Setelah mengetahui bahwa Veni melahirkan, karena kedua orang tua Veni pun datang untuk menjenguk nya di rumah sakit sebelum pergi pulang. Mereka melihat cucu mereka yang lucu yang berjenis kelamin perempuan itu tanpa ada masalah. Berbeda sekali dengan Tian dan Mario yang menganggap bahwa jenis kelamin perempuan ini tidak bisa diterima oleh mereka.
Saat ini ayah Veni sedang menggendong anak dari anaknya. Ayah Veni menetap cucunya dengan tatapan bahagia, tak menyangka bahwa anak yang biasanya masih manja dengannya sekarang sudah memiliki anak lagi. Veni menatap ke kedua orang tuanya dengan rasa bersalah namun senang.
Katanya ada yang Berbahagia dengan kelahiran putrinya itu, walaupun ayah dan neneknya tidak ingin dengan kehadiran bayi perempuan ini. Bahkan ayah kandungnya pun tidak begitu peduli setelah anak ini lahir.
Maria terkesan ogah-ogahan untuk menjaganya selama ini masih dalam masa pemulihan. Veni yang harus mengerjakan semuanya tanpa meminta bantuan dari Dian ataupun Mario. Bahkan Dian pun tidak ada muncul lagi selama ini, saking ia tidak ingin coba rempuan.
Tentu saja Veni merasa bersalah kepada anaknya, karena ia lahir di dunia ini dan seluruh keluarga ayahnya tidak menginginkannya. Rasanya Veni ingin sekali berteriak kepada Mario dan Dian untuk bersyukur karena jenis kelamin itu tidak menjamin kesuksesan seseorang.
Bayi yang ada di dalam gendongan ayahnya itu menggeliat kenyamanan. Veni menatapnya dengan tatapan bahagia tentunya. Bagaimana bisa ia melewatkan sesuatu yang manis seperti ini. Anaknya begitu nyaman dipangkuan kedua orang tuanya.
“Umi, nanti Veni di rumah Umi aja deh dulu. Soalnya kalau di rumah Veni, mertua Veni lagi sibuk sama perusahaan. Mario juga sibuk sama perusahaan dan Veni jadi agak keteteran ngemong dede,” turun mungkin berkata kepada ibu dan ayah tidak curiga. Dan ia sempat mengirimkan pesan singkat kepada Mario agar datang sebentar ke rumah sakit dan melihat kedua orang tuanya, agar mereka tidak sadar bahwa Mario dan dirinya sedang tidak baik baik saja.
“Ya sudah kalau misalnya Mario mengizinkan, kamu tinggal saja sama Umi dan Abi. Tapi kalau misalnya Mario nggak mengijinkan, nanti Umi sering sering main aja ke sana,” Uminya memberikan solusi yang membuat Wendy menganggukan kepalanya. Mungkin Mario akan mengizinkannya karena Tangisan anaknya membuat Mario agak risih.
Tak berapa lama Mario pun datang, ia langsung menyelingi kedua orang tua Veni dan memberikan senyum terbaik miliknya, hari ini Veni sudah boleh pulang. Ia pun melihat ke arah Veni tanpa melihat Karah anak nya. Dan itu membuat hati Veni sedikit mencelos, sebegitu keras ke hati Maria untuk di menerima anaknya sendiri?
“Eh ya ampun, ada menantu Umi sama Abi. Kamu emang nggak kerja? Kalau sibuk kenapa sempat sempetin ke sini? Umi sama Abi jadi nggak enak loh.…” ujar Abi yang tidak enak hati melihat keberadaan Menantunya yang diketahui nya itu.
Mario menggeleng sambil tersenyum manis, yang mana kepala Veni sambil tersenyum kepadanya. Ia terlihat senatural mungkin tulus kepada Veni ataupun anak perempuan nya ini. Padahal dirinya juga sebenarnya malas sekali untuk datang ke rumah sakit ini jika tidak ada keperluan.
Saat kepalanya diusap, Veni menatap ke arah Mario. Tak menyangka jika suaminya itu memiliki bakat ekting yang luar biasa. Namun tidak apa yang penting kedua orang tuanya tidak tahu kondisi keluarganya saat ini karena jujur saja, Veni malu dengan apa yang sedang ia alami.
