambil pusing kalau itu berarti. Santai aja kalau abis tinggal langsung minta enggak papa. Kalau enggak dikasih bilang Mama aja. Kekayaan Mama ini enggak bakal abis kayaknya, Ven." Veni hanya tersenyum masam. Dia hanya mengangguk karena percuma berdebat dan membalas ucapan Mamanya itu.
"Oiya, Ven waktu diajak nikah sama Mario dijanjiin apa sama dia kok sampe mau?" tanya Mamanya lagi.
"Dijanjiin maksudnya dijanjiin gimana ya, Ma?"
"Kayak nanti mau dikasih mobil atau apa gitu. Kayak biasanya dia iniin cewe lain tapi ujungnya enggak sampe nikah. Mama jadi penasaran dia ngasih apa ke kamu kok bisa kamu nerima dia. Biasanya ya cewe yang Mario deketin mintanya aneh-aneh."
"Aneh-aneh gimana?"
"Kayak misal pengen rumahnya di London setelah nikah. Atau mereka minta barang yang limited edition di mana kadang tu susah bukan Mama enggak mampu."
Veni benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi. Karena dekat dengan Mario saja dia tidak tahu dapat apa selain dengan beberapa mahar itu yang dikasih saat Pernikahan. Bahkan Veni sudah menganggap itu mewah.
"Emm ... enggak aneh-aneh kok, Ma. Wajar-wajar aja."
"Hmm berarti emang enggak salah si, si Mario cari istri kayak kamu. Bagus deh mintanya enggak aneh-aneh." Veni hanya tersenyum masam saja.