"Harapan agar tidak ada kekecewaan adalah sebuah kecewa yang sesungguhnya. Sebab, berharap bahwa seseorang untuk tidak kecewa itu sangat mustahil untuk sekarang."
***
Dalam perjalanan pulang dari rumah umi dan abi Veni, Veni dan Mario bercakap beberapa hal. Dari mulai membicarakan orang yang tengah asyik menjalankan motor dengan sesuka hati, membicarakan pemuda yang tengah dimadu asmara dan bermesraan di atas motor, apalagi saat melihat para pemuda itu saling bercanda tawa di perjalanan yang membuat orang lain geleng kepala karena merasa seperti ngontrak di bumi.
Veni tidak menyalahkan para pemuda yang tengah di mabuk asmara itu. Hanya saja ia sedikit iri karena belum pernah merasakannya. Mario dan dirinya menikah terlalu cepat. Mereka belum sempat merasakan pacaran setelah menikah seperti halnya para pemuda tadi. Karena mereka menikah langsung dikaruniai seorang buah hati yang membuatnya harus naik mobil setiap waktu. Padahal ia juga ingin merasakan naik motor dan berkeliling kota hingga malam tiba. Tapi apa daya, ia harus menerima kehadiran sang buah hati dengan tulus dan sabar. Mungkin setelah melahirkan, ia bisa meminta Mario untuk mengabulkan keinginan sederhananya itu.
"Kamu kenapa lihatin mereka terus?" tanya Mario heran karena istrinya terus menatap kedua pasangan yang tengah asyik berpelukan naik motor itu.
"Pengen kayak mereka."
"Kamu pengen pacaran naik motor kayak mereka?" Mario terkekeh mendengar keinginan sangat istri yang ada-ada saja.
Veni mengangguk dengan polos. Ia langsung bergelayut di tangan sang suami yang tengah menyetir. "Aku pengen pacaran kayak gitu sama kamu, Mario."
"Tapi kamu lagi hamil gede loh, Sayang. Nanti aja kalau dedeknya udah lahir ya. Nanti aku ajak kamu naik motor keliling kota."
Mario menoel gemas hidung sang istri yang masih bergelayut manja di tangannya.
Setelah itu Veni berdiri tengah. Memandang Mario dengan semangat. Matanya berbinar. "Serius? Yakin? Janj?"
"Yakin dong. Janji deh sama kamu."
"Beneran ya."
"Iya, Sayang."
"Tapi kan kamu nggak punya motor, Mar." Veni mendadak sendu. Namun, Mario langsung mengusap kepala sang istri dengan lembut.
"Tenang aja, setelah bayi kita lahir, aku langsung syukuran beli motor baru. Terus setelah kamu memungkinkan untuk naik motor, kita jalan-jalan kayak mereka."
Veni terkekeh gembira. "Yey! Nanti kita jalan-jalan keliling kota naik motor. Sambil ngobrol dan bilang hah heh tiap waktu kita nggak denger apa yang kita ucapin. Terus pas di lampu lalu lintas gini kamu elus-elus lutut atau betisku. Terus pas kita jalan, kamu arahi kaca spion kamu yang kiri ke aku. Biar kamu bisa terus liatin aku yang bonceng di belakang. Terus kalau hujan, kita hujan-hujanan bareng deh."
"Yang terakhir nggak setuju ah. Nanti kamu sakit, Sayang."
"Tapi seru kan?"
"Lainnya seru kok. Tapi yang hujan-hujanan nggak mau. Nanti kamu sakit."
"Ish, Mario. Kan cuma sebentar dan sesekali loh."
Mario tersenyum. Setelah mobilnya berhenti di rambu lalu lintas yang tengah menunjukkan lampu merah Mario menatap Veni dengan sendu. "Iya deh. Apapun yang kamu minta pasti aku turutin. Semoga aja, dedek bayi juga nggak ngecewain Ayah ya."
"Dedek bayi ngecewain gimana emang?"
"Dia harus lahir dengan sehat, sempurna, dan tentunya bisa menjadi penerus perusahaan Ayah kelak. Harus menjadi orang yang kuat. Laki-laki yang hebat."
