Sindiran Terus Menerus

3029 Kata
Melihat langkah kaki Veni yang terhentam cepat ke arah kamar, membuat Dian merasa amat sangat kesal. Ia mengutuk mati-matian seorang Veni yang hanya berstatus sebagai menantunya itu. Dian memaki-maki Veni di hadapan Mario yang hanya diam membisu. Tak pernah sekalipun Veni menolak permintaannya. Tapi sekarang Dian merasa bahwa Veni sudah mulai menjadi pembangkang. "Lihat istri kamu tuh. Ngelahirin anak perempuan aja udah sombong kayak gitu. Mama Minta dia hamil lagi malah nggak mau. Harusnya dia itu sadar, kalau misal dia itu melahirkan anak laki-laki, dia juga bakal dapet warisan kok. Nggak melulu uangnya kita nikmatin. Tapi dia lahirin anak perempuan, ya nggak dapet warisan apa-apa nanti." "Biar Mario yang kasih penjelasan ke dia, Ma. Setelah melahirkan, Veni emang agak bebal. Nggak mau dikasih tau. Bandel." "Makanya tuh, Mar. Kasih tau dia. Pokoknya dia harus mau hamil lagi dan harus lahirin anak laki-laki!" Dian pun langsung bergegas masuk ke kamar. Ia sudah tak tahan menahan gerah amarah karena Veni menolak perintahnya. Sedangkan di sisi lain, Veni mendengar semua pembicaraan itu. Hatinya teriris. Ia melihat ke arah anaknya dan tersenyum miris. Seolah dalam hati sangat merasa bersalah. Bayi itu lahir tanpa diminta. Tapi setelah bayi itu lahir seharusnya ada harapan untuknya. Akan tetapi sekarang bayi itu justru menjadi bayi yang tak diharapkan. Langkahnya mendekati bayinya yang tengah tertidur pulang di box bayi. Melihat kedamaian wajah tidur itu membuat Veni sedikit lebih tenang. Setidaknya bayi itu masih punya dirinya. Masih punya dirinya sebagai sosok ibu yang berjanji takkan membuatnya hidup sendirian atau tak diharapkan. Apapun kondisinya, ibu adalah seorang ibu. Tidak akan pernah menelantarkan anaknya. Karena ibu yang sesungguhnya akan tetap berada di sisi sang anak walau sang anak adalah anak yang tidak diharapkan oleh siapapun. "Maafin mama ya, Sayang. Mama nggak bisa bikin kamu diterima masih sama keluarga papa kamu. Tapi sebenarnya mereka itu sayang sama kamu kok. Mereka cuma kaget aja karena harapan mereka yang terlalu tinggi. Tapi mama yakin, suatu saat nanti mereka akan sadar kalau kehadiran kamu sangat berharga." Tak terasa bahwa linangan air mata Veni jatuh tepat di pipi sang bayi. Air mata yang penuh luka dan lara. Seharusnya, setelah melahirkan ia makin dimanja, makin disayang, makin dicinta. Tapi ia juga termakan oleh harapannya sendiri. Menyakitkan. Ketika sadar bahwa kelahiran bayinya itu justru membuat semua berubah. Kasih sayang yang sejak dulu ia dapatkan, perlakuan bak ratu yang dulu selalu ia rasakan, sekarang telah berangsur pergi. Ia hanya seonggok daging yang kesepian sekarang. Hanya bersama dengan sang bayi yang belum bisa diajak berbicara atau berkeluh kesah. Ia hanya mampu menangis untuk menumpahkan kekesalan batinnya. Veni merebahkan diri ke ranjang sembari menatap box bayi yang ada di sisinya. Dari jeruji kayu yang mengelilingi box bayi itu, ia bisa melihat betapa damainya sang anak saat tidur. "Mama harap, saat kamu dewasa nanti, papa kamu bisa menerima kehadiran kamu." Ya, ia tak kuasa apabila melihat anaknya kelak akan tumbuh tanka kasih sayang dari papanya. Hal itu akan sangat menyakitkan. Apalagi figur seorang ayah yang seharusnya