"Akhirnya keadaannya mulai membaik dan diperbolehkan pulang."
***
Dua minggu sudah Veni dirawat. Rasanya dia juga sudah bosen harus terbaring di rumah sakit ini. Kini Dokter sedang memeriksanya lagi. Hampir selama dua minggu ini pun Veni memang harus dirawat di rumah sakit.
"Alhamdulillah, Bu Veni setelah diperiksa keadaan Bu Veni sudah mulai membaik," ucap Dokter tersebut dengan senyumnya.
"Jadi, istri saya udah enggak kenapa-kenapa ni, Dok?" tanya Mario.
"Iya, keadaannya sudah mulai membaik darah tingginya pun sudah normal, keadaan bayinya pun Alhamdulillah juga sampai sekarang tidak apa-apa."
"Terus saya kapan boleh pulang, Dok? Saya udah bosen banget di sini. Makanan di sini bikin saya enggak napsu makan sama sekali,Dok." Veni yang gantian angkat bicara saat ini.
"Ini Ibu sudah diperbolehkan pulang kok. Karena seperti yang saya bilang sebelumnya kalau keadaannya sudah membaik Ibu sudah boleh pulang. Dan ternyata keadaan Ibu sudah membaik."
"Dok terus sama kelamin cucu saya gimana, Dok?"
"Ah kalau itu boleh nanti di cek lagi di ruang USG, Bu. Atau mau dicek sekarang aja sebelum pulang?" tanya Dokternya lagi.
"Sekarang aja, Dok. Saya pengen denger lagi cucu saya. Dari kemarin-kemarin masih belum kedetec terus jenis kelamin cucu saya."
"Tapi, sepertinya jika sebelumnya memang sudah laki-laki apalagi terakhir periksa Bu Veni kandungannya pada Bulan ketujuh Inshaallah akan tetap laki-laki. Tapi, ya bisa kita coba lagi periksa di USG," ucap Dokter tersebut lagi.
"Periksa aja lagi deh, Dok. Saya masih penasaran. Maklum Neneknya ini udah enggak sabar gendong cucu haha makanya pengen dicek mulu." Dokternya pun tersenyum dan mengangguk.
"Baik, ke ruang USG ya, Bu. Kita Cek lagi keadaan bayinya."
Veni pun mengangguk, Mario pun menggenggam tangan Veni dan mengangguk juga. Dia meyakinkan Veni bahwa tidak akan ada apa-apa walaupun sebelumnya sempat ada kejadian. Semoga saja bayinya bisa keperiksa lagi.
***
Di ruang USG, lagi-lagi Dokter mendesah dan harus mengabarkan kepada keluarga Veni kalau bayinya tidak bisa diperiksa lagi. Keadaannya memang membaik tapi posisi Jenis kelaminya tidak bisa terlihat lagi.
"Gimana, Dok cucu saya masih laki-laki 'kan?" tanya Dian angkat bicara setelah mereka saling serius melihat USG Veni.
"Maaf, Bu. Ternyata lagi-lagi posisi jenis kelamin bayi tidak terlihat. Tapi, kondisi bayi masih baik-baik saja. Hanya saja benar-benar tidak terlihat Jenis kelaminya."
"Hadeuh. Dokter enggak bisa lihat detailnya lagi emang? Masa Bulan depan udah mau lahiran masih belum bisa."
"Bayi keadaannya baik kok, Bu. Dan seperti yang saya bilang terakhir usg masih laki-laki bukan pada saat USG bulan ke tujuh. Semoga saja saat lahir nanti tetap laki-laki. Kita hanya bisa berdoa dan menyerahkan semuanya ke takdir Allah, Bu. " Dalam hati Veni sebenarnya dia malu. Mertuanya itu terlalu memaksa untuk memiliki anak laki-laki. Apalagi sampai memaksa sang dokter. Padahal, Dokter sudah berusaha tapi Mamanya tetap saja kekeh Jenis kelamin anaknya harus laki-laki.
"Dek semoga kamu di dalam perut Ibu baik-baik saja ya, Nak. Dan semoga juga Jenis kelamin kamu sesuai yang diharapkan mereka," batin Veni.
"Yasudah. Ini apakah ada yang ingin ditanyakan lagi?" Dokter sudah selesai memeriksa kandungan Veni. Veni bangun dibantu dengan suaminya, Mario. Sebenernya Mario juga berharap kalau USG ini bisa terlihat sang bayinya. Jadi, saat mereka pulang sudah tenang dan tidak banyak pertanyaan.
"Tidak ada, Dok. Ini keadaan menantu saya biar anaknya bener-bener cowo masih harus tetep makan yang amis-amis sama kacang-kacangan 'kan, Dok."
Dokter tersenyum lagi dan mengangguk, "Kita ikhtiar dengan itu saja ya, Bu. Semuanya kita kembalikan kepada yang Maha Kuasa. Karena hanya Allah yang dapat mengabulkan doa umatnya."
"Yayaya ... yaudah ayo, Ven, Mario pulang aja," ucap Dian lagi. Dia ke luar lebih dulu. Sedangkan Veni dan Mario mengucapkan terimakasih kepada dokter dan susternya.