Veni tersenyum sendu mendengarnya. "Aamiin. Semoga doa Ayah terkabul."
Setelah percakapan yang begitu riang, Veni akhirnya terlelap selama perjalanan. Sosok itu selalu saja tertidur saat perjalanan karena mungkin terlalu asyik menikmati suasana hening dalam mobil.
Beberapa saat kemudian akhirnya perjalanan mereka berakhir. Seperti biasa, Mario akan berhenti sejenak di dalam mobil sembari menunggu Veni terbangun karena merasa sudah sampai. Ia terus menatap wajah teduh sang istri yang tengah terlelap. Meski pucat, tapi Veni sungguh pandai menutupinya dengan make up. Wajahnya imut dan menggemaskan. Sepertinya Mario tak salah memilih Veni sebagai pasangan hidupnya. Sempurna. Apalagi ditambah nanti jika Veni melahirkan seorang anak lelaki. Pastilah Mario akan merasa sangat bahagia.
"Eurgh.." Akhirnya Veni menggeliat dalam tidur. Sepertinya ia tersadar jika mobilnya sudah berhenti melaju. Matanya terbuka perlahan dan melihat ke kiri lalu ke kanan. Wajah sang suami yang terlihat.
"Udah sampai. Kita turun dan kamu lanjut tidur di kamar aja yuk."
"Kenapa kamu nggak bangunin aku aja sih, Mar? Biar kamu nggak nungguin aku kayak gini."
"Nggak apa-apa sih. Aku suka aja lihat kamu tidur. Kelihatan natural cantiknya."
Wajah Veni langsung memerah karena malu. Hal itu membuat Mario yang melihatnya sangat gemas.
"Mau jalan sendiri atau aku gendong aja?" tanya Mario lebih ke menawarkan.
"Nggak. Aku jalan sendiri aja. Perutku udah gede, Mar. Kamu nggak akan kuat gendong aku." Veni sudah siap-siap melepas sabuk pengamannya. Kemudian terlihat Mario keluar mobil lebih dulu. Ia menuju membukakan pintu mobil sang istri. Setelah Veni keluar dari mobil, Veni berjalan digandeng oleh Mario. Sesekali Mario menciumi tangan sang istri karena entah mengapa ia seperti jatuh cinta berulang setiap saat.
"Geli, Mar. Jangan diciumin mulu ah."
"Wah, wah, yang baru pulang dari mudik. Kayaknya makin so sweet apa nih?" Dian datang dari dalam dan menyambut anak serta menantunya datang.
"Ah, Mama. Mario aja nih yang manja. Suka banget cium-cium tangan Veni."
Dian terkekeh. "Malah bagus dong. Itu meningkatkan rasa cinta kalian. Ditambah nanti Baby Boy lahir. Pasti cinta kalian makin erat."
Veni tersenyum dan mengangguk. Ia menerima saja apa yang dikatakan oleh mama mertua padanya.
Setelah mereka masuk, mereka langsung duduk di ruang tamu untuk merehatkan kakinya sejenak. Perjalana yang panjang juga membuat punggung mereka terasa pegal. Hingga mereka harus duduk rileks di sofa. Terutama Veni yang tengah mengandung dan rasa punggungnya selalu sakit.
"Kamu mau makan apa, Ven? Biar mana yang masakin."
"Ah, nggak usah, Ma. Tadi udah makan di rumah Umi kok."
"Oh gitu ya. Kamu mau cemilan apa? Biar mama bikinin."
Veni menggeleng lagi. "Ah nggak perlu juga, Ma. Mama di sini aja nemenin Veni cerita-cerita. Tadi Veni udah dibawain oleh-oleh kue buatannya Umi."
"Oh, gitu. Ya udah, mama masuk ke kamar dulu."
Melihat mamanya melenggang pergi, membuat Veni mengernyitkan dahi. "Mama kenapa?" gumam Veni.
Gumaman itu terdengar oleh Mario yang duduk di sisinya.
"Kayaknya mama kesel karena kamu nolak semua keinginan mama buat masakin kamu deh."
"Tapi aku kan nggak mau ngerepotin mama."
"Iya aku paham sih. Mungkin mama lagi kangen aja sama kamu. Makanya dia nawarin makanan ke kamu. Tapi kamu malah nolak."
