Veni sibuk mengunyah selama diperjalanan, ia pun tak terlalu memperhatikan jalan ataupun pembicaraan ibu dan anak itu yang membahas tentang bayi yang ada di perut Veni. Makanan tiba-tiba membuatnya lupa akan semua hal yang tadinya ia pikirkan.
Setelah sampai, Veni dengan cepat turun dari mobil Mario dan meninggalkan Mario serta Dian yang masih menurunkan barang barang yang dia beli. Percuma saja dia berada di sana, Dian dan Mario tak akan membuat dirinya mengangkat barang barang yang dibawa oleh Dian. Akhirnya Veni pun memutuskan untuk langsung menuju ke kamarnya untuk membersikan seluruh badannya terasa lengket.
Mario dan Dian pun membiarkan Veni mengerjakan apa yang ia inginkan, karena mereka juga tidak ingin membuat Veni tambah stress. Apalagi Mario sudah memergoki seni beberapa kali melamun memikirkan apa yang tidak bisa Mario pikirkan.
“Mama tuh jangan menekan Veni terus, nanti dia jadi makin sakit,” kata Mario kepada Dian.
Dian mendelik, menatap Mario dengan kesal. Seharusnya mereka tidak mendikte ibunya seperti itu, apalagi sebenarnya dia tidak bermaksud untuk menekan Veni. Dan juga tahu apa yang ia lakukan terkadang membuat Dian malah memikirkan nya secara keras, namun Dian juga tidak sengaja melakukan hal itu karena ia terlalu khawatir.
“Mertua mana sih yang mau nekan Menantunya sendiri? Mama tuh nggak mau bikin Veni kepikiran tapi kadang mama malah yang mikir mikir kenapa Veni begitu mama tuh khawatir....”
“Tapi kadang sini jadi kepikiraan Mah, kurang kurangin bikin Veni kepikirannya. Nanti perutnya bakalan keram terus atau nggak dia bakalan naik terus tensinya. Jangan dimanjain juga makanannya liat nih apa yang mama beli coba banyak banget, nanti malah kadar gula dalam darahnya tinggi,”
“Kamu kenapa udah kayak ibu ibu sih? Bawel banget, tahu mama tuh apa yang bakalan mama lakuin. Kamu nggak usah ikut campur deh ini urusan perempuan,” ucap Dian sambil menatap ke arah anak laki laki nya itu dengan tatapan dingin. Kemudian Dian pun meninggalkan Mario untuk membawakan barang barang sisaan yang tidak bisa dibawa oleh Dian. Akhirnya Mario pun ditinggalkan bersama barang barang yang banyak sekali itu.
Mario hanya bisa menatap punggung ibunya dengan tatapan kesal namun ia tidak bisa berbuat apa apa. Apalagi ia juga sebenarnya tidak terlalu mengerti masalah kehamilan ataupun perempuan karena memang Mario selalu meminta bantuan Dian.
Jauh didalam lubuk hati Mario, Mario mengkhawatirkan anak yang ada di dalam perut Veni beserta ibunya juga. Sebenarnya ia juga khawatir dengan jenis kelamin yang tak kunjung tampak namun ia tidak bisa mengutarakan isi pikiran hatinya karena ia takut dengan apa yang akan terjadi setelah Veni tahu jika dia pun sedikit ragu.
Namun buru buru Maria menyingkir kan rasa keraguannya dengan keoptimisan, ia yakin sekali anaknya laki laki dan mampu melanjutkan apa yang sudah ia persiapan untuk anaknya itu. Mario pun tidak sabar untuk melihat anaknya langsung dan mengajarkannya bagaimana cara mengolah dan menjaga perusahaan nya agar tetap berjalan dengan lancar.
Dengan perasaan senang Mario pun masuk ke dalam, ia tidak sabar selagi akan melihat bayinya segera. Ia berharap bayinya sehat dan kuat serta mampu menjadi penerang kehidupannya kelak. Mario pun meletakkan barang yang sudah ia bawa ke dapur, dimana Dian sedang menyiapkan bahan yang akan ia masak.
