"Berusaha berpikir positif."
***
"Ayo, Tan kita ke rumah Mas Marvel." Arum buru-buru menghampiri Tantenya dan mereka bersiap untuk berangkat ke rumah Marvel.
"Iya ayo." Mereka berdua pun jalan buru-buru. Dian harus mengunci pintu rumahnya dulu karna pembantunya pastu sudah pada istirahat. Karena memang jam kerja di rumah mereka tidak terlalu diporsir dan ada bagiannya sendiri-sendiri.
Malam-malam mereka harus berjalan melewati komplek yang sepi. Hingga mereka bertemu dengan satpam komplek mereka membuat Dian dan Arum terkejut.
"Loh, Bu Dian mau ke mana?" tanya satpam komplek mereka.
"Astaga, Pak satpam bikin kaget saya aja."
"Maaf, Bu. Soalnya udah malem kok masih keliling aja."
"Mau ke rumah anak saya yang pertama, Pak. Ada urusan penting."
"Kenapa anaknya enggak ditelepon aja. Masa malem-malem jalan sendiri. Tadi, coba saya enggak keliling."
"Pak satpam udah deh, Tante saya lagi buru-buru enggak usah malah diajak ngomong. Udah yuk, Tan." Arum menarik tangan Tantenya untuk jalan lagi. Terlalu lama berbasa-basi hari semakin malam nantinya.
"Saya anter aja sampe rumah Pak Marvel dari pada terjadi sesuatu, Bu. Soalnya udah malem juga kan." Pak Satpam itu pun memilih untuk mengantarkan mereka dan berjalan di belakang mereka.
Beberapa saat kemudian mereka sampai di rumah besar yaitu rumah anak pertamanya. Dian menyesal membiarkan mereka memiliki rumah sendiri seharusnya dia tetep menyuruh anak pertamanya tinggal di rumah seperti Mario bukan malah pisah hingga menyulitkan dirinya kalau terjadi sesuatu.
"Pak makasih ya udah dianterin. Saya masuk duluan."
"Iya sama-sama, Bu." Satpam itu pun mengangguk. Dian dan Arum buru-buru masuk ke dalam satpam di rumah Marvel pun menyapa mereka tapi dianggap lalu oleh mereka berdua karena sudah kalang kabut karena panik.
"Malam, Nyonya Dian...." Satpam rumah Marvel yang menyapanya pun sama sekali tidak ada respon.
Dian memencet bel dengan buru-buru. Tapi, pintu belum juga terbuka.
"Ck ke mana sih mereka. Buka pintu aja lama banget. Enggak tahu kalau ini urgent apa!" Dian kesal sendiri dia memencet bel hingga tiga kali dengan tergesa-gesa tapi tidak terbuka juga.
"Sabar, Tan. Kayaknya mereka udah tidur juga."
"Ck tahu gitu kita tadi cari taksi aja lama banget sih. Ini pasti Bhiyanya juga lelet." Dian selalu saja menyalahkan Bhiya. Rasa kesalnya tidak akan cepat hilang sampai apa yang dia inginkan didapatkan.
Setelah beberapa menit kemudian pintu terbuka. Bhiya yang membuka dengan raut wajah khas bangun tidurnya.
"Kamu ke mana aja sih, Bhiya. Lama banget buka pintunya!" Dian langsung saja menyembur Bhiya karena kesalnya.
"Maaf, Ma tapi Mama ke sini malem-malem banget jadi kita udah tidur."
"Mana, Marvel?" tanya Mamanya langsung masuk ke dalam. Arum pun ikut masuk ke dalam. Walaupun, memang belum disuryy masuk oleh Bhiya. Tapi, sikap mertuanya yang seperti itu sudah membuat Bhiya pun sabar. Yang Bhiya pikirkan apa yang membuat mertuanya itu ke sini malam-malam seperti ini.
