Veni sedang mengemasi barang barangnya dan juga calon bayi. Kesehatannya untungnyaa tetap membaik, namun Dian terus saja membuatnya kepikiraan. Seperti saat ini, Dian sedang Mengomel tentang bagaimana Veni yang tidak sayang dengan anaknya.
Bagaimana bisa seorang ibu tidak ingin anaknya sehat di dalam perutnya? Veni juga menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya. Apalagi dengan paksaan Dian yang membuatnya semakin kepikiraan.
"Kamu itulah, coba jangan terlalu murung. Nggak baik ibu hamil bukannya murung dan melas terus," kata Dian sambil menatap ke arah Menantunya dengan tatapan bingung.
Padahal sebenarnya Veni tidak terlalu kepikiraan, jika tidak ada Dian disisi nya. Apalagi saat kemarin ia bertemu dengan temannya waktu membeli barang barang bayi, temanmu itu berkata bahwa bayi yang ia lahirkan adalah perempuan. Dian takut memiliki kasus yang sama seperti temannya itu.
"Kamu mikiriin apa sih?" tanya Dian kepada Veni yang terlihat melamun sambil melipat pakaian pakaian bayi yang sudah mereka bawa.
Veni menggeleng, pertanda bahwa ia tidak apa apa. Percuma saja jika ia memberitahukannya kepada Dian, ia akan menerima lebih banyak lagi Omelan. Apalagi kondisi perusahaan saat ini tidak stabil. Bagaimana bisa ia menambah pikiran Dian lagi. Bisa bisa, bukannya menenangkan seni malah makin mempersulit keadaan dan pikirannya.
Untung saja tensinya bisa ia kontrol walaupun pikirannya sedang kacau. Selain memikirkan anaknya yang sudah ingin keluar, ia juga memikirkan keadaan perusahaan yang tiba tiba saja turun. Mario bahkan tidak bisa menjenguk nya saat ini, sibuk untuk mengontrol dan mengawas perusahaannya.
Bahkan Dian saja sulit untuk menghubungi nya sangking sibuknya. Mario selalu mengadakan rapat ataupun mengadakan pengawasan dan tinjauan ulang pada perusahaan nya yang tiba tiba mengalami guncangan. Veni makin merasa bahwa ada sesuatu yang akan datang namun ia tidak tahu apa itu.
"Kamu kepikiraan apa sih?" Dian mengulang pertanyaannya kepada Menantunya itu karena ia juga sebenarnya ingin tahu apa yang sedang Dian pikirkan sampai sampai dirinya saja tidak sadar bahwa semua lipatan bajunya itu sudah habis.
"Ini lo Mama, sebenarnya aku masih kepikiraan sama apa yang temanku bilang. Tapi nggak papa aku bisa manage pikiranku dengan baik."
Akhirnya, Veni mengeluarkan unek-unek nya yang sedaritadi mengitari isi kepalanya. Dian menatapnya dengan mode serius, memang mertuanya itu sangat menginginkan anak laki laki. Kemungkinan ia tidak mau menerima anak perempuan yang lahir nanti.
"Makanya kamu harus ngelahirin cucu laki laki. Mama udah yakin nggak kalau dokter itu bilang cucunya laki laki. Kamu aja yang sebenarnya makin menyakitin diri kamu sendiri. Kamu yang menyakiti diri kamu sendiri dengan pikiran kamu bukannya orang lain," omel Dian kepada seni yang menunduk. Ini sebenarnya juga tidak ingin memikirkan hal hal yang tidak tidak jika Dian ataupun Mario menginginkan jenis kelamin apapun untuk anaknya nanti lahir yang penting mereka sehat.
Namun kenyataannya mereka menginginkan anak laki laki, dibandingkan anak perempuan padahal bayi itu sama saja. Menurut Veni, selama bayi itu sehat dan tidak kurang satu apapun mereka sudah beruntung dikaruniai anak dengan cepat.
"Iya Ma," jawab Veni lemas dan kemudian memindahkan baju-baju calon anaknya yang berwarna biru langit itu ke samping untuk Dian pisahkan.
