"Biar aku gendong aja ya."
Veni menggeleng. Ia tak mau merepotkan siapapun. Meski kepalanya masih terasa pusing karena jatuh pingsan, tapi ia berusaha untuk mandiri.
Veni dibantu oleh Dian. Hingga kedatangan Arum membuat gaduh suasana.
"Tante, aku cari ke mana-mana tau! Taunya di sini. Kak Veni kenapa tuh? Pingsan lagi?" Pertanyaan Arum yang terus meluncur itu tak digubris oleh Dian karena Dian sibuk membantu Mario untuk memapah Veni.
"Daripada kamu ngoceh nggak jelas mending nih, bawa mobil ke depan lobby biar Veni jalannya nggak kejauhan."
Arum berdecak kemudian menyambar kunci mobil yang disodorkan oleh Mario. Setelah mendapatkan kunci itu, Arum langsung ke basement dan mengambil mobil lalu membawanya ke lobby. Tak lama setelah itu, terlihat Veni yang dipapah oleh Dian dan Mario. Mereka langsung membantu Veni masuk ke mobil. Mario mengambil alih setirnya. Meminta Arum untuk pindah ke kursi depan. Sedangkan Veni dan Dian duduk di belakang.
"Kita ke rumah sakit ya?" tawar Mario.
"Iya, kita ke rumah sakit aja. Periksain kandungan Veni. Mama takut cucu mama kenapa-kenapa."
"Nggak usah, Ma, Mar. Soalnya aku udah nggak kenapa-kenapa kok. Ini perutku juga udah nggak kram. Kita pulang aja ya."
Dian menggeleng. "Nggak. Nurut sama mama aja. Kamu itu lagi mengandung cucu mama. Mama nggak mau ada hal buruk yang terjadi sama cucu mama."
Veni hanya terdiam. Ia tak bisa membantah mama mertuanya. Setelah itu mobil Mario pun melaju dan meninggalkan mall. Hari yang seharusnya menjadi hari bersenang-senang untuk memilih perlengkapan bayinya menjadi hari yang harus membuatnya tegang dan takut jika ia harus mengecewakan dua orang yang sudah menyayanginya.
Perjalanan ke rumah sakit tak begitu jauh. Karena mereka sudah ada di pusat kota dan tinggal perjalanan sepuluh menit mereka sudah sampai.
Sesampainya di sana, Mario berhenti di depan pintu instalasi gawat darurat. Ia langsung memanggil perawat untuk menyediakan brankar dan membawa Veni untuk segera diatasi. Padahal Veni bisa berjalan sendiri. Tapi karena Mario yang terlalu panik maka dari itu ia langsung saja meminta perawat menyiapkan brankar.
"Mau melahirkan, Bu?" tanya seorang perawat yang sudah panik membawa brankar bersama salah satu rekannya.
Veni menggeleng. "Belum kok, Sus. Tadi kram perut dan pingsan terus ini mau periksa aja."
"Iya, Bu."
Perawat itu pun bersiap membantu Veni naik ke brankar. Tapi Veni langsung menahan diri.
"Kalau kursi roda aja gimana? Aku nggak apa-apa kok."
Mario langsung menuruti. "Ya udah, Mbak. Kasih kursi roda aja."
"Kamu itu kebanyakan mau ya, Ven. Lagi darurat gini juga." Dian menepuk punggung Veni dengan pelan karena gemas saat Veni banyak maunya.
Perawat itu pun mengembalikan brankar dan mengambil kursi roda untuk Veni duduk.
Mereka langsung masuk ke instalasi gawat darurat dan langsung diperikan oleh dokter yang jaga di sana. Saat di ruang periksa bersama dokter, dokter mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
"Kandungannya baik-baik aja. Tapi tensi Bu Veni kembali naik. Ini ada riwayat tensi tinggi. Sebaiknya Bu Veni jangan banyak pikiran dulu sementara ini. Santai saja, Bu. Takutnya jika nanti tensinya tinggi dan ibu bisa terkena preeklamsia."
"Bagaimana sama bayinya? Kenapa nggak di USG aja, dok?" Dian menyambar seperti biasa. Hal itu membuat Veni merasa makin kepikiran. Ia takut jika nanti waktu di USG akan kesulitan dilihat lagi dan membuat mamanya kembali merengut.
