Pagi menyinsing, sengan semangat empat lima Veni bersiap-siap dan mempersiapkan segala kebutuhannya untuk main ke rumah Bhiya. Untung saja Bhiya memiliki rumah yang tak jauh dari rumahnya dan Mario. Veni menyiapkan segala sesuatu yang ia butuhkan misalnya makanan dan minuman yang tak boleh sembarangan.
Sebenarnya Veni bisa saja memakan masakan dari biaya, namun dia tidak memberikannya izin. Dian menyediakan yang harus Veni makan nanti makanya Agar dia tidak berisik dan memberikan izin nya untuk makan makan bersama dia, Veni kayaknya menurut saja dan mengikuti keinginan dari dia.
Veni turun dari tangga, menyusuri ruang tamu untuk ke dapur. Dilihatnya Dian sedang memasak dengan pakaian lengkap, berbeda sekali dengan pakaian biasanya. Kali ini Dian memakai blezzer yang dipadukan dengan celana kain dengan warna senada yaitu hitam.
“Mama udah siap-siap pengin ke kantor ya?” tanya Veni sembari menarik kursi yang ada di depannya. Percuma juga jika ia menghampiri Dian di dapur sana, pasti ia akan disuruh duduk dan memperhatikan saja.
Dian yang melihat menantunya itu pun mengangguk, ia masih memotong buah-buahan yang bagus untuk tumbuh kembang calon cucunya itu. Kemudian Veni pun melihat makanan apa saja yang disiapkan. Ternyata banyak sekali sampai Veni bingung bisa menghabiskannya atau tidak.
“Mama nanti pulang jam berapa?” tanya Veni kepada Dian.
“Mungkin jam dua paling lama, kamu sarapan sama Bhiya aja. Kalau emang mama telat pulang dan sopir juga telat jemput, Mama kirimin makanan. Kamu jangan makan apapun di rumah Bhiya, takutnya enggak sehat,”
Sejujurnya mendengsr itu Veni merasa jengah. Bhiya bukanlah wanita jahat yang mau mencelakai dirinya, justru yang jahat terkadang adalah Dian walaupun Veni tahu tujuannya. Anak merupakan anugerah yang tak bisa dipilih bagaimana cara mendapatkannya maupun apa jenis kelaminnya.
Namun dalam keluarga ini rasanya jenis kelamin dan bagaimana cara mendapatkannya selalu diharuskan dan ditekan sampai-sampai kadang Veni takut sendiri. Dalam diam Veni berjalan keluar karena Dian juga sudah siap mengemas makanan yang akan di bawa.
Sudah ada Mario yang melihat ke arah kedua wanita yang ia kenali. Mario tersenyum singkat, kemudian Veni pun naik dibantu dengan Dian. Mbak membantu Dian untuk meletakkan makanan yang akan di bawa.
“Ma banyak banget bawaannya?” tanya Mario kebingungan. Dian pun menatap Mario dengan tatapan sewot.
“Kan istri kamu tuh makannya harus di jaga, emang Bhiya bisa jaga makanan istri kamu?” tanya Dian yang membuat Veni tak enak hati.
“Ya enggak mungkin juga Veni dikasih racun, Ma,” ucap Mario yang mengutarakan isi kepala Veni namun tak bisa ia ucapkan.
“Kamu ikutan aja deh. Enggak usah berisik,” kata Dian sambil menutup pintu mobil karena Veni sudah berhasil masuk.
Ini tidak membutuhkan bantuan dan sebenarnya, karena dia masih bisa untuk jalan sendiri. Namun yang terkadang terlalu over protektif kepadanya. Sampai sampai kadang Veni lelah sendiri dengan tingkah Dian, mertuanya itu.
“Ya udah Ma aku sama Veni pergi dulu,” Maria pun akhirnya pamit kepada Dian. Dian pun mengangguk, ia menggunakan supir lain untuk mengantar nya ke kantor.
“Hati-hati,” ucap Dian mengiringi kepergian dari Mario dan menantunya yang tengah hamil besar itu.
***
Sesampainya di sana, Veni langsung turun bersama Mario. Hanyabutuh waktu lima menit untuk mereka menggunakan mobil. Bhiya sudah menunggu di depan rumahnya dengan wajah sumringah.
