"Apa yang dia takutkan kini benar-benar terjadi."
***
Veni masih lemas dengan keadaannya. Tapi, raut wajah Mario sangat menunjukkan tidak senang dengan kelahiran anaknya. Ya, tentu saja apa yang dia takutkan selama ini mungkin saja akan terjadi.
"Mar...." panggil Veni dengan suara lesunya. Mario tidak menjawab dan hanya melihat ke arah Veni.
"Kamu udah kabarin Abi sama Umi kalau aku udah lahiran?" tanya Veni. Suaminya itu duduk menjauh dari Veni. Padahal, Veni baru saja melahirkan dan seharusnya suaminya itu lebih perhatian dengannya. Tapi, kenapa dia malah cuek.
"Belom. Kamu kabarin aja sendiri. Aku lagi ada urusan kerjaan." Mario masih sibuk dengan tab ditangannya. Perusahaan juga mendadak ada masalah membuat dirinya makin kesal saja. Padahal, dia sudah menanti kalau hari ini akan menjadi hari bahagia tapi kenapa malah membuatnya kesal.
"Mar, hp aku enggak tahu di mana. Boleh minjem HP kamu dulu buat ngabarin?" tanya Veni lagi. Dia bersusah payah menahan nyeri pasca melahirkan bukannya mendapat bantuan suaminya malah suaminya sibuk sendiri.
"Ck. Lagian kamu tadi naronya di mana. Hp kok bisa lupa naronya."
"Tadi, perut aku sakit. Kamu 'kan tahu selama aku dirawat aku juga jarang megang hp jadi enggak tahu hp aku di mana, Mar." Mario pun akhirnya tetap berjalan dan menuju ke Veni dan memberikan ponselnya dengan malas. Setelah itu dia berbalik dan menuju sofa tanpa berniat duduk di samping Veni. Padahal, sebelumnya suaminya itu selalu menjaganya.
Veni pun membuka ponselnya dan mencari kontak Abinya di ponsel Mario yang sudah dia ketahui. Mario tidak melirik dirinya sama sekali. Sampai akhirnya dia pun menelepon Abinya.
"Assalamualaikum, Bi."
"Waalaikumsalam, ada apa Mario?"
"Ini, Veni, Bi yang telephone, Abi."
"Oh kamu pake HP suami kamu? Hp kamu ke mana emannya?"
"Hp Veni belum tahu di mana tadi lupa naruhnya. Ini mau ngabarin sesuatu ke Abi."
"Ngabarin apa, nak?"
"Veni alhamdulillah sudah melahirkan, Bi."
"Hah? Kamu serius, Ven? Mau melahirkan atau sudah melahirkan? Kok kamu baru ngabarin Mario kok enggak ngabarin Abi? Sekarang kamu ada di di mana?"
Veni meringis mendengar peeranyaa Abinya yang beruntun. Dia tahu pasti Abinya akan posesif karna hal ini tapi apalah daya suaminya itu malah tidak mengabari orang tuanya dan malah sibuk dengan kerjaan.
"Veni kamu masih denger suara Abi 'kan? Kamu sekarang di rumah sakit mana? Biar Abi sama Umi ke sana."
"Veni di rumah sakit Pelita Harapan Bunda, Abi."
"Baiklah, Abi akan segera ke sana sama Umi kamu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati, Bi."
"Iya." Setelah itu panggilan dari Abinya pun terputus.
"Mario ini udah hp kamu. Makasih ya."
"Hmm. Taro situ aja."
"Mario nanti kalau kamu udang senggang tolong cariin HP ku ya, Mar. Oiya anak kita belum ke sini, Mar?"
"Gatau. Kamu tanya aja sendiri sama susternya."
"Tapi, jahitan aku 'kan masih ngilu, Mar. Kamu enggak mau tanyain sama susternya."
"Gak perlu. Lagian anak kamu cewe buat apa juga."
"Astagfirullah, Mario. Cewe atau cowo yang penting Allah udah kasih kita amanah."
"Ini semua salah kamu, Veni. Kamu udah tahu kalau aku sama Mama itu maunya cowo kenapa juga harus cewe yang lahir. Apa kata temen kamu waktu itu jadi kenyataan 'kan. USG kamu Abu-Abu. Aku sama Mama udah berusaha biar anak kita cowo tapi yang lahir malah cewe. Mau jadi apa dia ke depannya kalau perempuan." Mario melayangkan kekesalan yang sedari tadi dia tahan. Veni yang bahkan jahitannya saja belum kering sudah terkena perkataan Mario yang benar-benar menyinggung hatinya.
"Tapi, ini juga bukan kemauan aku, Mario. Allah yang kasih dan kita harus menerimanya."
"Menerima kamu bilang? Aku nerima kalau anak itu laki-laki. Lagian ini semua salah kamu, Veni. Coba aja waktu itu kamu enggak main ayunan sampe jatoh. Dan USGnya enggak Abu-Abu pasti anak kita enggak cewe sekarang."
"Permisi...." Suster dan Dokter masuk sambil membawa bayinya. Veni yang dari tadi ingin menangis pun ditahannya karena ada Dokter dan Suster.
"Bu Veni, Pak Mario ini bayinya sudah dibersihkan. Saya ingin memeriksa kondisi Bu Veninya dulu," ucap Dokter tersebut.
"Pak ini bayinya kalau mau di adzankan," ucap Suster tersebut memberikan anaknya kepada Mario. Tapi, Mario menolaknya.
"Enggak perlu sus. Lagian anaknya cewe. Dokter juga gimana sih. Kemarin bilangnya anak saya bakal cowo selama USG kenapa yang lahir sekarang malah cewe. Dokter mau coba mainin saya?!"
Dokter tersebut yang sedang memeriksa Veni pun langsung sedikit terkejut tapi dia berusaha untuk tetap tenang. "Memang kadang pemeriksaan USG itu tidak 100 persen sesuai saat bayi lahir. Semua hanya Allah yang menentukan, Pak. Lagian bayi bapak ini cantik seperti Ibunya dan juga mirip bapak." Dokter berusaha untuk menyenangkan Mario. Tapi, tetap saja Mario tidak bisa menerima lahirnya bayi perempuan itu. Perempuan tidak akan bisa melanjutkan perusahaannya.
"Halah udahlah. Veni kamu urus aja sendiri bayi kamu itu. Aku enggak sudi punya bayi perempuan yang nanti malah nyusahin dan bikin malu keluarga."
"Mario kamu mau ke mana?" Veni memanggil Mario yang berlali begitu saja. Ada Dokter dan Suster saja Mario tega berkata seperti itu. Veni hanya bisa menahan malu kepada dokter dan Suster yang ada.
"Bu Veni ini anaknya boleh dikasih ASI pertamanya."
"Baik, Sus."
"Bu Veni kalau ada sesuatu bisa pencet tombol saja nanti Suster akan datang." Dokter tersebut merasa iba dengan Veni karena suaminya yang meninggalkannya begitu saja. Padahal, seharusnya istri setelah melahirkan itu harus ada suaminya di sisinya tapi ini malah ditinggal begitu saja.
"Terimakasih, Dokter dan Suster. Kalau suami saja tadi tidak sopan saya benar-benar minta maaf ya, Dok, Sus. Semoga aja hal ini tidak terdengar hingga orang luar. Mohon bisa jaga rahasianya ya, Dok, Sus." Veni tidak mau orang tahu tentang hal ini dia tidak mau dirinya atau bahkan suaminya harus menjadi gosip di rumah sakit atau orang lain yang melihat.
"Tenang saja, Bu Veni. Kami para Dokter dan Suster sudah disumpah untuk selalu menjaga rahasia pasiennya apapun itu."
"Terimakasih banyak, Dok." Suster memberikan bayinya kepada Veni. Veni tersenyum haru. Bayinya cantik tapi Mario malah tidak mengakui anaknya itu.
"Bu kami permisi dulu ya...." Dokter dan Suster itupun pamit kepada Veni, "Iya, Dok." Veni membuka kancing baju rumah sakitnya. Dokter menyuruhnya untuk memberikan ASI pertama kepada anaknya.
"Maafin, Bunda ya, nak saat kamu lahir Ayah kamu malah pergi tanpa mengadzankan kamu. Nanti kita tunggu Kakek aja ya, nak."
