Sepeninggalan Mario, Veni dan Bhiya langsung menyibukkan berbagai aktivitas. Mulai dari memakan bekal yang Dian buatkan untuk Veni. Bhiya membuka semua makanan itu dan melihat semua isinya. Makanan rumahan dengan bentuk yang seperti memang spesial dibuatkan oleh Dian.
“Kenapa bawa bekal sih?“ tanya Bhiya kebingungan.
“Mama takutnya kamu pakein garam biasa, kontrol makanku enggak ada. Terus takut gula darah sama tensiku naik,” jelas Veni yang membuat Bhiya menganggukkan kepalanya.
“Pijak jempolku, Ven. Biar dedek bayinya mindah,” kata Bhiya yang memang sudah mengharapkan bayi sejak mereka menikah.
Veni dengan polosnya menginjak jempol Bhiya namun tidak terlalu kuat. Kemudian mereka tertawa bersama, penderitaan sebenarnya tidak akan hilang jika kamu hamil. Masih ada terhalang oleh gender anak yang akan diumumkan oleh dokter.
Untung saja Veni dikatakan memiliki anak laki-laki. Makanya masalahnya tidak begitu besar. Walaupun memang ada sedikit ketakutan jika kelamin anaknya ini melenceng.
“Terus kak Marvel pergi kerja kok pagi banget Bhi?” tanya Veni kepada Bhiya yang sedang mengambilkannya piring.
“Dia masih tidur di atas, lagi enggak enak badan,” kata Bhiya pada Veni yang mengangguk.
“Aku ganggu dong. Harusnya kamu kan temanin suamimu?” Veni malah jadi tidak enak hati kepada kakak iparnya ini.
“Kan dia bukan bayi, Ven yang harus aku jaga dua puluh empat jam. Dia paling kalau butuh sesuatu nelpon aku. Aku malah senang kalau kita ngumpul kaya gini,” kata Bhiya yang memang senang memiliki teman berbicara seperti Veni.
“Kamu enak ya. Aku jadi iri,” Bhiya tiba-tiba saja berucap dengan mata penuh kedambaan terhadap apa yang Veni alami.
“Kamu iri kenapa?” Veni sama sekali tidak menangkap apa yang harus diirikan oleh Bhiya. Mereka sama, memiliki suami yang perhatian dan baik.
Bahkan mungkin perhatian dan baik Mario berbeda jauh dengan apa yang Marvel lakukan terhadap Bhiya. Mungkin Mario hanya menanggung tanggung jawab terhadap Veni. Berbeda dengan Marvel yang memang mencintai Bhiya.
“Karena kamu hamil, mama jadi perhatiin kamu banget,” lirih Bhiya sambil mengaduk makanan yang ada di depannya.
“Malah masalah enggak akan sampai cuma di aku hamil aja, Bhi. Sampai sekarang aku takit gimana kelamin anakku beneran cewe atau cowo. Kalaupun buruknya cewe, apa respon mereka aku juga enggak tahu,” curhat Veni kepada Bhiya yang akhirnya menatapnya.
“Dengan hamil atau enggak hamil ya kita sama aja, Bhi. Aku juga nyimpan ketakutan yang sama kaya kamu terhadap keluarga ini,” sambung Veni dengan nada lirih.
Mereka berdua sama-sama sadar dengan apa yang terjadi di keluarga ini. Mereka berdua juga tidak yakin dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Apakah semakin memburuk atau semakin membaik.
“Susah, kalau misalnya semua di ukur pakai skala atau penggarisnya Mama,” ucap Bhiya miris.
Ia memiliki mertua yang sebenarnya perhatian. Namun perhatian yang ia berikan harus diberikan ambalan berupa cucu laki-laki jika mau mendapatkannya. Hal tersebut sangat sukit dikabulkan oleh Veni atau Bhiya.
Bhiya pun sudah berusaha, tentu saja dia berusaha terus dan semua usaha mungkin tidak ada yang belum. Akan tetapi kembali lagi dengan apa yang Tuhan berikan kepada umatnya. Namun Dian tidak mau mengerti itu dan membuat mereka berdua kebingungan. Bagaimana caranya menyanggupi kepuasan ibu mertuanya itu.