Pemikiran orang kolot mana yang menginginkan anak laki laki di atas anak perempuan. Akan tetapi ada nyatanya, terjadi di lingkungan keluarganya sendiri. Entah bagaimana nanti anaknya jika sudah besar dan mengetahui bahwa ia tidak dinginkan. Veni merasa bersalah sangat amat besar kepada anaknya itu.
Tak berapa lama pun dokter datang untuk memeriksa kondisi dari Veni. Data tersebut datang dengan senyuman dan akhirnya memeriksa Veni dengan Saksama.
“Ibu Veni sudah bisa pulang ya, bayinya pun alhamdulillah sehat. Jadi sudah bisa dibawa pulang ke rumah, jangan tidak dijemur ya ibu. Biar anak yang tidak kuning,” ucap Sang dokter yang sudah memperbolehkan Reni dan anaknya untuk pulang dengan catatan anaknya harus ray sering dijemur agar tidak kuning.
“Alhamdulillah, baik Dok,” kata Veni senangnya bukan main.
Untung saja dirinya sudah diperbolehkan pulang dan itu membuat dirinya lega sekali. Pasalnya akhirnya Veni mendapatkan suasana baru dan bisa memperoleh banyak sekali bantuan dari kedua orang tuanya atau pun mbak yang ada di rumah.
***
Veni akhirnya sampai di rumah setelah mengantarkan kedua orang tuanya pulang. Sepulangnya Veni ke rumah, tidak ada yang menyambutnya kecuali Mbak. Padahal Dian sudah terlihat tengah menyeruput tehnya dengan santai.
Akhirnya Veni pun masuk melihat ke arah ibu mertuanya itu. Veni ingin mencari minyak, namun dia menolak nya dan tidak ingin di Salim. Akhirnya Veni pun hanya bisa terdiam dan bingung harus berbuat apa.
Veni memutuskan untuk naik dan ternyata langkahnya di berhentikan oleh Mario. Mario menghampirinya dan memberikan sebuah kunci kamar, kunci ini Veni ketahui berada di kamar sebelah yang tidak dipakai.
“Aku enggak bisa sekamar sama bayi ini. Soalnya dia berisik sekali kalau nangis dan aku takut tidurku terganggu. Jadi silahkan kamu pindah ke sebelah,” jelas Mario yang membuat Veni menganga lebar. Apa ini maksudnya, bagaimana bisa suami dan istri pisah ranjang dan kamar. Mereka tadinya sama sekali tidak ada masalah.
“Kamu juga mbak, ngapain bantu dia. Ingat ya Veni, yang menjadi tuan rumah dan nyonya itu saya dan Mario. Kamu tidak berhak mendapat bantuan dari Mbak,” kata Dian yang membuat pundak Veni makin lemas. Rasanya ingin sekali Veni menyumpal mulut mario dan dian saat ini juga.
Tanpa banyak basa-basi Veni pun naik dengan perasaan yang campur aduk. Ia pun datang ke kamar nya dan membukanya, ternyata seluruh barang barangnya sudah ada di dalam kamar itu beserta box bayi yang dibelinya. Kamar anaknya yang semula sudah disediakan pun mendadak hadir di kamar ini namun dengan versi yang biasa saja bahkan sebenarnya Veni harus membenahkannya sendiri.
“Sabar ya Nak, kamu dan Mama pasti bisa bertahan. Mama yakin kita bisa,” kata Veni sambil mengelus bayinya itu.
Tidak akan ada bantuan dari mertuanya atau mbak yang sebenarnya ingin membantu. Hanya ada Veni dan bayi kecil lucunya ini. Entah apa dosa anak bayi ini sehingga tidak disukai oleh ayah kandung dan neneknya sendiri.
Hingga tak terasa Veni menangis cukup lama menatapi nasip dirinya dan anaknya kedepannya. Setelah puas menangis, Veni pun memejamkan matanya bersama sang bayi di kasur.