“ mama emang mau masak apa sih?” tanya Mario penasaran dengan kehebohan ibu kandungnya bersama mba yang ada di rumahnya.
“Kepo, sana lihat istri kamu lagi ngapain,” suruh Dian yang tak membiarkan Mario merecoki moodnya yang sudah senang ini.
Melihat responden yang sebenarnya masih merajuk kepada Mario, akhirnya Mario pun memutuskan untuk menjenguk Veni alias melihat apa yang sedang dilakukan oleh istrinya itu. Dian pun membiarkan Maria tanpa basa basi karena ia pun sebenarnya masih kesal, karena anaknya itu terkesan tidak percaya dengan nya dan itu membuat nya sedih.
Mario pun akhirnya sampai di kamar dan membuka pintu kamar, dilihat Veni sedang mengelus perutnya menggunakan lotion yang sebenarnya memang digunakan untuk ibu hamil agar stretch mark yang ada di perutnya tidak terlalu kelihatan dan tersamarkan.
“Mau aku bantu?” tanya Mario begitu ia menutup pintu kamarnya bersama Veni. Veni menatap ke arah Mario pun menggeleng.
“Udah selesai,” kata Veni dan ingin mengeringkan rambutnya.
“Sini aku aja yang keringin,” kata Mario mengambil alih hair dryer yang dipegang oleh Veni.
Ini tersenyum melihat kelakuan manis Mario, yang ingin mengeringkan rambutnya. Padahal Veni tidak keberatan untuk mengeringkan rambutnya sendiri karena memang ia sudah terbiasa mengeringkan rambutnya yang panjang itu sendiri. Akan tetapi Mario tidak membiarkan istrinya itu untuk mengeringkan rambutnya sendiri, Mario takut Veni akan pegal dan perutnya ikut tertarik. Padahal sebenarnya tidak seperti itu.
“Shampoo kamu harum,” puji Mario yang menyukai shampoo baru yang Veni kenakan.
“Kamu boleh pake loh,” kata Veni senang kemudian Mario tersenyum.
“Masa nanti rambut aku wanginya strawberry?” tanya Mario sambil melihat Veni yang cekikikan.
“Enggak papa dong, biar nanti client kamu jadi pengin makan strawberry,” kata Veni sambil melihat ke arah Mario yang menggeleng.
Mereka pun berbincang ini ada itu sambil Mario mengeringkan rambut Veni. Veni kadang bertanya tentang pekerjaan Mario ataupun kesulitan Mario saat mereka belum berjumpa dahulu. Mario pun begitu, bertanya tentang apa yang sulit untuk Veni setelah menikah.
Perbincangan itu pun berhenti saat rambut Veni sudah kering seratus persen. Mario pun mematikan Hair dryernya dan meletakkannya di tempatnya semula.
“Aduh!” pekik Veni saat bangun dari duduknya di walking closet. Mario yang berada di sampingnya pun ikutan panik.
“Kenapa?” tanya Mario kepada Veni.
“Keram lagi,” lirih Veni sambil memegangi perutnya dan mencari pegangan untuk meletakkan beban badannya sebentar.
Tentu saja Mario langsung sigap memegangi ibu hamil itu dan melihat wajah Veni mengekspresikan kesakitan. Mario pun bingung apa yang harus ia lakukan saat ini selain memegangi Veni dan menuntunnya ke kasur.
“Aku gendong aja?“ tawar Mario yang tak tega melihat Veni kesakitan, lebih tepatnya lagi panik melihat keadaan Veni.
Veni menggeleng, ia tak mau digendong sama sekali dan memutuskan untuk menahan keram diperutnya dan berjalan secara perlahan. Kemudian ia pun sampai di kasur dan dibantu oleh Mario untuk tidur telentang.
“Kamu sekarang sering banget keram loh,” kata Mario dan Veni mengangguk, ia sangat tahu apa yang terjadi sekarang tanpa diberitahu oleh Mario.
“Aku kan juga enggak tahu kenapa,”
“Ya udah, kamu tiduran aja enggak usah kebanyakan gerak. Nanti aku bawain makanannya ke kamar,” ucap Mario mutlak, Veni hanya dapat mengangguk tanpa mau membantah keputusan dari Mario.