Oe ... Oe....
Bayinya menangis, Veni berusaha untuk sedikit menegakkan tubuhnya lagi. Rasa nyeri sangat membuatnya sulit bergerak apalagi tidak ada yang membantunya sama sekali.
Veni akhirnya mendapatkan kenyamanan untuk menyusui anaknya. Dia bersusah payah membuat ASInya ke luar. Hingga akhirnya kedua orangtuanya pun datang.
"Assalamualaikum," ucap Uminya dan Abinya bersamaan.
"Waalaikumsalam, kalian sudah sampai kok cepet."
"Abi kamu buru-buru, nak. Kamu kok ngabarinnya lagi-lagi pas udah lahiran. Kenapa tadi pas mau lahiran enggak kabarin Umi?" tanya Uminya. Terlihat wajah khawatir dari Uminya tapi Veni berusaha untuk tidak menunjukkan raut wajah kesedihannya.
"Mario ke mana? Kamu kok sendiri di sini. Mertua kamu juga enggak ada?" tanya Abinya gantian. Veni menyalami mereka berdua.
"Em ... Mama baru aja pulang karena selama persalaninan Mama yang nunggu, Veni. Mario barusan juga pulang sekalian anter Mama dan ambil barang juga di rumah, Bi." Veni terpaksa berbohong dia tidak mau kalau Abinya sampai tahu kalau keluarga Mario menolak lahirnya anak perempuannya ini.
"Loh kenapa enggak salah satu aja? Kenapa mereka berdua. Atau setidaknya tunggu Abi datang dulu. Emangnya Kakak Iparnya juga enggak dateng?"
"Emm mereka kayaknya masih ada urusan jadi belum datang. Lagian enggak papa kok. Mereka juga baru banget ke luar."
"Ya tapi setidaknya 'kan kamu enggak ditinggal sendiri kayak gini. Apalagi kamu baru melahirkan masa udah ditinggal aja. Mario juga gimana sih." Abinya hanya bisa kesal dengan Mario dan Veni hanya tersenyum dan menenangkan Abinya.
"Udah, Bi enggak papa kok. Lagian aku juga yang minta soalnya ada barang yang emang Mario doang yang tahu naruhnya."
"Hm yaudahlah kalau begitu. Ini cucu Abi? Udah kamu kasih nama, Ven?" tanya Abinya. Uminya mengelus pipi anak Veni yang sedang menyusu itu. Perasaannya sebagai orang tua entah kenapa ada yang ditutupi dengan anaknya. Tapi, dia tidak mau berfikiran yang aneh-aneh.
"Iya, Bi. Halo Kakek, Nenek...." Veni menirukan suara bayi untuk mengenalkan anaknya.
"Cucu nenek cantik ya. Persis sama kamu dulu, Ven pas baru lahir merah banget. Pasti gedenya nanti putih iyakan, Bi?"
"Iya, Mi. Cantik."
"Emm ... Bi aku boleh minta tolong sesuatu enggak?"
"Minta tolong apa, Ven?" tanya Abinya. Veni sebenernya ragu ingin meminta tolong Abinya untuk mengadzankan anaknya tapi kalau tidak diadzankan....
Sudahlah, dia harus menyingkirkan pikiran itu nanti, yang penting anaknya diadzankan lebih dulu.
"Adzanin anak, Veni, Bi," ucap Veni lagi. Abinya mengerutkan keningnya bingung. Jangan sampai Abinya ini peka kalau ada masalah antara dirinya dengan Mario.
"Emangnya, Mario belum adzanin anaknya?" Kini Uminya yang bertanya tentang hal itu bukan lagi Abinya.
"Emm ... itu tadi Mario aku suruh buru-buru pulang ambil sesuatu jadi lupa buat adzanin anaknya."
"Yaudah nunggu Mario aja nanti."
"Eh. Nanti kelamaan, Bi. Abi aja lagian Abi biasa Adzan di masjid juga 'kan. Veni kalau dengar indah sekali. Veni juga emang pengennya Abi yang adzanin anak Veni. Biar dia jadi anak solehah dan bisa membanggakan keluarga besar kita nantinya."