***
Malam menjelang, dimana Veni sedang berada di ruang makan. Ia datang dengan menggendong bayinya. Terlihat Dian dan Mario menatapnya dengan sinis.
“Kalau mau makan, habis kita berdua makan dulu. Bayi kamu bikin enggak napsu makan,” kata Dian yang membuat Veni harus menahan gejolak amarahnya di dalam hati. Veni pun hendak meninggalkan ruangan, namun tiba-tiba Dian berkata seperti ini.
“Kamu juga jangan penghidup, Merry dan saya nyari duit susah tahu. Setidaknya ada kontribusi gitu loh, bantuin mbak bersih bersih itu lebih berguna daripada kamu kamu kan kaki doang serasa nyonya.”
Tentu saja mendengar itu membuat hati Veni menjelas, sangat besar sekali lukanya sehingga dirinya tidak tahu seberapa dalamnya. Veni menatap ke arah Dian dengan tatapan tak percaya, bagaimana bisa dia disuruh menemani mbak dengan kondisi nifas dan masih merawat putri kecilnya ini sendirian.
Veni diam saja dan melengos tanpa merespon apa pun. Hal itu juga membuat Dian jengkel dan menganggapnya kurang ajar.
“Istri kamu kurang ajar banget!” celetuk Dian yang di diamkan juga oleh Mario. Pasalnya jika Mario ikut campur mungkin ia akan semakin membenci anaknya itu dan istrinya. Makanya Mario berusaha untuk menghindar dan diam saja.
Setelah sarapan akhirnya Veni yang muncul di ruang makan. Biasanya makanan tersedia dua puluh empat jam, namun sekarang tak ada satu pun makanan yang bisa ia makan di meja. Mbak akhirnya muncul dan menatap ke arah Veni tak enak hati.
“Tadi Nyonya menyuruh saya buat menyimpan semua makanannya di dalam box makanan, dan nggak ngebuka ini buat Ibu. Jadi saya simpankan makanan yang biasanya saya makan sedikit,” mbak memberikan piring yang sudah ia sisihkan.
Nasi goreng yang terlihat dingin itu Mbak berikan kepada Veni. Tentu saja Veni menerimanya dengan senang hati dan memulai makan tanpa banyak basa-basi.
Ia harus mengumpulkan tenaga sebelum berperang melawan Dian yang notabenenya adalah nenek kandung anaknya ini. Mbak membantu Veni dalam menggendong si bayi, namun tiba-tiba saja Dian datang entah dari mana dan memarahi Mbak.
“Kamu ini pembantu saya, bukan pembantu dia. Kamu mau bantu dia? Iya? Ya sudah minta sana gaji sama dia,” kata Dian marah. Buru-buru Veni mengambil anaknya itu dari gendongan mbak.
Veni yang baru memakan nasi goreng setengah pun memutuskan untuk pergi membawa piringnya. Ia pergi dari hadapan Dian menuju kamarnya. Takkan ada Dian di kamarnya karena mertuanya itu tidak sudi berdekatan dengan bayi ini.
“Maaf ya mbak,” lirih Veni yang hanya di dengar oleh mbak.
***
Seminggu setelah kepulangan Veni, rasanya sangat hampa dan melelahkan. Veni harus bekerja membantu mbak jika memasak karena ia harus menyisihkan makanan sendiri. Ia juga membantu mbak merapikan meja, sesuai dengan job desk yang diberikan oleh Dian.
Kalau ditanya apakah melelahkan, tentu saja Veni ingin lari membawa anaknya ini. Namun ia tak mau mengecewakan kedua orang tuanya dan membuat mereka sedih. Sebisa mungkin semua ini ia tahan sendiri dan merawat anaknya sendiri.
Setidaknya Mario masih bertanggung jawab dengan memberikan uang untuk keperluan bayinya. Walaupun Mario sekarang jarang sekali bisa ditemui. Selain sibuk memang karena mario tak ingin menemui Veni.
Virus sama dia sudah dicuci otaknya oleh ibunya sendiri untuk membenci anak kandungnya. Padahal tidak memiliki masalah apapun bayi perempuan, namun entah kenapa dia memperlakukannya seperti ya habis menghancurkan sebuah bangsa. Maka dari itu Veni hanya bisa diam dan bersabar karena ia juga tidak bisa lari dari tanggung jawab nya dari perannya sebagai istri Mario.