menjadi cinta pertama bagi anak perempuannya adalah hal yang terpenting. Veni tak mau, jika kelak Mario akan menjadi patah hati pertama anak perempuan kandungnya sendiri. *** Hari demi hari terus berlalu. Perlakuan yang sama dari Dian dan Mario ke Veni begitu ke anaknya juga masih terus berlanjut. Semakin hari lukanya tidak terobati. Justru semakin hari berjalan begitu lama, lukanya begitu dalam. Awalnya ia berusaha untuk melupakan dan menyingkirkan semua pikiran buruk. Tapi lambat laun ia merasa sakit kepala. Stress yang ia alami tanpa sadar itu membuat kekhawatiran yang berkepanjangan. Karena itu pula, ia mulai merasa sakit fisik juga. Hanya saja ia berharap jika dirinya takkan mengalami hal yang namanya baby blues. Ia takut jika hal itu terjadi padanya. Bayi yang tidak bersalah tidak harus mendapatkan perlakuan buruk, ia tak mau jika pikirannya bisa terdominasi oleh rasa sakit dan kecewa yang bisa membuat bayinya menderita. Sesekali ia melihat ke arah bayi yang masih tidur di box bayi itu. Ia ingin sejadar keluar mengambil minum. Tapi ia ragu jika meninggalkan sendirian. Hanya saja rada hausnya tidak tertahan. Dan jika ia menggendong bayinya, pasti akan menangis. Tangisan bayi di pagi hari hanya akan membuat orang rumah kembali murka. Mengatakan hal buruk dan membuat batinnya tersiksa. "Mama ambil minum dulu ya, Nak, kamu jangan nangis. Biar nenek sama papa kamu nggak marah-marah lagi." Setelah mengatakannya pada sang bayi, Veni langsung saja keluar untuk mengambil minum. Baru saja ia menuangkan air minum ke gwlasnya, terdnegar suara bayi menangis dengan lantang. Membuat Dian yang baru saja keluar dari kamar langsung menutup telinga. "Aduuuhh! Kamu tuh kalau punya anak jangan ditinggal dong!" Dian langsung tersulut amarah dan menunjuk Veni dengan sarkas. "Urusin tuh bayi kamu! Nangis mulu! Itu sih gara-gara kamu lahirin anak perempuan. Jadi cengeng kan! Rewel doang bisanya!" Aura negatif dari Dian makin membuat bayinya menangis dengan kencang. Hal itu membuat Veni langsung saja kembali ke kamar dan melihat kondisi anaknya. Anaknya memang menangis dengan begitu kencang. Seolah menumpahkan rasa sakit yang keluar karena perasaan negatif neneknya yang terhambur keluar. Veni menaruh gelasnya di meja. Ia langsung menggendong bayinya dan memberinya ASI untuk menenangkan sang bayi. Ia menepuk-nepuk p****t anaknya untuk memberi ketenangan. Sembari memberikan kata-kata lembut hingga hati sang anak akan melunak kembali. "Anak mama pinter. Anak mama cantik. Anak mama lembut. Jangan nangis lagi. Nenek cuma lagi capek aja makanya kayak gitu. Jangan nangis lagi ya, Anak Mama." Tak lama setelah itu, tangisannya mereda. Anaknya juga sudah mau mengecit air s**u yang ia beri. Rasanya sedikit lebih tenang. Mendengar suara tangisan anaknya adalah hal yang paling menyakitkan. Sebab, jika anaknya menangis, maka Dian dan Mario pasti akan melontarkan amarah yang membuat anaknya akan semakin menangis. Seolah bayinya tau jika dalam satu lingkup rumahnya ada yang tidak menyukai kehadirannya. Bayi sangat perasa. Maka dari itu Veni berpikir untuk tinggal sebentar dengan Umi dan Abinya. Ia hanya ingin anaknya tumbuh dalam Lingkungan yang damai dan aman begitu hangat. Tapi ia masih belum berani untuk meminta ijin pada Mario. Ia takut jika