"Terimakasih, banyak ya, Dok. Saya sama suami saya permisi dulu," ucap Veni kepada Dokter tersebut.
"Terimakasih juga ya, Dok," ucap Mario ikut berterimakasih kepada mereka.
"Sama-sama Pak Mario dan Bu Veni semoga lancar ya sampai hari melahirkan saya cuma bisa doain yang terbaik aja. Dan membantu sebisa kami sebagai Tim medis. Dan lebih sering hati-hati ya, Bu, Pak. Takutnya kejadian ini terulang lagi. Untung saja bayinya kuat dan terakhir jangan lupa obatnya untuk selalu rutin diminum." Itulah petuah yang Dokter sampaikaikan kepadanya. Mereka berdua pun dengan senyum ramah mengangguk. Dokternya sudah berusaha semaksimal mungkin semoga apa yang mereka harapkan akan menjadi kenyataan.
"Mama ke mana ya?" tanya Veni lagi. Saat dia berjalan ke luar. Mereka pikir Mamanya masih ada di luar ternyata udah enggak ada.
"Kayaknya udah dimobil deh. Udah yuk buruan. Kalau Mama udah diparkiran mobil pasti Mama nunggu di luar soalnya kuncinya masih di aku," ucap Mario lagi.
"Aduh, Mama selalu enggak sabaran ya. Yaudah yuk." Veni pun mengangguk dan segera berjalan menuju parkiran.
Sampai di parkiran benar saja. Mamanya sudah ada di sana. Mereka segera menghampiri Mamanya yang sedang kepanasan itu.
"Kalian lama banget si kenapa ngobrol dulu ama Dokternya. Mama kan udah lama ke luar."
"Maaf, Ma. Tapi, dokter tadi masih ngasih saran buat kita. Kita kan sebagai pasien harus mendengarkan masa mau ditinggal aja," ucap Mario lagi.
"Ya 'kan bisa kapan-kapan lagi."
"Maaf, Ma tadi juga lupa lama karena harus nebus obat dulu." Veni pun membantu suaminya untuk mengatakan kepada Mamanya itu.
"Halah. Yaudah-yaudah ah, ayo pulang. Mario buka ni pintu mobilnya." Mario pun membuka pintu mobilnya. Mamanya langsung masuk ke dalam sebenernya Mamanya itu baik kepada mereka apalagi Veni juga sedang mengandung anaknya. Tapi, karena mood Dian yang juga sedang tidak baik karena kesal dengan hasil USG anaknya yang tidak dikenali. Padahal, awalnya dia sudah senang karena cucunya kemarin cowo. Tapi, setelah jatuh ini beberapa kali diperiksa cucunya tidak lagi kedetec apakah Laki-laki atau perempuan. Itulah yang membuat Dian jadi kesal.
Sepanjang perjalanan juga hanya ada keheningan. Veni memilih memejamkan matanya saja. Mario menyetir dan Dian sibuk dengan pikirannya sendiri. Semua nampak tidak ada yang berbicara juga.
Hingga beberapa jam kemudian mereka sampai di rumah. Rumah sakit ke rumah memang jaraknya hampir satu jam belum lagi tadi jalanan macet. Dian turun lebih dulu. Veni menghembuskan napasnya kasar. Kadang mertuanya itu perhatian tapi kalau moodnya sudah sangat berantakan pasti seperti itu.
"Ayo, Ven turun," ucap Mario yang tanpa sadar sudah membuka pintu.mobilnya.
"Iya, Mar." Veni pun turun perlahan dengan dibantu Mario. Mario membantu Veni masuk ke dalam rumah.
Sampai di dalam rumah, Veni pun duduk di sofa. "Mama langsung ke kamar kali ya?" tanya Veni.
"Kayaknya iya. Kamu mau di sini atau di kamar?" tanya Mario lagi.
"Di sini aja, Mar. Aku jenuh harus ketemu kasur terus. Pengen di sofa aja," ucap Veni lagi. Sudah hampir dua minggu dia terbaring di ranjang rumah sakit. Dia pulang ke rumah pun memang menginginkan suasana rumah bukan di kamar yang ketemu lagi di kasur.
Mario menyalakan televisinya menemani istrinya menonton televisi. Beberapa saat kemudian Arum menghampiri mereka.
"Oh udah pulang, Kak?" basa-basi Arum yang seperti biasa tidak pernah sopan dengan Veni. Walaupun, begitu kadang Mario pun mengingatkan Arum selalu tapi karena Arum merasa dia selalu dibela dengan Dian jadilah dia selalu mengulanginya. Padahal, sesekali juga Dian mengingatkannya.
"Arum bisa enggak kalau nanya yang sopan. Kita ini kakak kamu."
"Ck. Iya-iya. Salah mulu," ucap Arum yang tidak pernah sadar akan kesalahannya.
"Ya makanya kalau dibilangin kamu selalu ngeyel. Nada bicara kamu itu songong, Arum."
"Padahal, nanya bener-bener," ucap Arum menghendikkan bahunya acuh lalu mengambil remotnya untuk menonton televisi. Padahal, jelas Veni yang sedang menonton televisi baru juga dia serius menonton upin-ipin tapi malah diganti dengan Arum.
