Veni keluar dengan dibantu suster dan juga Dian yang tengah menatap nya kesal. Pasalnya Veni membuat dirinya tidak bisa melihat jenis kelamin cucunya sendiri karena tidak sengaja terpleset. Akhirnya mereka pun kembali ke dalam ruang inap Veni yang sudah ia tempati sebelumnya.
Di sana sudah ada Mario yang menunggu dengan harap harap cemas, karena ia pun sebenarnya khawatir tentang jenis kelamin anaknya sendiri. Kemudian suster yang membawa Veni pun akhirnya pergi dari ruangan tersebut dan menutupnya kembali. Sedangkan Veni, ia pun langsung berbaring dan beristirahat.
Sedangkan Dian memutuskan untuk mengalihkan pandangannya sejenak dari Veni dan bayinya. Ia memutuskan untuk keluar sebentar mencari makanan yang bisa Veni makan namun tidak menaikkan gula darah atau tensinya lagi.
"Kamu coba dong hati-hati, gula darah sama tensi kok bisa tinggi banget?" sebelum pergi Dian menyempatkan dirinya untuk mengomeli Veni yang tengah terbaring di kasur rumah sakit.
"maaf ma, ini Veni juga nggak tahu kenapa bisa naik. Padahal kan Veni makannya juga stabil sama kaya apa yang mama makan," Veni menatap ke arah ibu mertuanya itu guna membela dirinya sendiri.
Akhirnya Dian pun karena kesal keluar dari ruangan meninggalkan Veni dan Mario yang masih berada di dalam kamar. Mario bertugas untuk menjadi suami siaga sementara Dian membelikan makananan yang rendah gula dan garam untuk Veni.
" kamu jangan terlalu nyusahin mama aku lah, dia kan udah tua. Masa diri kamu sendiri kamu nggak tahu sih?" Veni tercenung, menetap Mario yang sedang menatapnya juga dengan tatapan yang kesal.
Veni sadar apa yang dilakukan ya mungkin terdengar ceroboh atau terlihat ceroboh. Namun Veni juga tidak merasa dia melakukan tindakan tersebut dengan sengaja, apalagi untuk mencelakakan bayinya sendiri tidak pernah terpikirkan oleh Veni untuk melakukan hal sekeji itu.
"Aku nggak mau nyusahin mama kamu atau kamu. Karena aku juga ngerasa dia juga sama kaya Mama aku sendiri. Dan aku tahu apa yang aku lakuin itu salah, tapi aku juga nggak sengaja Mario. Aku minta maaf kalau emang aku nyusahin kamu atau mama kamu," Tak terasa air mata pun menyusuri pipi Veni yang kering.
Veni bukan tipikal gadis yang mudah terbawa suasana atau tv kalau gadis yang mudah mengeluarkan air mata. Namun respon dari Mario membuat dirinya sedih. Entah kenapa Veni merasa sangat kesal dengan respon yang Mario tunjukkan.
"Aku juga enggak sengaja kepleset apa lagi sengaja ninggin gula darah aku, kalau emang kamu enggak bersedia jagain enggak papa. Aku bisa sendiri, disini banyak suster kok," kata Veni lagi, sementara Mario diam.
Sepertinya Mario salah berucap, sebenarnya maksud Mario adalah Veni itu menjaga apa yang ia makan karena bayi yang ada di dalam perutnya ikut memakan makanannya. Ia juga bermaksud agar Veni tidak terlalu memilih makanan sekalipun tidak enak untuk kesehatannya sendiri.
Walaupun tidak bisa dipungkiri Mario sedikit kesal dengan tingkah Veni yang tidak dewasa pasal makanan. Mario tahu betul kenapa Veni bersikap seperti itu, pasti bawaan si jabang bayi. Namun entah kenapa masih saja rasa kesalnya itu tidak hilang dengan instan.
Melihat respon Veni yang malah menangis membuat Mario malah merasa bersalah. Dia ingat apa yang membuat Veni seperti itu, namun tetap saja ia lakukan. Sekarang dia kelabakan sendiri melihat istrinya yang tengah merajuk.