Dian mengambil baju-baju yang Veni lipat dengan rapi itu kemudian ia pun memutuskan untuk keluar dari ruangan sebentar. Veni melihatnya dengan lega, karena Dian akan berhenti mengoceh sebentar dan ia pun bisa menenangkan pikirannya. Veni mengelus perutnya, ia berharap sekali jika dokter tidak salah mendiagnosis jenis kelamin anaknya
Tak berapa lama rasa kantuk pun menghiasi Veni, Dian yang sedang keluar mungkin mencari makanan untuk dirinya sendiri pun belum kunjung datang. Akhirnya Veni memutuskan untuk tidur saja dulu sembari merasakan perutnya yang sedikit agak Keram lagi.
Sejamm kan berlalu, Veni sudah bangun dan Dian pun datang. Mungkin Dian memutuskan untuk makan di tempat karena Veni tidak menyukai bau makanan yang terlalu menyengat saat ini.
"Kamu tuh, jangan tidur kanan terus, harusnya kamu tidur ke kiri. Karena tidur ke kanan anaknya bakalan perempuan. Dibilangin dari kemarin kok ngeyel amat si?" Dian pun menghampiri Veni dan membenarkan posisi tidur Veni yang menurutnya akan menghasilkan anak perempuan.
Nomor sebenarnya secara logika untuk umur bulan yang seperti ini, pastinya jenis kelamin anaknya sudah ditentukan di dalam perut. Benar diagnose is dokter memang mungkin laki laki Reni tidak yakin dengan diagnose dokter tersebut karena diagnosis dokter mungkin bisa saja salah.
Akan tetapi Dian tetap saja mau membenarkan posisi tidur dari Veni. Pada saat ini lebih nyaman untuk miring ke kanan dan perutnya juga tidak terasa Keram jika Menghadap miring ke kanan. Namun tetap saja Dian malah membuatnya miring ke kiri dan ini pun merasa sedikit keram. Akhirnya ia memutuskan untuk membetulkan tidurnya menjadi lurus saja agar Dian tidak berisik lagi.
Jujur saja tekanan dalam diri Veni saat ini menggebu-gebu ingin meledak. Apalagi kontraksi dari perutnya seperti sedang ditekan-tekan. Kanan kori atas bawah semuanya ditekan. Dari luar atau dalam pun diri pun semuanya tertekan membuat Veni pusing sendiri.
"Kamu kenapa lagi?" tanya Dian yang melihat Beni memejamkan matanya kelelahan dan membuang napasnya panjang. Veni menggelengkan kepalanya karena tak mau membuat Dian semakin mengomel.
"Kamu geleng-geleng, nanti kalau ada apa-apa Mama yang repot. Kamu kenapa? Mau dipanggilin suster?" rentetan suara bertanya Dian membuat Veni semakin pusing.
Ia hanya ingin tidur dengan tenang menghadap ke knan agar pinggulnya merasa nyaman. Namun Veni terus saja dibatasi geraknya oleh Dian yang membuat dirinya mual.
Veni ingin muntah, hal ini langsung membuat Dian panik dan mengadahkan kantong plastik untuk Veni. Akhirnya Veni mengeluarkan cairan yang terasa menyesakkan tenggorokannya sedari tadi. Karena panik, akhirnya Dian pun memanggil suster lewat bel yang ia pencet.
Suster datang menghampiri Veni yang masih mual. Akhirnya Dian memutuskan untuk keluar karena ia baru saja makan dan tidak bisa melihat Veni yang sedang muntah. Padahal biasanya ia biasa saja, namun kali itu karena ia baru makan membuatnya enggan melihat ke dalam.
"Ibu, sudah?" tanya Suster dengan lembut. Veni mengangguk pertanda bahwa dirinya sudah merasa sedikit lega.
"Ibu kenapa? Kok bisa mual, perutnya kembung?" tanya Suster tersebut sambil memastikan ke layar monitor untuk ibu dan calon buah hati.
"Saya cuma pusing aja, Sus. Boleh tolong bilang ke mertua saya kalau saya butuh istirahat dan jangan berisik?" akhirnya Veni meminta bantuan kepada suster untuk membantunya memberitahu kepada Dian untuk diam dan tidak mengganggunya.