"Terus aku harus gimana dong?"
"Coba bujuk mama aja deh. Minta masakin apa gitu. Ntar mama juga bakal luluh."
Veni terdiam sesaat. Ia melihat kamar sang mama mertua yang sudah tertutup rapat, rasanya seperti tak sampai hati membiarkan mama mertuanya seperti itu.
"Oke deh."
Veni pun langsung bangkit dari duduk dengan sedikit kesulitan karena perutnya yang sudah membesar. Ia berjalan menuju kamar sang mama mertua dan mengetuk pintu dengan lembut.
"Ma, mama lagi ngapain? Masakin aku bubur ayam yuk. Bubur ayam buatannya mama enak banget. Aku lagi pengen nih."
Tak lama kemudian, mamanya membuka pintu. "Yakin? Kamu mau makan lagi? Bukannya tadi udah makan di rumah Umi kamu?"
"Udah makan di rumah Umi. Tapi belum makan di rumah mama. Aku pengen bubur ayam buatannya mama. Mama mau kan buatin untuk aku?"
Dian tersenyum lebar. "Buat baby boy, apapun mama lakukan. Yuk!" Dengan semangat Dian langsung merangkul Veni. Melihat hal itu, Mario terkekeh. Rasanya mamanya memang sangat mencintai cucunya itu. Sekaligus menantu nya.
Mario mengitip dari ruang makan. Terlihat mama dan menantunya iru sangat akur dan bahagia. Mereka memasak bubur ayam bersama. Mario tahh bahwa Veni hanya mencari alasan. Tapi sosok itu sangat pandai mencuri hati. Makanya mama yang sebenarnya sulit dibujuk akhirnya bisa luluh pada pesona Veni. Ia menang tak salah memilih pasangan.
"Bubur ayam sudah siap!" Seru mamanya yang bahagia. Disertai tepuk tangan dari Veni yang terlihat juga sangat bahagia. Rasanya seperti melihat surga.
"Mario, kamu mau nggak?" Tanya Veni yang menyadari bahwa Mario mengintip dari ruang makan.
"Mau! Tapi suapin kamu ya."
Dian terkekeh. "Oh gitu sekarang. Punya istri terus suapan dari mamanya di lupain nih?"
"Suapin dua-duanya dong. Entah itu mama atau istri yang sama-sama aku sayangin!" Mario duduk di antara Veni dan Dian.
"Bentar, jangan-jangan kamu yang pengen bubur ayam tapi kamu nyuruh Veni bujuk mama biar mama masakin ya?"
Tatapan Diab menyelidikjke arah Mario. Sedangkan Mario yang sedang disuapi oleh Veni hanya terkekeh.
"Enggak kok, Ma. Tanya aja tuh sama Veni. Siapa yang lagi pengen bubur ayam buatannya mama."
"Yang pengen itu baby boy nya Mario, Ma."
"Aaahhh, kalau buat baby boy calon cucunya mama sih mama nggak bakal malas masak. Yang penting dia sehat dan kuat. Jadi anak yang bergizi ya, cucu Oma."
Veni tersenyum melihat kelakuan mama mertua dan suaminya. Mereka berdua sangat kompak mencium perutnya. Rasanya sungguh manis. Ia berharap akan selamanya seperti sekarang. Ia tak bisa membayangkan apa jadinya jika hal buruk terjadi. Ia akan kehilangan kasih sayang itu atau justru akan tetap sama saja seperti sekarang.
"Ya udah, Ven. Di makan yuk bubur ayamnya. Keburu dingin nanti nggak enak."
"Iya, Ma."
***
Malam telah tiba, membuat keduanya harus beristirahat sebelum jam delapan tiba. Mereka sudah usai makan malam dan sekarang tengah bersiap untuk tidur.
Tapi seperti biasa, mereka akan berbincang sebentar untuk menunggu makanan yang sudah mereka lahap turun ke dalam perut.
Mereka tengah merencanakan kapan mereka akan pergi berbelanja pakaian bayi untuk baby boy mereka.