"Nanti mendaftar dulu di pendaftaran lalu melakukan USG dan pemeriksaan lebih lanjut ke dokter SpOG seperti biasa ya, Bu." Dokter itu menjelaskan. Membuat Mario langsung buru-buru ke pendaftaran dan akan langsung membawa Veni ke dokter SpOG yang biasa mereka datangi.
"Terima kasih, dok." Dian pun langsung membantu Veni kembali untuk naik ke kursi roda. Sedangkan Mario sudah datang membawa nomor antrian dan dibawa ke poli kandungan untuk bertemu dokter SpOG.
Selama perjalanan ke poli kandungan, pikiran Veni melayang entah ke mana. Tatapan matanya kosong. Ia berpikir semoga saja tidak terjadi hal buruk. Sebab, kehendak Allah itu tak ada yang tahu. Takdir itu semu. Ia tak bisa menebak. Tapi perasaannya yakin bahwa takkan ada yang kecewa. Ya, keyakinan itu berubah menjadi harapan. Ia berharap bahwa sesuatu hal buruk takkan terjadi. Tapi tetap kembali lagi, hanya Tuhan yang bisa menentukan apa yang akan terjadi. Sebagai manusia, Veni hanya mampu untuk berdoa agar harapannya terkabul, hanya mampu untuk merencanakan sesuatu dengan matang dan baik tapi kembalu lagi bahwa rencana manusia itu akan kalah dengan Takdir dari Tuhan yang menciptakan dunia dan seisinya. Hanya dengan satu perintah, Tuhan mampu membolak balikkan rencana.
Setelah sampai di poli kandungan, Veni dibawa ke ruang registrasi perawat poli. Mereka melakukan skrining awal seperti tensi dan menimbang berat badan. Lalu pencarian rekam medis dan menanyai apa saja yang Veni keluhkan. Agar saat di panggil untuk masuk bertemu dokter SpOG nya, Veni sudah siap dengan keputusan dokter akan melakukan tindakan apa.
"Berat badannya turun dua kilo ya, Bu. Nafsu makannya berkurang?" tanya perawat poli setelah membandingkan berat badan Veni saat di rawat dengan sekarang.
Veni menggeleng. "Nggak sih, Sus. Biasa aja."
"Tensi dulu ya, Bu." Perawat poli lainnya memasang alat tensi pada lengannya. Setelah beberapa saat akhirnya tensi itu menunjukkan hasil.
"Seratus tiga puluh per seratus. Ibu kepikiran apa? Jangan mikirin hal yang berat dulu, Bu. Ini tensinya tinggi lho."
"Emh, iya, Sus."
Setelah mencatat hasil tensi dan semua keluhan Veni, perawat poli itu langsung membawa rekam medis Veni ke dalam ruangan.
Masih ada satu antrian pasutri muda yang sepertinya yang wanita juga tengah hamil muda.
Mereka menunggu tak cukup lama. Setelah pasangan yang ada di dalam ruangan keluar. Pasutri muda itu dipanggil ke dalam. Mereka menunggu untuk antrian selanjutnya. Selama itu, Dian selalu mengelus perut Veni dengan masih sayang.
"Jangan kenapa-kenapa ya cucu oma. Oma nggak mau kalau kamu kenapa-kenapa."
Gumaman yang membuat Veni luluh itu merasa tenang. Ia memang bahagia karena ada yang peduli dengan dirinya. Tapi di lain sisi, ia takut mengecewakan. Hanya itu. Ia takut mengecewakan. Apalagi pertemuan nya dengan Anita yang mengatakan bahwa bisa saja anak lahir beda jenis kelamin dengan saat di kandungan. Hal yang benar-benar membuatnya tak bisa berpikir positif. Pikirannya selalu negatif dan sulit untuk mengatur untuk tidak kepikiran. Mungkin tensinya tinggi juga karena memikirkan hal ini sepanjang perjalanan tadi.
Tak lama kemudian, pasutri muda yang tadi masuk itu kembali keluar. Raut wajah si wanita tampak sedih, sepertinya sedang mengalami kondisi yang tidak baik-baik saja.
"Kasian banget. Udah dua kali keguguran."