"Bukan gitu maksud aku Ven, aku tuh cuma khawatir sama anak kamu aku. Aku takut misalnya nggak ada aku atau mama di tempat, kamu bakalan gimana kalau sendiri dengan kondisi kaya gini? Kita berdua enggak bisa nemenin kamu dua puluh empat jam terus. Kamu tahu kan?" Mario mencoba menjelaskan apa yang ia maksud kepada Veni yang masih menangis dan diam.
"Aku enggak masalah kamu repotin, sama sekali enggak keberatan atau masalah karena ini anak kita berdua. Tapi aku cuma khawatir, kalau kamu terlalu nurutin apa kemauan lidah kamu nanti kamu bakalan susah sendiri. Ini aja kamu harus dirawat di rumah sakit sampai gula darahnya turun," kata Mario sambil mencoba untuk mendekati Veni yang masih memalingkan pandangannya dari suaminya itu.
"Aku minta maaf, kalau misalnya tadi aku salah ngomong. Tapi aku beneran khawatir sama kamu Veni, aku juga khawatir sama anak kita. Belum lagi posisinya dia saat ini, kita harus nurunin ego masing-masing ya? Biar bayinya juga sehat," kata Mario sambil mengelus tangan Veni dengan lembut.
Akhirnya Veni luluh dan menoleh, matanya sembab karena menangis dalam diam. Mario tersenyum tipis, dirinya juga sempat panik dengan keadaan gula darah dan tensi istrinya. Belum lagi permintaan Dian untuk melihat jenis kelamin anaknya.
"Maaf juga, aku berusaha buat bisa makan makanan rumah sakit," kata Veni sambil menatap ke arah Mario.
"Enggak papa kalau enggak bisa makan makanan rumah sakit, nanti Mama dan aku cari makanan yang enak. Tapi janji sama aku, jangan sembarangan lagi makanannya, sekalipun aku dan Mama pantau kalau kamu nakal bakalan susah," Mario berusaha untuk membuat kesepakatan dengan ibu bayinya ini.
"Mar, aku ngantuk," kata Veni yang mulai merasakan kantuk yang menyerang dirinya.
"Yaudah, tidur aja dulu. Nanti kita lanjutin lagi ngomongnya," Mario bangkit dari duduknya dan membantu Veni untuk menemukan posisi yang enak untuk tertidur.
"Perutnya sakit?" tanya Mario pada Veni, Veni menggeleng.
"Aku cuma gampang ngantuk," kata Veni dan Mario mengangguk.
Setahu Mario, entah itu benar atau tidak. Bawaan dari gula darah yang tinggi kita jadi mengantuk ditambah lagi Veni sedang hamil, memungkinkan dirinya untuk mengantuk terus.
"Yaudah, nanti kalau misalnya Mama datang aku bangunin," kata Mario sambil mengelus perut Veni.
Akhirnya Veni pulas, Mario menggunakan waktunya untuk bekerja dengan laptop yang sengaja ia bawa. Tak berapa lama Dian datang membawa beberapa tentengan, ia membawa makanan yang bebas gula namun terlihat sehat.
"Mama nanya-nanya sama temen mama yang pernah kena gula, toko ini katanya nyediain makanan yang gulanya rendah. Liat, nasinya aja nasi merah atau hitam gitu," kata Dian bersemangat menjelaskan apa yang ia belikan untuk calon cucunya itu.
"Coba aja Veni enggak jatuh, pasti Mama udah bisa liat dengan jelas jenis kelaminnya," dumel Dian sambil membuka makanan-makanan yang ia beli.
"Aku yakin anak aku cowo, Ma. Mama jangan terlalu tekan Veni, nanti dia stress kasihan kan anakku," kata Mario mencoba berbicara kepada Dian untuk tidak terlalu menekan.
"Kamu ini anak kecil tau apa, pokoknya Mama masih agak sebel!" kata Dian yang masih merasakan kekesalan akibat posisi janin saat ini.
"Veni juga harus rajin olahraga, kamu harus ingetin istri kamu!" ingat Dian pada Mario yang mengangguk sambil mengerjakan pekerjaannya yang menumpuk.
"Denger Mama enggak?" tanya Dian sambil menatap ke arah anak laki-lakinya itu kesal.