"Arum kok diganti? Kakak masih nonton," ucap Veni kepada Arum. Rasanya dia tiap hari harus memendam kekesalannya dengan sepupu suaminya itu. Padahal, waktu itu sudah hampir diusir tapi tetap saja tidak ada kapoknya. Mentang-mentang sudah tidak ada keluarga dan merasa dikasihani jadilah anak itu seperti itu di sini. Pulang dari Jepang seharusnya Attitudenya Bagus tapi malah kebalikannya.
"Arum kamu bisa enggak yang sopan dari tadi. Veni ini kakak ipar kamu. Harusnya kamu enggak main nyerobot gitu dong."
"Biasanya 'kan yang nonton di sini juga aku, Kak. Kalian kan di kamar kenapa aku salah lagi." Arum mendengus. Padahal nonton sinetron lebih bagus dari pada kartun bocah.
"Ya tapi kan Veni yang lagi nonton lagian kamu itu kebiasaan nyerobot aja tahu enggak."
"Ah udahlah lagian udah gede kok nontonnya upin-ipin."
"Enggak tahu kenapa emang lagi suka kartun kakak,Arum. Kayaknya ini pengennya anak Kakak. Biasanya juga kakak enggak terlalu suka nonton kartun," ucap Veni yang walaupun kesalnya setengah mati dengan sang adik dia akan tetap berusaha untuk baik. Walaupun kadang ada saatnya dia juga membantah karena kesal.
"Alah alesan aja. Bilang aja emang masih suka nonton upin-ipin. Enggak malu sana umur. Arum aja yang udah gede enggak suka kartun," sautnya lagi tanpa menoleh ke arah Veni dan juga suaminya.
Mario merampas remot dari tangan Mario, kekesalannya sudah memuncak karena Arum yang semakin slengean, "Kalau kamu di sini tetep enggak ada attitude. Kamu bakal tetep kakak pindahin dari rumah ini ya, Rum. Jangan kira kemarin Kakak masih biarin Mama biar kamu tinggal di sini. Tapi, kalau kamu tetep enggak ada attitude dan ngomong sama Veni masih kayak gitu, Kakak langsung suruh kamu pergi dari rumah. Enggak peduli kamu adik sepupu kakak." Mario pun mengatakan itu dengan menggebu-gebu membuat
"Mar, udah cuma masalah sepele aja," ucap Veni mengelus lengan suaminya supaya tenang.
"Biarin aja, Ven. Kemarin aku masih diem dia tu seenaknya tapi kali ini biar aku pertegas lagi. Dia kalau enggak digertak enggak akan kapok."
"Udah yuk, Mar kita ke kamar aja kayaknya aku udah butuh istirahat aja deh. Kita ke kamar aja ya," ucap Veni lebih baik mengalah untuk ke kamar. Di kamar dia ada televisi juga sebenernya sedangkan di kamar Arum tidak ada.
"Kakak itu belain istri kakak mulu. Di kamar aku 'kan enggak ada tv wajar aku nonton di sini. Sedangkan di kamar kalian kan ada masa kalian mau egois si lagian biasanya aku kerja juga. Kak Veni bisa nonton kapan aja kenapa pas aku lagi libur mau nonton TV aja enggak boleh."
"Emang ada yang bilang enggak boleh?" tanya Mario lagi. Pada akhirnya adu bicara ini makin berlanjut. Veni berfikir untuk mengajak Mario ke kamar saja.
"La kakak lebih belain Kak Veni."
"Mario udah yuk. Mar aku lagi pengen es krim deh. Kayaknya enak dingin-dingin gini makan es krim vanilla." Padahal, Veni ini anti banget dengan s**u Vanilla apalagi es krim tapj semenjak dia hamil malah sangat suka dengan es krim Vanilla benar-benar hamil ini apa yang tidak disukai Veni jadi suka. Padahal, awal-awal hamil itu Veni malah tidak nyidam tidak mual juga. Waktu hamil keempat baru mulai merasakan itu.
"Mau es krim Vanilla sekarang?" tanya Mario gantian menengok ke arah istrinya dengan lembut. Padahal, tadi pandangannya ke Arum yang membuat Mario kesal dengan adik sepupunya itu. Lagian, kenapa sih Mamanya itu malah tetap mempertahankan Arum sudah bagus dia pindah saja. Apalagi, Arum ini tahu rahasianya kalau Bhiya pernah menjadi mantannya. Mario takut kalau nanti Arum ini keceplosan kepada Veni.
"Iya. Kayaknya sekarang enak. Yuk kita beli es krim aja," ucap Veni lagi.
"Yaudah ayu," ucap Mario lagi.
"Geliran, Kak Veni minta apa aja langsung diturutin. Tv diambil bentar udah kena marah. Enak banget sih jadi keluarga baru yang baru masuk ke rumah. Udah kayak ratu. Beda sama—"
"Kamu ngomong sekali lagi yang enggak ada sopan santunya. Sore ini atau bahkan siang ini kakak langsung bawa kamu ke keluar dari rumah ini. Tanpa atau dengan persetujuan Mama," potong Mario langsung. Arum pun hanya bisa terdiam dengan hal itu dia tidak mau ke luar dari rumah ini. Apalagi tinggal sendiri. Di Jepang dia sudah tinggal sendiri setelah kedua orang tuanya meninggal dan Arum juga jarang mempunyai teman dekat jadi dia tidak mau jika harus tinggal sendiri lagi.