"Kapan nih, Sayang?" tanya Mario lagi. Sedangkan Veni masih memikirkan hari yang tepat agar mall tidak terlalu ramai dan pengunjung yang berdesakan. Ia malas jika harus berdesakan saat mencari pakaian di mall. Hal itu sangat membuat tak nyaman. Maka dari itu, ia memilih untuk menghindari hari libur atau weekend.
"Gimana kalau besok aja?" tanya Veni langsung.
"Tadi aku kan juga udah kasih saran, besok aja belinya. Tapi kamu masih bentar-bentar terus. Sambil ngitung hari di kalender."
"Aku mengindari rame di mall, Mar. Aku nggak suka."
"Iya aku tau kok."
"Jadi, besok nih ya. Beneran loh. Nggak ada hal-hal lain yang akan mengganggu kita buat beli perlengkapan baby boy kan?"
"Nggak ada sih kayaknya."
"Kayaknya?"
"Nggak ada kok, Sayang. Udah santai aja. Nggak ada. Besok khusus buat beli perlengkapan bayi ya. Jangan langsung nyolot gitu dong. Serem tau." Mario mencubit pelan hidung sang istri.
"Oke deh. Janji ya. Udah janji. Sekarang aku mau tidur. Pokoknya kalau besok kamu ingkar janji, aku marah."
Mario mengangguk. "Oke deh, Sayang. Aku nggak akan ingkar janji kok."
"Sama yang tadi juga inget. Kamu janji ajak aku jalan-jalan keliling kota pakai motor ya. Jangan lupa janjinya." Veni mengecam. Sedangkan Mario hanya terkekeh mengiyakan.
Dan mereka pun terlelap. Veni memiringkan badannya ke kiri sesuai dengan anjuran kesehatan dari dokter agar bayinya tidak tertekan saat dirinya tertidur. Sedangkan Mario memeluknya dari belakang. Sungguh malam yang indah di mana mereka bisa bersama memadu mimpi untuk esok pagi.
Tak terasa, mimpi yang telah tercipta harus membuat mereka terbangun kembali. Sinar mentari yang datang menyorot dari celah jendela membuat keduanya bangun bersamaan. Setelah membersihkan diri, mereka langsung ruang makan untuk sarapan bersama seperti biasa. Sebelum itu, Mario sudah lebih dulu membantu mamanya untuk memasak. Sedangkan Veni duduk di ruang makan ditemani dengan arum yang asik dengan ponselnya sendiri.
Veni tak pernah mengajak Arum untuk bercakap lebih dulu. Sebab, anak itu sangat sensitif dengannya. Apapun yang Veni lakukan adalah salah di mata Arum. Jadi, Veni lebih baik diam membisu dan sibuk dengan melihat dua orang di dapur itu sibuk dengan aksi mereka masing-masing.
Terlihat mama mertuanya tengah menumis bumbu yang tetcium harum hingga ke hidungnya. Mama mertuanya tampak begitu bahagia. Membuat Veni juga tersenyum bahagia. Sedangkan di lain sisi, Venu melihat Mario tengah asyik menggoreng ayam. Sosok itu memang berperawakan keren apalagi menyandang status tinggi di perusahaan. Tapi tetap saja Mario terlihat tampak seksi dan manis saat berada di dapur. Memasak bersama sang ibu dan bercanda tawa di sana.
Veni merasa hangat melihat keluarga ini. Ia sangat bahagia dan bersyukur bisa menjadi salah satu bagian dari keluarga Mario.
Tak lama kemudian, Veni tersadar dengan kedatangan Mario membawa sepiring ayam goreng krispi yang sedap dan mantab. Di lain sisi, mama mertuanya masih memasak sesuatu yang berbau sangat harum dan nikmat. Menggugah selera makan yang sempat menghilang selama beberapa bulan kehamilannya.
Tak lama kemudian, masakan Dian sudah siap tersaji. Mereka berdoa bersama dan langsung menyantap makanan selagi hangat. Terasa sangat menyenangkan. Apalagi makanan yang dibuat Dian begitu pas di lidahnya. Ia memang sangat suka masakan uminya. Tapi masakan mama mertuanya itu juga tak kalah saing.
"Hari ini kamu mau ke mall beli perlengkapan bayi buat baby boy ya?" tanya Dian pada anak dan menantunya.