***
Veni berbaring dan kemudian ia pun Mengistirahatkan tubuhnya, memenjamkan mata nya untuk sesaat agar meredakan Keram di perutnya. Mario turun untuk menemui Dian dan memberitahu kepada Dian bahwa perutnya Veni mulai Keram lagi.
"Mah, perutnya apa ini Keram lagi tuh. Tadinya dia abis aku keringin di walking kloset terus tiba tiba dia yang mengaduh perutnya sakit,"
"Kok bisa? Jadi sekarang gimana?" tanya Dian pada Mario yang duduk di kursi dekat Dian memasak.
"Aku bawa ke kasur dan aku suruh tidur," jawab Mario dan Dian pun mengangguk.
"Ya sudah, kamu temanin aja. Biar Mama yang bawa makanannya kalau udah selesai," Dian menyuruh anaknya itu untuk menemani Veni yang masih terbaring di kasurnya saat ini.
" nggak papa mama, sekalian aja aku ke atas jadi mama nggak bolak balik. Nanti mama capek kakinya, nanti aku juga yang repot ngurusin dua orang sakit," ujar Mario yang tidak ingin ibunya bolak-balik melihat Veni.
Sebenarnya bagus juga jika ibunya tidak bertemu dengan Veni, nanti malah Veni disuruh untuk mendengarkan ocehannya. Jika Veni sudah diomeli biasanya Mario pun tak dapat membantunya. Akhirnya Dian pun hanya mengangguk pasrah dan kembali memasak makanan untuk Veni.
"Mbak jangan lama-lama masaknya," perintah Dian yang melihat pembantunya yang membantunya masak itu.
"Baik Bu," ujar Mbak karena tak ingin dimarahi oleh Dian.
Akhirnya Mario pun membawakan makanan untuk Veni dengan bantuan Mbak. Pasalnya Dian takut Mario tidak becus membawa piring berisi lauk pauk dan nasi merah.
Mario membukakan pintu untuk mbak masuk, mbak pun masuk dan melihat Veni yang sedang tertidur dan mau dan menghadap ke arah samping. Mbak meletakkan piring nasi beserta lauk Pauk di nakas dekat dengan Veni.
" Ada yang bisa saya bantu lagi pak?" tanya Mbak pada Mario yang menggeleng.
"Udah bisa ditinggal, Mbak. Kalau kurang nanti saya panggil," kata Mario dan Mbak pun pergi meninggalkan kamar Mario dan Veni.
Mario menyentuk tangan Veni dengan lembut dan menggoyangkannya pelan takut mengganggu. Veni yang awalnya sudah tertidur sedikit pun akhirnya bangun dan melihat ke arah Mario.
"Makan dulu, baru tidur lagi," ucap Mario sembari mempersiapkan meja kecil yang memang sudah disediakan di dekat tempat tidur Veni.
Veni hanya pasrah dan bangun sebentar dari tidurnya. Rasanya perutnya sudah kembali seperti semula, tidak terlalu kencang dan Keram lagi. Untungnyaa Mario pun tahu bagaimana cara memperlakukan Veni yang sedang sakit ini.
Ini berharap agar perutnya tidak terjadi kram lagi karena Dhani tahu, Keram perutnya menyebabkan kesusahan untuk semua orang terutama Mario dan Dian. Tiba tiba Veni terpikir untuk bermain dengan Bhiya. Namun cepat-cepat ia menggelengkan kepalanya karena tak mungkin Mario akan mengizinkannya bercengkrama dengan iparnya itu.
"Sakit lagi?" tanya Mario kepada Veni yang menggelengkan kepalanya. Mario terlihat khawatir, takut keramnya semakin menjadi dan ia berencana untuk membawa istrinya itu pergi ke rumah sakit.
"Eh, engga," kata Veni yang tersadar bahwa dirinya menggelengkan kepala begitu saja.
"Kenapa?" tanya Mario tahu ada yang dipikirkan Veni.
"Aku tiba-tiba pengen main sama Bhiya, pengen Bhiya ngelus perut aku lagi," cicit Veni yang membuat Mario membulatkan matanya.