"Kalau ada Ayahnya ya seharusnya Ayahnya dong, Ven. Kalau enggak ada baru Abi."
"Ya enggak papa deh double aja, Bi. Sekarang Abi aja dulu yang adzan nanti kalau Mario dateng Mario juga pasti adzanin kok, Bi. Masa anaknya lahir enggak diadzanin. Ini tu anaknya tadi emang baru dikasih sama Veni pas Mario pergi soalnya dibersihin dulu."
"Emang enggak nungguin sampe anaknya ke sini?"
"Iya masa enggak ditungguin. Dulu pas kamu lahir aja Abi kamu stay nunggu Umi bahkan Umi enggak bolehin Abi kamu ke mana-mana harus nungguin kamu terus." Veni tersenyum pasti saat itu Abi dan Uminya bahagia dengajmn kehadirannya. Terlihat sepanjang dia dibesarkan oleh Abi dan Uminya tidak sedikitpun Veni merasa kalau keluarganya kurang atau apapun.
"Sama kok, Mario juga gitu. Bahkan dia tadi juga enggak mau ninggalin Veni. Tapi, Veni yang suruh."
"Yaudah coba Abi telfon Mario aja. Dia lama enggak. Kalau lama ya biar Abi Adzanin tapi dia juga sebagai Ayah harus adzanin juga."
"Ehh ... enggak usah, Bi."
"Loh kenapa? Biar Mario perginya enggak lama." Veni harus memutar alasan lagi. Ah ya untung saja hp Mario ditinggal jadi dia ada alasan.
"Ini hpnya Mario 'kan ditinggal. Soalnya tadi kalau ada apa-apa suruh kabarin Mama di rumah. Dia enggak bawa hp, Bi."
"Hp kamu belum ketemu emangnya?"
"Belum, Bi. Makanya Mario khawatir dan ninggalin hpnya sama aku."
"Oh gitu. Yaudah sini Abi Adzanin kalau gitu." Veni tersenyum lega akhirnya Abinya tidak lagi bertanya-tanya hal lain tentang anaknya. Dia juga tidak mau kalau Abi dan Uminya tahu kalau keluarga Mario menolak anaknya ini. Pasti Abi dan Uminya akan sedih jika tahu hal itu.
Suara Abinya terdengar begitu merdu kala mengadzani anaknya. Veni tersenyum sekaligus sedih disaat bersamaan. Seharusnya Mario yang di sana bukan Abinya. Apa nantinya Mario benar-benar tidak akan menerima anaknya. Tidak. Veni tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia harus bisa membuat Mario mencintai anaknya.
Veni menangis di pelukan Uminya. Terlalu sakit membayangkan ke depannya hidupnya akan rumit. Semoga saja tidak serumit apa yang dia pikirkan.
Uminya mengelus kepala Veni yang memeluknya. Hati sang Umi merasa ada yang mengganjal.
"Veni kamu nangis?" tanya Uminya di sela-sela sang suami mengadzani cucunya. Persis ketika Veni bayi lahir. Suaminya dengan siaga mengadzani putrinya itu.
Veni menggelengkan kepalanya, "Veni terharu aja, Mi. Veni udah jadi seorang Ibu sekarang. Veni udah kayak Umi. Doain Veni biar bisa rawat anak Veni sampai berhasil kayak dulu Umi dan Abi rawat Veni ya."
"Kamu dan Mario pasti bisa lebih merawat anak kalian dengan baik. Apalagi, Mario terlihat sangat sayang sama kamu. Sampe apapun tentang kamu pasti selalu dia usahakan. Umi selalu lihat itu," jelas Uminya. Tapi, entah kenapa perasaannya kali ini terasa berbeda. Ada yang ditutupi dari anaknya.
"Abi nangis?"
"Abi enggak nyangka udah jadi kakek, Ven. Perasaan Abi masih muda," lawak Abinya. Veni lantas malah tertawa yang tadinya dia juga ikut bingung kenapa Abinya menangis.
"Wkwkw ... Abi 'kan udah tua masa muda terus."
"Tampang Abi masih muda, Ven. Itu Umi kamu aja masih suka sama Abi."
