Mario masuk ke dalam kamar dengan perasaan campur aduk. Dia sebenarnya tak merasa kenapa-napa dengan Bhiya dan Veni, namun ia ragu dengan keadaan Bhiya jika berhadapam dengan ibunya.
Mario diam di kasurnya, memikirkan bagaimana caranya ia memisahkan Veni dan Bhiya dari ibunya sendiri. Tiba-tiba saja Veni datang mengintip di depan pintu melihat ke arah Mario.
Mario menjatuhkan pandangannya pada Veni yang juga menatapnya takut-takut. Eni tahu maksud baik Mario, namun ia masih kesal sekali dengan apa yang Mario lakukan terhadapnya. Seharusnya ia bisa mencarikan solusi lain selain opsi ini untuknya bertemu dengan Bhiya.
"Kalau mau masuk, masuk aja," kata Mario menyuruh Vemi untuk masuk ke dalam kamar mereka.
"Aku emang mau masuk kok," ucap Veni sewot dan akhirnya masuk ke dalam kamar dan ikut duduk di kasur.
Suasana sepi menyusuri kamar mereka, baik Veni maupun Mario tidak bersuara sama sekali. Mario sesekali memperhatikan Veni yang tengah memainkan handphonenya sambil tersenyum.
"Kamu ngapain?" tanya mario yang ingin tahu tentang apa yang Veni lakukan.
"Enggak ngapa-ngapain," jawab Veni singkat dan menatap ke arah Mario dingin.
"Kamu marah?" tanya Mario.
"Menurutmu emang gimana?" tanya Veni kepada Mario dengan tatapan jengkel.
Mario menghela napasnya lelah, rasanya sungguh lelah berkelahi dengan Veni disaat yang seperti ini. Veni melihat mario pun sebenarnya tahu kalau mereka lelah dengan keadaan seperti ini. Akhirnya Veni pun memutuskan untuk beranjak dari ujung kasur.
"Mau kemana?" tanya Mario lagi pada Veni.
"Ke kasur, kenapa? Enggak boleh?!" tanya Veni makin sewot dan akhirnya Mario pun mengalah dengan membiarkan Veni untuk tidur, sementara dan dirinya pergi keluar untuk mencari inspirasi dan menenangkan diri.
Mario bukanlah lelaki yang egois, hanya saja ia terlalu peduli dengan Bhiya ataupun Veni. Karena Dian adalah tipe mertua yang menuntut ini dan itu. Walaupun dia adalah ibu kandungnya namun ia tahu jika dia akan menuntut Veni atau Bhiya sesuai dengan yang ia harapkan. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa Maria pun juga akan menuntut Veni seperti Dian menuntutnya.
Mario terus saja berpikir dan berpikir bagaimana cara untuk menuruti kemauan istrinya tanpa menyusahkan Bhiya. Entahlah, rasa itu mungkin sudah hilang. Namun kembali lagi di rasa perduli dan kemanusiaan Mario.
Apalagi Mario pernah menyayangi Bhiya. Bahkan sampai saat ini ia masih mengingat bagaimana memori mereka berdua yang telah berhasil dilalui. Begitu melihat Dian, tiba-tiba saja Mario tahu apa yang harus ia lakukan.
Mario menghampiri Dian yang tengah berjalan menuju kamarnya sendiri. Mario menghentikannya dan menatap ke arah Dian dengan senyuman sumringah. Padahal sebelumnya Dian tahu bahwa Mario marah terhadapnya.
“Ma….” panggil Mario dengan tatapan penuh binar bahagia, setelah mendapatkan penglihatan dalam kepalanya.
“Kenapa?” tanya Dian kepada Mario yang sudah berada di depannya persis.
“Aku aja yang bawa Veni ke Bhiya. Soalnya aku polir Veni tuh bagus kalau jalan dan refreshing biar dia engga sumpek. Gimana Ma? Lagi pula rumah Kakak sama kita kan enggak jauh,” kata Mario dengan tatapan berbinar, membujuk Dian untuk membiarkan dirinya dan Veni pergi.
“Aku naik mobil kok, enggak naik motor kalau Mama khawatir,” kata Mario lagi.
Dian pun terdiam sebentar memikirkan dan menimbang apa yang harus ia lakukan. Akhirnya beberapa saat kemudian Dian mengangguk. Bagus juga untuk Veni melihat suasana yang tidak itu-itu saja.