"Gimana?" ulang Mario lagi karena takut salah mendengar namanya.
"Mau main sama Bhiya," jawab Veni dengan tatapan yang takut-takut.
"Enggak ada orang lain apa selain dia? Kamu tahu kan dia bakalan susah buat aku undang kesini karena abang aku yang posesif itu?" tanya Mario lagi dan benar kata Veni, Mario takkan mau mengizinkannya menemui Bhiya yang notabenenya adalah kakak iparnya.
"Padahal aku sama Bhiya baik baik aja. Kamu aja sama abang kamu itu yang bermasalah, jangan bawa aku sama bisa dong!"
"Bukan gitu Veni, tapi kan kamu tahu keadaan kita sekarang gimana. Makanya aku nggak bisa sembarangan mengundang dia ataupun Izinin kamu untuk main sama Bhiya. Apalagi kakak aku lagi sensitif banget sama kamu, nanti bisa bisa kamu yang jadi ribet sendiri,"
"Jadi kamu nggak ngizinin aku untuk main sama dia?" tanya Veni kepada Mario dengan tatapan yang Melas, karena ia tahu Maria akan merasa kasihan dengan ekspresinya yang ia pasang saat ini.
Apalagi Mario selalu menuruti apa yang ia inginkan, Veni mencari cari didalam kepalanya lagi untuk segera bertemu dengan Bhiya. Entah kenapa Bhiya sekarang berada di dalam pikirannya dan tidak bisa keluar dan dilupakan. Sepertinya Veni mengidam, anaknya ingin bertemu dengan tantenya sendiri.
Mario melihat ekspresi membalas Veni pun menjadi tiga tidak tega, tapi ia ragu apakah kakak akan berikan izin Bhiya untuk bermain di rumahnya. Apalagi keadaan semakin memanas di mana Veni sudah hamil dan sedangkan biaya sulit untuk hamil.
"Aku takut ngasih kamu harapan palsu kalau aku iyain kamu," kata Mario secara lugas yang membuat Veni akhirnya diam dan memalingkan wajahnya dari Mario.
"Yaudah kalau begitu," jawab Veni dengan datar dan memakan makanannya dalam diam.
Mario hendak meletakkan makanan yang sudah di bawa oleh Mbak ke piring Veni namun Veni menolaknya. Ia menatap ke arah makanan tanpa mau melihat ke arah Mario yang sudah hampir pasrah dengan sikap Veni saat ini.
"Aku bisa sendiri," kata Veni singkat dan menyuapkan makananya ke dalam mulutnya.
Semenjak tensinya naik rasa makanan yang ia makan terasa Hambar, apalagi garam atau gula tidak diberikan oleh dan secara pas atau seperti biasanya lagi. Mau tak mau Veni harus memakannya karena ia tak mau juga lidahnya menjadi manja dan menyebabkan sesuatu terjadi pada anaknya.
Mario menatap Veni dengan frustasi, istrinya sekarang merajuk dan Mario gemas sekali. Harusnya tidak perlu dirajukkan dan Veni harus mengerti dengan keadaan. Namun Veni malah menyulitkannya sekarang.
"Coba kamu kalau dikasih tau itu introspeksi diri, jangan bandel!" ujar Mario yang tak tahu lagi harus memberi tahu apa kepada Veni.
"Iya," jawab veni singkat.
"Kamu tahu kan, ini nyusahin tau enggak? Aku capek kalau kamu manja banget kaya gini. Aku enggak bisa nurutin kamu, terus kamu marah," kata Mario akhirnya mengelusrkan semua unek-unek yang harusnya ia tahan saja.
Mendengar itu Veni menetap Karah Mario dengan tetapan tak percaya, ia tak percaya dengan apa yang ada dipikiran Maria selama ini. Jika berbicara tentang masalah tentu saja ini merasa lelah, hormon hormon hamil ini membuat dirinya sebenarnya susah juga. Ia tak mau menjadi wanita manja, ia juga tidak mau merasakan sakit Keram pada perutnya, ia juga tidak mau menyebutkan bayinya yang ada di dalam perutnya saat ini.