Akhirnya sang suster menangguk dan mengemas bekas muntahan Veni tadi. Kemudian ia beranjak keluar dan menemukan Dian yang tengah menunggu.
"Ibu Veni dan bayinya enggak kenapa-napa Bu. Mual biasa aja, mungkin kita biarin dulu Bu Veninya tidur ya Bu. Jangan di ganggu dulu," kata suster itu ramah sambil tersenyum.
Dian hanya memberikan ekspresi datar sambil menatap suster tersebut dingin. "Emangnya saya tampangnya suka menganggu orang ya sus? Sampai harus di ingatin kaya gitu? Saya tau juga kali sus. Kan dia menantu saya, yang di dalamnya juga cucu saya!"
Suster tersebut akhirnya tahu kenapa Veni memintanya seperti itu. Awalnya malah sang suster merasa bahwa ada yang salah dengan perut Veni atau memang bawaan jabang bayi. Namun ternyata perasaan Veni yang stress membuatnya muntah-muntah.
"Maaf, Bu. Saya enggak maksud. Ya sudah Bu, kalau gitu saya permisi," karena takut emosinya juga akan meledak-ledak seperti mertua dari pasiennya, akhirnya suster itu memutuskan untuk pergi dari hadapan Dian.
"Dasar suster sok tahu," cibir Dian yang sebenarnya masih bisa di dengar oleh suster itu. Kemudian Dian masuk dan akhirnya hilang ditelan pintu.
"Ya ampun, kasihan banget gue sama menantunya," lirih sang suster sambil bergidik, berdoa kepada Tuhan agar diberikan mertua yang jauh lebih baik lagi.
***
Veni bangun dari tidurnya, jam sudah menunjukkan pukul enam malam. Saatnya untuk makan dan menunggu dokter untuk mengontrol jalannya persalinan Veni nanti.
Veni pun sebenarnya bangun karena suara yang dan timbulkan lumayan berisik. Suara tersebut adalah suara di mana tempat bekal biasanya yang diberikan oleh rumah sakit yang diletakkan oleh Dian di makash dekat dengan seni. Akhirnya Vina pun bangun dan melihat ke arah Dian, dan mungkin belum sadar jika Veni sudah bangun dan itu karena nya.
Tak beberapa lama akhirnya Dian pun sadar, ia melihat ke arah Veni yang masih diam. Akhirnya Dian pun menyiapkan makanan yang sudah diatur tadi. Dian mengerjakannya tanpa meminta persetujuan dari menantunya itu.
Ini pun hanya diam memerhatikan Dion yang tengah menyiapkan meja UntukNya di kasur. Veni melihat beberapa makanan yang memang sudah disiapkan oleh pihak rumah sakit, ditambah dengan masakan yang sengaja Dian bawa.
Veni menerimanya dengan senang hati dan memaksa mulutnya untuk mengunyah. Walaupun ia tahu makanan dari rumah sakit ataupun masakan nian tidak terlalu berasa karena tak tahu tensinya atau gula dalam darahnya naik lagi. Sebenarnya Veni sudah mulai terbiasa dengan makanan yang ia makan saat ini.
"Makannya itu yang semangat," Dian menegur cara makan Veni yang terkesan lemas dan lama. Padahal sebenarnya Veni baru saja bangun dan ingin mengumpulkan nyawa nya terlebih dahulu, rasa kantuk pun belum hilang 100%. Makanya terkesan Veni ogah-ogahan makan, namun sebenarnya Veni tidak ogah ogahan hanya saja ia masih merasa mengantuk.
"Enggak gitu kok Ma, ini mungkin efek aku masih ngantuk aja makanya kelihatannya gini," kata Veni membela dirinya sendiri sementara Dian mencebik.
"Ada aja ya alasannya, heran Mama tuh sama kamu," akhirnya mau tak mau Veni hanya diam tanpa merespon cicitan Dian.
Jika dia membalasnya mungkin akan panjang lagi masalahnya. Makanya Veni memilih untuk menutup mulut dan telinga yang ia miliki saja. Apalagi sekarang Dian ini lebih sensitif daripada dirinya yang ingin melahirkan.