"Udah ah, Mas. Ayo kita cari es krim aja." Veni sudah berdiri tapi suaminya masih tetap kekeh untuk duduk.
"Iya ini kita beli es krim sekarang. Kamu mau ikut atau di rumah aja? Masih sakit enggak?" tanya Mario lembut sambil mengelus perut istrinya. Sebagai suami dia benar-benar tidak sabar menanti kehadiran sang bayi. Dia ingin segera bertemu dengan bayinya. Setidaknya dia bisa mengungguli kakaknya Marvel kalau istrinya hamil lebih dulu.
"Ikut aja. Aku enggak pengen di kamar terus, Mar. Aku udah bosen di rumah sakit tiduran mulu." Veni memilih ikut Dari pada harus di rumah dengan Arum yang dia juga sebenernya kesal dengan adik sepupunya itu.
"Yaudah ayo." Mario menggandeng Veni untuk berjalan dan mereka pun pergi untuk membeli es krim.
Arum hanya memutar bola matanya malas, melihat mereka berdua. Arum juga tidak suka sebenarnya melihat Veni. Wanita itu benar-benar membuat kesal. Kasih sayang Mario jadi sekarang selalu ke istrinya.
***
Mereka pun sampai di toko es krim yang memang terkenal itu. Tadi, padahal, Veni hanya ingin es krim biasa yang dipinggir jalan pun tidak apa. Tapi, saat dia berkeliling dan menemukan tempat es krim yang bagus mereka langsung saja mampir ke sana.
"Tempatnya bener-bener kayak frozen ya, Mar. Dingin enak banget. Apalagi emang tempatnya baru. Untung aja kita ke sini tadi masih kedapetan bangku."
"Iya kayaknya kebanyakan mahasiswa sih, Ven. Apalagi lokasinya emang deket Dari kampus di seberang sana juga kan?"
"Iya bener. Ah aku jadi kayak anak muda lagi kita pulang terus nongki kayak gini."
"Dulu suka nongki juga?" tanya Mario.
"Ya waktu kuliah iyalah. Nikmatin masa muda," ucap Veni sambil memakan es krimnya. Hingga tidak sadar makan Veni pun belepotan membuat Mario malah tersenyum.
"Aku kira orang dingin kayak kamu anti sosial. Berarti dulu kalau nongki sama cowo?" tanya Mario sambil mengelap sudut bibir Veni dengan tangannya. Lalu menjilat tangan Mario bekas mengelap es krim di sudut bibir gadis itu. Bukan gadis tapi istrinya yang memang wajahnya masih seperti gadis.
Veni masih terdiam dan mengumpulkan pikiran-pikirannya karena tingkah Mario yang dadakan itu malah membuat Veni salah tingkah, "Kenapa kok malah diem aja aku nanya lho."
"Eh. Hm? Kamu nanya apa?" tanya Veni ulang saat Mario menyenggol bahu Veni pelan.
"Kamu mikirin apa sih? Sampe pipi kamu merah gitu. Mikirin yang enggak-enggak ya pasti?" tanya Mario secara menyelidik.
"Ih enggak kok, apaan deh. Kamu tadi nanya apa?" tanya Veni lagi. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain karena Mario yang menggodanya itu.
"Iya aku tanya kamu dulu nongki sama siapa? Sama cowo kah?"
"Gak. Aku enggak pernah nongki sama cowo paling yang kita ketemu Bram di warung deket rumah aku aja waktu itu. Dia doang dulu," ucap Veni lagi.
"Dia mantan kamu ya?"
"Enggak, Mario kita berdua tu cuma temen."
"Tapi, aku lihat sebagai aku laki-laki tatapannya enggak beneran kayak temen kok. Okelah kalau kamu nganggepnya temen tapi kita kan enggak tahu dia anggep kamu apa." Veni tertawa. Sepertinya suaminya ini cemburu saat menceritakan Bram temannya saat kecil sampai SMA itu dan pisah karena Bram harus pindah dan menyelesaikan kedokterannya.
"Ya kamunya aja kali yang cemburuan," ucap Veni lagi sambil mencolek pipi suaminya itu. Ah mencubit pipi suaminya yang kenyal itu candu untuknya. Veni benar-benar tidak sadar kalau mereka malah sedang diperhatikan.
"Ven kamu enggak malu lagi dilihatin orang-orang?" tanya Mario menyuruh Veni melihat ke arah kanan-kirinya. Veni pun menoleh. Banyak pandangan yang malah kagum dengan kemesraan mereka. Sedangkan Veni hanya tersenyum kikuk dan menganggukan kepalanya.
"Mario kenapa kamu enggak bilang kalau kita dilihatin aduh, Mario aku malu ni," ucap Veni menurut dengan buku menu yang ada di mejanya.