Akan tetapi kenapa Mario berucap seperti itu kepadanya, ia tak tahu harus bersikap apalagi atau merespon apalagi terhadap ucapan Mario. hingga tak terasa, air mata jatuh di pipinya namun Veni tetap melanjutkan makanannya sambil menangis dalam diam.
"Kamu dengar?" tanya Mario yang masih belum sadar jika Veni menangis karena sakit hati.
"Denger enggak, Veni?" tanya Mario sedikit menaikkan nada bicaranya dari yang biasa.
"Paham," jawaban singkat Veni akhirnya menyadarkan Mario bahwa Veni sedang menangis.
Veni menunduk semakin dalam, apalagi mendengar nada bicara Mario yang semakin naik tadi. Membuat dirinya sedih ternyata suaminya tidak begitu ingin berada di posisinya saat ini, hari itu juga memicu pikiran Veni kembali bagaimana jika nanti Mario tidak lagi perhatian kepadanya atau anaknya.
Mario yang melihat itu pun merasa bersalah, artinya ia sadar bahwa apa yang ia ucapkan membuat Veni sakit hati. Seharusnya dia tidak boleh mengeluh kepada Veni karena yang dirasakan Veni mungkin lebih dari apa yang ia rasakan. Akhirnya Mario pun memegang bahu Veni, namun Veni tidak mau disentuh oleh Mario.
"Veni, maaf...." lirih Mario yang merasa kelakuannya saat ini tidak patut untuk di tiru.
“Aku enggak papa,” kata Veni sambil mengusap air mata yang masih mengalir lumayan deras di pipinya.
“Aku cuma….” Ucapan Mario terhenti karena Veni mendongakkan kepalanya, Veni menatap ke arah Mario dengan tatapan kecewa.
“Ternyata gitu ya pikiran kamu terhadap aku? Aku kayaknya beban banget ya....” Veni melihat ke arah Mario yang tentunya langsung menggeleng dengan cepat.
“Maaf kalau emang kamu capek ngadepin aku yang manja, maaf juga karena aku kaku jadi enggak bisa konsentrasi kemana-mana, aku minta maaf,” kata Veni sambil menatap ke arah Mario yang mencoba menjelaskan bahwa apa yang dikatakan olehnya adalah semata-mata emosinya saja karena gemas dengan kelakukan Veni.
“Veni, aku sama sekali enggak capek dan sama sekali enggak keberatan, maafin aku,” kata Mario namun Veni menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu kalau misalnya kamu memang benar-benar capek. Enggak usah engga enak sama aku, kita kan suami istri,”
“Justru karena itu, kita suami istri dan enggak mungkin aku ngerasa begitu sama kamu. Maaf, tadi aku kebaaa emosi karena kamu mintanya ketemu sama Bhiya,”
“Sampai saat ini pun aku masih mau ketemu sama Bhiya,” Veni sudah memantapkan keputusannya dan hal tersebut membuat Mario semakin frustasi.
“Please, Ven. Aku enggak bisa nurutin yang itu,” kata Mario.
“Ya kamu kalo capek nggak usah diturutin, aku bisa kok ngehubungin Bhiya sendiri, datang ke tempat Bhiya. Kamu nggak perlu mengeluarkan effort apapun karena aku bisa sendiri.”
“Enggak gitu dong Veni, aku mau mengeluarkan effort apapun untuk kamu, aku sama sekali enggak masalah. Kalau kamu mau beli nasi kenuli di Malaysia pun aku jabanin. Tapi kalau ini susah, Veni….”
“Apa yang susah?!” tanya Veni.
Akhirnya Mario diam tidak ingin ber bicara lebih lanjut kepada Veni, percuma saja kalau jika ia berbicara karena Veni tidak akan mengerti apapun yang diucapkan oleh Mario saat itu. Mario pun sadar, mungkin ini adalah keinginan bayinya untuk bertemu dengan Bhiya namun ia takut jika nanti keinginan Veni akan menyusahkan dia ataupun suaminya yang notabenenya nya adalah kakak kandungnya sendiri.