"Iya, Ma." Veni menjawab setelah menelan makanan yang ada di mulutnya.
"Mama ikut boleh?" tanya Dian pada Veni dan Mario dengan tatapan penuh harap bahwa keduanya akan membolehkannya ikut.
"Tante, nanti aku sendirian di rumah dong?" Arum menyambar dengan kesal.
"Ikut aja sekalian." Ide Veni kali ini membuat Arum tak mau menolak. Karena itulah yang ingin ia katakan tapi ia gengsi.
"Mau ikut?" Tanya Dian pada Arum yang mendadak diam.
Arum mengangguk.
"Ya udah, nanti kalian siap-siap, terus aku sama Veni tunggu di mobil ya." Mario pun akhirnya memutuskan untuk mengajak semua anggota keluarga untuj mencari perlengkapan bayi baby boy yang sebentar lagi akan disambut oleh dunia.
Pada akhirnya mereka melanjutkan acara sarapan pagi mereka dan kemudian bergegas untuk beberes. Awalnya yang mau pergi berdua sekarang jadi berdua kali lipat alias berempat.
Menunggu mama mertua dan Arum yang tengan berdandan, Veni dan Mario bercakap sejenak di ruang tamu. Sebelum akhirnya Mario memanasi mobil dan mama seta keponakannya datang.
"Siap?"
Ketiga wanita itu mengangguk bersamaan. Akhirnya mereka pun berangkat ke mall untuk membeli perlengkapan bayi baby boy yang sebentar lagi akan lahir ke dunia.
Meski sebenarnya Veni tengah mengkhawatirkan satu hal. Yaitu tentang jenis kelamin anaknya. Entah mengapa ia merasa takut jika ternyata diagnosa dokter salah. Tapi ia berusaha tetap yakin.
Perjalanan terasa hening, sebab merasa sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tak lama setelah perjalanan, mereka pun sampai di tempat. Mall yang tak cukup ramai karena di hari biasa. Tapi tetap saja banyak pungunjung yang berdatangan.
Mereka berjalan beriringan. Dian selalu menggandeng tangan Veni sembari melirik sana sini untuk mencari tempat perlengkapan bayi yang bagus.
Akhirnya mereka menemukan sebuah tempat di mana khusus menjual perlengkapan bayi. Mereka pun masuk ke sana. Tapi Arum memilih untuk menyendiri dan pergi ke tempat lain. Mereka berjanji akan bertemu di lobby masuk awal sekitar jam dua belas. Karena kini sudah jam setengah sepuluh. Mungkin cukup untuk memilih selama beberapa jam itu.
Saat mereka masuk, mereka langsung mencari pakaian anak bayi laki-laki yang terbaik. Makanan dan semua perlengkapan semua serba warna biru yang identitik dengan laki-laki.
Melihat mama mertuanya sibuk sendiri memilih pakaian bayi untuk calon cucunya, Veni melihat-lihat ke arah sepatu mungil yang lucu-lucu. Sedangkan Mario pamit untuk menerima telepon dari kantor yang sepertinya sangat mendesak.
"Ini lucu banget buat kamu, Sayang. Tapi sayangnya warna pink. Padahal kamu cowok ya." Veni menggumam seorang diri.
"Veni?" Seseorang menyapa sembari menepuk bahunya. Ia pun menoleh dan melihat seorang wanita yang menggendong bayi tersenyum ke arahnya. "Kamu Veni kan?"
"Kamu ... "
"Aku Anita! Masa lupa sih sama temen SMA sendiri?"
Veni lupa-lupa ingat dengan wajahnya. Meski ia mengingat nama Anita.
"Tunggu. Anita temen SMA yang dulu juga satu ektrakurikuler rohis ya?"
"Bener! Wah, alhamdulillah kamu nggak lupa sama aku, Ven."
"Nggak lah. Meski kamu agak berubah makin cakep aja sih. Makanya aku lupa-lupa inget. Kalau kamu nggak sebut nama palingan aku kira kamu itu Dita."
"Kalau Dita itu adekku, Ven. Kamu nih suka banget bercanda. Eh, kamu hamil berapa bulan? Duh, udah gede banget ini. Bentar lagi pasti lahiran ya?"