Memang Bhiya dan Veni dekat, mereka juga saling merasakan kepedihan satu sama lain. Walaupun mungkin pengalaman dan perasaannya berbeda. Bhiya menghampiri Veni untuk menuntunnya masuk, sementara Mario membawakan makanannya.
Mario tersenyum singkat namun tidak semanis bisanya. Entahlah, Veni merasakan ada yang aneh namun ia masih saja tidak bisa mengutarakannya. Mario meletakkan segala pernak pernik yang dibawakan oleh Dian sementara kedua wanita dewasa itu sudah duduk manis di ruang tamu yang dingin.
“Kok enak banget sih ruang tamunya,” kata Veni memuji rumah Bhiya yang asri. Terbesit rasa iri di hati Veni karena ia tidak bisa mengatur perabotan yang ia inginkan karena Dian.
Apalagi semenjak hamil, karpet dan perabotan atau sabun cuci yang biasanya dia pakai pun berubah karena ke protektifan Dian. Luar biasa sekali mertuanya itu, ia ingin memberikan apresiasi tertinggi untuknya.
Walaupun entah kenapa kedepannya Veni pun ragu akan terus seperti ini. Kebahagiaan ini rasanya pasti akan mengorbankan suatu hal yang Veni pun masih tidak bisa menebaknya. Veni berharap bahwa prasangkanya tidak akan terjadi.
“Iya, aku sama Marvel emang setuju dibuat kaya gini. Terus juga ada AC yang siap sedia membantu suasana,” terang Bhiya bahagia. Mario menatapnya dengan sedikit perasaan mencelos.
Ternyata Bhiya terlihat sangat bahagia, bersama dengan Marvel dan entah kenapa malah Mario merasakan hal yang sepatutnya ia lupakan. Sekarang ia sudah ada Veni dan Veni adalh istri sekaligus ibu dari anak-anaknya dan bukan lagi Bhiya.
Setelah itu Bhiya pun menatap ke arah Mario, melihat Mario yang menatapnya datar. Bhiya masih belum berbaikan sama sekali dengan mario, padahal sebenarnya yang sudah lalu biarlah berlalu. Namun mungkin Mario belum menerima masalalu mereka.
“Berarti Kak Marvel sayang banget ya sama kamu,” kata Veni iri dengan rumah tangga keduanya. Mereka terbebas dari belenggu Dian. Walaupun sebenarnya maksud Dian baik, namun lagi-lagi terkadang Veni merasa di kurung dalam penjara istana megah.
“Iya, alhamdulillah. Dia sayang sama aku,” ada pancaran muka bahagia dan bersyukur untuk Bhiya. Namun terbesit juga rasa tak enak hati melihat Mario yang masih menatapnya dengan datar.
Se akan tersadar akhirnya Mario pun menghampiri Veni dan berpamitan. Setelah ia meletakkan semua barang, ia pun memakan Veni yang berisi anaknya itu. Mario mengelus sebentar dengan senyuman tipis, ingin memperlihatkan pada Bhiya bahwa dia juga bahagia.
“Papa kerja dulu ya, Nak,” kata Mario sembari mengecup kening Veni singkat dan beranjak pergi dari hadapan Bhiya dan Veni.
Tentu saja ia sama sekali tak menyapa Bhiya dan hanya memperhatikan Veni. Nanti jika ia tidak bisa menjemput, akan ada supir yang menjemputnya. Mendengar itu Bhiya mengernyitkan keningnya, dia juga bisa mengantarkan Veni jika hanya sampai ke rumahnya saja.
“Kalau emang enggak bisa, aku aja. Aku bisa kok, kamu tenang aja,” kata Bhiya kepada Mario.
“Enggak usah, biarin aja Veni di jemput sama supir aku,”
“Loh. Deket aja kenapa pakai supir? Kamu enggak percaya ya sama aku?” tanya Bhiya dengan sirat wajah yang sedih.
“Itu syarat dari Mama,” kata Mario singkat kemudian dia pun meninggalkan Veni dan Bhiya dengan begitu saja.
Akan tetapi Veni tahu, apa yang diucapkan harus dipenuhi oleh dirinya. Akhirnya Mario pergi hilang ditelan pintu, meninggalkan Veni dan Bhiya. Veni jujur saja tidak enak dengan keadaan saat ini, namun ia tak bisa berbuat banyak.