Karena tidak melihat respon apapun dari Mario, akhirnya saya pun memutuskan untuk turun dari kasur nya dan meninggalkan Mario. Tiba tiba saja nafsu makan hilang apalagi tidak ada rasa dan Mario pun berbuat seperti itu akhirnya Veni memutuskan untuk turun ke bawah.
Mario tidak berusaha untuk mengajar Veni karena ia tahu Veni membutuhkan waktu untuk sendiri. Akhirnya Mario pun membereskan piring piring yang ada dan menyuruh mbak untuk menjemputnya via telepon. Akhirnya ini pun sampai di depan Dian, mungkin dia bisa membantunya untuk bertemu dengan Bhiya.
“Kamu kok turun? Bukannya tadi perut kamu keram?” tanya Dian kaget dengan keberadaan menantunya dengan wajah sembab.
“Kamu nangis, Nak?” tanya Dian dengan tatapan bingung. Apa yang dilakukan oleh Mario sehingga Veni menangis.
“Aku pengen ketemu sama Bhiya tapi Mario enggak ngizinin,” Veni akhirnya mengadu kelakuan anak laki-lakinya itu kepada Dian.
“Kenapa dia enggak kasih?” tanya Dian kepada Veni dan tentu saja Veni juga tidak menemukan jawaban yang pasti.
Sebenarnya secara rahasia Mario masih menyimpan sedikit rasa untuk Bhiya, ia masih tidak bisa melupakan Bhiya yang notabenenya adalah mantan pacarnya sendiri. Ia tidak bisa melihat dia disakiti oleh ibunya sendiri apalagi ketika ia harus bertemu dengan kakak nya sendiri yang merebut pacarnya itu.
Makanya dengan keras Mario memberikan banyak alasan untuk Veni agar tidak mempertemukan Bhiya dengan ibunya sendiri. Saat asik-asiknya tenggelam dalam pikiran, tiba-tiba terdengar teriakam dari dapur.
Mario pun berlari untuk melihat apa yang terjadi saat ini. Terlihat Dian panik dan Veni sedang menahan rasa sakit. Mario berlari menuju ke istrinya itu dengan perasaan campur aduk antara panik dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Ke rumah sakit,” Dian yang memimpin jalan untuk mengantar Veni ke rumah sakit. Namun Veni menggeleng dan monta diturunkan.
“Kenapa?” tanya Mario yang takut jika Veni masih marah padanya di saat genting seperti ini.
Apalagi posisinya Maria sedang menggendong Veni, namun Veni tidak digendong oleh Mario pun minta turun. Mario masih tidak mengizinkan Veni untuk turun dari gendongannya, Dian menatap menantunya itu dengan bingung.
“Aku udah enggak keram lagi,” kata Veni sambil berusaha untuk turun dari gendongan Mario. Akhirnya mario pun menurunkan Veni.
“Serius?” tanya Mario yang takitnya Veni hanya berpura-pura baik namun ternyata ia masih marah dengan Mario.
“Udah enggak,”
“Ya sudah, kalau gitu kamu masuk ke kamar. Mama bakalan panggil Bhiya besok,” kata Dian yang akhirnya menuruti apa yang di maksud oleh Veni.
Mendengar itu Veni tersenyum sumringah, akhirnya ia akan bertemu dengan Bhiya lagi setelah sekian lama. Mario mendengar itu pun menatap ke arah ibunya dengan tatapan tak percaya.
“Ma?”
“Kenapa?” tanya Dian ketika Mario memanggilnya.
“Mama tahu kan aku sama kakak enggak baik, emang kakak mau ngizinin istrinya ke sini?” tanya Mario kepada Dian.
“Emang pangkat kakak kamu di keluarga ini setinggi pangkat mama?” tanya Dian balik dan membuat Mario terdiam.
Sekarang gantian, Mario yang merasa kesal dengan Veni yang selalu mengadukan apa yang ia inginkan kepada Dian. Akhirnya Dian pun mau mengiya kan apa yang Veni mau.
Tanpa banyak basa-basi Mario pun beranjak dari hadapan Veni dan Dian menuju kamarnya untuk mandi. Saat ini keinginannya benar-benar gagal menjauhkan Dian dari Veni ataupun Bhiya.
“Kamu nyusul sana,”