"Ya 'kan Abi suami Umi masa Umi sukanya ama yang lain." Mereka pun malah saking tertawa karena mendengar gurauan suami istri yang sudah tidak muda lagi. Ah, Veni ingin seperti itu tapi baru memiliki anak saja dirinya sudah ditinggal oleh Mario. Bukan diceraikan tapi tetap saja terasa nyeseknya.
"Iya-iya percaya Umi cintanya sama Abi doang." Abinya dengan pede mengatakan itu membuat Uminya memutar bola matanya malas.
"Umi sama Abi pasti kalau mesra-mesraan enggak Inget deh. Anaknya lagi enggak ada suaminya Umi, Abi masa kalian tega," ucap Veni lagi. Tapi, keduanya malah tertawa. Veni menyusui bayinya lagi.
"Namanya siapa, Ven?" tanya Uminya lagi.
"Belum dikasiu nama, Mi. Nanti aku nunggu Mario dulu baru kita kasih nama anak kita."
"Kamu itu udah ada anak jangan manggil suami pake nama terus, Ven. Enggak sopan. Nanti kalau anak kamu ngikut gimana?"
"Veni belum terbiasa lagian Veni mau manggil Mario apa, Bi? Veni juga bingung."
"Ya dimulai aja dulu anak kamu bakal manggil suami kamu apa. Nah, sebelum kamu ajarin dia kamu harus contohin dia dulu. Pokoknya kalau anak kamu mau sesuatu seperti apa yang kamu inginkan. Contoh hal sepele dalam mendidik aja. Kamu harus nyontohin dan ngelakuin hal-hal itu dulu baru anak kamu nanti bakal ngikutin kamu."
"Hmmm iya, Bi."
"Sama kamu itu kalau ngingetin anak nanti atau marahin anak jangan dibentak atau diteriaki ya, nak. Dulu Abi sama Umi enggak pernah 'kan bentak kamu? Umi sama Abi takut malah nantinya dia enggak bisa jadi percaya diri. Dia malah jadi takut untuk menjadi dirinya sendiri." Veni mengangguk patuh apa yang dikatakan kedua orang tuanya. Dia harus bisa menjadikan putrinya itu anak yang solehah bukan solehot yang Kian anak-anak sekarang sebutkan hal itu.
Mereka asik berbincang. Anak Veni sudah terlelap dalam pelukan Veni. Tangan Veni pun rasanya juga sudah pegal.
"Mi jahitan, Veni agak ngilu. Tangan Veni juga udah mulai pegel boleh nitip anak Veni sebentar enggak? Biar Veni mencet tombol ini dan Suster ke sini ambil bayinya."
"Boleh sini Umi yang gendong. Tapi, kenapa mau dibalikin?"
"Masih harus dalam perawatan, Mi. Tapi, kalau Umi sama Abi masih mau main enggak papa kok nanti-nantian aja naruhnya." Veni menyerahkan bayinya kepada Uminya. Uminya terlihat bahagia dengan anaknya.
"Ven bukannya perkiraan anak kamu laki-laki kok yang lahir perempuan?" tanya Uminya. Uminya itu ternyata ingat kalau dia pernah mengatakan kalau USG nya itu perkiraan laki-laki .
"Iya, Mi perkiraan emang bakal laki-laki yang lahir tapi semenjak Veni habis jatuh dari ayunan itu USGnya Abu-Abu dan sejak saat itu Hasil USG udah enggak bisa kebaca. Dokter cuma yakinin kalau bayinya tetep laki-laki karena pemeriksaan terakhir itu sebenernya usia kandungan 7bulan, Mi."
"Hmm ... gitu. Yaudah apapun itu yang penting bayinya sehat tidak kurang satu apapun sebenernya udah bersyukur kita yakan?"
"Iya, Mi, Bi," ucap Veni. "Tapi, tidak dengan keluarga Mario," lanjutnya dalam hati.
***
Mario sampai rumah dengan rasa malasnya. Dia meninggalkan Veni begitu saja di rumah sakit. Sampai dia baru sadar hpnya ketinggalan tapi dia sama sekali tidak mau balik ke rumah sakit apalagi melihat bayi perempuan itu yang entah akan jadi apa nantinya.
