Menemukan Keinginan Veni

1052 Kata
"Setelah mencari ke sana-kemari akhirnya mereka pun menemukan apa yang mereka cari." Tinggal satu pembeli lagi, ia sudah akan mencapai titik finish. Finish untuk mendapatkan es krim yang diinginkan oleh sang istri. Sesekali ia melihat Veni tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya. Begitu amat bahagia. Ia juga senang melihat Veni tersenyum lebar seperti itu. Karena kebahagiaan Veni akan menyalur ke sang buah hati. Di mana hormon kebahagiaan Veni akan membantu tumbuh kembang anaknya dengan sehat dan pesat. Setelah pembeli yang ada di depannya mendapatkan es krim yang ia mau, akhirnya Mario maju dan diikuti pembeli lainnya yang ada di belakangnya juga ikut maju. "Es krim satu, Mas." "Maaf, Pak. Sudah habis." Mario mengangguk dan tersenyum. Tapi tiba-tiba ia tercenung. "Apa?" "Sudah habis, Pak." "Hah?" "Sudah habis, Pak." "Saya kaget! Bukan nggak denger," bantah Mario. "Tapi kok abis sih? Saya udah antri lama loh! Dikit-dikit juga nggak ada gitu?" tanya Mario yang terdengar seperti protes karena dirinya sudah mengantri sangat lama dan panjang tapi apa yang ia inginkan tak didapatkan. Hanya Mario saja yang tidak terima jika dirinya tidak mendapatkan es krim. Sedangkan pembeli yang lain sudah pergi dengan keadaan kecewa. "Maaf, Pak. Stok kami juga terbatas. Apalagi tadi bapak lihat sendiri kalau antriannya sudah sangat panjang. Kami membawa stok seperti biasa, Pak." "Alah! Ya udah!" Mario pun pergi dari kedai itu dengan perasaan kesal. Ia melihat Veni yang menatapnya heran seolah bertanya mengapa tidak membawa es krim yang ia minta. Tapi dengan isyarat tangan bahwa es krim sudah habis membuat Veni paham. Kemudian sosok itu menekuk wajah dan terlihat sangat sedih. Berbeda saat dirinya berpikir akan mendapatkan es krim yang dirinya mau. Tapi Mario juga tak bisa mengulang waktu agar dirinya bisa mendapatkan es krim itu. Jadi, ia hanya akan berpasrah apapun yang akan terjadi padanya dari kekesalan Veni. "Maaf, es krim nya habis, Sayang. Kamu mau apa? Selain cilok ya. Apapun aku beliin deh." Sesampainya di dekat Veni, Mario langsung duduk di sisi sang istri dan mengoceh untuk menenangkan Veni agar tidak sedih karena gagal mendapatkan es krim. Sedangkan ocehan Mario tidak dijawab apapun oleh Veni. Sosok itu hanya diam mematung. Sepertinya Veni sedang asyik memikirkan hal lain yang akan ia katakan karena tak jadi mendapatkan es krim. Karena beberapa saat setelah terdiam sejenak, Veni langsung menatap Mario dengan wajah yang sulit ditebak. Datar namun matanya berbicara. Hanya saja Mario tak bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh sang istri padanya. "Apa, Sayang?" "Karena nggak dapat es krim, aku boleh mainan ayunan nggak?" tanya Veni dengan wajah memohon yang menggemaskan. Mario terbahak. Ia mengelus perut Veni dan masih terus tertawa. Membuat Veni terheran dengan hal itu. "Kenapa kamu malah ketawa sih?" "Kamu lupa kalau kamu hamil? Badan kamu melebar, Sayang. Sedangkan ayunannya kecil tuh. Mana muat?" Entah maksud Mario itu memberitahu atau mengejek. Sontak Veni langsung cemberut. Ja melihat dirinya sendiri dan mengelus perutnya. Menepis tangan Mario yang masih tertawa dari perutnya. "Nggak usah sentuh aku." Mario makin terbahak. "Kamu marah? Aku bercanda loh." "Kamu sih, body shamming. Kalau aku gendut itu berarti anak kamu juga gendut. Sehat!" Mario masih setia dengan