"Iya, kayaknya yang cewek emang lagi stres banget. Makanya kayak gitu."
"Ibu hamil emang bahaya kalau stres. Apalagi kalau udah besar. Rentan kena preeklamsia. Bahaya buat ibu sama bayi."
Percakapan dua perawat yang terdengar samar itu membuat Veni yang mendengarnya langsung kembali overthiking. Ia tak bisa menahan rasa takut dan khawatirnya. Yang membuat dirinya stres sendiri. Tapi jika terus menerus mengikuti napsu untuk memikirkan hal yang seharusnya tidak dipikirkan, justru hal itu akan membuatnya kembali terluka dan dalam bahaya.
"Ibu Veni, silakan masuk ke poli kandungan." Setelah ada panggilan dari dalam poli kandungan, Veni yang duduk di kursi roda langsung didorong oleh Mario. Mereka masuk bertiga.
Di dalam sudah ada dokter SpOG yang biasa memeriksa keadaan Veni setiap bulan.
Melihat Veni masuk ke ruangan, dokter itu tersenyum seolah tau apa yang sedang Veni pikirkan. Namun, tidak diutarakan karena melihat ada mama mertuanya yang ikut serta.
"Bagaimana keadaannya, Bu Veni?"
"Sehat, dok."
"Nggak, dok. Tadi dia pusing, kram perut, terus pingsan. Itu nggak sehat kan namanya, dok?" Dian menyambar pertanyaan dari dokter.
Sedangkan Veni dan Mario hanya diam.
"Silakan duduk dulu, Ibu, Bapak." Dokter menyuruh Mario dan Dian duduk di tempat yang tersedia. Sedangkan Veni duduk di kursi roda.
"Jadi, bagaimana kronologisnya, Bu?" tanya sang dokter pada Dian.
Dian menceritakan keadaan yang ia tahu. Tanpa sepengetahuan Dian, sebenarntta Veni memikirkan Dian hingga kepalanya pening dan perutnya terasa kencang. Tapi Dian hanya menceritakan bahwa Veni tiba-tiba merasa pusing dan perutnya kram lalu pingsan. Akan tetapi, Veni membiarkan saja cerita itu yang terungkap. Ia tak mau membuat mama mertuanya merasa bersalah jika dirinya mengatakan semua itu karena dia.
"Oh jadi begitu. Ibu Veni, ada yang dipikirkan nggak?"
"Hah?" Veni tersadar dari lamunan. Ia langsung menggeleng. "Nggak ada, dok."
Meski mengatakan tidak, dokter jtu paham apa yang dipikirkan oleh Veni.
Setelah itu, dokter bangkit dari duduknya. "Ya sudah, mari rebahan dulu. Biar saya periksa kandungannya." Sang dokter bersiap memakai stetoskop nya. Kemudian Mario langsung sigap membantu Veni untuk naik ke ranjang pemeriksaan.
Setelah Veni merebahkan diri, dokter pun memeriksa keadaannya. Detak jantung serta meminta asisten dokter untuk mengecek kadar Hb dengan metode cepat.
Sembari menunggu hasil keluar, dokter itu persiapan untuk melakukan USG. Melihat dokter bersiap akan melakukan USG, Tiba-tiba saja Veni menolak.
"Saya nggak mau di USG, dok."
Penolakan Veni membuat Mario dan Dian terkejut bukan main.
"Kenapa?" tanya dokter.
"Ven, kamu harus di USG biar keliatan anaknya cewek atau cowok." Dian kembali menyambar.
"Ibu, untuk jenis kelamin anak mohon jangan dipaku ya. Semua tergantung pemberian Tuhan. Dokter dan alat bisa saja salah, Bu. Ini hanya diagnosa sebelum melahirkan."
"Tapi, dok. Kemarin katanya cowok. Masa pas Veni jatuh tiba-tiba jenis kelaminnya nggak keliatan."
"Posisi bayi bisa saja berubah, Bu. Tapi untuk sekarang alangkah lebih baik mendoakan saja agar bayi dan ibunya selamat saat proses melahirkan nanti."
"Ya udah, dok. Sekarang di USG aja. Saya mau lihat cucu saya sehat atau nggak." Dengan sedikit wajah sewot, Dian menyuruh dokter untuk melakukan USG pada kandungan Veni.