"Ya enggak papa dong kita kayak gini udah nikah juga. Perut kamu juga kelihatan lagi hamil. Jadi, aturan kamu seneng dong kamu hamil sama suami ganteng kayak aku," ucap Mario dengan pdnya. Dia menaik-turunkan alisnya. Bisa-bisanya laki-laki itu stay cool padahal mereka di dalam caffe frozen itu sudah melihat mereka berdua.
"Kamu dingin enggak? Kalau dingin pake apa?" tanya Mario lagi. Caffe yang benar-benar ala frozen ini memang dingin sekali. Seharusnya cocok dengan sifat Veni yang dingin belum lagi dulu juga ketus.
"Enggak kok. Malah enak sejuk. Ah jadi pengen seterusnya ke sini tahu. Ih enak."
"Pakai jacket aku ya. Biar kamu enggak kedinginan. Soalnya bibi kamu udah kelihatan pucet."
"Enggak kok. Tadi emang enggak pake lipstick aja jadi sebelum ke sini udah pucet," ucap Veni lagi sambil terus memakan es krimnya dengan serius.
"Oiya cewe dingin kayak kamu malah seneng deng ya kalau dibawa ke tempat kayak gini," goda Mario lagi.
"Hahaha ... Mar kamu ngeselin kok. Godain aku mulu sebel banget aku."
"Gak godain aku ngomong fakta loh padahal. Lagian kalau kamu suka yaudah aku juga suka kok. Pokonya semua tentang kamu dan anak kita kalau suka ya pasti bakal aku turutin," ucap Mario. Veni tersipu malu rasanya. Wajar kata-kata Mario Manis dia mantan playboy berbeda dengan Veni yang selalu enggan berbicara dengan lawan Jenis kalau tidak ada kepentingan mendesak yang membuatnya harus berbicara dengan lawan Jenis.
"Pinter ya buaya itu kalau ngomong. Manis banget. Aduh, Dek nanti kalau lahir jangan kayak Papa ya. Kayak Mama aja. Kasian nanti cewe-cewe kalau kamu kayak, Papa," ucap Veni sambil mengelus perutnya.
"Harus kayak Papa dong. Ganteng, Cool ah apalagi kamu bakal jadi penerus jagoan, Papa," ucap Mario dengan yakin kalau anaknya kelak akan laki-laki. Tapi, Veni jadi takut sendiri kenapa USGnya terakhir tadi siang masih belum terlihat Jenis kelaminya.
Ah tapi, sudahlah toh dia Terakhir periksa juga beberapa minggu sebelum kejadian dan masih laki-laki jadi Veni yakin kalau anaknya akan tetap laki-laki. Veni terus meyakinkan dirinya dalam hati kalau anaknya kelak benar-benar akan laki-laki.
"Tapi, pas muda beneran enggak deket sama siapapun, Ven?"
"Ck butuh aku bilang berapa kali coba aku itu enggak ada waktu nyari-nyari cowo fokus kerja terus banggain keluarga itu udah enak banget. Eh kamu dateng terus Allah merestui yaudah baru aku mulai mau ama kamu."
"Berarti mau doang nih, enggak cinta atau sayang atau—"
"Ya dulu enggak tapi pas mau ada calon debay ya udah suka aja," ucap Veni lagi.
"Eh maksudnya ya sayang gitu udah ah masa masih aja ditanyain orang udah mau punya anak juga," lanjut Veni lagi sebelum Mario mengucapkan lagi pertanyaan yang sama. Berbicara dengan Mario itu harus jelas kalau tidak jelas pasti dia akan mengulang point yang sama lagi.
"Iya-iya percaya deh sama istri ku. Ah makin sayang aja deh jadinya," ucap Mario lagi.
Veni tertawa dan menggelengkan kepalanya. Ah kehidupannya sangat indah apakah keindahan ini akan terus berlanjut sampai dia benar-benar melahirkan seorang anak laki-laki. Ya, semoga saja demikian.
"Udah belum makan es krimnya gantian cari makan yuk, atau mau makan di rumah," ucap Mario lagi.
"Tapi makan es krim sama dessert box gini udah enak kenyang masa mau makan lagi."
"Heh kan belum makan karbohidrat ini dari tadi manis-manis terus kasian anak kita. Jadi, ayo kita cari makan atau pulang kamu mau makan apa?" tanya Mario lagi.
"Masih kenyang, Mar. Ini es krim sama cakenya juga belum abis kok. Nanti dulu ah sayang," ucap Veni lagi.
"Oke tapi nanti makan ya awas aja kalau enggak makan lagi."
"Hadeuh Dek, Dek Papa kamu ini enggak ada capeknya nyuruh Mama makan. Padahal, Mama kenyang."
"Ya 'kan biar sehat bayi kamu dan kamunya juga. Kamu sebenernya mau dipanggil apa sih? Kadang Ibu kadang Bunda kadang Mama." Veni tertawa. Iya juga ya. Kadang panggilan dirinya kalau berbicara dengan anaknya suka ganti-ganti. Nanti kalau anaknya lahir malah bingung harus memanggil Veni apa.