"Marvel udah tidur, Ma. Soalnya ini juga udah malem banget. Mama ada perlu apa ke sini? Kalau ada sesuatu atau Mama butuh aku bisa bantuin kok, Ma."
"Halah. Mana bisa kamu. Buatin cucu ampe sekarang aja enggak bisa. Udah enggak usah bahas itu dulu! Bangunin Marvel sekarang. Mama butuh dia penting."
"Mau ngapain, Ma? Soalnya nanti kalau Mas Marvel dibangunin takut marah. Soalnya kita baru tidur juga belum lama, Ma."
"Kak Bhiya udah deh tinggal nurutin apa yang dia mau Tante Dian aja kenapa harus jawab dulu sih. Kalau ditanya Kak Marvel tinggal dijawab Tante dateng ada perlu gitu kok ribet."
"Nah tuh. Ponakan kamu aja ngerti. Kamu emang udah berhasil banget ya nyortir anak saya sampe apa-apa aja harus sesuai mau kamu! Inget ya, Bhiya. Kamu itu cuma istri sedangkan saya Mamanya seharusnya yang atur dia itu saya. Ini malah kebalikan. Udah buruan panggil Marvel gerak kamu lama banget sih." Bhiya pun mau tidak mau membangunkan suaminya. Padahal, mereka baru istirahat.
Dian dan Arum pun duduk di sofa sambil menunggu Marvel turun. Dia berusaha menelepon Mario tapi tidak diangkat. Ke mana anaknya itu.
"Tan keadaan Kak Veni gimana? Kak Mario juga gimana?"
"Belum tahu, Rum. Ini Tante udah coba telepon lagi tapi enggak tahu kenapa enggak bisa. Duh, Tante bener-bener kepikiran deh."
"Yang kecelakaan Kak Mario doang atau sama Kak Veni atau cuma Kak Veni?"
"Tante belum tahu, Rum. Makanya Tante juga buru-buru buat tahu kabar mereka."
Beberapa saat kemudian Marvel turun dengan kaos oblong dan celana pendek ya. Khas bangun tidur.
"Ma ada apa si ke sini malem-malem. Kan kalau ada perlu bisa besok."
"Kamu ini! Kalau Mama sampe ke sini ya berarti ada urusan penting kalau enggak juga ogah!" Dian melihat kearah Bhiya dengan malas.
"Ya terus kenapa Mama malem-malem gini ke sini? Urusan pennting apa? Masalah perusahaan atau apa?" tanya Marvel dengan malas-malasan. Dia menguap dan kesal karena tidurnya harus diganggu padahal dia belum tidur lama.
"Adek kamu kecelakaan, Marvel! Sekarang mereka ada di rumah sakit. Makanya Mama minta kamu anterin."
"ASTAGA...." pekik Marvel terkejut mendengar ucapan Mamanya.
"Astagfirullah," ucap Bhiya di belakang suaminya. Ternyata memang urusan pennting. Mereka berdua yang tadinya biasa saja malah menjadi langsung seger. Marvel mengucek matanya.
"Beneran, Ma? Sekarang mereka di mana? Kok bisa sih. Itu Mario sama si Veni?"
"Iya mereka berdua. Tadi, Merio telepin Mama terus nangis-nangis. Mama enggak ngerti mereka kenapa. Terus Mario sekarang suruh Mama ke sana dulu."
"Yaudah iya. Aku ganti baju dulu. Lagian supirnya Mama emang ke mana? kenapa enggak langsung minta anterin ke sana dulu."
"Kamu enggak mau emang nganterin Mama ke sana. Kalau enggak mau ya Mama pesen taksi sekarang." Dian yang merasa tersinggung pun memilih mengatakan akan menaiki taksi padahal dia sudah jauh-jauh jalan ke sini.
"Enggak gitu. Yaudah aku mau ganti baju dulu, Mama tunggu sini aja."
"Mas aku mau ikut. Mau lihat keadaan mereka juga."