Mario akan mengiranya minta cerai padahal tidak. Tapi jika meminta ijin sudah pasti Mario akan menolak karena Mario takut jika Veni akan menceritakan hal yang aneh-aneh pada orang tuanya. Ia tak mau jika image Mario dan Dian jelek di luar apalagi di keluarga Umi dan Abinya. Tapi jika Veni terus berada di rumah ini, bayinya takkan pernah bisa tenang. Ia juga takut jika Dian dan Mario akan melakukan hal-hal buruk pada Veni maupun bayinya. *** "Kamu kok baru pulang, Mar. Beberapa hari ini kamu selalu berangkat pagi waktu aku belum bangun dan pulang larut waktu aku sama anak kamu udah tidur," ucap Veni. Dia melihat kedatangan Mario pukul satu malam tepat setelah dia melaksanakan shoat tahajud. "Ngapain kamu jam segini bangun." "Aku habis solat, Mar. Kamu kok baru pulang. Dan sekarang kalau libur kenapa sibuk juga?" "Gak usah banyak tanya aku mau tidur capek." Mario melempar tasnya di sofa yang ada di kamar mereka. Dia tidak memedulikan Veni yang banyak tanya. "Mar mending kamu ganti baju dulu. Baju kamu dari mana-mana, kotor, Mar." "Kamu enggak usah bawel! Aku capek mending copotin tuh sepatu sama kaos kaki aku. Jadi, istri enggak usah banyak omong." Veni menghela napasnya panjang. Dia harus mulai menerima sikap Mario yang ketus dengannya. Semua benar-benar berubah kala dia harus mendapatkan anak perempuan yang tidak diharapkan oleh Keluarganya. Oe ... Oe ... Oe.... Tangisan bayi mereka membuat, Veni yang sedang melepas sepatu Mario pun harus bangkit, "Lepasin sepatu aku dulu bisa kan, Ven. Anak baru nangis gitu aja kamu samperin! Enggak usah dimanja. Kamu itu juga istri seharusnya ngurus suami yang bener." Veni pun mengalah dan melepas sepatu suaminya dulu. Anaknya sudah menangis tapi dia harus tetap menahannya. "Udah, Mar. Aku mau diemin Enima dulu," ucap Veni. Enima adalah nama pemberiannya. Ya, hanya satu kata dengan makna yang dalam. Tadinya dia ingin menambahkan nama Mario di akhirnya tapi laki-laki itu menolaknya. Veni ingin memberi nama dirinya tapi Mario juga menolaknya. Alhasil, dia harus tetap mengalah memberikan nama Enima yang artinya perempuan yang memikiki hati besar dan penyabar. Semoga, kelak anaknya itu bisa sabar dalam menghadapi cobaan ke depannya. Oe ... Oe.... Tangisan anaknya semakin keras membuat dirinya pun harus menenangkannya. Mario menutup kupingnya dengan bantal. Tapi, tangisan anak itu tidak diam juga. "Ck! Veni kamu becus enggak sih diemin anaknya. Kamu tahu 'kan aku baru pulang capek! Mau istirahat bukan denger tangisan itu bayi!" Mario kesal karena dia sudah menutup telinganya dengan bantal namun anak itu tetap menangis membuat kupingnya malas mendengar dan membuat dirinya tidak bisa tidur juga. "Emang anaknya enggak mau diem juga, Mar. Ini udah aku gendong dan ayun-ayun kamu enggak mau gendong sebentar, Mar. Dia enggak pernah dapet gendongan kamu." "Kamu lupa waktu di rumah sakit ada orang tua kamu. Kamu pikir aku enggak gendong! Jangan ngasal kalau ngomong." "Udah itu doang, Mar. Setelah itu kamu sama sekali enggak gendong Enima lagi. Dia butuh kamu sebagai Papanya. Dulu, kamu yang pengen banget 'kan dia lahir kenapa sekarang sikap kamu kayak gini ke anak kita. Anak perempuan butuh cinta pertama dari Papanya." "Aku ngomong kayak gitu kalau anak kita laki-laki ya, Ven! Kalau