"Wkwkw iya-ya. Yaudah dipikir nanti aja kalau sekarang-sekarang masih suka acak manggilnya."
"Kita belum nyiapin pakaian anak sama nama ya kayaknya kita santai banget ya, Ven," ucap Mario. Veni mengangguk dengan es krim yang setia masuk ke mulutnya itu.
"Iya-iya. Yaudah deh besok kita cari pakaian anak aja. Kamu besok kerja?"
"Kerja sih tapi kalau mau nyari besok ya enggak papa kita cari besok."
"Haish enggak usah lag kalau kamu emang kerja. Kita bisa tunggu hari minggu aja."
"Halah enggak papa santai aja orang aku bosnya kok." Veni menampol pipi Mario pelan, "Kebiasaan sombong. Tahu deh si paling bos. Paham banget," ucap Veni.
Mario pun tertawa dengan sombongnya juga, "Haha ya gimana ya sombong tapi kenyataan kok," ucap Mario sambil tertawa lagi. Veni hanya menggelengkan kepalanya.
Beberapa saat mereka fokus dengan es krimnya masing-masing. Telepon Veni pun berbunyi. Dia lantas mengambil ponsel yang berada di tasnya.
"Siapa yang nelepon?" tanya Mario saat Veni melihat ponselnya yang berbunyi.
"Umi, Mar."
"Oh yaudah angkat aja dulu. Tapi, enggak usah bilang kalau kamu emang habis jatoh dan dirawat. Waktu itu Umi kamu sempet telepon aku cuma aku selalu jawab kamu lagi tidur atau aku lagi di kantor. Akhir-akhir itu kamu butuh istirahat."
"Kamu enggak bilang aku dirawat di rumah sakit?"
"Enggak udah kamu jawab aja dulu itu Umi kamu telephone. Nanti kelamaan malah mati," ucap Mario lagi menyuruh Veni segera mengangkat teleponnya.
"Iya, Mar." Veni lantas mengangkat teleponnya.
"Halo assalamualaikum, Umi?"
"Waalaikumsalam, nak. Ah Akhirnya kamu juga yang angkat. Beberapa minggu ini mau ngomong sama kamu susah banget. Kamu enggak papa kan nak? Kamu baik-baik aja kan, nak? Padahal, perasaan Umi lagi gaenak banget tentang kamu, nak." Veni jadi bingung dan merasa bersalah juga tapi dia juga tidak mau membuat Uminya khawatir. Mario sudah mengkode mengatakan kenapa tapi Veni rasanya masih sibuk dengan pikirannya.
"Veni, nak? Kamu masih di sana 'kan? Kamu denger suara Umi kan?"
"Ah iya, Umi. Ini Veni dengerin kok. Maaf ya, Umi jarang ngabarin Umi jarang main ke rumah Umi juga. Veni emang jarang main hp juga, Mi. Lagi pengennya tidur terus," jawab Veni.
"Oh gitu. Syukur deh kalau kamu enggak kenapa-kenapa. Biasanya kamu sering ke rumah soalnya kok tiba-tiba jarang di rumah, Umi jadi takut kamunya kenapa-kenapa makanya Umi sering telepon kadang diangkat kadang juga Mario yang angkat. Tapi, Umi juga tenang sih kalau emang ternyata kata Mario kamu emang enggak kenapa-kenapa."
"Iya, Mi alhamdulillah doain ya Bulan depan waktunya Veni lahiran. Nanti jangan lupa juga dampingin Veni selama lahiran, Mi. Veni mau ada Umi."
"Ah ya nanti Umi usahain untuk selalu ada buat kamu, nak. Kamu kapan main ke sini lagi, nak sudah lama kamu enggak main ke rumah kami."
"Iya, Umi. Nanti Veni main lagi ya kesana. Gimana keadaan Abi sama Umi? Sehat sampe lupa lho nanya keadaan Abi sama Umi sakit Umi excited banget nanya calon cucunya."
"Hehehe iya, ini Umi terlalu excited seneng akhirnya bisa denger suara kamu lagi. Hampir dua minggu lebih Umi enggak denger suara kamu. Kangen rasanya," ucap Uminya. Veni merasa Uminya ini menahan tangis dengan suara yang berbeda.
"Umi nangis?" tanya Veni.
"Enggak kok, Umi enggak nangis. Ini tu Umi lagi agak pilek aja. Kan cuaca juga lagi mendung terus kamu juga jaga kesehatan ya jangan sampe sakit. Tapi, kita di sini kabarnya baik-baik aja kok." Veni pun mengangguk dan percaya kalau memang Uminya baik-baik saja beserta Abinya juga. Memang selama dua minggu lebih dia tidak bisa dihubungin ya memang karena dirawat tapi karena Mario yang mengangkat dan akhirnya mengatakan kalau Veni sibuk dan sering istirahat yasudah.
"Alhamdulillah kalau gitu, Mi. Aku ikut seneng dengernya. Abi ada di situ enggak? Aku mau ngomong sama Abi," ucap Veni lagi dia juga rindu dengan suara Abinya. Tapi, kayaknya dia belum bisa ke sana. Masih ada bekas infus juga di tangannya. Dia akan ke rumahnya kalau memang keadaannya sudah benar-benar membaik.