"Enggak usah ganti baju bisa enggak sih! Adek kalian itu lagi kenapa-kenapa malah mau pake pakean rapi. Mama aja tadi dapet telepon udah engga kepikiran ganti baju."
"Yaudah Marvel cari kunci dulu kalau gitu. Bhiy kamu kalau masih mau ganti baju mending enggak usah ikut Dari pada Mama nunggu lama." Marvel pun menyuruh Bhiya untuk tidak ganti baju karena akan membuat mereka lama.
"Yaudah aku enggak ganti baju. Aku mau ambil tas buat naro hp sama dompet dulu ya kalau gitu," ucap Bhiya.
"Jangan lama-lama," sindir Dian lagi.
"Iya, Ma. Aku cuma mau ambil dompet sama HP kita berdua aja kok jadi kalau ada apa-apa bisa dihubungin juga." Bhiya segera mengambil tas mereka. Marvel mencari kuncinya.
"Yuk udah ketemu kuncinya. Bhiya belum balik?" tanya Marvel.
"Istri kamu 'kan emang lelet kalau disuruh apa-apa. Mama aja heran kenapa dulu kamu mau sama dia."
"Udah yuk kita pergi," ucap Bhiya yang datang dengan buru-buru. Mamanya pun berjalan ke depan dan naik mobil dengan terburu-buru. Bhiya benar-benar seperti tidak dianggap oleh mereka. Bhiya harus mengalah duduk di belakang bersama Arum.
Keheningan tercipta, hingga Akhirnya Marvel baru ingat ke mana mereka pergi. Dia tidak diberitahu oleh Mamanya.
"Ma ini kita ke rumah sakit mana?" tanya Marvel masih tetap dengan menyetir mobilnya tergesa-gesa.
"Nih ke sini." Kebetulan Dian sedang membuka ponselnya makanya dia langsung menunjukkan rumah sakit tempat anak bungsu dan istrinya dirawat itu.
Kini Dian beserta keluarganya sudah sampai di rumah sakit. Mereka langsung bertanya kepada resepsionis di mana ruang UGD setelah sister tersebut memberu tahu mereka langsung saja ke ruang UGD.
Sampai di ruang UGD di melihat Mario, segera saja mereka menghampiri Mario. Dian langsung memberondongi pertanyaan kepada Mario tentang mengapa hal itu bisa terjadi.
"Mario....."
***
"Mario...." Mario menoleh saat dia mendengar namanya disebut. Dia langsung menoleh ke sumber suara di Mamanya dan Kakaknya sudah datang. Dia langsung bangkit berdiri.
"Mama...." Mario tidak bisa lagi menahan tangisnya di pelukan sang Mama. Dia menyesal dan ada ribuan kata mengapa dan kekesalan yang seharusnya dia tidak meninggalkan Veni sendiri. Seandainya saja dia tetap bersama Veni dan menahan keinginannya untuk buang hajat pasti Veni akan baik-baik saja saat ini.
Dian membiarkan anaknya menangis dalam pelukannya lebih dulu. Setelah cukup tenang dia langsung saja memberondongi pertanyaan kepada anaknya.
"Gimana keadaan Veni? Sekarang dia ada di mana?" tanya Dian.
"Ma, mending duduk dulu kalau kayak gini halangin jalan orang," ucap Marvel kepada sang Mama. Posisi mereka berkumpul memang di tengah jalan jadi sangat menganggu akses orang lain jalan.
Mamanya pun mengangguk dan kemudian membawa Mario ke bangku untuk duduk. Diikuti mereka semua yang juga menyingkir untuk duduk.
"Mario tenang. Sekarang jelasin ke Mama gimana ini kok bisa kejadian kayak gini?" tanya Mamanya. Marvel mengelus pundak adiknya juga supaya adiknya tenang. Pasti dia sangat panik, kejadiannya sama persis pada istrinya yang pendarahan dulu.
"Mario takut, Ma. Mario takut terjadi sesuatu sama Veni."