"Nggak, Ma. Veni nggak mau."
"Kenapa sih, Ven?" Mama mertuanya mulai kesal.
"Ven, kalau kamu nggak mau di USG nanti kita nggak tau bayi kita kenapa-kenapa atau nggak." Mario mulai angkat bicara. Tapi tetap saja Veni menggeleng. Tak mau. Ia hanya takut jika nanti di USG dan ternyata jenis kelamin bayinya adalah perempuan. Berubah tanpa sepengetahuan. Meski hal itu sangat minim kemungkinan. Tapi Veni tetap takut dan tak mau melakukan USG.
"Kalau kamu nggak mau, mama nggak mau ngomong sama kamu sampai kamu lahiran." Mendengar ancaman mama mertuanya, Veni langsung berdebar. Ia takut. Jika mamanya mendiamkannya akan makin rumit. Sebab, ancaman mamanya itu adalah ancaman yang sebenarnya. Bukan hanya sekadar ancaman yang menakut-nakuti.
Setelah memikirkan baik-baik, akhirnya Veni mendesah pelan. Ia melihat ke arah sang dokter dan mengangguk. "Baiklah, dok. Saya mau di USG."
"USG ini juga bertujuan agar tau posisi bayi Bu Veni yang sempat sungsang. Agar bisa ditentukan juga untuk metode persalinannya. Mau normal atau Operasi Caesar. Jadi, mohon ijinnya untuk di USG ya, Bu."
Dokter itu meminta ijin dari sang pasien sesuai dengan kode etik. Maka dari itu, setelah mendapat persetujuan lisan dari Veni, dokter pun melakukan USG di perut Veni.
Beberapa saat terlihat di layar monitor USG, semua tercatat dari sana. Detak jantung hingga pergerakan bayi. Semua normal. Posisi bayi juga sudah normal. Mungkin karena Veni sering melakukan hal yang dianjurkan dokter agar posisi bayi bisa berubah menjadi posisi normal.
Sekarang posisi bayinya sudah normal dan membuat Veni bisa melahirkan secara normal tanpa operasi Caesar. Hal itu juga yang diinginkan oleh Dian dan juga Mario. Melahirkan secara normal lebih cepat sembuh daripada harus Caesar. Meski kebutuhan semua ibu itu berbeda. Tapi Dian dan Mario mewanti-wangi agar Veni bisa melahirkan secara normal.
"Jadi, jenis kelaminnya apa, dok?" Pertanyaan Dian tak pernah lupa. Sosok itu selalu saja menanyakan hal yang sama. Tapi pada akhirnya, dokter hanya bisa terkekeh sejenak.
Tak lama kemudian, setelah dokter melihat lebih lama lagi, jenis kelamin anak Veni tak terlihat. Hal itu semakin membuat Veni kepikiran, namun pada akhirnya Dian hanya mengdengkus kesal.
"Hadeh, bayinya tetep laki-laki pokoknya. Soalnya udah tujuh bulan kemarin itu laki-laki terus. Iya kan dok?"
"Kemungkinan besar seperti itu, Bu. Lebih baik sekarang mendoakan saja saat persalinan nanti dilancarkan dan bayinya juga sehat."
"Iya, dok. Terus kira-kira cucu saya lahir kapan?
" Hari perkiraan lahir sudah ditentukan. Sekitar tiga minggu lagi, Bu. Selama itu, mohon dengan sangat agar Bu Veni tidak dibebani dengan pikiran apapun. Sekarang tensinya naik lagi dan kadar Hb juga rendah. Nanti akan saya resepkan obat untuk Bu Veni."
"Biar normal semua apa aja yang harus dimakan Veni, dok?" tanya Mario sebagai suaminya.
"Untuk penurun kadar tensi, lebih baik kurangi penggunaan garam dapur. Kemudian, untuk menaikkan Hb, bisa diberi makanan sayur hijau-hijauan tapi janga dibarengi dengan minum teh. Kadar gula Bu Veni juga menurun, bisa ditambah dengan s**u hamil."
"Oh gitu, iya makasih sarannya, dok."
"Ini resepnya, nanti dibawa ke apotek ya, Bu." Dokter itu menyodorkan resep dengan tulisan khas dokter yang tak sembarang orang bisa membacanya.