“Ya sudah, kamu pergi aja besok sama Veni. Mama mau pergi sebentar ke kantor,” kata Dian yang memang memiliki kesibukan di hari itu.
“Aku jadi enggak usah kerja dulu ya Ma?” tanya Mario semangat.
“Ya kerja, enak aja. Kamu tinggalin aja Veni disana, nanti Mama jemput,” kata Dian yang membuat Mario menggelengkan kepalanya keras.
“Enggak Ma, biar aku aja. Aku mau jadi suami siaga. Jadi aku tungguin terus aku kerja juga di sana,” kata Mario dengan semangat namun Dian menggelengkan kepalanya.
“Walaupun memang tanggung jawab kaku itu anak kamu dan Veni. Tetap aja ada puluhan bahkan ratusan karyawan yang harus kamu pimpin,” tandas Dian yang membuat Mario diam.
Memang akhir-akhir ini tugas Mario adalah mengurus Veni dan terus saja mangkir dari pekerjaannya. Hingga terkadang Mario harus menjadi jelmaan kelelawar karena berjaga sepanjang malam dan paginya ia juga terjaga untuk mengurus Veni.
“Mama aja jemput, kamu enggak perlu,” kata Dian, namun Mario masih mau berusaha.
“Enggak Ma, biar sopir kita aja,” kata Mario dan Dian pun melihat ekspresi anaknya itu yang serius. Ia tak bisa menolak keinginan mario yang sama kerasnya dengan dia.
“Ya sudah kalau gitu. Dia hanya boleh main sama Bhiya 2 jam aja,” ucap Dian yang diangguki oleh Mario.
Akhirnya Mario beranjak ke kamarnya untuk memberitahu Veni bahwa dirinya bisa bermain dengan Bhiya tanpa gangguan dari Dian. Dengan semangat empat lima, Mario ingin berbaikan dengan ibu hamil itu.
“Veni….” panggil Mario kepada Veni yang masih memainkan Handphonenya menunggu kantuk itu datang kepadanya.
Veni menatapnya dengan tatapan datar, tak mau menyahut panggilan dari Mario. Mario naik ke kasur dan menatap Veni dengan penuh binaran.
“Kamu kenapa?” tanya Veni bingung.
“Besok aku anter kamu ke Bhiya ya?”
“Hah?” Veni kaget dengan pembicaraan yang giring oleh Mario. Perasaan tadi Mario bersikeras untuk tidak membiarkan Veni bermain dengan Bhiya.
Namun tiba-tiba saja semangat Mario melambung dengan pesat. Apalagi saat ini ia tengah tersenyum sumringah sambil memainkan perut Veni yang besar.
Jujur saja dalam lubuk hati Veni tersimpan kebingungan, namun kebingungan saat ini tidak bisa ia temukan jawabannya. Apakah Mario memiliki rasa terhadap Bhiya? Namun rasanya mustahil mengingat bagaimana perhatiannya Mario kepada dirinya di depan Bhiya maupun dibelakangnya.
Buru-buru Veni menghapus semua pikiran-pikirannya yang negatif dan memperhatikan Mario yang sedang berbicara kepadanya. Mario menjelaskan bagaimana nanti Veni pergi ke tempat Bhiya.
Sebenarnya bagus sekali, Veni tidak harus melihat Bhiya yang diomeli oleh ibu mertuanya dan menjauhkan ibu mertuanya itu darinya selama dua jam. Akhirnya Veni mengangguk menyetujui apa saja syarat yang Mario lontarkan.
“Terima kasih,” ucap Veni yang akhirnya tidak bisa marah kepada Mario.
Mario mengelus kepalanya, ia pun ikut senang menemukan solusi yang pas untuk istri dan iparnya itu. Veni masuk ke dalam pelukan Mario, ia ingin sekali di elus dan disayang. Entah bawaan bayi atau memang karena ia sudah mencintai dan menghormati suaminya itu.
Mario menerimanya dengan senang hati, mereka pun memutuskan untuk tidur. Tak ada lagi diam-diaman yang dilakukan Veni dan Mario tadi.
“Kamu kalau marah itu, bilang. Jangan kamu pendam. Aku enggak tahu isi hari kamu,” ujar Mario sambil mengelus kepala Veni. Veni pun mengangguk.
“Iya, maafin aku. Habisnya kamu kaya benci banget sih. Makanya aku sebel,”
“Aku enggak benci, cuma aku kasihan sama Bhiya,”