"Iya, Mario Mama paham tapi kamu ceritain dulu kenapa bisa kayak gini kejadiannya."
"Veni jatuh dari ayunan, Ma. Setelah itu Veni langsung merintih kesakitan dan enggak sadar."
"Astagfirullah," ucap mereka semua.
"Terus sekarang keadaannya gimana? Veni di mana? Mama mau lihat."
"Veni masih diruang UGD, Ma. Dokter belum juga ke luar dari tadi. Gimana dong, Ma Mario takut. Mario ngerasa gagal."
"Tenang, Mar. Lo harus nenangin diri lo dulu." Marvel mengelus pundak Mario.
"Gimana gue bisa tenang, Vel. Istri gue lagi di dalem. Gimana kalau terjadi sesuatu sama dia. Lo pikir gue enggak kepikiran!"
"Udah Mario tenang."
"Gimana kalau kejadiannya kayak Bhiya?! Terus kalau gue kehilangan anak gue gimana?! Lo seneng 'kan. Lo seneng kalau gue enggak jadi dapet anak."
"Lo ngomong apa sih! Gue enggak ada pikiran kayak gitu. Lo nya aja yang fitnah gue."
"Halah gue tahu. Setiap apa yang lo dapetin enggak dapet dan Malah gue yang dapet pasti lo selalu aja bakal seneng ngelihat gue menderita!"
"Marvel udah," ucap Bhiya. Orang-orang mulai melihat ke arah mereka. Keadaan benar-benar membuat keduanya saling adu.
"Enggak kebalik? Lo anak kedua yang selalu dapetin apa yang lo mau!"
"Gue dapetin apa yang gue mau? Bhiya aja lo rebut dari gue. Gimana bisa lo bilang gue perebut??! Ngaca Marvel!" Mario benar-benar tidak bisa menguasai dirinya karena kesal. Dia hendak bangkit dan semakin ribut dengan Kakaknya tapi Mamanya mencegahnya begitupun dengan Bhiya yang menarik tangan suaminya.
"Udah Mario, ini rumah sakit. Mending ayi kita pulang dulu. Baju kamu penuh darah kayak gini. Setelah ini baru kamu ceritain gimana bisa kayak gini."
"Enggak, Ma aku enggak mau ninggalin sini sampe Dokter ke luar dan ngasih tahu Veni baik-baik aja."
"Tapi baju kamu ini penuh darah, Mar. Kalau nanti dokter ngabarin pun pasti dia nyuruh kamu untuk bersihin tubuh kamu dulu." Mario melihat lagi bajunya memang penuh darah. Baunya pun tercium Kian amis saat ini.
Mario pun akhirnya mengangguk, dia bangkit. "Biar gue anter aja." Marvel walaupun kesal tapi melihat keadaan adiknya yang seperti itu dia pun kasihan dengan adiknya. Tidak mungkin dia akan tega menyuruh adiknya pulang sendiri. Yang ada selanjutnya yang kenapa-kenapa adiknya.
Mario pun membiarkan Kakaknya mengantarkannnya. Dian, Bhiya serta Arum menunggu Veni di rumah sakit.
***
Mario sudah kembali lagi, dia langsung menanyakan kepada Mamanya apakah dokter sudah memberitahu keadaan Veni. Mamanya pun menggelengkan kepalanya.
"Ma gimana Veni udah ada kabar dari Dokter?"
"Belum. Dokter masih belum ke luar." Tapi, beberapa saat kemudian Dokter pun ke luar. Mario langsung saja menghampiri dokter tersebut.
"Dokter gimana keadaan istri saya?" tanya Mario langsung.
"Keadaan pasien atas nama Veni baik-baik saja. Kandungannya pun alhamdulillah baik-baik saja."
"Bener 'kan, Dok istri saya enggak kenapa-kenapa dan anak saya juga enggak papa 'kan, Dok? Soalnya tadi pendarahan bikin saya bener-bener panik banget, Dok."