“Emang susah, Bhi. Makanya kita klop, karena perasaan kita sama walaupun enggak sama tapi mirip,”
***
Pagi menjelang siang, karena merasa ngantuk akhirnya Veni pun memutuskan untuk memberitahunya kepada Bhiya. Soalnya ternyata sang supir menemani Dian dan mengakibatkan Veni tidak bisa pulang.
Dian pun begitu, pekerjaan yang ia tangank ternyata begitu banyak sampai-sampai dirinya harus mendekam lebih lama di kantor. Saat sedang asyik mengobrol tiba-tiba Marvel turun untuk mencari keberadaan Bhiya. Awalnya suasana baik-baik saja bagi veni pun mendadak berubah.
“Ngapain lo disini?“ tanya Marvel langsung. Veni menunduk tidak mau menjawab.
“Marvel apaan sih? Dia emang daritadi di sini, bahkan kemarin malam kan aku kasih tahu kamu kalau dia mau ke sini,” kata Bhiya yang jadi tidak enak dengan sikap Marvel pada Veni.
“Kamu malah ngebela ratu drama ini,” cibir Marvel sambil menatap Veni sinis. Kemudian Veni pun menatap ke arah Marvel dengan gelengan kepala.
“Aku bukan ratu drama, Ka Marvel,” Veni mencoba untun menjelaskan situasi yang dialaminya. Namun tetap saja Marvel tak mau mengerti karena dirinya sudah telalu takut Bhiya disakiti oleh Dian.
“Apa kalau bukan ratu drama, bulak-balik nyari simpati,” kata Marvel sambil menatap ke arah Veni dengan sinis.
“Aku bukan nyari simpati,” jawab Veni lagi, kali imi dengan tangan yang mengepal karena marah.
“Veni, ayo kita ke kamar tamu aja. Biarin aja Marvel, dia salah minum obat,” ujar Bhiya yang langsung beraksi untuk memisahkan veni dan Marvel.
Marvel menggeleng, ia tak mengizinkan baik Mario ataupun istrinya mendekati Bhiya. Apalagi sampai membuat Bhiya harus menemaninya di kamar tamu. Marvel sudah cukup melihat Bhiya menderita selama ini.
“Kamu enggak boleh nemenin dia,” perintah Marvel mutlak bagi Bhiya yang sedang memapah Veni.
Bhiya menatap Marvel dengan tatapan kecewa, bisa bisanya suaminya itu malah menyuruhnya untuk tidak mempedulikan tamu yang datang. Padahal biar sangat senang saat ini di mana dia dan Veni perbaikan dan tidak berkonflik.
Bagi Bhiya, Veni adalah temannya saat ini. Yang mengerti isi hatinya, yang mengerti bagaimana cara ia merasakan sesuatu, yang mengerti bagaimana Dian menyakiti dirinya atau Veni. Makanya Bhiya sangat menyayangkan sikap Marvel terhadap Veni.
“Kalau gitu aku bisa sendiri, kok,” kata Veni sambil tersenyum simpul dan berjalan pelan menuju kamar tamu yang sudah Bhiya siapkan.
Saat berjalan beberapa langkah, tak terasa perut Veni kembali keram. Veni langsung mengaduh dengan sangat kencang dan membuat Bhiya kaget. Marvel yang awalnya tak percaya pun melihat ringisan Veni langsung ikut membantu.
Marvel menggendong tubuh Veni ke kamar tamu. Sementara Bhiya mencoba untuk memberikan air hangat pada pot yang biasanya ia gunakan saat perutnya keram.
Akhirnya Marvel karena panik takut janin yang ada di dalam diri Veni kenapa-napa, memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Ya, dia terlalu takut membiarkan Veni meringis seperti ini. Bersama dengan istrinya, Bhiya. Mereka pun pergi bertiga.
Sesampainya di rumah sakit Marvel langsung menelpon Mario. Untung saja kontak Mario padanya masih ada walaupun tak pernah ia gunakan. Nada sambung menyala, tak berapa lama Mario pun mengangkat telpon dari Marvel.
“Kenapa?” tanya Mario begitu sambungan masuk. Marvel sedikit merasa sakit, ternyata adiknya masih mau menjawab ponselnya.
Mungkin jika Mario berada di posisi Marvel, Marvel tidak akan mau menjawabnya dengan suka rela begini. Namun Mario malah menjawabnya dan bertanya ada apa.
“Gue di rumah sakit sama istri lo,” ucap Marvel tenang.
“Apa?!”