udah kayak gini gimana bisa kita dapet warisan. Kamu harus hamil lagi." "Mar anak kita belum ada setahun masa udah mau aku hamil lagi. Nanti, Enima siapa yang jagain?" "Taro anak itu di panti asuhan aja." Veni melototkan matanya. Tidak percaya dengan ucapan Mario. Jelas Enima ini masih memiliki orang tua lengkap bagaimana bisa anaknya akan ditaruh di panti asuhan. "Kamu gila ya, Mar. Anak kita masih punya kita!" "Halah udahlah berisik! Aku mau tidur. Diemin anak aja enggak becus tapi anak mau ditaruh di panti asuhan kamu ngoceh. Kau enggak mau kamu bisa bawa anak itu ke panti!" "Aku bisa ngurus dia. Aku Ibunya, aku yang tahu semuanya." Mario sudah terlalu ngantuk dan malas berdebat. Dia memilih bangkit dan meninggalkan Veni yang sedang kuawalahan mendiamkan anaknya itu. "Mario kamu mau ke mana. Bantuin aku diemin Enima, Mar." "Pergi. Suara anak kamu itu bikin gendang telinga aku rusak!" Mario menutup pintu kamar mereka dengan kasar membuat dia lagi-lagi Enima tangisnya makin keras. "Anak Bunda minta apa, nak. Mimi ya," ucap Veni lagi. Enima tetap menangis dan tidak mau menyusu ASI darinya. Veni rasanya ingin menangis, dia sudah sangat lelah dengan perasaan tapi anaknya rewel. Oe ... Oe.... Veni pun mengambil handphonenya. Menyetel sholawat untuk anaknya. Kian lama anaknya semakin tenang. Veni menangis, anaknya belum mendapat kasih sayang dari Papanya. Tapi, setiap mendengar lantunan sholawat dan ayat Al-Quran. Anaknya pasti akan tenang. Veni mencium kening anaknya, membawa anaknya tidur di kasurnya dan tidak membawa anaknya di kasur box miliknya. Veni tidak memikirkan di mana suaminya itu sudah terlalu lelah dengan hal tersebut. "Anak Bunda semoga kamu jadi perempuan kuat ya, nak. Solehah dan buat Papa dan Nenek bangga ya suatu saat ini. Maaf ya, nak. Masih sekecil ini kamu udah enggak diterima di keluarga Papa kamu sendiri." Veni mengelus kening anaknya. Hampir setiap hari pasti ada saja yang membuatnya menangis entah sikap Dian ataupun kesedihan melihat nasib anaknya. "Maafin, Bunda belum bisa jadi Bunda yang baik. Tapi, apapun yang kamu mau Bunda akan sebisa mungkin mengabulkannya, nak." Anaknya sudah mulai tertidur. Veni pun sudah mengantuk. Dia pun akhirnya ikut tertidur dengan anaknya yang berada di pelukannya. Semoga masalah ini kian segera berakhir dan anaknya bisa mendapatkan kasih sayang dari keluarga besar Mario. Ya, semoga saja. *** Mario tidur di sofa ruang tamu di bawah. Dia malas mendengar berisiknya anak Veni. Tengah malam seharusnya dia beristirahat malah mendengar tangisan bayinya itu. "Ngapain kamu tidur di sini, Mar?" tanya Mamanya yang tiba-tiba datang. Padahal, dia tadi baru ingin memejamkan mata tapi Mamanya lagi-lagir hadir. "Mau tidur, Ma. Mama ngapain jam segini juga bangun. Udah Mama tidur aja sana, Mario capek mau tidur jangan berisik." "Mama kira tadi ada maling. Lagian, kamu ngapain sih jam segini tidur di sini. Kamu 'kan punya kamar." "Berisik anaknya Veni. Aku mau tidur baru pulang malah itu anak nangis aja!" "Udah, Mama bilang anak perempuan itu rewel dan nyusahin. Tapi, istri kamu kekeh aja ngerawat dia!" "Udahlah, Ma. Kalau mau marah-marah besok aja aku capek! Ngantuk! Mau tidur!" Mario malas berdebat tengah malam hanya perihal anak itu. Semenjak anak perempuan itu lahir yang