"Kak Mario kok malah pulang lah istrinya di sana sama siapa?" tanya Arum sambil membawa piring berisi makanan. Sebenarnya dia juga tidak peduli mau Narik pulang atau tidak hanya basa basi saja.
Dian pun datang menghampiri Mario, di mana dia mendengar Arum—keponakannya menyebut nama anaknya. "Mario kamu ngapain pulang?"
"Males, Ma di rumah sakit ngelihatin Veni sama anaknya mending aku pulang."
"Terus dia di sana sama siapa?"
"Ada dokter sama Suster. Lagian keluarganya juga mau ke sana paling mereka udah pada di sana juga. Dahlah aku males ngurusin mereka, Ma." Mario merebahkan badannya tanpa melepaskan sepatu yang masih terpakai. Arum sibuk dengan makanannya saja sambil melihat kedua orang di depannya ini berdebat.
"Nanti kalau Veni bilang apa-apa sama keluarganya gimana, Mario. Terus dia disuruh balik ke rumahnya gimana. Kamu itu kok main ngelakuin kayak gitu aja."
"Yaudah biarin aja, Ma. Lagian ngapain juga kita masih mikirin dia. Orang dia malah ngasih anak cewe bukannya anak cowo. Itu salahnya dia juga segala jatoh dari ayunan bikin Jenis kelamin anak kita berubah."
"Ya tapi tetep aja dia masih bisa kamu bikin hamil 'kan. Tinggal kamu bikin dia hamil lagi terus rawat dia yang bener biar dapat anak cowo. Kamu enggak tahu kakak kamu aja istrinya udah enggak bisa hamil kalau kamu enggak manfaatin si Veni yang ada kita enggak ada keturunan laki-laki, Mar."
"Yaudah suruh Marvel nikah lagi kek. Lagian ngapain sama Bhiya. Untung aku dulu enggak jadi sama Bhiya kalau jadi mungkin aku enggak bakal punya anak sama dia."
"Kamu juga sama Veni lahirin anak perempuan ya, Mar. Jadi, kamu tetep aja sama. Enggak bisa ngasih anak laki-laki. Ah, kalian bikin Mama pusing aja. Udah Mario buruan kamu ke rumah sakit sebelum istri kamu cerita yang enggak-enggak ke Keluarganya."
"Kalau dia cerita yaudah biarin emang urusannya sama kita juga apa si, Ma?"
"Nama baik kita lah, Mar. Kamu enggak mikirin ke sana banget. Kita ini seorang pengusaha. Kalau sampe nama baik kita tercoreng karena ulah istri kamu atau keluarganya kamu fikir yang bakal nanggung siapa? Kita juga. Jadi, jangan sampe istri kamu itu cerita yang aneh-aneh sama keluarganya. Jagain dia, dan tetap suruh dia pulang ke rumah ini. Kamu ngerti?!" Apa yang dikatakan Mamanya benar.
"Kamu fikir Mama enggak tahu perusahaan juga lagi enggak baik-baik aja. Karena satu client kamu batalin kerja sama sekarang beberapa client juga minta batalin kan?" ucap Mamanya.
"Mama tahu dari mana?" tanya Mario lagi. Padahal, tadinya dia tidak ingin menceritakan masalah itu dulu. Selain moodnya yang berantakan karena harus mendapat tamparan anak yang dilahirin istrinya itu perempuan, dia juga harus memikirkan solusinya. Apalagi kali ini dia harus menanggung kerugiannya.
"Kamu fikir Mama lepas tangan gitu aja sama perusahaan tanpa ngecek kinerja kalian."
"Yaudahlah, Ma nanti juga beres. Mario masih pusing dan males mikirin hal-hal kayak gitu. Lagian ini anak aku ketuker enggak sih, Ma. Mama yakin udah lihat anak itu beneran siapa tahu kalau difilm kalau anak aku sama Veni itu ketuker."
"Kamu enggak usah ngada-ngada. Mama lihat itu bayi ke luar sampe digendong sama susternya ya emang perempuan. Bukan Lakik!" Mario pun mendesah. Rasanya ingin bermimpi tapi apa daya. Mimpinya benar-benar nyata kalau anak yang dilahirkan istrinya itu memang perempuan.