"Dengar Ma, ini aku juga lagi nyari duit buat gedein cucu Mama," omel Mario yang kemudian tidak dihiraukan oleh Dian.
***
Dian akhirnya membangunkan Veni yang sebenarnya sudah bangun semenjak mendengar bunyi pintu yang terbuka. Namun ia tak berani membuka matanya karena tahu Dian masih menyimpan kesal padanya. Terbukti dengan Dian yang menyalahkan Veni karena jenis kelamin anaknya yang tak kunjung terlihat.
"Veni, makan dulu," Dian menggoyangkan badan menantunya itu pelan. Veni pura-pura terjaga dan bangun dari tidurnya dibantu oleh Dian.
“Mama, maafin Veni ya. Veni jadi ngerepotin Mama,” lirih Veni akhirnya karena melihat begitu banyak makanan yang sudah disuguhkan oleh mertuanya ini.
“Kenapa minta maaf?” tanya Dian sambil menyerahkan piring kepada Veni untuk mengambil makanan yang ia inginkan sendiri.
“Mama jadi jauh-jauh beliin aku makanan hanya karena aku enggak bisa makan makanan rumah sakit,” jelas Veni sambil menunduk, lagi-lagi dia menangis.
Entah kenapa akhir akhir ini Veni sering sekali menangis. Bukan sering menangis namun hatinya lebih sensitif daripada biasanya, mungkin bawaan dari si Jabang bayi. Dian yang melihat Menantunya menangis pun langsung panik, tensi Veni sedang tinggi ditambah dengan gula darah. Apalagi jika Veni menangis.
“Jangan nangis, Nak. Kan Mama juga nyarinya senang. Apalagi kalau anak kamu senang,” kata Dian sambil mengelus kepala Veni dengan sayang.
“Kalau kamu suka ini aja jadi langganan kita,” sambungnya lagi sambil memberikan sayur seperti salad kepada Veni. Veni mengangguk dan mulai mencoba makanan yang dibelikan.
“Mama enggak makan? Aku enggak mau makan ah kalau Mama enggak ikutan,” tanya Veni yang bingung melihat Dian sibuk memperhatikannya tanpa mau menjamah makanan yang banyak ini.
“Mama mau mastiin kamu makannya enak dulu baru nanti, mama makan sama Mario. Kamu makan aja karena yang sakit itu kamu bukan mama atau Mario,” ujar Dian sambil duduk di kasur yang sama dengan Veni.
Akhirnya Veni pun mengangguk, dia pun mengambil chicken katsu yang ada di depannya. Rasanya sangat gurih dan enak, Veni sedikit tidak percaya jika chicken katsu yang ia makan ini rendah lemak apalagi rendah gula. Sampai sampai ia pun sibuk dengan makanannya tanpa melihat ke arah Mario ataupun Dian lagi.
“Kamu suka semua?” tanya Dian memastikan makanan yang ia bawa sudah dicicipi oleh menantunya ini.
“Ini enggak,” kata Veni menunjukkan chicken pop dengan saus manis pedas yang tidak cocok dilidahnya.
“Nggak enak ya? Ya udah nanti mama nggak bakalan beli itu lagi kamu lanjutkan aja makannya,”
“Bukannya nggak enak ma, tapi aku takut gulanya itu bakalan banyak soalnya dia kaya manis sama pedas gitu lo Ma,” kata Veni sambil menyingkirkan ayam pop yang sebenarnya enak itu.
Menu Yang Veni makan iyalah chicken katsu bersama dengan Salat yang diberi saus, Veni juga mau makan nasi merah dan beberapa sayur olahan lainnya. Padahal ada chicken pop yang bisa ia makan, namun ia takut untuk memakannya. Apalagi, saat ia tadi sempat cek-cok dengan Mario.
Hal itu membuatnya takut untuk mengulang kesalahan kedua kalinya. Makanya ia berusaha untuk menurunkan kadar gula dalam dirinya yang sudah melonjak tinggi ini. Efeknya pun membuat Veni malas-malasan, Veni takut malah tubuhnya tidak bisa kembali seperti semula saat ia melahirkan nanti dan Mario tak lagi perhatian padanya.