Veni tersenyum sembari mengelus perutnya. "Udah hampir sembilan bulan nih. Bentar lagi lahiran. Kamu udah berapa anaknya? Ini lucu banget." Veni mengusap pipi seorang bayi yang ada dalam gendongan Anita.
"Ahahaha, ini anak kedua ku. Yang pertama cewek, ikut bapaknya beli es krim. Mamaknya mau cari sepatu buat adiknya ini."
"Cewek semua ya anak kamu? Yang ini cantik banget. Pasti yang pertama juga cantik banget kayak ibunya."
Anita terkekeh. "Ini cowok, Ven. Dia emang di USG cewek. Makanya lahir cantik. Tapi kelaminnya cowok."
"Bisa gitu ya?" sambar seseorang yang lain. Keduanya pun menoleh kaget.
"Eh?" Anita terkejut melihat seorang wanita paruh baya menatapnya heran.
"Ah, ini mama mertuaku." Veni memperkenalkan Dian yang tiba-tiba saja datang memotong percakapan mereka.
"Kamu tadi cerita kalau anak kamu di USG cewek, tapi lahir cowok?" tanya Dian yang tidak menanggapi sambutan perkenalan Veni pada Anita.
"Iya, Tante. Ya, semua sesuai dengan kehendak Allah. Awalnya anak ini di USG cewek. Tapi ternyata lahir cowok. Jadi, cowok cantik kayak sekarang deh." Anita terkekeh. Ia memang tak tahu apa ketakutan terbesar dari seorang Veni jika dirinya bercerita seperti itu. Apalagi dalam kondisi mama mertuahya yang sempat ragu karena jenis kelamin anaknya tidak terdeteksi akhir-akhir ini.
"Apa yang bisa bikin kayak gitu?" tanya Dian lagi. Kali ini raut wajahnya menjadi tidak ramah.
Anita yang masih belum menyadari pun bercerita.
"Dulu saya pernah jatuh pas usia kandungan masih tujuh bulan, Tan. Terus saya USG lagi awalnya nggam keliatan. Terus pas udah usia sembilan bulan, saya USG lagu katanya cewek. Tapi pas saya lahiran secara normal, yang lahir bayi laki-laki." Anita terkekeh merasa bahwa ceritanya itu lucu. Tapi bagi Veni tidak. Itu cerita yang menyeramkan.
"Veni, mama mau pulang duluan. Kamu yang belanja sendiri." Sontak Dian langsung pergi begitu saja dengan raut wajah yang tak menyedapkan.
Anita langsung bingung dibuatnya. "Aku salah ngomong ya, Ven?"
Meski sebenarnya memang iya, tapi Veni menggeleng dan tersenyum. "Nggak kok. Udah dulu ya. Aku mau ngejar mama mertuaku dulu."
"Oke. Bye, Veni!"
Veni berjalan cepat menyusul sang mama mertua. Tapi pada akhirnya ia bertemu dengan Mario yang kembali dari acara telpon menelpon dengan rekan kerja.
"Ada apa? Mama mana?" tanya Mario panik.
"Mama pulang duluan, Mar."
"Loh kenapa? Kamu apain mama?"
"Kok kamu nyalahin aku sih? Aku nggak apa-apain mama."
"Terus kenapa mama bisa minta pulang duluan? Biasanya kalau mama pulang duluan dari acara pergi bareng gini pasti mama lagi kecewa banget."
Veni mendengkus. "Tapi bukan aku yang bikin mama kesel sampai kayak gini."
"Terus ada apa? Cerita dong sama aku."
"Nggak ada waktu buat cerita, Mar. Mending sekarang kita kejar mama sebelum mama naik taksi."
Mario mengangguk. Ia pun langsung berlari meninggalkan Veni yang hanya bisa berjalan cepat karena perutnya tidak memungkinkan dia untuk berlari. Bahhakn rasanya ia ingin berhenti dan duduk sejenak karena perutnya terasa kram dan mengencang.
Ia berpegang pada tembok agar tak jatuh karena menahan sakit dari kram yang ia rasakan. Ia mengatur napas agar rasa sakit itu terurai. Pada akhirnya, Veni kembali berjalan. Ia merasa bahwa mamanya pasti akan sangat kecewa dan berpikir bahwa cucunya akan terlahir seperti anak Anita tadi.