Setelah keluar dari ruangan dokter SpOG, mereka pun langsung menuju ke apotek.
***
Akhirnya mereka pun pergi menuju apotik untuk mengambil obat yang sudah disediakan oleh dokter. Veni didorong dengan kursi roda oleh Mario, sedangkan Dian memimpin jalan menuju ke tempat apotik itu berada. Mereka berjalan dengan diam, Veni pun tidak banyak berbicara lagi karena memang perutnya sudah sering Keram dan rasa pusing masih menghantui dirinya.
“Makanya, kamu hati hati ya. Jangan kepikiraan apapun nanti dedenya sakit,” ucap Mario pelan pada Veni, yang akhirnya mengangguk secara perlahan.
“Kamu tuh harus dengerin kata-kata suami dan Mama biar anak kamu sehat. Kalau kamu enggak bisa lahiran normal kan lama sekali sembuhnya,” cerocos Dian yang melihat ke arah menantunya itu. Veni hanya pasrah melihat keceriwisan ibu mertuanya itu tanpa bisa melawan.
Pasalnya jika melawan nanti semuanya akan panjang, ini sudah tidak ada tenaga lagi untuk membela dirinya sendiri. Andaikata ibu mertuanya tetap saja mencecarnya dengan kata kata seperti itu, Veni tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan ke depannya. Walaupun nanya apa maksud dari Dian, akan tetapi kadang semuanya terasa sulit jika Dian tidak pengertian dengannya.
sebenarnya dia tidak masalah dengan apa Dian. Akan tetapi, Veni hanya tidak sanggup jika memang anaknya terlahir perempuan ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya nanti jika memang anaknya terlahir tidak sesuai dengan ekspektasi dari Mario serta ibunya. Terlebih lagi Dian yang memang menginginkan cucu laki laki dengan sangat-sangat berharap.
Selama ini, ini terus saja berharap harap cemas karena ia masih meragukan ke jenis kelamin anaknya sendiri. Apalagi temannya kemarin dan bercerita tentang jenis kelamin yang ternyata berbeda dengan apa yang terlihat di USG.
“Kamu ngelamunin apa?” tanya Mario sambil melihat ke arah Veni yang seperti tidak memiliki gairah hidup apa pun.
Veni menoleh ke arah Mario, kemudian menggeleng. Dian pun menatapnya juga karena pertanyaan mario tadi.
“Kamu kenapa Ven?” tanya Dian kepada Veni.
“Enggak kenapa-napa Ma, Mario, aku baik-baik aja,” jawab Veni pelan.
Akhirnya mereka pun sampai di depan apotek yang ada di rumah sakit. Dian dan Veni menunggu sementara Mario, dia pergi untuk mengambil obat-obatan yang diberikan oleh dokter kepada Veni.
“Kamu jangan keram-keram lagi, nanti kita bakalan nginap loh,” kata Dian sambil menatap ke arah menantunya itu dengan tatapan sedikit kesal namun perhatian.
“Iya Ma, Veni usahain,” balas Veni singkat.
Tubuh Veni serasa lemas karena ia menggunakannya untuk berfikir yang tidak tidak, sekarang ia pun merasakan lelah dan tidak sanggup untuk berkata apapun lagi. Padahal dirinya merasa tidak baik baik saja ternyata pikiran yang membuat dirinya tidak baik baik saja. Akhirnya Mario pun datang menghampiri mereka, mereka pun akhirnya siap untuk pulang ke rumah.
Akhirnya Dian, Mario, dan Veni. Keluar dari rumah sakit menuju rumah supermarket terdekat untuk Dian melakukan ritual belanja untuk menantunya ini. Veni sebenarnya malas ikut atau menunggu, namun paksaan Dian pada Mario membuat suaminya itu tak bisa berkutik selain mengiyakan apa yang Dian.
“Kamu tunggu disini aja. Enggak usah masuk. Biar Mama sendiri aja yang masuk,” Dian akhirnya meninggalkan Mario dan Veni yang sebenarnya sudah siap untuk turun.
“Perutnya kram lagi?” tanya Mario seraya mengelus perut buncit Veni.