“Mama udah pastiin kalau semua makanan kamu itu bisa kamu makan, jadi nggak perlu takut kalau misalnya bakalan makin tinggi. Malah dedeknya Kasiyan kalau kamu tahan tahan makannya dia kan juga butuh makan enak,” jelas Dian sambil menyodorkan chicken pop yang bisa dimakan oleh Veni.
Mario pun menatap ke arah istrinya yang sedang ragu dengan senyuman tipis, ternyata perkataan yang ia ucapkan didengarkan dengan baik oleh Veni. Lihat dari cara Veni yang berhati-hati dengan makanannya kali ini.
“ mama juga, Veni nya jangan mama kasih makan yang macam-macam dulu. Soalnya nanti gula darahnya makin naik makin naik, malah kasihan kan Anaku sama Veni nya,” akhirnya Mario pun menatap ke arah Dian yang menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“ mama itu bukannya ngasih makan istri kamu macam-macam, tapi kadang anak kamu yang pengen macam-macam. Emang ada ibu yang tega ngebiarin cucunya pengen ini itu tapi nggak kesampaian padahal kita bisa?” tanya Dian balik pada anak terkecilnya itu.
“Terus Mama mau bulak balik rumah sakit terus gara-gara nurutin maunya istri aku?” tanya Mario pada Dian yang sedang menatap ke arah Veni.
Veni saat ini sedang sibuk dengan makanannya, sampai ia tidak tahu apapun tentang pembicaraan ibu dan anak itu. Maria menggelengkan kepalanya, semenjak istrinya ini hamil besar Veni jadi makin sering memakan makanan yang bahkan dulunya tidak ingin ia makan.
“Yaudah kamu lanjutin aja makannya, Mama mau makan juga sama Mario,” kata Dian sambil beranjak menuju sofa dimana Mario juga ikut berjalan ke arah sofa dimana makanan mereka terletak.
“Aku pengen yang pedes-pedes,” kata Veni sambil menatap ke arah Mario dan Dian.
Anak beranak itu menatap ke arah satu sama lain dan melihat makanan mereka yang mungkin memiliki aroma yang pedas. Veni itu suka sekali dengan makanan pedas, bahkan saat sebelum
hamil pun.
“Ma kayaknya kita nggak bisa makan di sini, bisa bisa nanti Veni ngerengek buat makan makanan kita. Aku sih nggak papa ya tapi mau seberapa lama kita tinggal di rumah sakit ini?” tanya Mario sambil menatap ke arah Veni yang sudah manyun.
Ia ingin mencicipi sedikit saja, namun Mario melarangnya. Akhirnya Veni hanya bisa pasrah memakan kembali makanannya. Dian menatap ke arah menantunya itu kasihan, Mario menjatuhkan pandangannya kepada ibunya saat ini yang tidak merespon.
“Ma, gula darahnya dia masih tinggi. Jangan,” ingat Mario.
Padahal baru beberapa menit yang lalu Veni sadar bahwa gula darahnya tinggi dan ia tak bisa memakan makanan yang sembarangan. Tak lupa ia juga berjanji untuk memakan makanan rumah sakit atau tidak banyak memilih makanan. Yang terjadi seanjutnya ialah ia tengah merajuk karena tidak diberikan makanan yang ia mau sekarang.
“Yaudah cicip satu sendok aja, anak kamu ngiler nanti,” kata Dian yang tak pernah bisa menolak apa yang Veni mau.
Mendengar persetujuan dari mertuanya Veni pun tersenyum sumringah, ia bertepuk tepuk tangan kecil dan menatap ke arah Dian dengan mata berbinar. Sedangkan Mario menatap istrinya itu dengan gelengan kepala.
Mario takkan bisa menang melawan ibunya atau ibu hamil yang merupakan istrinya itu. Akhirnya Dian maju dan memberikan satu sendok ikan sambal matah yang ia berikan kepada Veni. Veni menerimanya dengan senang hati.
“Kalau udah kita makan di kantin aja dulu,” kata Mario yang mengantisipasi Veni menginginkan makanan itu lebih.
“kasihan dong, istri kamu sendirian. Kita makan di sini aja kenapa sih?” tanya Dian sambil menatap ke arah Mario yang sudah siap-siap untuk meninggalkan kamar sebentar.