"Ya Allah, semoga Kau karuniai aku anak yang sehat dan mama mertuaku tidak akan kecewa padaku terlepas apapun jenis kelamin anak ini."
Veni tak kuat lagi menahan perutnya yang mengencang. Akhirnya ia terduduk di sebuah bangku yang kosong dan berharap rasa sakit itu akan segera hilang.
Di lain sisi, Mario mengejar mamanya yang hampir saja masuk ke sebuah taksi. Ia menahan kepergian mamanya yang sudah berwajah sangat kesal. Rasanya seperti ingin meledak tanpa Mario tau apa penyebabnya.
"Ma, mama kenapa sih? Veni salah apa? Veni ngebentak mama atau gimana? Cerita ke Mario. Jangan main pergi kayak gini dong, Ma."
"Mas! Ini taksinya jadi atau nggak?" teriak supir taksi dari dalam.
"Nggak!" Mario menjawab dan menutup pintu taksi dengan keras. Alhasik taksi itu pergi dari hadapan Dian dan Mario. Dian masih terdiam membisu. Seperti tak mau mengatakan apa yang menajdi kekecewaan nya.
"Ma, cerita aja nggak apa-apa. Aku pasti akan dukung mama. Kalau Veni macem-macem ke mama, biar nanti Mario yang kasih tau biar Veni nggak lakuin itu lagi ya."
"Bukan Veni kok. Mama kecewa sama harapan mama sendiri. Mama nggak mau kalau sampai cucu mama lahir cewek. Tapi tadi cerita temennya Veni bikin mama jadi kecewa sendiri."
"Kok mama udah bilang gitu? Anak kami aja belum lahir, Ma. Mama harusnya positif thinking aja dulu. Lagian, kalau misal lahir cewek pun nanti Mario akan kasih mama cucu cowok kok. Tenang aja, Ma. Mama nggak perlu mikir tegang kayak gitu."
"Mama nggak mikir tegang. Mama cuma kecewa aja kenapa gitu harus ada kejadian Veni jatuh terus jenis kelamin nggak keliatan. Jadi ketar-ketir rasanya, Mar!"
"Udah sekarang mama tenang dulu. Veni di sana sekarang lagi mau ngejar mama. Mario cuma nggak mau terjadi hal-hal yang tidak memungkinkan."
"Tapi mama masih nggak mau ketemu Veni dulu."
"Kenapa, Ma? Veni kan nggak salah sama mama. Iya kan?"
Dian terdiam.
"Kasiah Veni sendirian, Ma. Kalau ada apa-apa sama Veni gimana? Cucu mama kalau dalam bahaya gimana hayo?" Mario mencoba untuk membujuk mamanya agar mau kembali menjemput Veni.
Dian masih terdiam. Pada akhirnya, Mario menarik tangan mamanya dan mereka berjalan masuk kembali untuk menemui Veni.
"Kamu yakin kalau anak kalian nanti laki-laki?"
Sebenarnya Mario tak tahu mengapa mamanya sangat terobsesi dengan cucu laki-laki. Padahal anak kandungnya sudah laki-laki semua. Mengapa mamanya tidak bosan atau ingin cucu perempuan seperti itu.
"Iya, Ma. Mario yakin seratus persen."
"Beneran ya?"
"Iya, Mamaku sayang. Tenang aja. Nggak usah mikirin itu."
Dian kembali terdiam. Mereka berjalan menuju ke tempat perlengkapan bayi yang tadi. Tapi sampai di sana, mereka berdua tak melihat adanya Veni. Sudah keliling juga, mereka tak kunjung menemukan Veni. Pada akhirnya mereka keluar dari tempat perlengkapan bayi.
"Coba telpon aja. Kali aja nanti diangkat sama Veni."
"Iya, Ma."
Mario pun langsung menelpon ke ponsel Veni dan diangkat langsung oleh Veni.
"Halo? Kamu itu di mana? Katanya tadi mau nyusul aku sama mama di lobby utama. Tapi kenapa kamu malah ngilang sih? Kalau mau jalan-jalan nunggu aku sama mama bisa kan? Kalau ada apa-apa sama kandungan kamu gimana, Ven."