"Udah enggak usah banyak mikir buruan kamu ke rumah sakit. Tetep baik dihadapan mertua kamu. Kalau enggak ada mertua kamu terserah. Tetep jaga nama baik keluarga. Dan pastiin istri kamu itu enggak ngomong aneh-aneh sama keluarganya. Yang ada nanti dia bikin malu kita aja." Dian memaksa Mario lagi untuk segera berangkat ke rumah sakit. Jangan sampai membuat keluarga mereka malu.
"Iya, Ma." Mario pun dengan malas mengikuti mau Mamanya itu. Dari pada dia kena oceh apalagi Mamanya itu udah kesal juga dengan istrinya yang melahirkan anak perempuan.
***
Orang tua Veni masih menemani Veni seharian ini. Mario sampai sekarang tidak balik juga. Padahal, Abi dan Uminya terlihat sudah lelah dan ingin balik. Veni sudah menyuruh mereka pulang tapi mereka masih mau di sini sampai Mario datang.
"Abi sama Umi kelihatannya capek kalau mau pulang. Pulang aja enggak papa kok, Mi, Bi."
"Enggak papa Abi sama Umi nunggu Mario dateng."
"Mario udah mau dateng kok, Mi, Bi." Veni berbohong lagi. Padahal,dia sudah menelepon Mamanya pakai ponsel Mario tapi tidak diangkat juga. Ke mana mereka sebenernya.
***
Mario sudah sampai di rumah sakit. Dia melongok ke dalam ruangan Veni di rawat. Ternyata, benar mertuanya sudah ada di sana. Apa Veni sudah mengatakan yang tidak-tidak kepada keluarganya.
Duh, mereka juga ke sini dari kapan. Apakah sudah lama atau belum. Sudahlah, dia harus mendengarkan kata Mamanya untuk bersikap di depan mertuanya. Jangan sampai nama baiknya tercoreng.
"Assalamualaikum...." Mario akhirnya memberanikkan diri masuk ke ruangannya. Wajahnya sudah berusaha ia netralkan untuk tetap ramah.
"Waalaikumsalam. Mario kamu dari mana saja? Kenapa istri kamu ditinggal sendiri? Kamu pergi dari siang dan udah malem gini kamu baru pulang. Kenapa enggak bilang aja kalau ada urusan biar kami yang jaga veni. Kalau tadi anak kamu rewel pas kamu tinggal apa enggak kasian anak saya sendiri." Abi langsung saja melemparkan beberapa pertanyaan saat Mario datang. Terlihat raut kesal di wajah Abi karena Mario yang pergi lama sekali tanpa ada kabar. Uminya mengelus lengan sang Abi. Mario hendak bersalamaan dengan Abinya tapi Abi menangkis ya terlihat sejak tadi Abi menahan marahnya.
"Bi udah," ucap Uminya mengelus lengan sang abi.
"Maaf, bi tadi ada masalah di perusahaan yang harus buat Mario selesaiin dulu. Sebenernya Mario enggak mau ninggalin, Veni apalagi baru lahiran juga. Tapi, ini juga pennting buat kedepannya kita maafin Mario, Bi." Mario terpaksa mencari muka dengan mertuanya supaya mertuanya itu tidak marah lagi dengannya.
"Kamu 'kan bisa nunggu Umi sama Abi dateng dulu. Lagian, Veni juga kan sebelumnya pas telepon Abi sama Umi kamu masih ada di ruangan ini 'kan? Bukan udah pergi?" cecer Abinya lagi. Mario bingung hendak menjawab apa.
"Abi udah. Mario itu pergi tepat setelah Abi sama Umi dateng kok. Dia juga udah ngabarin Veni kalau ada masalah di Kantor jadi Veni ya suruh selesain aja dulu," ucap Veni angkat bicara. Dia tidak mau ada keributan di sini. Tapi, entah kenapa mendengar suara Mario yang terlihat merasa bersalah itu membuat Veni berfikir apakah benar suaminya sudah sadar apa yang dia katakan sebenarnya salah.
"Kamu enggak bohong 'kan, Ven? Kamu enggak lagi nutupin sesuatu sama Abi dan Umi 'kan Ven?" tanya Abinya lagi dengan menyelidik. Veni berusaha meneguk ludahnya susah payah.