"Tenang, Pak. Untung saja Bapak membawa istri bapak segera sehingga kami bisa menangani pendarahannya. Saat ini kondisi pasien masih belum sadar tapi beberapa saat lagi sepertinya pasien akan sadar."
"Kamu udah boleh lihat, Dok?" tanya Dian gantian.
"Boleh tapi bergantian ya. Hanya salah satu saja yang boleh melihat ke dalam dan biarkan pasien istirahat dulu jangan diganggu."
"Baik, Dok terimakasih." Mario langsung mengucapkan terimakasih dan masuk ke dalam.
Dokter sudah pergi dari hadapan mereka. Sedangkan Mamanya dan yang lain menunggu saja di luar. Asalkan keadaan sudah baik-baik saja mereka sudah tenang. Mereka pun kembali duduk lagi dan menunggu Mario ke luar.
"Huft ... untung aja menantu Mama kuat dan anaknya juga enggak kenapa-kenapa," ucap Dian lega. Bhiya yang berada di sisi Mamanya sebenarnya tersindir secara tidak langsung. Dia pun pernah mengalami masa pendarahan karena kelelahan tapi pada akhirnya pendarahannya pun mengakibatkan keguguran. Dia wajar Mamanya mungkin takut kehilangan calon cucu lagi. Tapi kenapa harus saat bersama Bhiya mengatakan hal tersebut.
"Iya, Ma untung aja Veni baik-baik aja."
***
Mario melihat keadaan Veni. Wajah istrinya sangat pucat. Veni benar-benar membuat dirinya sangat khawatir tadi. Kalau sampai anaknya tidak selamat mungkin itu akan menjadi penyesalan yang sangat dalam diri Mario.
"Ven, maafin aku ya. Ini semua salah aku. Coba aja kalau tadi aku enggak ninggalin kamu pasti ini semua enggak akan terjadi. Aku hampir aja kehilangan anak aku. Tapi, untung aja kamu istri yang kuat kamu bisa mempertahankan anak kita. Aku bener-bener makasih banget sama kamu, Ven. Sekarang yang aku mau kamu cuma bangun ya, Ven. Tapi, kalau kamu masih mau istirahat enggak papa tapi jangan lama-lama ya. Kamu enggak kasihan ninggalin suami kamu sendiri," ucap Mario panjang lebar, dia berbicara sendiri karena Veni benar-benar masih terbaring dan belum juga sadarkan diri. Tapi, melihat napas Veni teratur satu sisi membuat Mario pun tenang.
"Ven kalau kamu bangun aku janji deh apapun yang kamu minta dan apapun yang kamu pengen nanti aku usahain untuk dapetin. Dan aku bener-bener bakal jagain kamu dengan bener biar kejadian kayak gini enggak terulang lagi dan bikin aku nyaris kehilangan kamu."
Mario menarik napas sejenak, "Ven cepet bangun ya. Aku mau ngabarin ke Mama di depan dulu kalau kamu baik-baik aja supaya mereka enggak khawatirin." Mario merasa dia sudah cukup berbicara kepada istrinya. Mendengar penjelasan dokter dan melihat langsung keadaan Veni. Mario sudah cukup tenang. Dia hanya tinggal menunggu istrinya siuman saja.
"Baik-baik aja ya, anak Papa. Kalau kamu bisa bangunin Mama juga dong. Papa kangen sama Mama kamu. Papa pengen lihat keadaan Mama kamu. Kamu bangunin Mama ya," ucap Mario mengelus perut istrinya. Dia tersenyum perut Veni yang semakin membesar membuat dirinya tersenyum. Dia akan bertemu jagoannya sebentar lagi dan Mario tidak boleh lalai lagi dalam hal ini.
"Papa ke luar dulu ya, nak jagain Mama kamu. Papa sayang kamu," ucap Mario lalu mengecup perut istrinya dan setelah itu baru mengecup kening sang istri.