tawanya membuat Veni makin kesal mendengar tawa itu. "Iya, iya. Aku tau kok. Makanya nggak usah marah dong. Ya udah, kita cari ayunan yang lebar dulu yuk." "Ngapain cari yang lebar sihh? Kamu body shamming lagi kan? Ih, ngeselin." "Nggak kok. Aku nyari yang lebar itu biar aku bisa ikutan naik. Kan biar kita bisa romantis-romantisan bareng calon jagoan kita yang masih dalam perut ini." Mario berkata dengan gemas sembari mengelus perut buncit Veni. Veni menahan senyumnya, "Emang ada?" "Ya makanya kita cari dulu. Kamu udah marah-marah aja." Mario menggandeng Veni untuk berkeliling lagi mencari ayunan. Sepanjang perjalanan dia melihat tidak ada yang muat untuk tubuhnya. Dia pun sudah lelah berjalan. "Mana Mario ini udah enggak ada." "Emm ... ya gimana ya," ucap Mario. Dia mengajak Veni untuk duduk lebih dulu sambil mencari ayunan seperti keinginan Veni. "Sini duduk dulu nanti kalau kamu kecapean." "Yah gajadi naik ayunan dong. Es krim udah enggak dapet masa mau naik ayunan yang enggak bayar aja enggak bisa sih, Mar. Katanya mau nurutin apa aja." Veni merajuk kepada Mario karena kesal lagi-lagi dia tidak bisa mendapatkan apa yang dia mau. "Iya ini lagi cari dulu kok. Kamu di sini dulu coba ya aku cari biar kamu enggak kecapekan." "Enggak mau aku mau ikut walaupun emang capek soalnya enggak ketemu dari tadi. Ketemu sebenernya cuma ya gimana enggak muat kalau aku naikin. Padahal, dulu pas masih muda badanku kecil." "Ya wajar dong sayang. Tadi 'kan kamu bilang lagi mengandung anak kita. Nanti sebentar lagi juga kita bakal ketemu sama anak kita." "Emmm ... iyasih. Yaudah yuk, kita cari lagi." Veni pun dengan semangat mengajak Mario untuk mencari ayunan lagi. Tapi, kalau pada akhirnya dia tidak bisa yasudah dia akan pulang. "Veni enggak usah lari. Nanti kalau kamu jatuh. Jangan aneh-aneh deh, Ven." Veni mengerucutkan bibirnya. Padahal, perasaannya dia tidak lari. Mario menarik napasnya dalam-dalam kemudian dia mengelus kepala istrinya tersebut. "Bukan masalah apa sayang. Nanti kamu dan anak kita kenapa-kenapa jadi aku lebih sayang sama kamu dan anak kita." "Iya-iya. Maaf, Mario aku emang jadi istri enggak bisa diem padahal kamu udah nyuruh aku diem." "Iya enggak papa yaudah yuk jalan lagi." Mario mengelus kepala Veni singkat setelah itu dia berjalan lagi bersama istrinya. "Adem banget ya, Mar. Ah enggak kerasa banget lho perjalanan kita udah panjang. Eh enggak deng baru beberapa Bulan tapi ya tetep aja kerasa lamanya." Veni menghembuskan napasnya halus. "Maaf ya, Ven dulu baru kenal kamu malah main ngajak nikah. Tapi, serius aku dulu lihat kamu pertama kayak ada rasa hmmm...." "Halah gombal kamu," ucap Veni sambil meraup muka Mario sambil tertawa. "Eh beneran lihat kamu yang cooling banget rasanya ah ni cewe sok jual mahal nih gitu." "Iyalah jual mahal emang aku obralan yang bisa didapetin gampang. Eh tapi keren juga si kamu bisa dapetin hati Abi sama Umi. Ih kamu kok bisa juga sih, Mar kenal sama orang tua aku." "Bisalah kalau enggak bisa namanya bukan Mario dong." Mario dengan pedenya mengucapkan hal tersebut membuat Veni memutar bola matanya malas. "Eh itu, ayunannya pasti muat buat aku." Veni menunjuk ke arah ayunan yang kosong dan terlihat sepertinya cukup muat untuk dirinya. "Oh yaudah oke ayo." Veni pun mengajak Mario untuk ke sana. Akhirnya keinginannya bisa dituruti oleh suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN