Tragedi

1027 Kata
"Hal yang tidak diinginkan terjadi untung saja keadaannya baik-baik saja." *** Veni akhirnya menemukan ayunan yang muat untuk dirinya. Dia sudah seperti anak kecil yang kegirangan mendapatkan mainann yang diinginkannya. "Ah Akhirnya, Mar aku bisa mainan ayunan juga." "Astaga kamu kayak anak kecil lho," ucap Mario menggelengkan kepalanya. "Ini yang pengen anak kamu kok bukan aku," saut Veni lagi tidak mau mengalah. "Iya-iya anak kita yang mau," jawab Mario lagi. Mario tersenyum asalkan dia istrinya itu memang bahagia. "Kamu seneng?" tanya Mario sambil mengayunkan pelan ayunannya. "Seneng dong. Dari tadi pengen apa-apa enggak kamu kasih." "Ya kan emang tadi es krimnya enggak ada. Ya kalau kamu mau besok kita bisa ke sini lagi kok," kata Mario. "Enggak ah udah enggak pengen, Mario. 'Kan pengennya sekarang kenapa harus nunggu besok." Mario menghembuskan napasnya. "Yaudah enggak." "Ya besok kalau mau yang lain ya tinggal bilang aja." "Kalau kamu turutin." "Turutin kok sayang selama aku bisa. Kadang 'kan gabisa karena emang enggak ada atau sulit dicarinya." "Hmmm...." Veni tidak ingin banyak berkomentar yang ada tidak ada habisnya nanti. "Ven, aku mau kebelet pipis, ayo kita cari toilet dulu," ucap Mario. "Ah enggak mau, aku mau tetep di sini aja. Nanti kalau dinaikkin orang berabe." "Kamu di sini sendiri gitu?" tanya Mario lagi. "Heem. Lagian kamu cuma mau kencing aja 'kan? Emang lama? Kalau lama mau ngapain emang?" tanya Veni berturut-turut. "Ya enggak lama maksudnya tu kamu sendiri di sini." "Gak papa. Udah sana buruan kamu pipis. Setelah kamu balik kita pulang. Lagian aku capek, Mar dari tadi jalan terus," ucap Veni. "Yaudah kamu di sini kalau ada apa-apa teriak atau langsung telepon aku ya," kata Mario dengan sangat protektif kepada istrinya. Veni pun tersenyum dan mengangguk, "Udah sana kamu pipis dulu nanti ngompol malu." Mario memutar bola matanya, dia mengelus kepala Veni. Mario pun berjalan meninggalkan Veni. Veni masih melanjutkan main ayunan. Tapi, baru beberapa langkah Mario berjalan, dia mendengar suara kedebuk. "Ahhh...." "ASTAGA VENI!!!" Mario langsung berbalik lagi saat melihat Veni tiba-tiba sudah terjatuh di tanah. Mario langsung menggendong Veni. Veni sudah merintih kesakitan dan menangis. "Ahh ... sakit, Mar." "Tahan ya, Veni." Mario menggendong Veni dengan beberapa tatapan orang-orang. "Mario aku takut. Sakit banget, Mar." Veni terus merintih membuat Mario semakin panik. Napas Veni sudah tidak beraturan. Veni sudah berusaha menahan sakitnya tapi perutnya benar-benar sakit. "Veni kamu harus tahan sayang demi anak kita." "Sak ... it, Mar." "Veni aku percaya kamu kuat kok ya. Plis kamu harus bertahan demi anak kita Veni." Sampai di mobil Veni sudah tidak lagi sadarkan diri. "Veni plis bangun, Ven." Mario menepuk pipi Veni tapi wanitanya benar-benar tidak sadarkan diri lagi. Mario membawa mobilnya dengan tergesa-gesa dia berharap kalau Veni segera sadar. Tapi, Veni sama sekali tidak ada tanda-tanda sadar. Dia benar-benar takut saat ini. "Ven aku mohon untuk kamu bangun, Ven." "Arghhhh ... ini salah aku aturan aku tadi enggak ninggalin kamu. Aturan tadi aku enggak biarin kamu mainan ayunan sendiri. Aturan aku bisa nahan pipis aku. Sialan!" Mario sedang merutuki dirinya saat ini. Kata seandainya terus berpuntar di pikirannya. Kenapa harus istrinya. Kenapa harus calon buah hatinya yang saat ini dalam bahaya. *** Mario akhirnya sampai di rumah sakit terdekat. Dia menggendong Veni dan meminta tolong dengan cepat perawat rumah sakit. Veni diletakkan di brankar dan para perawat langsung membawa Veni ke UGD. "Maaf, Pak bapak harus tunggu di luar," ucap perawat tersebut kepada Mario. "Tapi, saya suaminya, Sus. Saya harus mastiin kalau istri saya enggak papa." "Ini sudah aturan dari rumah sakit, Pak. Kalau bapak kayak gini malah memperlambat pertolongan. Tolong pengertiannya." Setelah perawat itu berbicara kepada Mario. Mario pun akhirnya menyerah dan mundur sedangkan Veni akhirnya dibawa ke UGD bersama mereka. Pikirannya berantakan, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Veni. Melihat darah yang mengalir di antara kedua kaki Veni tadi benar-benar membuatnya hancur. Bahkan bajunya masih berlumuran darah saat ini. Dia menghampus air matanya yang menetes. "Mama ... aku harus hubungin, Mama sekarang." Mario langsung merogoh kantongnya dan menelepon Mamanya. "Halo, Ma." "Ada apa, Mario? Kamu kok jam segini belum pulang? Veni minta apa aja emang?" "Ma, Veni, Ma." "Veni kenapa? Kamu nangis? Kalian enggak papa 'kan?" Terdengar suara Mamanya yang juga panik dari sana. Tapi, memang benar Mario tidak bisa menyembunyikan kepanikannya saat ini. Dia benar-benar takut kalau Veni kenapa-kenapa di dalam. "Veni kecelakaan, Ma." "Kecelakaan gimana? Kamu jelasin yang bener dong, Mar. Mama jadi ikutan panik ini! Keadaan Veni sekarang gimana? Kamu juga enggak papa 'kan?" "Masih diUGD Ma, Mama sekarang ke rumah sakit Permata Bunda, aja." "Yaudah, Mama sekarang ke sana. Kamu tenang. Kalau terjadi sesuatu cepet kabarin, Mama jangan diem aja." "Iya, Ma." Mamanya langsung menutup teleponnya sedangkan Mario sudah sangat lemas saat ini. Pakaiannya penuh darah. Orang yang bersileweran melihat mereka pun semakin merasa kasihan. Padahal, tidak tahu apa yang terjadi dengan Mario. Mario menangkupkan wajahnya. Dia bingung harus mengabari keluarga Veni atau tidak. Dia takut kalau keadaan Veni semakin parah, atau terjadi sesuatu antara mereka berdua. "Ven, kamu harus bangun. Aku tahu kamu perempuan kuat. Ayo, Ven kamu pasti bisa," ucap Mario dalam tangkupan tangan di wajahnya. *** Dian sudah bersiap untuk ke rumah sakit. Setelah mendengar keadaan menantunya yang kecelakaan membuat Dia jadi panik. "Loh, Tante mau ke mana malem-malem gini?" tanya Arum. "Tante mau ke rumah sakit. Kakak kalian kecelakaan." "Hah? Kak Mario sama Kak Veni kecelakaan, Tan," tanya Arum lagi. "Iya. Kamu liat Mang Ujang, gak? Mama suruh anterin dia." "Mang Ujang udah pulang, Tan. Tadi, dia pamit sama Arum." "Aduh. Gimana ini." "Yaudah minta anterin, Kak Marvel aja ayo, Tan." "Aduh, Tante paling males sebenernya ke rumah Marvel ketemu Bhiya. Tapi, dari pada mesen taksi Mama udah panik. Yaudahlah ayo kita ke rumah Marvel. Sebelum Mario sama istrinya kenapa-kenapa." "Aku ikut, Tan. Tapi, bentar aku baru pulang biar aku ganti baju dulu," ucap Arum lagi. "Yaudah buruan jangan lama-lama." "Iya, Tan." Arum pun segera berlari ke kamarnya untuk mengganti baju dan membawa perlengkapan yang seadanya saja. Dia juga ingin tahu keadaan dan kenapa bisa hal tersebut terjadi. Dian menunggu Arum, sambil mencoba menghubungi Mario tapi tidak ada yang menjawabnya. Dan Malah membuat Dian kesal saja dengan anak pertama dan menantunya itu. Ketika dibutuhkan tidak ada sama sekali yang menyahut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN