Kepergian Marvel dan Bhiya dari rumah sakit membuat mereka membicarakan keadaan Veni dan Mario yang tengah berduka. Memang belum ada kejelasan secara pasti bagaimana nasib anak dalam kandungan Veni. Apalagi Veni sudah ham tua. Mereka pasti amat sangat khawatir. Apalagi mamanya juga sangat mencintai anak itu. Rasanya Marvel hanya mampu diam dan tak merespon apa-apa. Ia cukup merasa puas tapi juga kasian. Entahlah, rasanya tak bisa ia deskripsi kan dengan kata-kata.
Sedangkan Bhiya terus menggersah. Mengeluh kasihan pada Veni yang harus menanggung nasib seburuk ini. Bagaimana bisa seorang wanita hamil tua jatuh dari ayunan. Begitu ceroboh nya sang suami.
"Kamu nggak usah mikirin mereka. Fokus aja sama hubungan rumah tangga kita. Kamu tadi lihat sendiri mama kayak gimana kan?"
Bhiya hanya mengangguk lemah. Ia tak bisa menjawab apapun karena bibirnya terasa kelu. Lidah nya terasa kaku. Seorang wanita yang ingin dihadirkan seorang buah hati dalam rahim, tapi tak kunjung datang. Sedangkan melihat Veni yang terluka saat hamil membuatnya sangat sedih.
Ia melihat ke arah luar jendela mobil. Melihat rentetan gedung pencakar langit yang penuh dengan lampu terang. Indah seperti bintang yang bertaburan. Tapi mengerikan ketika dilihat dari ujung bawah hingga atas. Sangat amat tinggi menjulang. Membuatnya harus merasa seperti kerdil yang berdiri di sebelah tembok raksasa.
Perjalanan mereka akhirnya berlangsung cepat. Karena malam hari lalu linta juga tak begitu padat. Jadi mereka bisa seenak hati menggunakan jalanan untuk mobil mereka melaju. Setidaknya tidak seramai saat pagi atau siang hari. Di saat jam kerja seperti itu pasti akan sangat sulit mencari celah untuk menyelip kendaraan yang ada di depan. Tapi untuk malam ini mereka berjalan mulus tanpa harus ada halangan di depan.
Hingga mereka tiba di rumah dan kembali tidur dengan nyenyak. Tak memikirkan perasaan saudara yang tengah khawatir akan terjadi hal buruk tentang Veni dan kandungannya. Bagi Marvel, itu tak begitu penting. Apalagi mamanya selalu mencintai Mario ketimbang dirinya. Sungguh pilih kasih. Tapi ia tetap mencoba bersabar meski kadang habis rasa sabar itu.
***
Sedangkan di rumah sakit, Veni masih tertidur pulas. Begitupun dengan Dian yang juga tertidur di sofa. Keadaan malam sangat sunyi. Hal itu membuat isakan tangis Mario terdengar samar. Ia menangis dalam sendiri. Melihat sang istri yang terluka karenanya. Ia hanya takut jika ada yang terjadi pada sang anak. Tapi ia berharap takkan terjadi hal buruk. Sebab, setelah mengingat apa ucapan dokter tadi membuatnya sangat frustasi dan belum bisa mengatakan keadaan Veni pada sang mama secara detail. Ia hanya mengatakan bahwa Veni akan baik-baik saja. Padahal sebenarnya, Veni sedang dalam bahaya.
Flashback on ...
Setelah jatuh dari ayunan dan membuat Mario kalang kabut membawa Veni ke rumah sakit, Mario berharap bahwa tak ada hal buruk terjadi pada anak lelakinya. Ia terus berdoa agar apa yang sudah menjadi kesalahannya tidak berdampak besar dan merugikan. Apalagi keadaan Veni yang tak sadar. Hal itu sangat membuat Mario merasa akan putus asa.
Pada tim medis juga tengah menangani keadaan Veni di ruang instalasi gawat darurat. Beberapa dari mereka terus keluar masuk untuk mengambil alat medis atau beberapa obat seperti cairan infus hingga membawa kotak es yang biasa dibuat untuk membawa kantong darah. Melihat hal itu membuat Mario makin merasa cemas. Hingga ia tak basa-badi mencegat seorang tenaga medis yang menggunakan jas putih lengkap dengan masker medis dan handscoon.