“Ma, ayo. Enggak bisa, Mama suka enggak tegaan sama Veni. Makin lama nanti bukannya cepet kita pulang malah jadi tinggal disini,” omel Mario sambil menuntun ibu kandungnya itu keluar.
Tentunya sebelum keluar Mario sudah menyiapkan keperluan keperluan untuk Veni. Mario sudah menyetel film yang akan Veni tonton, dan makanan makanan yang bisa Veni makan termasuk buah yang sudah dikupas oleh ibu kandungnya, Dian.
Setelah merasa Veni sudah siap ditinggal dan aman untuk tinggal sendirian, akhirnya Mario pun menyusul Dian yang sudah berjalan terlebih dahulu ke kantin. Setelah itu Veni pun ditinggal sendiri saat sedang makan.
Veni tidak merasakan tersinggung atau apapun karena ia tahu Mario sedang melindungi dirinya dan bayinya. Malah sebenarnya Veni merasa bahagia, karena ia merasa ayah dari anaknya itu sangat perhatian sekali. Ini pun melanjutkan makanannya sendiri sambil menonton dari tab yang dibawa khusus untuk Veni.
Tak terasa akhirnya makanan yang Veni makan sudah habis, Veni pun menyelesaikan makanannya itu dan pengemas nya sendiri. Saat hendak turun dari tempat tidur, tiba-tiba saja seseorang masuk ke dalam ruangannya.
“Veni ngapain?” tanya seseorang kepada Veni dengan membantu Veni sambil menatap wanita yang hamil itu khawatir.
Tentu saja awalnya Veni kaget, karena ada orang yang tiba tiba masuk ke dalam kamarnya tapi bukan Mario ataupun Dian. Saat ia tahu jika seseorang itu adalah Bhiya, Veni hanya tersenyum dan menatap Bhiya senang.
“Kamu datang tepat waktu,” seloroh Veni pada Bhiya yang ikut tertawa.
“Soalnya aku lagi bangun dan habis makan, jadi aku belum ngantuk-ngantuk banget dan bisa ngobrol sama kamu,” lanjut Veni sambil mengemas makanannya setelah menapakkan kakinya di lantai rumah sakit.
“Aku aja,” kata Bhiya menawarkan diri namun Veni menggeleng.
“Jangan dong, aku emang mau olahraga. Bisa-bisa jadi bagong aku di tempat tidur terus,” kata Veni sambil mengemas makanannya tanpa mau ikut campur tangan Bhiya.
“Emang kamu udah naik berapa kilo sih?” tanya Bhiya penasaran.
“Dulu aku empat puluh lima doang, sekarang aku udah enam puluh,” ucap Veni yang juga kaget dengan perubahan drastis dari dirinya.
“Tapi enggak kelihatan gendutan, cuma gedean perut aja,” kata Bhiya sambil meneliti iparnya ini.
“Kamu perlu periksa mata, Bhiya,” kata Veni sambil tertawa.
Rasanya penuh sekali, itu yang Veni rasakan sampai-sampai ia harus menopang perutnya dengan tangannya. Setelah selesai membersihkan bekas makannya sendiri, Veni pun menghampiri Bhiya yang memperhatikannya dengan teliti.
“Bantuin makan dong,” tawar Veni sambil menyerahkan buah yang sudah dikupas Dian tadi. Bhiya tertawa dan mengambilnya.
“Udah engap banget apa, Ven?” tanya Bhiya kepada Veni yang menggantungkan kakinya di ranjang rumah sakit.
“Udah lumayan engap, apalagi kalau dedeknya gerak-gerak banyak gitu,” jelas Veni sambil mengusap perutnya.
“Katanya orang jaman dulu, kalau di injak jempolnya sama orang hamil bisa dipancing gitu,” tiba-tiba Bhiya mengeluarkan statement seperti itu kepada Veni yang sibuk memakan buahnya.
“ kamu mau aku injak? Maksudnya jempol kakinya kan? Jempol kaki doang?” tanya Veni berentetan. Bhiya mengangguk, akhirnya Veni pun bangkit kembali dan mendekati Bhiya.