"Ada kok. Nih kalau mau ngomong sama Abi."
"Iya, Mi mau."
"Abi ini Veni mau ngomong sama Abi katanya." Veni sudah mendengar Uminya mengatakan itu dia pun tersenyum. Ah sangat rindu dengan kedua oran tuanya. Padahal, mereka selalu dekat sejak kecil dan akhirnya Veni tidak terasa sudah menikah dan kini malah gantian dirinya yang akan menjadi Ibu.
"Halo assalamualaikum...."
"Waalaikumsalam, Abi," jawab Veni. Ah, kenapa saat mendengar suara Abinya Veni malah ingin menangis. Merasa Bersalah karena tidak memberi tahu keadaan Veni. Padahal dulu kalau sakit Abinya yang selalu khawatir. Gimana kalau kemarin Abinya sampai tahu keadaanya yang sakit itu.
"Gimana kabar kamu, nak?" tanya Abinya.
"Baik, Abi. Abi kabarnya gimana? Sehat juga kan? Veni kangen sama Abi...."
"Alhamdulillah sehat, nak. Kamu juga sehat kan? Calon cucu Abi juga sehat 'kan?"
"Alhamdulillah Veni dan calon cucu Abi juga sehat."
"Kamu enggak jenguk kamu nak? Atau kamu benar-benar lagi sibuk ya?"
"Maaf ya, Abi. Sejak hamil besar Veni lebih sering tidur soalnya. Pengen istirahat terus bawaannya."
"Ah gitu iya enggak papa kok," ucap Abinya lagi.
"Kamu lagi di mana? Udah makan belum?"
"Veni lagi makan es krim, Bi. Veni masa jadi suka es krim Vanilla padahal Veni dulu benci Vanila karena rasanya enek eh sekarang nyidamnya Vanila."
"Ohya? Dulu padahal emang kamu enggak suka sama sekali sama Vanila."
"Iya makanya aneh sekarang tiba-tiba suka."
"Yaudah kamu di sana sama siapa? Kalau sendiri hati-hati loh, nak."
"Aku sama Mario kok, Bi dia ada di sini juga lho ini," ucap Veni lagi.
"Oh gitu yaudah lanjutin makan es krimnya dulu nanti leleh enggak enak. Lagian udah telephonan lama juga ini."
"Ah padahal, Veni masih kangen sama Abi. Tapi, yaudah nanti malem Veni telepon lagi ya."
"Iya, nak sering-sering telepon kami. Kami juga seneng apalagi kalau kamu main ke sini sudah lama lho enggak ke sini."
"Iya, Abi nanti Veni bakal ke sana kok. Kangen juga Veni sama Abi Umi tu...."
"Yaudah kamu lanjutin sama Mario ya nak. Gaenak udah lama juga teleponnya. Salam buat Mario dan keluarga besar kamu ya, nak," ucap Abinya lagi.
"Iya, Abi. Abi sama Umi juga sehat-sehat ya. Veni sayang kalian."
"Kami juga sayang sama kamu, Ven dan keluarga lainnya. Sudah ya Abi tutup. Assalamualaikum...."
"Waalaikumsalam, Abi," jawab Veni. Panggilan pun sudah selesai. Kini Veni mematikan ponselnya.
"Udah teleponnya?" tanya Mario.
"Lama ya? Maaf ya, Mar aku kangen banget sama mereka. Belum lagi aku juga enggak enak biasanya sering telepon sana ini enggak. Takutnya mereka juga curiga kan kita habis dirawat."
"Iya enggak papa aku kan juga cuma nanya aja."
"Iya kangen banget sama Abi Umi kapan ya kita ke sana. Apalagi aku udah mau lahiran mau minta maaf juga sama Abi Umi kalau emang ada salah. Biar persalinannya lancar anaknya pun sesuai dengan mau kita yaitu laki-laki." Mario pun menganggukan kepalanya.
"Yaudah nunggu kondisi kamu membaik aja. Kamu aja baru pulang dari rumah sakit udah jalan lagi ini ke sini. Yaudah yuk kita pulang. Mau makan di rumah atau di mana?" tanya Mario lagi.
"Aduh padahal aku masih kenyang loh, Mar. Kamu suruh makan mulu."
"Ini udah mau sore waktunya minum obat juga. Udah yuk pulang kelamaan ditempat dingin kayak gini malah kesenengan kamu nanti anaknya malah kedinginan."
"Enggaklah dia mah anget ya, nak ya. Didalem perut Bunda."
"Nahkan panggilanmya udah berubah lagi beda sebentar," ucap Mario lagi menggelengkan kepalanya.
"Hahaha ... ya gimana ya, Mar. Dibilang masih suka ganti-ganti sambil nyari yang cocok juga kok," ucap Veni sambil tertawa.
"Iya-iya seneng kamu aja deh. Yaudah yuk kita pulang," ucap Mario lagi dia menggandeng tangan Veni lalu ke luar dari frozen cafe itu. Udara saat ke luar sudah berbeda lagi saat mereka di dalam. Tidak habis pikir sama yang kerja di sana ada yang flu tidak ya. Ucap Veni dalam hati membuat dirinya terkekeh.