"Iya, Bi bener kok." Veni meyakinkan Abinya dengan raut mukanya. Abinya pun menarik napasnya dalam. Setelah emosinya terkontrol dia pun pamit kepada Mario dan juga Veni untuk pulang dan akan kembali lagi nanti.
"Yaudah, Abi pamit dulu sama Umi. Kamu jaga diri baik-baik ya."
"Iya, Abi-Umi. Makasih ya udah dateng dan bantuin ngurus Dede juga tadi selama Mario engga ada." Veni pun mencium tangan Abi dan Uminya. Lantas mencium Pipi kedua orang tuanya juga.
Setelah kepergian mereka, Mario memandang Veni sebaliknya seperti tadi. Berubah lagi saat Mario pergi tadi.
"Ngapain kamu lihatin aku? Seneng 'kan Abi kamu marah sama aku? Kamu cerita apa aja sama Abi kamu sampe Abi kamu marah gitu sama aku. Pasti kamu cerita yang enggak-enggak 'kan?!" Mario memandang Veni dengan tajam. Kalau saja bukan karena nama baik yang diucapkan oleh Mamanya. Pasti dia tidak akan sopan dengan keluarga istrinya itu. Persetan dia akan dibilang durhaka.
"Aku enggak bilang apa-apa, Mar. Lagian kamu dari mana aja. Kamu pergi gitu aja waktu ada Dokter sama Suster. Aku malu kamu pergi gitu aja. Bahkan tanpa melihat anak kamu sedikitpun."
"Aku 'kan udah bilang aku cuma mau anak laki-laki bukan perempuan terus kenapa malah kamu lahirin perempuan. Anak perempuan enggak ada masa depannya, Veni. Dia enggak bakal bisa ngurus perusahaan nantinya. Aku enggak mau tahu pokoknya kita harus buat lagi." Veni melongo mendengar jawaban dari Mario barusan. Bahkan jahitannya saja belum kering bisa-bisanya laki-laki itu ingin membuat anak lagi.
"Kenapa kamu lihatin aku gitu? Emang ada yang salah?" tanya Mario dengan tampang watadosnya itu.
"Kamu sakit ya, Mar? Bahkan jahitannya aja belum kering. Anak kita aja belum dikasih nama. Kamu enggak mikir juya buat adzanin dia. Untung aja tadi Abi dateng dan adzanin dia."
"Udah enggak usah bahas itu anak lagi. Pikirin kita harus buat anak lagi yang laki-laki. Dan jangan coba-coba kamu ngadu juga ke keluarga kamu." Mario mengambil ponselnya yang dinakas. Veni pun membiarkannya. Seseorang masuk ke dalam ternyata Suster yang masuk ke dalam. Veni yang tadinya raut mukanya kesal berusaha dia ganti dengan raut wajah ramahnya.
Sedangkan Mario menghendikkan bahu acuh dengan kedatangan suster tersebut, " Permisi maaf malam-malam mengganggu."
"Ya ada apa, Sus?" tanya Veni dengan ramah.
"Ini saya tadi saya dipanggil ke ruang resepsionis kalau ada menemukan hp. Pas saya lihat foto depannya foto Ibu bersama suami Ibu jadi saya langsung ke sini aja buat balikin ini ke Ibu," ucap Suster itu. Handphone dengan kamera boba itu pun akhirnya kembali pada pemiliknya, Ya, itu hp Veni yang sedari tadi Veni cari.
"Ketemu di mana, Sus?" tanya Veni. Hpnya masih mulus bukan jatoh sepertinya ada yang menemukan tadi.
"Iya, Bu. Tadi ada yang nemuin cuma enggak tahu punya siapa. Pas saya lihat foto ibu saya langsung bilang aja saya yang ngembaliin ini. Tadi, punya pasien saya gitu."
"Oh gitu, makasih banyak ya, Sus."
"Iya sama-sama, Bu. Saya permisi dulu...."
"Iya, Sus." Suster itu pun ke luar. Mario masih sibuk dengan ponselnya. Veni pun memilih sibuk saja dengan ponselnya.
Dan keheningan pun tercipta diantara keduanya.