"Mama enggak mau tahu ya, kamu harus ngelahirin cowo seperti yang dokter diagnosis...." Veni menatap ke arah Dian tertegun. Bagaimana bisa Dian memaksanya untuk melahirkan anak laki-laki, sedangkan semua itu hanya kehendak Tuhan?
"Kamu tahu kan, di keluarga kita itu harus ada cucu pertama laki-laki. Mama juga setujunya anak laki-laki yang ngebantu Papanya buat ngelanjutin kerja. Kamu tahu kan perusahaan kita itu bukan perusahaan kecil," cerocos Dian yang makin membuat Veni tak napsu makan.
Sudahlah makanan yang disajikan Hambar, Dian malah makin membuat makanan yang ada di depannya ini pahit dengan stetmen yang tidak masuk akal itu. Padahal seni sudah berusaha untuk positif thinking dan berpikir bahwa anaknya ini laki laki. Namun melihat respon Dian yang memaksa seperti itu Veni lagi lagi menjadi takut sendiri.
Lagi lagi perkataan temannya yang kemarin terus saja menghantui pikirannya. Bagaimana jika memang meleset, apakah nasib anaknya akan menjadi buruk atau baik penipuan tidak yakin ke depannya bagaimana. Apalagi dengan sikap Dian yang mengeluhkan anak laki laki.
"Kamu denger Mama kan?" tanya Dian ketika ia tidak mendapatkan respon dari Veni.
"Iya Ma," kata Veni melirih dan lemas.
"Habisin," akhirnya Dian pun memutuskan untuk duduk di sofa yang agak jauh dengan Veni dan membaca majalan yang Veni tidak yakin apa isinya.
"'Nanti kalau cucu mama udah lahir, pokoknya Mama harus nemenin dia dua puluh empat jam. Takut nanti kamu ngedidiknya enggak benar," ujar Dian semangat. Veni hanya diam mendengarkan cerocosan pemikiran mertuanya itu.
Bagaimana bisa dia, notabenenya sdalah seorang ibu salah mendidik anaknya? Pemikiran dari mana itu. Veni adalah perempuan berpendidikan yang juga menjunjung nilai agama yang tinggi. Bagaimana bisa ia menyesatkan anaknya sendiri. Kadang, Veni tidak habis pikir dengan jalan pikiran Dian.
"Kamu tahu kan, waktu Mama ngelahirin Marvel atau Mario itu mertuanya Mama senengnya minta ampun. Enggak butuh tuh, anak perempuan. Karena anak perempuan bakalan manja,"
Terus saja memaki dalam hati dan menjawab di dalam hatinya, walaupun di mulutnya iya diam 1000 bahasa Namun dalam pikirannya Veni sedang mengumpat banyak sekali kata kata. Bagaimana bisa seorang perempuan malah tidak menginginkan anak perempuan? Veni merasa kasihan dengan pemikiran yang ada dalam diri Dian.
"Walaupun akhirnya malah si Marvel salah milih perempuan, tapi yaudah lah ya. Yang penting kamu itu harus ngelahirin cowo!" perkataan Dian bak bom waktu yang siap meledak kapan pun.
Padahal iparnya itu tidak salah apa-apa. Semua adalah masalah waktu dan bagaimana manusia ini menerima takdir. Namun Dian seperti manusia tanpa keyakinan dan memaksakan keadaan.
Perut Veni lagi-lagi menjadi kencang dan keram. Veni agak meringis dan Dian sadar dengan perubahan ekspresi Veni. Akhirnya Dian bangkit dan menatap ke arah Veni.
"Kamu ini kenapa lagi?" tanya Dian sambil mengemasi makanan yang baru dimakan sedikit oleh Veni.
"Kencang lagi Ma," lirih Veni sambil meluruskan kaki dan pinggangnya.
"Kamu kok kayanya penuh drama dan penyakitan ya?" tanya Dian akhirnya yang bingung kenapa menantunya ini penyakitan.
"Ini bukan penyakitan dong mah, ini karena aku kontraksi mungkin mau melahirkan. Kenapa pula jadi penyakitan, biasanya juga aku tidak pernah sakit waktu aku belum hamil," tentu saja Veni tidak mau disalahkan atas apa pun yang juga bukan salahnya.