“Ya Tuhan, semoga anak aku ada sepupunya. Kasihnya lewat Bhiya ya,” doa Veni sambil menginjak jempol kaki Bhiya di kedua kakinya.
“Aamiin,” balas Bhiya.
Jujur saja rasanya lelah ketika melihat Dian yang selalu menatapnya sinis. Sebenarnya ada aja rasa cemburu atau iri ketika Bhiya melihat Veni yang disayang oleh ibu mertuanya sendiri. Apalagi saat Dian mengelus elus perut Veni dengan sayang sambil bercerita tentang apa yang terjadi ke depan ketika bayi itu lahir.
Ia sama sekali tidak mempermasalahkan apapun yang terjadi dirumah tangga orang lain. Akan tetapi untuk rumah tangganya dengan Marvel, rasanya sedikit berat dan dingin ketika mereka sudah bertemu dengan Dian. Rentetan pertanyaan kapan dia memiliki anak menjadi momok tersendiri untuk Bhiya.
“Kamu pasti bisa hamil kok, tinggal tunggu waktu aja,” kata Veni menyemangati biaya yang terlihat sedih saat melihat perut nya.
“Iya aku tahu, semoga waktu yang aku tunggu nggak lama ya. Oh iya kamu pengen makan apa besok aku bawain?” Bhiya pada Veni. Veni menggelengkan kepalanya pertanda bahwa ia tidak menginginkan apapun.
“Nggak perlu, kamu di sini aja udah menghibur buat aku. Kadang menjadi hamil itu ternyata nggak selamanya mudah. Aku kayak ngerasaa benar benar terkuras habis kalo lagi emosi atau terkuras habis kalau misalnya aku lagi sedih, padahal dulunya aku nggak kayak gitu lo,” curhat Veni pada Bhiya yang mendengarnya dengan baik.
Sebenarnya Bhiya ingin sekali merasakan apa yang sedang Veni rasakan, bagaimana saat Veni ibu bahagia ketika membeli barang barang atau melihat barang barang yang akan ia beli. Atau saat Dian memperhatikan Veni dengan teliti. Tapi apa mau dikata, rezekinya belum untuk saat ini.
Veni terlihat santai memakan buah sambil berbincang dengan Bhiya. Veni dan Bhiya sebagai ipar sebenarnya cukup dekat, hanya saja Marvel terkadang tidak terlalu suka melihat Veni berada dekat dengan istrinya.
“Kak Marvel mana?” tanya Veni menanyakan suami Bhiya itu.
“Dia bentar lagi ke sini, kamu mau nitip?” tanya Bhiya lagi. Veni tertawa mendengar pertanyaan iparnya ini.
“Muka aku tampang pengen makan terus apa, Bhi?” tanya Veni yang membuat Bhiya meledakkan tawanya.
“Iya juga ya, dari tadi aku nanya gitu terus sama kamu,”
“Makanya, aku juga jadi heran deh,” sahut Veni.
“Aduh,” saat asyik berbicara tiba-tiba Veni mengaduh dan hal itu membuat Bhiya panik.
“Kamu kenapa?” panik Bhiya yang hampir saja menekan tombol darurat.
“Dedeknya gerak, kaget aja aku. Aku enggak papa. Maaf ya,” Veni meminta maaf kepada biaya karena membuatnya khawatir.
Bhiya mengembuskan napasnya lega, ia kira ada sesuatu yang buruk terjadi. Veni tersenyum tak enak, melihat Bhiya yang panik karena anaknya yang bergerak membuat Veni tak tega.
“Astaga aku takut banget kamu kenapa-napa,” ucap Bhiya pada Veni.
“Aku boleh pegang enggak Ven?” tanya Bhiya sambil mengigit bibirnya khawatir juga Veni tidak memberikannya izin.
“Kamu mau pegang?” tanya Veni memastikan dan Bhiya pun memgangguk.
“Sini pegang, dia lagi gerak nih,” kata Veni sambil berbaring dan membiarkan Bhiya merasakan pergerakan bayinya itu.
“Ya ampun, dia tendangnya kuat banget!” seru Bhiya tertawa bahagia karena merasakan keponakannya itu.
“Makanya aku tadi kaget, kayanya dia mau jadi pesepak bola,” seloroh Veni.