Veni menggeleng, ia sudah tidak merasakan apa pun selain ketakutan akan jenis kelamin anaknya sendiri. Entah kenapa, sukit mempercayai dokter itu jika jenis kelaminnya laki-laki.
“Kamu kepikiran apa sih? Kok kayanya panjang banget mikirnya?” tanya Mario yang juga masih memperhatikan gerak gerik dari Veni.
“Aku cuma kepikiran kalau misalnya aku juga sama kaya temanku itu. Enggak sama jenis kelamin anak kita dari ekspektasi,” lirih Veni.
Sudah hampir sembilan bulan dan anaknya pun belum kunjung diketahui secara pasti apa jenis kelaminnya. Melihat Dian yang semangat dengan cucu laki-laki pun membuat dirinya tambah kepikiran.
Mario tersenyum singkat dan mengelus kepala Veni. Ia mencoba untuk memberikan istrinya itu ketenangan walaupun sebenarnya dia juga tak tahu harus bereaksi seperti apa karena ia juga menginginkan anak laki-laki untuk meneruskan apa yang sudah ia capai dan ia siapkan.
“Kamu tenang aja, dokter kan kemarin bilang laki-laki,”
“Tapi kan dokter juga bilang kalau jenis kelamin ini enggak jadi patokan. Pemberian Tuhan itu sulit di prediksi,” kata Veni yang membuat Mario tadinya tenang kemudian menatapnya bingung.
“Kamu enggak mau anak kamu laki-laki?” tanya Mario pada veni yang menatapnya dengan tatapan tak percaya.
Tak percaya dengan pemikiran Mario yang malah salah paham. Ia menginginkan semua jenis kelamin yang nantinya akan diberikan kepada anaknya. Akan tetapi lingkungannya malah membuatnya seperti ikut-ikutan menginginkan anaknya laki-laki.
“Bukan gitu,” jawab Veni sambil menatap ke Mario dengan tatapan tak enak dan ingin menangis saja rasanya.
“Jadi gimana? Dari apa yang kamu bilang, aku nangkepnya kamu emang nggak mau punya anak lagi lagi, dan pengen punya anak perempuan.”
“ bukan gitu, aku mau apa aja dan jenis kelamin dari anak kita. Mau dia laki-laki, mau dia perempuan, aku nggak peduli sesama iya masih sehat, masih bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik aku nggak masalah,”
“Terus apa yang kamu khawatirin?”
“Aku cuma khawatir kalian kecewa,”
“Dengan kamu kaya gini, malah ngebahayain bayi kita tau? Jadi jangan mikir yang aneh-aneh lagi kalau misalnya kamu enggak mau ketemu sama dokter lagi,” kata Mario yang membuat Veni mau tidak mau mengangguk paham.
Tak berapa lama mamanya datang dengan menenteng lumayan banyak tentengan plus troli yang dibawakan oleh staf supermarket. Veni melihat tentengan itu sedikit ngeri, apa saja yang dibelikan Veni saja tidak bisa menebak-nebak.
Akhirnya Mario turun untuk mengambil barang-barang belanjaan dian yang kemudian ia masukkan ke dalam bagasi. Staff supermarket pun menolong mario untuk mengangkat barang-barang yang dibeli Dian.
“Mama borong apa sih?” tanya Mario yang juga keheranan dengan barang bawaan yang banyak ini.
“Banyak, ada makanan buat si ibu, buat cucu mama,” jelas Dian tidak terlalu detail karena dia pun malas menjelaskannya nanti juga mereka tahu.
Mereka pun pergi dari parkiran super market. Dian menyodorkan makanan yang manis namun tidak terlalu manis untuk Veni. Veni tersenyum, ternyata dibalik keceriwisannya yang membuat kepala Veni hampir pecah, ia begitu perhatian dan baik.
Kadang rasanya Veni ingin mengeluh memiliki mertua seperti ini. Namun dikondisi tertentu ia justru merasa sangat beruntung. Apalagi sekarang bahkan Veni diperhatikan oleh Dian.
“Enak enggak?” tanya Dian pada Veni.
“Enak Ma, ada rasa asamnya tapi enggak asam banget gitu loh,”
“Yaudah kalau gitu, dihabisin,” kata Dian sambil menutup bungkusan berisi makanan yang Veni makan.