Menjadi hamil dan rentan adalah bukan salahnya. Bukan juga salah perempuan perempuan yang diluar sana yang terlihat tema sehat hamil. Namun memang karena hormon setiap perempuan itu berbeda, mungkin dia memiliki hormon yang stabil dan mampu menopang dirinya sendiri hingga ia terlihat kuat. Namun berbeda dengan Veni ataupun perempuan diluar sana yang sedang hamil.
Veni membutuhkan perhatian ekstra selama kehamilan. Bukan juga karena Dian yang terlalu perhatian dan dia menjadi manja. Melainkan banyaknya pemikiran yang menjadi faktor A-Z yang terjadi.
"Harusnya emang Mama jangan manjain kamu banget. Bisa-bisanya kamu jadi lemah gini. Kamu itu harus kuat, biar cucu mama kuat!"
Apakah dia tidak berfikir bahwa apa yang ia ucapkan saat ini adalah boomerang yang sangat amat tajam untuk Veni. Dian terus saja memaksa Veni ini dan itu, berkata tanpa berfikir apapun tidak mengganggu Veni dengan pemikiran pemikiran kolot nya, Veni pun tidak bisa meminta bantuan kepada Mario untuk menyingkir kan ibunya sendiri.
Mario adalah tipe tipe anak yang sangat menyayangi ibunya walaupun ia kesal setengah mati. Makanya Veni juga tidak akan bisa kabur sumur hidup nya jika ia bersama Mario, Veni pun merasa ia harus menerima semuanya dengan lapang d**a.
Mungkin jika ia tidak hamil, proses penerimaan itu berlangsung dengan cepat dan legowo. Namun karena ada hormon hamil yang membuat dia semakin sensitif, makanya proses penerimaan itu terkesan sangat lamban dan menyakitkan.
"Aku juga kan enggak dimanjain banget sama Mama," lirih Veni sambil menatap ke arah Dian yang sedang berkacak pinggang.
Padahal saat ini perut Veni terasa sangat kencang, namun bisa-bisanya Dian malah memarahinya terus tanpa berhenti. Kadang Veni berpikir, kedua adik beradik itu sangat tahan dengan sikap Dian yang perfeksionis ini. Jika bisa memberikan penghargaan, Veni akan memberikannya kepada Marvel dan Mario atas anak paling tahan serta berbakti.
"Ngebantah orang tua terus," tegur Dian sambil menatap ke arah Veni. Veni akhirnya memutuskan untuk berbaring dan menyetel tab yang ia letakkan di dekat perut.
Tentu saja hal tersebut membuat Dian menatapnya dengan kaget. Dengan santainya Veni malah meletakkan anaknya tab di atasnya tanpa merasa bersalah, itu yang Dian pikirkan. Dian langsung mengambil perangkat tersebut dari tangan Veni. Tentu saja Veni kaget dengan perlakuan Dian, Veni menetapkan dengan tatapan bingung sedangkan Dian menatapnya dengan tatapan sinis.
"Mama tuh tahu kalau kamu itu adalah ibu baru. Tapi kenapa kamu begitu ke bayi kamu sendiri?"
"Gimana maksudnya Ma?" tanya Veni yang masih bingung dengan arah pembicaraan dari Dian.
Dian menunjuk tab yang sedang ia pegang dengan tatapan kesal. Akhirnya Veni mengerti kemana arah pembicaraan ini dan menunduk. Percuma ia memberikan alasan karena alasan tersebut tidak akan masuk dalam pikiran ibu mertuanya itu.
"Kamu itu ibu paling enggak sayang anak, tau enggak?!" tanya Dian sambil memegangi bahu Veni agar perempuan hamil ini sadar akan perbuatannya.
Ya, Veni sangat jengah. Bahkan jengah setengah mati dengan apa yang dilontarkan oleh Dian. Ia tidak bodoh ataupun i***t, ia bisa membedakan mana yang patut mana yang tidak. Namun terus saja Dian mengatakan seolah-olah dirinya ini tidak bisa apa-apa.