***
Di sisi lain, entah batin seorang Ibu kepada anaknya atau gimana. Intinya dia merasa gusar entah kenapa. Tapi, pikirannya ya benar-benar terbayang memikirkan sang anak dan calon cucunya
Sang Suami yang merasakan pergerakan kasur dari tadi pun akhirnya bangun.
"Umi kenapa dari tadi kok belum tidur?"
"Maaf, Bi. Abi kebangun pasti gara-gara Umi ya."
"Abi kira tadi ada gempa kok kasurnya gerak mulu ternyata Umi yang bangun," ucap Abinya. Saat-saat sang suami baru bangun saja suaminya masih bisa ngejokes.
"Mana ada gempa. Abi malah bilang Umi gendut ya," ucap istrinya. Walaupun, mereka sudah tidak muda lagi tapi mereka selalu tidak segan memamerkan kemesraan mereka hingga membuat anaknya pun selalu mengatakan itu kepada mereka.
"Wkwkw ... ya terus kenapa jam segini kok, Umi masih belum tidur biasanya Umi kalau tidur cepet."
"Gaktahu, Bi. Kenapa ya Umi hari ini mikirin Veni terus."
"Oalah ya mungkin karena kamu kangen aja. Veni emang udah lama juga emang enggak ke sini. Mungkin karena hamilnya makin besar dia jarang ke luar rumah, Mi."
"Iya tapi entah kenapa pengen ketemu Veni aja. Firasat Mami kok rasanya enggak enak sekarang."
"Jangan ah, Mi. Ini malem banget. Mending besok aja kalau jam segini mereka lagi istirahat malah nanti ganggu." Umi melihat jam di finding pukul satu malam ternyata. Dia benar-benar kepikiran saat ini takut terjadi sesuatu dengan istrinya.
"Enggak papa kok. Anak kita 'kan anak yang kuat. Yaudah besok kita telepon Veni kalau mau kita nengok Veni juga. Segarang Umi tidur aja."
"Umi enggak bisa tidur. Mending Umi sekarang solat aja deh. Dari pada kepikiran buruk terus."
"Yaudah, Abi juga ikut solat aja biar Umi ada temennya." Uminya tersenyum dan mengangguk. Dia paham akan hal tersebut hingga membuat mereka lebih baik solat saja dari pada overthinking tidak jelas.
***
Mario ke luar dari ruang UGD. Dia menemui keluarganya dan duduk lagi di sana. "Gimana keadaan, bayinya? Bayinya enggak papa kan?" tanya Dian lagi.
"Keadaan Veninya juga gimana, Mar?" tanya Bhiya. Bhiya merasa kalau Mama mertuanya ini seakan tidak butuh Veni malah pertanyaan pertama yang muncuk maalh hanya untuk cucunya saja.
"Mereka berdua baik-baik saja. Cuma tinggal nunggu Veni sadar aja."
"Bayinya bener enggak papa 'kan?" tanya Mamanya lagi.
"Ma seharusnya Veni juga ditanya masa cuma bayinya aja," ucap Bhiya.
"Gausah ngajarin kamu. Kamu aja enggak bisa jaga anak kamu sendiri. Padahal, jelas anak itu ada di perut kamu tapi kamu enggak bisa jaga mereka kamu mikir enggak?!" Dian malah menyalahkan dirinya di saat seperti ini. Bhiya pun akhirnya terdiam suaminya sama sekali tidak pernah membantunya jika dia dipojokkan oleh Mamanya. Padahal, dulu Marvel janji untuk selalu menjaganya dan membela penuh tapi kali ini laki-laki itu benar-benar tidak peduli kepadanya.
"Udah enggak usah ribut di sini. Keadaan bayinya masih enggak papa kok, Ma. Aku tadi udah mastiin Veni baik-baik aja. Cuma emang pucet tapi pasti Veni segera sadar kok, Ma."