ada keluarganya hanya berantem saja. "Yaudah, Mama ambilin selimut dulu." Dian pun berlalu untuk mengambil selimut. Mario tidak peduli sekarang matany benar-benar ngantuk dan tidak butuh hal lain selain tidur. Beberapa saat kemudian Dian sudah kembali, anaknya sudah tertidur pulas padahal hanya ditinggal beberapa saat saja. "Udah dibilang anak perempuan itu nyusahin gini kan jadinya." Dia. Mengomel sendiri padahal Marik sudah tertidur. Entah hati mana yang sudah membuat Dian sebegitu bencinya dengan seorang anak perempuan. Padahal, dirinya juga perempuan seharusnya dia tahu rasanya. Setelah selesai menyelimuti anaknya itu. Dia kembali lagi ke kamarnya. Dia membiarkan anaknya tidur di sofa. *** Keesokan harinya Veni sudah bangun lagi pagi, anaknya sudah bangun subuh. Veni padahal baru tidur berapa jam tapi anaknya lagi-lagi sudah menangis. "Anak Bunda udah bangun? Aus ya, nak." Veni pun bangkit dan menyusui anaknya. Mario belum kembali ke kamarnya lagi. Ke mana dia, apakah pergi lagi. Setelah anaknya tenang dan selesai menyusui lagi, Veni menaruh Enima di box bayi lagi. Dia akan mandi dan langsung solat. Setelah, itu dia langsung saja ke luar. Mumpung anaknya masih tidur. Di bawah dia melihat Dian sudah berkutat dengan dapur padahal hari ini masih pagi. "Oh, Nyonya tumben ya jam segini udah bangun biasanya siang baru ke luar kamar. Punya menantu rajin banget ya, Bi ya." Dian terang-terangan menyindir dirinya dengan pembantu di rumah Mario ini. "Mama lagi apa? Biar aku bantu, Ma," ucap Veni ramah. Walaupun, dia sudah disindir dengan Mamanya tapi dia akan berusaha untuk tetap berbuat baik pada Mamanya. "Tumben. Nanti juga baru ngupas bawang anak kamu nangis. Anak kamu itu manja sama kayak kamu. Pasti dulu kamu di keluarga kamu itu dimanja banget 'kan?" "Anak aku masih tidur kok, Ma. Udah aku kasih s**u juga kayaknya dia bakal bangun nanti agak siang. Mama mau masak apa?" "Halah bangun pagi sekali aja sok basa-basi. Kalau mau bantuin kan tinggal bantuin. Udah tahu lagi masak. Kerjaan ada segala banyak omong." Pembantu Dian hanya meringis kasihan dengan Veni padahal Veni itu baik tapi tetap saja selalu mendapat perhatian yang tidak baik. Hanya perihal melahirkan anak perempuan. "Yaudah Veni bantu ngupas kentang sama Wortel ini ya. Ini mau dipake 'kan, Ma?" tanya Veni lagi. Dia berusaha untuk tetap terbiasa dengan ketusnya mertuanya saat ini berbeda dengan sebelumnya saat dia hamil yang dijadikan bak ratu. Dian membiarkan Veni mengupas kentang-kentang itu tanpa berkomentar, lagian untuk apa juga wanita itu banyak omong. Tapi, beberapa saat setelah Veni mengupas kentang-kentang itu warna kentang berubah jadi coklat karena tidak di direndam pada air. "VENI ... VENI KAMU ITU BISA ENGGAK SIH MASAK. MASA GINI DOANG AJA KAMU ENGGAK BECUS. LIHAT INI KENTANGNYA JADI COKLAT ATURAN KAMU TADI RENDEM KE AIR JADI WARNANYA ENGGAK GINI!" teriak Dian kesal dengan Veni. "Maaf, Ma. Veni enggak tahu." "Kamu itu enggak pernah masak apa. Kalau kayak gini ujungnya dibuang. Sayang tahu bahannya!" ucap Dian dalam celotehannya. "Bisa dicuci, Ma. Veni kira dikupas dulu setelah itu baru dicuci." Dia melemparkan hampir 8 butir kentang ke tempat sampah. Padahal, itu bisa dicuci. "Kok dibuang, Ma? Sayang udah dikupas di buang." "Kan bisa