"Mbak, maaf. Istri saya nggak kenapa-kenapa kan? Nggak perdarahan kan?" tanya Mario dengan begitu panik. Sedangkan tenaga medis yang dicegat itu hanya menggeleng pelan.
"Masih diperiksa dokter, Pak. Tenang dulu ya. Saya tadi hanya ambil sampel darah untuk di cek ke laboratorium agar bisa mengetahui kondisi klinis pasien."
"Kenapa harus di cek laboratorium? Anak saya kenapa-kenapa ya, Mbak? Atau istri saya kenapa, Mbak? Tolong dijelaskan, Mbak. Saya nggak bisa tenang."
"Nanti dijelaskan sama dokter kalau hasilnya sudah keluar, ya, Pak."
"Sekitar berapa menit, Mbak? Pemeriksaannya apa aja, Mbak? Istri saya beneran nggak ada apa-apa kan, Mbak? Luka-luka dalam gitu, Mbak."
Melihat kepanikan Mario, tenaga medis itu menghela napas pelan. Sebab pertanyaan Mario sebenarnya tidak bisa ia jawab tanpa ijin dokter. Apalagi ia juga hanya bertugas mengambil sampel darah dan akan ia periksa dengan segera.
"Mohon maaf, Pak. Nanti semua akan dijelaskan oleh dokter yang bertanggung jawab. Untuk sekarang bapak duduk dulu. Tenangkan pikiran dan banyak berdoa saja. Saya harus segera membawa sample ke laboratorium dan memeriksa bagaimana keadaan istri bapak. Permisi, ya, Pak."
Mario hanya terdiam. Ia tahu bahwa yang berwenang memberitahu keadaan pasien pada pihak keluarga adalah dokter uang tengah menangani istrinya. Ia pun terduduk kembali dan mengacak rambutnya frustasi. Benar-benar sangat mengkhawatirkan. Ia hanya berharap dan terus berdoa agar sang dokter cepat keluar.
Ia melihat kepergian petugas lab itu hingga tak terlihat di sebuah tikungan. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan terjadi. Siapa yang harus disalahkan. Untuk menyalahkan diri sendiri membuat nya sedikit tidak adil. Sebab, Veni juga memaksa ingin menaiki ayunan itu. Andai saja Veni tidak kolot dan menerima apa kata suami, sudah pasti tidak akan terjadi.
Akan tetapi, ia juga tak kuasa menahan keinginan Veni tadi. Ia tak kuasa melihat Veni harus sedih dan berlinang air mata karena gagal mendapatkan es krim. Makanya ia menerima apapun yang diinginkan sang istri. Tanpa tahu bahwa nasib akan berkata buruk.
Lagi-lagi Mario kembali meredam pikirannya. Sekarang bukan saatnya untuk menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain. Apalagi sampai menyalahkan keinginan seorang ibu hamil yang bisa saja berasal dari keinginan sang buah hati.
Ia tetap menunggu untuk konfirmasi dokter sekarang. Detik demi detik berlalu, rasanya seperti melakukan aktivitas lari maraton karena jantungnya terus berdebar tak karuan dan membuat keringat dingin terus bercucuran. Apalagi di dalam koridor yang menuju ruang instalasi gawat darurat yang berdampingan dengan ruang bersalin itu terasa sangat dingin meskipun tidak ada pendingin ruangan di sana. Mungkin karena dirinya sangat cemas sehingga aura yang tercipta di sisinya juga sangat dingin.
Beberapa waktu berlalu terasa sangat lama. Ia melihat jam yang terus berdenting. Rasanya satu detik yang berlalu seperti terasa ratusan tahun ia harus menunggu. Memang terdengar lebay. Tapi waktu melambat seketika saat ada sebuah kepedihan di d**a. Rasanya seperti tak ingin lekas pergi padahal hati sudah sangat ingin kepedihan itu sirna.
Krieett
Akhirnya, suara pintu terbuka. Pintu dari ruangan yang terus ia harapkan muncul dari seseorang di sana. Seorang lelaki berpakaian jas putih dan berkacamata