"Yaudah Bagus kalau gitu. Ini Mama belum bisa jenguk ini?"
"Bisa tapi katanya enggak dulu soalnya biar Veninya juga istirahat. Aku enggak mau nanti malah drop dan anak kita kenapa-kenapa."
"Oh yaudah deh, yang penting cucu kita sama Veni baik-baik aja."
"Ma ini aku belum ngabarin keluarga Veni. Aku harus ngabarin atau gimana tapi nanti kalau mereka salahin Mario gimana ya, Ma."
"Astaga, Mario kamu belum ngabarin keluarganya. Pantes mereka enggak ada aku kira udah tapi mereka enggak bisa dateng atau emang belum datang."
"Bhiya kamu bisa enggak sih diem aja! Enggak usah ikut campur. Kamu itu bikin keadaan malah berantakan tahu enggak?!"
"Tapi, aku cuma Ngasih tahu aja. Lagian ini 'kan juga anaknya pasti khawatir kalau enggak dikabarin."
"Mario kabarinnya besok aja dari pada sekarang. Mereka udah istirahat paling. Toh, keadaan Veni juga baik-baik aja enggak ada yang perlu dikhawatirin. Jadi, yaudah enggak papa. Kamu mending istirahat juga. Lagian kenapa si bisa kayak gini, Mar ... Mar kamu itu bikin Mama bener-bener panik."
"Iya maaf, Ma. Tadi, pas Veni main ayunan aku cuma bilang mau pipis bentar. Untung aja aku belum terlalu jauh, pas Veni tiba-tiba aja jatoh dari ayunan. Aku langsung panik gendong dia dan bawa ke sini."
"Tapi, pas jatoh Veni sempet sadar 'kan?" tanya Bhiya lagi.
Mama mertuanya memandang Bhiya tidak suka dari tadi wanita itu selalu saja ikut-ikut nimbrung. Beberapa banyak pun kebaikan Bhiya. Pasti tidak akan dianggep oleh Mamanya karena dia belum juga bisa hamil.
"Keadaannya masih sadar. Tapi, pad dibawa ke mobil baru Veni udah enggak sadar. Aku langsung aja ngebut bawa mobilnya. Untung aja tadi aku bawanya mobil. Coba aja kalau tadi aku nurutin Veni bawa Motor aduh rasanya udah enggak kebayang."
"Yaudah yang pennting sekarang enggak papa. Kamu mending istirahat aja gih. Di mushola atau mana."
"Enggak, Ma aku mau tetep di sini aja jagain Veni. Aku takut kalau Veni sadar bantu enggak ada aku."
"'Kan ada Mama sama yang lain kamu istirahat aja."
"Gapapa, Ma aku istirahat di sini aja. Kalau Mama mau pulang terus istirahat gapapa, Ma."
"Enggak Mama di sini aja nemenin kamu."
"Makasih, Ma. Vel, mending lo ajak pulang Bhiya aja. Arum sekalian bawa pulang udah malem banget lo besok juga kerja 'kan. Gue mau ambil libur aja buat jagain Veni."
"Kayaknya gue di sini aja juga deh, nemenin lo. Urusan perusahaan ya udahlah enggak papa. Toh, kita juga yang punya perusahaan," ucap Marvel sombong sedangkan Mario memutar bola matanya.
"Udah enggak usah. Arum besok kerja anterin Arum pulang dulu. Bhiya juga kayaknya ngantuk banget mending pulang aja."
"Ck enggak suka banget lo gue di sini."
"Bukan enggak suka tapi ya kasian aja. Udah sana pulang. Arum kalau kamu enggak berani di rumah sama Bhiya aja dulu."
"Iya, Kak." Marvel pun akhirnya memilih pulang dan membawa istrinya dan ponakannya. Mereka pamit kepada Dian dan setelah itu pergi meninggalkan Mario berdua dengan Mamanya di rumah sakit.