"Kamu itu maunya apa sih ini?" tanya Dian yang masih bingung eengan keputusan yang Veni buat selama ini.
" mau apa maksudnya gimana mah?"
"Kamu mau nyelakain anak sendiri? Kamu keberatan melahirkan?" tanya Dian lagi dan Veni tentu saja menggeleng dengan sangat kuat.
"Gimana bisa aku nggak mau anak ini mah? Aku udah mengandung selama itu dan aku juga sakit. Gimana bisa aku nggak mau anak ini mah? Aku sayang banget semenjak dia ada di dalam rahim aku," akhirnya nada bicara Veni pun naik. Ia benar-benar tak habis pikir dengan apa yang dikatan Dian.
Benar-benar menusuk dan menyakitinya tepat di hatinya. Luka itu pasti sedang mengelusrkan banyak darah karena lidah Dian. Dian menatap Veni jengah, setengah terkejut lehih tepatnya karena Veni menaikkan suaranya.
"mana mungkin aku mau anak ini dalam bahaya, aku dan dia itu satu Ma. Apa yang aku makan dia makan, apa yang aku rasa dia rasa, terus Mama tiba tiba bilang ke aku kalo aku nggak mau anak ini? Aku udah bakalan gugurin dia sejak hari pertama aku tahu kalo aku hamil. Tapi kan nggak mah," akhirnya Veni mengeluarkan semua unek-uneknya pada Dian.
Dian menatap Veni tak enak, sedangkan Veni menatap Dian sengan tatapan kecewa. Rasanya apa yang salah dari Veni selama ini, hampir tidak ada yang fatal. Namun kenapa pemikiran Dian begitu jahat terhadapnya.
Sehingga tak terasa air mata jatuh di pipi Veni. Dian melihat itu tentu ada rasa gengsi untuk meminta maaf. Ia merasa apa yang ia katakan sama sekali tidak salah dan ia juga tidak merasa bersalah.
“Kamu cengeng banget sih!” malah Dian memarahi Veni tanpa rasa bersalah.
Karena sibuk menangis, tiba-tiba perut Veni merasakan kontraksi yang kencang sekali. Sampai-sampai Veni mengaduh dan melupakan rasa sakitnya. Dian yang melihat itu tentu saja khawatir, buru-buru menekan bel dengan kencang beberapa kali melihat Veni mengaduh berbeda jauh dari tadi.
Dengan wajah sembab habis menangis dan harus menahan rasa sakit. Veni berusaha untuk mengurangi sakitnya dengan berbaring namun tak kunjung hilang. Panik, tentu saja Dian panik dan berlari keluar untuk memanggil dokter atau pun suster.
Akhirnya suster pun datang, dan mengecek keadaan Veni. Setelah mengecek selama 2 min selesai langsung menelepon dokter untuk menjelaskan keadaan Veni. Tak berapa lama, dokter pun datang dan memeriksa keadaan seni yang masih berguling dengan sakit.
“Ini harus segera melahirkan, karena kontraksi yang ibu rasakan kuat sekali. Suster tolong siapkan ruangan untuk Bu Veni melahirkan,” dokter langsung meninggalkan ruangan tanpa berbasa-basi dan menyuruh suster-suster yang ada di sana untuk melakukan persiapan.
Dian melihat kejadian itu ikutan panik sampai-sampai lupa mengabari Mario selaku suami Veni. Tak berapa lama Veni pun dipindahkan ke tempay bersalin. Wajah Veni sudah dipenuhi dengan peluh yang menetes karena menahan sakit.
“Suaminya mana, Bu?” tanya Suster kepada Veni yang sedang dipindahkan. Padahal Dian ada untuk menemani Veni, namun tetap saja Veni yang harus menjawabnya.
“Kerja, sus,” jawab Veni sambil menahan rasa sakit dan perutnya yang mengencang.
“Ibu mau menunggu di luar atau ikut menemani di dalam?” tawar suster kepada Dian.
Dian pun memutuskan untuk ikut ke dalam karena ia khawatir dengan cucunya. Lebih tepatnya penasaran bayi laki-laki atau perempuan yang dilahirkan oleh Veni.