Mereka tertawa, Bhiya belum mau melepaskan pegangannya pada perut buncit milik iparnya itu. Veni pun mengerti keinginan Bhiya menyempurnakan dirinya sebagai wanita untuk menjadi ibu. Semua ada pada tuntutan Dian yang mengharuskan ini dan itu.
“Semoga dedeknya pindah juga ke aunty Bhiya ya,” ucap Veni berbicara kepada anaknya.
“Aamiin, dedek doain Aunty punya dedek juga ya. Biar kamu punya best friend,” kata Bhiya yang ikut berbicara dengan anak Veni.
“Lo apa-apaan!” teriak seseorang menginterupsi kegiatan yang sedang dilakukan oleh kedua wanita muda ini.
Kaget mereka pun menoleh ke arah Mario yang menatap Bhiya dengan berang. Bhiya dan Veni bahkan tak mengerti apa yang salah, Veni yang awalnya telentang pun langsung bangun.
“Dia enggak ngapa-ngapain!” Veni berusaha melindungi Bhiya yang kaget dan setengah takut.
“Lo mau ngapain di sini? Gue bahkan nggak mengundang lo di sini.”
“Kok kamu ngomongnya gitu?” tanya Veni kepada Mario yang marah-marah. Apalagi ia mendorong Bhiya untuk menjauh, Veni bahkan sampai terkejut.
“Mario!” pekik Veni hampir melompat ksrena ia takut iparnya itu kenapa-napa.
Kelakuan Mario ternyata disaksikan oleh Marvel yang sedang membawa keranjang buah untuk Veni. Marvel langsung masuk ke dalam ruangan dan mendorong Mario.
“Lo apa-apaan?” tanya Marvel berang.
Veni turun dengan hati-hati ingin melerai perkelahian yang diawali oleh salah paham ini. Veni menghampiri Mario, sedangkan Bhiya tentu saja langsung mendekati Marvel.
“Istri lo yang ngapain di sini, dia nggak dibutuhin di sini nggak usah sok simpati!”
“Lo yang aneh gue sama istri gue cuma pengen mengunjungin istri lo doang, kenapa lo sewott gue dan istri gue juga nggak berusaha untuk menyalakan istri lo,” Kata Marvel yang kebingungan dengan emosi yang Mario tunjukkan.
“Alah! Bilang aja lo sok-sokan simpati buat dapetin perhatian dari Mama kan? Gausah! Enggak ngaruh!” bentak Mario yang kepalang marah dengan apa yang tengah terjadi.
“Mario apaan sih? Bhiya enggak ngapa-ngapain!” Veni berusaha untuk melerai perkelahian itu dengan menunjukkan bahwa ia tidak kenapa-napa.
Marvel melihat Veni sebal, “kasih tau sama suami lo, istri gue bahkan khawatir sama lo. Gue sama istri gue simpati karena lo keluarga kita. Jangan mentang-mentang lo hamil deluan terus bisa jadiin istri gue samsak! Lo bukan ratu, lo tau?!” bentak Marvel yang membuat Veni terdiam.
“Lo ngomong apa?!” pekik Mario yang sudah termakan emosi.
Bhiya menatap Marvel dengan tatapan tak percaya. Bagaimana bisa suaminya itu memaki iparnya sendiri dengan kata-kata yang menusuk seperti itu. Padahal Veni sedang membantunya agar tidak terlihat salah dimata Mario.
“Kamu apa-apaan sih, Vel!” ucap Bhiya yang tak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Heh! Lo udah hebat apa ngehina istri gue?” tanya Mario sambil menarik kerah Marvel. Mereka sudah siap untuk berperang dan baku hantam.
“Kalian jangan … aduh!” pekik Veni tiba-tiba merasakan perutnya yang keram.
“Veni,” pekik Dian yang baru saja datang dan mendengar pekikan Veni.
Dian menatap ke arah kedua anaknya dan menantunya sambil memegangi Veni yang sudah dipegangi oleh Bhiya dan Mario. Bahkan Marvel juga ikut-ikutan khawatir.
“Tarik napas, buang … jangan dipikirin apa-apa,” kata Dian menenangkan Veni yang mungkin stress dengan keributan yang dibuat oleh Marvel dan Mario.