"Kamu ngapain senyum-senyum gitu?" tanya Mario saat mereka berjalan menuju parkiran.
"Ha? Eng ... enggak kok."
"Hayo kamu mikirin apa? Mikirin cowo lain 'kan?"
"Ish enggak kamu ni aneh-aneh aja masa iya aku mikirin cowo lain sedangkan suamiku sendiri speknya udah pangeran."
"Pangeran kodok?" tanya Mario lagi.
"Hahaha ... kamu udah dipuji kok malah jawabnya gitu," ucap Veni sambil tertawa lalu dia masuk ke mobil saat pintu sudah dibuka oleh Mario. Mario hanya menggelengkan kepalanya lantas dengan cepat dia berlari ke bangku kemudinya.
"Ya enggak papa dong. Kan kalalo di film pangeran kodok kalau ketemu sama Peri cantik bakal berubah jadi ganteng nah sekarang aku berubah kan jadi ganteng? Berarti kamu perinya." Veni malah tersenyum malu. Niatnya dia yang menggombal malah lagi-lagi gombalannya dibalas oleh raja playboy ini. Mantan deng. Kan sekarang sudah jadi milik Veni seutuhnya.
"Emmm ... dahlah enggak jadi deh ngegombal sama Raja Playboy lagi dah aku kalah kok sayang. Ngalah aja aku," ucap Mario lagi.
"Wkwkw ... ya jangan gitu dong sayang. Lagian kamu sih pinter banget ngegombal diajarin siapa hmm...." Mario pun mencubit hidung istrinya hingga membuat istrinya meringis.
"Mario sakit iih...." Veni mengelus hidungnya yang dijepit oleh tangan Mario itu. Mario malah tertawa lalu saat lampu mereka berhenti. Mario dengan cepat mencium hidung Veni yang tadi dicubitnya.
"Astaga, Mario kamu geraknya cepet banget deh."
"Kalau lama kamu tolak soalnya jadi the power of sat-set sat-set."
"Dasar ngeselin."
"Tapi ngangenin."
"Kata siapa?"
"Kata kamu," ucap Mario lagi. Mereka malah saling adu pertanyaan hingga Veni yang merengek dan Mario yang harus mengalah lagi.
"Mana ada aku bilang gitu. Kamu itu ngaku-ngaku ya," ucap Veni lagi.
"Enggak ngaku lho emang kamu terpesoja everyday kan?"
"Hala...."
"Hayo ngaku atau aku cium lagi ni gantian bibirnya." Veni dengan cepat menutup bibirnya dan menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya laki-laki mengancamnya.
"Hahaha ... makanya kamu jangan suka ngeledek." Mario malah tertawa puas kala Veni akhirnya yang mengalah.
"Udah jangan cemberut. Jelek."
"Hmm...."
"Mau makan apa? Di rumah atau beli? Atau mau makan di mana?"
"Emmm ... mau masakan rumah aja deh, Mar aku lagi bosen gatau mau makan apa. Jadi, di rumah aja."
"Oke kalau kayak gitu pulang aja. Ini ada yang mau dibeli lagi enggak mumpung di luar nanti kamu tiba-tiba bilang mau ada yang dibeli pas kita di rumah." Veni pun menaruh telunjuknya di dagu sambil berfikir dia mau makan apa.
"Emm...."
"Mau apa?"
"Bentar lagi mikir, Mario kamu ini ngeselin banget masa orang Mikir ditanya."
"Huftt ... iyalah," ucap Mario mengalah lagi.
"Yaudah enggak ada kok. Kayaknya lagi enggak pengen apa-apa. Dedek juga enggak pengen apa-apa kok."
"Oke kalau gitu kita pulang." Mario memastikan lagi mereka untuk pulang. Takutnya, Veni ada yang dimau lagi jadi mending dia tanya sekalian.
"Emang kalau aku minta apa-apa nyusahin apa, Mar sampai nanya kayak gitu?" tanya Veni lagi.
"Yaenggak sayang. Kan cuma memastikan aja. Kalau masih di sinikan enak kamu cari apa yang kamu mau terus kamu bisa langsung makan kalau misal kamu minta di rumah terus aku harus cari lagi 'kan kasian kamu nunggu lama," jelas Mario lagi. Padahal, dia alasan memang kadang dia malas untuk ke luar tapi dia tidak bisa.menolak keinginan istrinya itu.
"Hmm ... dah ah ngantuk aku mau tidur aja. Nanti kalau udah sampe rumah bangunin."
"Oke sayang." Veni pun membenarkan duduknya dan mulai tidur. Mario tetap fokus untuk menyetir pulang ke rumah.
Sesekali Mario mengelus kepala Veni agar istrinya tidur dengan nyenyak. Dia tetap fokus menyetir. Dia benar-benar tidak sabar menunggu kehadiran sang buah hati. Junior yang selalu dia tunggu kehadirannya dan juga keluarga besarnya, yang akan menggantikan menjadi pewaris perusahaan. Tidak terasa sebentar lagi mereka akan sampai di rumah.