Ini saat itu sedang membersihkan ruang tamu di mana Dian sedang duduk dengan manis di sana. Tiba tiba saja mario datang dan menghampiri ibunya tanpa melihat sama sekali ke arah Veni yang sedang menyapu.
“Sini kamu Veni,” ucap Dian memanggil Veni yang sedang menyapu. Pada awalnya ini tidak peduli dengan pertemuan anak ibu itu karena ia sudah merasa lumayan kecewa.
Akan tetapi karena dipanggil akhirnya Veni pun datang dan menghampiri. Veni ikut duduk jauh dari Mario dan Dian karena ia tahu nanti mereka akan menjauh dengan sendirinya ketika ia dekati. Ia cukup tahu diri untuk duduk sedikit jauh dari mereka.
“Ada apa mah?” tanya Veni kepada Dian yang memanggilnya.
“Kamu harus Hanimun lagi sama Mario, Buatkan satu cucu laki-laki untuk mama,” ucap Dian yang menyuruh Veni serta Mario untuk berbulan madu kembali.
“Apa?” tanya Veni takut salah dengar.
“Ya, kamu akan bulan madu lagi dengan Mario begitu nifas kamu selesai. Kamu harus hamil cucu laki-laki untuk mama dan mama sudah menyiapkan dokter baru untuk konsultasi,” kata Dian dengan tatapan bahwa ia tak bisa di bantah oleh siapa pun.
Veni melihat Mario, ingin meminta bantuan. Tak mungkin ia memiliki anak sementara anaknya saja masih kecil seperti ini. Apakah ibunya sudah gila atau bagaimana Veni pun tak mengerti.
“Tapi anakku masih bayi,” kata Veni tak setuju. Sama sekali tak setuju dengan ide gila dari Dian.
“Tinggalkan saja dia. Akan ada orang yang merawat,” ujar Dian enteng. Veni masih ingin meminta bantuan Mario agar mau membantunya namun Mario malah diam membisu.
“Enggak Ma, ini hak aku buat hamil dan melahirkan. Mama enggak bisa maksa aku!” kata Veni dengan tegas.
Dian yang mendengar respon tes tujuh dari Veni pun murka, ia menatap ke arah Veni dengan sinis. Rasanya Veni ini sudah sangat kurang ajar kepadanya karena malah menolak nya. Padahal ia sudah berusaha keras untuk menerima Veni lagi karena ia melahirkan anak perempuan.
“Oh udah bisa melawan saya ya, sudah hebat kamu?” tanya Dian kepada Veni yang menggelengkan kepalanya.
“Bukan gitu mah, aku cuma belum siap untuk punya anak lagi. Apalagi anakku masih kecil masih satu atau dua bulan ketika nifas aku sudah selesai. Aku juga masih capek dengan persalinan kemarin mah,”
Veni berusaha mengutarakan Semua alasan logis agar dia tidak memaksanya untuk berbulan madu lagi bersama Mario. Ia ingin sekali mempunyai miliki anak lagi akan tetapi tidak sekarang, karena bayinya saja sudah memberikannya banyak PR.
“Kamu enggak usah membantah karena saya ngasih tahu bukan meminta pendapat kamu!”
Veni menatap ke arah Mario dengan tetap memohon, ia tidak sanggup lagi jika yang berdekatan dengan anak pertamanya ini. Yang msh harus belajar lagi menjadi ibu apalagi anaknya ini memiliki masalah terhadap neneknya dan papanya sendiri.
Namun sama sekali tidak ada respon dari Mario, ia hanya dia mengikuti perintah dari Dian. Sedangkan Dian malah menatapnya dengan tatapan sinis karena Veni berusaha untuk menolak nya. Sampai sekarang belum ada lagi titik terang antara keinginan dan Veni. Akhirnya kami pun nomor tuskan untuk pergi dari ruangan itu menuju ke kamarnya, kamarnya sekarang adalah tempat yang paling aman untuk dirinya dan anaknya.