“Saya ikut,” kata Dian sembari mengikuti Veni masuk.
Suasana persalinan sangat tegang karena Veni yang sedang mencoba untuk menahan sakit dan rileks. Dokter terus memberikan instruksi agar Veni mengedan dari perutnya dan tidak memejamkan matanya.
“Kamu harus kuat Veni, anak kamu harus laki-laki,” ucap Dian yang memberikan semangat pada Veni.
“Kurang kuat Veni, kamu harus kuat. Masa kalah sama Mama yang dulu sih?”
“Kamu jangan lemah-lemah jadi ibu,”
Suster maupun dokter yang ada disitu terkejut dengan perkataan Dian. Bukannya memberi semangat bisa-bisa Veni stress sendiri. Mungkin Dian tak sadar dengan apa yang ia katakan.
Dokter ataupun suster menyadari bahwa Veni merasa tertekan dengan persalinannya karena ada Dian. Akhirnya dokter pun menyuruh suster untuk mengusir Dian secara halus, dengan dalih persalinan agak sedikit sulit jika Dian berada di sana.
“Maaf ya Bu, sepertinya dokternya agak susah Bu. Jadi kita tunggu diluar aja ya,” kata sang suster yang sempat dimarahi oleh Dian.
Dian menatap suster itu dengan bingung. Kenapa hrus dia yang keluar padahal yang susah adalah dokternya.
“Dokternya beneran bisa ngebantu mantu saya lahiran enggak sih? Kok malah saya yang disuruh keluar? Saya khawatir nih!”
“Bisa Ibu, cuma memang agak sempit ruangannya jadi dokternya sulit berkonsentrasi. Ibu tunggu sebentar ya,” kata sang suster dan meninggalkan Dian diluar.
Dian mundar-mandir karena penasaran dengan cucunya. Ia sudah yakin sekali jika cucunya itu adalah laki-laki. Dia bahkan lebih khawatir dengan keadaan cucunya daripada Veni yang tengah mempertaruhkan nyawa.
Saya akan ber ingat dengan eksistensi Mario, akhirnya Dian pun menghubungi Mario. Dan mengambil ponsel nya yang ada di dalam tas dan mencoba menghubungi anak bungsunya itu. Pada sambungan pertama Mario pun langsung menjawabnya, dan pun langsung menjelaskan keadaan yang tadi mereka lalui.
“Veni lagi diruang persalinan dan Mama baru ingat untuk hubungin kamu,” Dan berucap seperti itu dengan santai. Mereka yang mendengar itu pun sedikit terkejut namun ia langsung mengiyakan ucapan Diandan meminta waktu untuk menyelesaikan pekerjaan nya terlebih dahulu.
“Okay Ma, setelah kerjaan aku selesai aku langsung ke sana. Karena aku sekarang nggak bisa juga ke sana, kerjaan yang di sini belum selesai dan bawahan aku juga nggak bisa buat nge handle,” kata Mario yang kemudian diiyakan oleh Dian.
Dian pun akhirnya menunggu di kursi yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit. Sementara Veni di dalam sedang berjuang melawan rasa sakitnya dan mencoba untuk lebih rileks lagi. Untung saja dokter dan suster yang berada di rumah sakit ini sangat suportif dan tahu apa yang Veni butuhkan.
Tadi, begitu Dian keluar rasanya beban Veni sedikit berkurang. Walaupun pada akhirnya ia masih berpikir tentang bagaimana anaknya nanti jika bukan laki-laki. Pemikiran itu Veni singkirkan jauh-jauh. Ini saatnya untuk fokus melahirkan anaknya dulu.
“Ayo Bu, sedikit lagi,” seru sang dokter pada Veni yang mencoba untuk mengejan lebih kuat lagi.
“Stabilkan napasnya bu, yuk saya hitung sampai tiga ambil napas dan mengejan ya Bu….”
“Satu….”
“Dua….”
“Tiga … Yuk ngejan Bu,”
“Eeee….” Veni mengejan dan akhirnya bayi kecil itu pun keluar.
Veni berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan anaknya dan akhirnya berhasil. Wajah lelah Veni tergantikan dengan suara tangis anaknya yang begitu kencang. Suster dan Dokter pun merasakan kelegaan mereka.