"Halo, Mas."
"Hah?" Setelah mendengar suara lelaki, Mario terkejut bukan main. Ia melihat kontaknya dan memang benar yang ia panggil adalah nomor Veni. Tapi mengapa yang mengangkat suara laki-laki.
Perasaannya sudah tak tenang. Ia menggebu memarahi sosok yang mengangkat panggilan itu dengan kata-kata kotor. Hingga akhirnya tak terdengar suara apapun setelah semua kata kotor keluar dari mulutnya. Hingga semua mata mekihtanya ke arahnya dengan jijik.
"Woi! Jawab!"
"Saya security di Mall ini, Pak. Mohon bersabar. Saya hanya membantu istri bapak untuk beristirahat di pos Security karena tadi ditemukan pingsan oleh para pengunjung mall."
"Apa?! Di mana pos satpamnya?"
Setelah mendapat arahan letak pos satpam, Mario langsung mematikan panggilannya
"Ada apa, Mar?"
"Veni pingsan dan ditemuin sama pengunjung mall, Ma. Sekarang dia ada di pos satpam."
"Astaga, cucuku!" Dian langsung bergegas mengikuti Mario yang berjalan lebih dulu.
Setelah mereka sampai di pos satpam, terlihat dua satpam tengah berjaga di depan dan menyambut kehadiran Mario sebagai suami dari wanita yang telah mereka bawa ke pos.
"Maaf karena tadi saya berbicara tidak baik. Terima kasih sudah membantu istri saya." Mario meminta maaf atas segala ucapannya yang tidak baik untuk didengar. Untung saja para security itu sabar dan menerima. Wajar saja jika Mario marah karena mendengar suara ponsel istrinya adalah suara laki-laki lain.
Sedangkan Dian mencoba untuk membangunkan Veni yang masih memejamkan mata.
"Maafin mama yang, Ven. Seharusnya mama nggak kayak tadi. Mama cuma kecewa aja sama harapan mama. Mama pengen kamu melahirkan anak lelaki buat cucu mama."
Pada akhirnya, Veni terbangun. Ia memijat keningnya yang terasa pening dan merabah perutnya.
"Kamu udah bangun, Ven?" tanya Dian yang begitu khawatir.
"Maaf udah buat khawatir ya, Ma." Veni mencoba untuk duduk kembali. Tapi Dian mencegahnya.
"Jangan duduk dulu. Kamu masih pusing. Biar digendong sama Matik dulu ya."
Veni hanya diam. Wajahnya seperti penuh dengan tekanan karena sebuah hal. Dian tau jika Veni tengah memikirkan hal tadi. Tapi Dian juga tak bisa memungkiri bahwa tadi ia juga sangat kecewa. Rasanya seperti kesal dan ingin pergi begitu saja.
"Maaf ya, Ven. Mama tadi kesel. Tapi mama sekarang udah yakin kalau anak kamu pasti laki-laki dan bisa bikin mama lega. Bukannya mama nambahin pikiran kamu. Tapi mama juga nggak mau bikin mama kepikiran sendiri. Kamu tau sendiri, mama pengen nimang cucu dari dulu."
"Iya, nggak apa-apa, Ma." Meski mulutnya berbicara tak ada apa-apa. Tapi sebenarnya dalam hati, Veni sangat takut. Pikirannya kalut. Batinnya tertekan. Ia menjadi was-was jika suatu saat akan membuat kecewa dua orang yang sekarang menyayanginya dengan sangat. Tapi ia berusaha untuk tetap berpikir tenang. Bahwa takdir Allah itu yang terbaik. Apapun yang terjadi, ia akan tetap berusaha untuk menjadi orang tua yang baik dan berusaha membuat orang tua maupun suaminya bangga padanya. Setidaknya, anaknya bisa terlahir sehat dan sempurna tidak kekurangan suatu apapun.
"Sekarang kita pulang aja ya. Perlengkapannya kita beli besok." Meski sebenarnya Veni sangat ingin membeli perlengkapan sekarang, tapi ia menurut saja. Daripada harus terjadi hal yang tak terduga lagi.