“Kalian berdua apa-apaan?” marah Dian melihat ke arah Marvel dan Mario.
Mereka berdua menunduk, mungkin merasa takut karena Dian yang marah. Apalagi Bhiya yang ingin saja menghilang dari dunia ini karena pasti akan disalahkan.
“Kalian malah ribut di rumah sakit,” cecar Dian sambil menyodorkan air kepada Veni.
“Ini rumah sakit bukan ring tinju, ada orang sakit. Kamu juga Mario! Istri kamu lagi sakit malah sempat-sempatnya berantem!” omel Dian sambil menatap ke arah anak-anaknya dengan sinis. Bhiya menunduk dan memejamkan matanya, sudah siap menjadi bulan-bulanan Dian.
“Lagian apa masalahnya?” tanya Dian yang memang tidak tahu duduk masalahnya.
“Salah paham aja Ma, tadi Bhiya lagi megangin perut aku. Aku enggak masalah kok, kita sama-sama lagi ngerasain anak aku aja,” jelas Veni walaupun perutnya keram.
“Kamu enggak usah ikutan, perutnya gimana?” tanya Dian sambil mengelus perut Veni.
“Udah enggak papa, tadi mungkin karena mereka berantem jadi aku stress,” kata Veni dan Dian pun mengangguk.
“Ya sudah, ini udah malam. Marvel dan Bhiya pulang sama Mama. Kamu temanin istri kamu, pagi-pagi Mama bakalan ke sini sama Bhiya. Kamu keberatan enggak?” tanya Dian pada menantu pertamanya itu.
Bhiya menggeleng pertanda bahwa dia sama sekali tidak keberatan. Bahkan dia merasa bahagia karena ternyata Dian tidak menyalahkan atau memarahinua. Akhirnya mereka semua pun memutuskan untuk kembali ke rumah.
Berbeda dengan Mario yang masih menatap Bhiya dan Marvel sinis. Akan tetapi tak banyak yang bisa ia lakukan karena ia takut dimarahi lagi oleh Dian. Mereka pun ditinggal sendiri.
Veni ikutan kesal dan marah kepada Mario yang malah mengusik ketenangannya dengan Bhiya. Padahal mereka sedang berbincang hangat dan membuat Veni tidak merasa terlalu jenuh. Veni mendiamkan Mario dengan menghadap ke samping dan tidak melihat ke arah Mario.
“Kamu enggak susah ngeliat ke samping?“ tanya Mario yang takut Veni merasakan sakit pada pinggangnya.
“Enggak usah ikut campur,” rajuk Veni sambil memejamkan matanya dan mengambil selimut untuk menghindari kontak langsung dengan Mario.
“Aku tadi kan cuma khawatir,” jelas Mario kepada Veni.
“Tapi kamu ngedorong Bhiya! Kalau dia kenapa-napa gimana?” tanya Veni masih tidak ingin menatap Mario.
“Aku reflek karena ngerasa dia bakalan celakain kamu,”
“Sama aja. Kamu harus minta maaf sama dia!”
“Untuk apa? Aku kan enggak ngapa-ngapain. Aku cuma ngelindungin istri aku kok,” Mario masih tidak ingin disalahkan atas apapun hingga membuat Veni malas sendiri mendengarnya.
“Lagi pula dia itu bahaya, siapa tahu dia cemburu sama kamu dan kamu di apa-apain?” tanya Mario pada Veni yang makin malas mendengarnya.
“Terserah kamu, tapi aku percaya dia baik sama aku dan dia orang yang baik. Aku enggak tahu pandangan kamu terhadap dia gimana. Tapi pandangan aku seperti itu dan kamu harus menghargai itu,” Oceh Veni yang akhirnya kembali menatap Mario yang juga sedang menatapnya.
“Iya iya, terserah kamu aja,” ucap Mario sambil mendekat ke arah Veni.
“Masih sakit perutnya?“ tanya Mario sambil mengelus perut Veni yang sudah buncit itu. Veni menggeleng, rasa keramnya sudah sedikit menghilang namun memang belum seratus persern.
“Baik-baik ya, anak Papa,”