Saat mendengar suara bayi, tentu saja Dian memaksa untuk masuk hingga suster pun sudah tidak bisa menahannya lagi. Dian akhirnya menerobos masuk ke dalam
“Jenis kelaminnya cowo kan dok?” tanya Dian begitu ia sampai ke ruangan.
Semua orang menatap ke arah Dian termasuk Veni yang juga menatap ke arah Dian. Dian terlihat begitu penasaran dengan jenis kelamin anak Veni, dibandingkan kondisi Veni yang masih semrawut.
“Apa dok?” tanya Dian lagi.
“Alhamdulillah, anaknya sehat Bu. Jenis kelaminnya perempuan,” kata dokter sambil menggendong bayi yang masih memerah belum dibersihkan.
“Apa?” pekik Dian yang tak menyangka bahwa cucu yang ia idamkan berbeda.
“Bayinya perempuan Ibu. Mau di gendong Bu, cucunya?” tanya dokter tersebut yang ingin memberikan anak Veni kepada Dian. Tentu saja Dian tak mau menggendongnya dan menatap bayi serta ibunya dengan tatapan benci.
“Gimana sih, katanya kemarin jenis kelaminnya cowo. Kok tiba-tiba yang keluar cewe? Dokter kok enggak becus sih? Oh yang lebih enggak becus itu kamu, Veni. Masa ngelahirin anak cowo aja enggak bisa?” maki Dian pada Dokter dan Veni karena tidak menerima cucunya bukanlah laki-laki.
Pakaiannya Dian pun memutuskan untuk keluar tanpa melihat cucunya itu. Veni yang melihat itu tentu saja hatinya mencelos, merasakan perhatian Tian tiba tiba saja sihirnya kepada cucunya. Bahkan Dian saja sudah tidak sudi lagi untuk melihat dan memegang cucunya yang berjenis kelamin perempuan itu.
Mari akhirnya sampai di depan ruang persalinan, ia pun melihat Dian yang keluar dengan wajah yang tidak bisa ia tebak. Terlihat sangat marah kecewa dan tidak bisa lagi Mario jelaskan. Akhirnya Mario pun menghampiri ibunya itu dan menanyakan kepada dirinya bagaimana persalinan istrinya.
“Gimana Ma?” tanya Mario dengan senyuman karena tidak tahu apa yang sudah terjadi.
“Enggak tahu, kamu tanya aja sendiri sana sama dokternya. Mama mau pulang, kamu urus istri kamu sendiri,” kata Dian sambil melengos pergi tanpa basa-basi.
Mario yang kebingungan pun akhirnya masuk ke dalam ruang persalinan. Disana ia sudah melihat dokter yang tengah menjahit pasca persalinan Veni dan Veni yang masih terbaring lemas.
“Bapak siapa?” tanya Suster yang terkejut dengan kehadiran Mario.
“Saya suaminya,” Mario memperkenalkan dirinya sebagai suami Veni dan akhirnya Suster pun mempersilahkan Mario untuk menemui Veni.
“Anak saya gimana Dok?” tanya Mario yang masih belum paham situasi.
“Alhamdulillah, anak Bapak perempuan dan sehat. Bisa dilihat di ruang bayi ya Pak, karena sedang dibersihkan. Ibunya akan diantar ke ruang rawat inap sebentar lagi,” jelas sang dokter yang membuat Mario kaku.
Anaknya yang ia kira berjenis kelamin laki laki tiba tiba berubah menjadi perempuan. Jujur saja Mario merasa kecewa dengan Veni, ia sudah ber ekspektasi untuk memiliki anak yang kuat dan bisa membantunya untuk meneruskan perusahaan. Tiba tiba saja yang lahir adalah perempuan, Veni yang melihat Mario yang membatu pun jujur saja sedih.
“Pak?” suster yang melihat Mario yang terdiam
Pun langsung menyadarkannya.
“Mau ikut saya melihat anaknya, Pak?” tanya sang suster dan Mario pun menggeleng.
“Saya tunggu di ruang rawat inap saja, sus….”