dicuci, Ma nanti warnanya hilang kalau udah dicuci." Veni membela dirinya karena kentang sebanyak itu sayang dibuang begitu saja apalagi sudah Veni kupas. Pembantu yang melihat itu hanya sedih saja. Tapi, dia juga tidak berani membantah atasannya. "Kamu itu gimana sih. Makanya dulu pas sebelum nikah itu belajar masak! Bukan malah dandan sama kerja aja." "Maaf, Ma." "Maaf ... Maaf. Buang-buang bahan aja kamu tahu enggak. Udah enggak nyari uang malah seenaknya." "Tapi, dulu aku resign juga karena keinginan Mama sama Mario kenapa sekarang salahin Veni." "Tuhkan sekarang udah pinter jawab. Menantu kurang ajar kamu itu emang. Kenapa saya harus dapet mantu yang enggak ada yang bisa bikin seneng sama sekali." Veni menghela napasnya. Dia berusaha menahan tangisnya. Niatnya selalu baik tapi selalu dianggap tidak baik oleh mertuanya. "Ck ada apa si ini ribut-ribut kalian di dapur aku tidur di ruang tamu suaranya kedengeran banget!" Mario datang dengan muka bantalnya. "Mario kamu ajarin istri kamu buat enggak ngelawan Mama kek." "Aku enggak ngelawan, Ma." Veni membela dirinya memang dia tidak melawan Mamanya tapi Mamanya itu yang selalu menyalahkannya. "Tuhkan kamu denger 'kan? Denger 'kan dia bilang apa barusan. Gitu aja dia berani jawab aturan diem." "Emang dia ngelakuin kesalahan apa sih, Ma?" "Masa ngupas kentang dia enggak rendem di air sampai warnanya berubah jadi ya Mama buang." "Tapi, itu kalau dicuci bisa hilang, Ma. Mama langsung buang gitu aja." "Warnanya udah berubah, Veni kamu mau sekeluarga keracunan. Kalau kamu atau anak kamu gapapa. Kalau kita di sini gimana? Kamu mau saya tuntut karna udah mencoba bunuh kita." Veni menghela napasnya sabar. Suaminya sama sekali tidak membela dirinya. "Ven udah kamu di kamar aja sono. Urus anak kamu. Enggak usah ikut bantuin Mama kalau emang kamu enggak bisa masak. Kamu di keluarga kamu kan cuma dimanja makanya di rumah mertua enggak ada bantu-bantunya. Orang tua kamu itu salah didik kamu," jelas Mario nyelekit membuat Veni termenung. "Mar kamu boleh ya Hina aku tapi orang tua aku sama sekali enggak salah didik aku. Aku bisa jadi Mandiri dan kayak gini karena mereka. Mereka enggak pernah bentak aku." "Iya justru enggak pernah itu jadi kamunya kayak gini! Buruan masuk kamar! Enggak usah banyak omong!" Mario mengarahkan tangannya menyuruh Veni ke kamarnya. Veni pun mau tidak mau pergi ke kamarnya. Mamanya seperti senang karna Mario tidak membela dirinya. Beda seperti dulu. Mario memijit keningnya semenjak ada bayi perempuan itu rumahnya jadi marah-marah saja bawaannya. Kadang membuat Mario jadi malas pulang ke rumah. Apalagi diisi keributan Mama dan Veni. Seharusnya, kalau Veni melahirkan anak laki-laki pasti tidak akan membuat Mana ngoceh setiap hari. "Ajarin istri kamu biar nurut," ucap Dian lagi. "Iya." Jawaban singkat yang dibalas Mario. Lantas, Mario membuka kulkas dan minum karena tenggorokannya terasa kering. Saat jalan Veni bertemu dengan Arum, terlihat Arum dengan tampang mengejeknya, "Gimana rasanya jadi Babu Sekarang, Kak Veni? Menyedihkan ya kamu sekarang," ucap Arum menyindirnya. Veni tidak menggubris dan hanya melihat Arum sekilas lantas berlalu menuju ke kamarnya saja. Arum hanya tertawa lantas turun ke bawah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN