"Kekecewaan pada seseorang karena menutupi sebuah kebenaran."
***
Akhirnya perjalanan mereka pun sampai di rumah. Setelah mesin mobil mati, Mario tidak langsung membangunkan Veni. Ia melihat wajah cantik yang tengah tidur terlelap itu dengan indah. Senyumannya terangkat. Begitu sempurnanya sosok yang selama ini ada di sisinya. Jika ia tak meluangkan waktu untuk menatap, ia takkan mampu menyadari betapa cantik dan berharganya sosok Veni.
Hidung yang tak terlalu mancung namun lucu, bibir tipis yang penuh dengan kebawelan Veni, dan mata indah yang tak terlalu lebar juga tak sipit. Veni tampak mengagumkan. Tiba-tiba ia kembali jatuh cinta pada Veni. Rasanya seperti tak ingin kehilangan dan tak ingin melepas genggamannya.
Tangannya terulur untuk mengusap lembut pipi sang istri yang masih terlelap. Hingga apa yang ia lakukan berhasil membuat tidur Veni terusik. Sosok itu pun membuka matanya. Secara perlahan, pandangannya mulai jelas. Ia melihat ke kanan dan ke kiri yang menyadari bahwa mobil yang ia naiki sudah berhenti. Saat melihat ke kanan, ia melihat Mario tersenyum menatapnya. Senyuman sendu yang membuat Veni ikut mengembangkan senyuman.
"Kenapa kamu nggak bangunin aku sih?"
Mario tersenyum. Kemudian tangannya tetulur untuk mengusap kepala sang istri dengan manja. "Kamu tidurnya lelap banget sampai aku nggak tega buat bangunin kamu."
"Ya kali kamu tega biarin aku tidur sambil duduk terus kayak gini. Ntar bisa sakit punggung akunya, Mar."
"Ya enggak dong. Nanti aku gendong kok. Tapi karena sekarang kamu udah bangun, jalan aja yuk ke kamarnya."
Veni terkekeh. "Pinter banget ya cari alasan. Bilang aja kalau nggak kuat gendong ibu hamil yang berat badannya udah enam puluh hampir tujuh puluh kilo ini."
"Aku malah seneng kalau kamu gemuk pas hamil, Sayang. Kan anak kita tandanya juga makin berat badannya. Makin gemuk tandanya. Iya kan?"
"Katanya kan anak kita udah tiga kiloan. Ya nanti tinggal aku diet kalau udah lahiran deh."
"Nggak usah diet juga nggak apa-apa. Aku suka kamu apa adanya."
Veni mencibir. "Bilang aja kalau aku gemuk, kamu punya alasan buat ninggalin aku. Iya kan?"
"Enggak dong. Aku kan nggak memandang fisik, Sayang."
"Maksud kamu? Aku jelek gitu?"
Mario terbahak. "Bukan gitu sayang. Maksudnya tuh, ah, kamu tuh jangan mancing masalah ya. Kamu itu cantik. Di mata aku, kamu itu sempurna. Apalagi pas kamu hamil. Makin sempurna. Aku makin sayang banget sama kamu."
"Bisa aja kamu gombalnya."
"Ya udah yuk, kita masuk ke rumah. Kamu makan dulu abis itu minum obat. Jangan lupa minum vitamin sesuai anjurannya dokter. Biar anak kita sehat sampai waktu lahir."
Veni mengangguk. Tapi sebelum mereka turun dari mobil, Veni mencegah tangan Mario.
"Mar, mama masih kesel nggak ya sama aku? Soal anak kita yang nggak keliatan jenis kelamin nya pas USG kemarin."
Wajah sendu Veni membuat Mario melunturkan senyumannya. Sebenarnya Mario sedang tak ingin membahas hal itu. Sebab, hal itu juga membuatnya merasa khawatir. Tapi ia berusaha semaksimal mungkin untuk tetap mencoba berpikir positif dan menenangkan dirinya sendiri.
"Sayang, jangan mikirin mama dulu ya. Nanti mama juga bakal baik-baik aja kok."
"Tapi aku takut mama kecewa sama aku. Aku takut mama nanti nggak sayang lagi sama aku."
"Mama tetep sayang sama kamu. Apalagi kita akan beri dia cucu laki-laki. Pasti kamu makin disayang sama mama."
"Gimana kalau nanti anak kita lahir perempuan?"
"Sst, kamu jangan bilang gitu. Yakin deh, anak kita lahir laki-laki. Kan waktu itu udah USG kalau anak kita punya monas, Sayang."
Dari wajah sedih dan sendu, mendengar ucapan Mario, Veni menjadi terkekeh. Menggemaskan sekali suaminya itu.
"Monas?"
"Iya, monas."
"Kamu ada-ada aja deh, Mar. Bahasanya ada aja gitu loh."
"Nah gitu dong. Senyum. Aku suka kalau kamu senyum, Sayang."
"Lihat deh, Dek. Ayah kamu suka banget gombalin Bunda. Pinter banget gombalin Bunda. Nanti kalau kamu mau deketin cewek, minta ajarin Ayah aja. Ayah jago banget narik perhatian cewek."
"Jangan diajarin yang aneh-aneh dulu, Sayang. Dia harus bisa jadi pewrais perusahaan dulu baru boleh kenal sama cewek."
Veni terkekeh. "Tapi perasaan itu nggak bisa diatur, Mar. Kalau dia udah jatuh cinta ya udah biarin aja. Toh juga kalau nggak mengganggu kan nggak masalah."
"Hei, anak kita aja belum lahir. Jangan bahas itu dulu ya. Kejauhan, Sayang."
Memang benar apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Veni menjadi teringat kalau memang hal itu terlalu jauh. Ia saja tak tahu anaknya akan benar-benar terlahir lelaki atau bukan. Tapi sesuai dengan diagnosa, hal itu sudah membuatnya merasa aman.
"Sayang? Yok, kita masuk ke rumah. Mama pasti udah nungguin kita di meja makan buat makan malam."
"Iya, Sayang."
Veni pun keluar dari mobil. Berjalan gontai menuju rumah.. Mengikuti sang suami yang berjalan lebih dulu. Sebenarnya ia takut bertemu mama mertuanya. Takut jika Dian akan bersikap yang membuatnya tertekan batin di mana dia harus melahirkan anak lelaki sesuai harapan. Padahal itu semua di luar kehendaknya. Karena masalah kodrat, hanya Tuhan yang bisa menentukan.
Baru saja sampai di depan pintu, Veni sudah melihat mama mertuanya tengah duduk di ruang tamu sambil membaca majalan yang sangat ia sukai. Majalah tentang fashion yang tengah hits. Ia sedang duduk dan membaca majalah itu bersama dengan Arum. Tapi tak ada percakapan apapun antara mereka. Mereka hanya fokus membolak-balikkan majalah. Entah sadar atau tidak akan kehadiran Veni dan Mario. Mereka tidak mengalihkan pandangan sedikitpun pada Mario dan Veni yang baru saja masuk ke rumah.
"Ma, mama udah masak belum? Kalau belum, biar Mario bantu." Mario pun akhirnya angkat bicara. Membuat Dian dan Arum langsung melihat ke arah Mario dan Veni.
"Udah keturutan makan es krim nya, Ven?" tanya Dian yang mengabaikan pertanyaan dari Mario. Ia pun langsung melimpahkan majalah fashion itu pada Arum dan mendekati Veni. "Duduk, biar mama sama Mario yang masak buat kamu. Kamu lagi pengen makan apa?"
Veni sedikit terkejut karena mama mertuanya masih memperlakukannya seperti ratu. Mungkin mama mertuanya lupa kalau kemarin anaknya tidak jelas jenis kelaminnya apa atau mama mertuanya sudah yakin kalau anak dalam kandungannya kini adalah anak laki-laki atau bisa saja mama mertuanya sudah ikhlas apapun jenis kelamin cucunya kelak. Ia hanya bisa berdoa jika mama mertuanya memikirkan kemungkinan yang terakhir. Sebab, apapun jenis kelamin nya, yang penting lahir sehat dan normal tak kekurangan suatu apapun itu lebih baik daripada harus dipaksakan sesuai dengan keinginan yang hanya akan membuat kecewa.
"Emh, Veni lagi nggak pengen makan apa-apa, Ma. Terserah mama sama Mario aja mau masak apa. Veni makan apa aja mau kok."
"Ya udah, kalau gitu kamu duduk sini aja. Nonton TV atau main hape terserah kamu. Yang penting kamu sehat dan anak kamu tetap laki-laki."
Ternyata salah. Mama mertuanya masih berharap hal yang sama. Ia hanya bisa berpasrah pada Tuhan agar Tuhan menghendaki apa keinginan mama mertuanya. Sebab, apapun yang terjadi, ia juga tak mau mengecewakan sang maam mertua yang sudah sangat baik dan perhatian padanya.
Selama menikah dengan Mario apalagi selama hamil yang didiagnosa akan melahirkan seorang anak lelaki, Veni menjadi seseorang paling beruntung karena memiliki suami dan mama mertua yang sangat menyayanginya. Bahkan mama mertuanya lebih menyayangi dia dibanding dengan anaknya sendiri. Rasanya seperti ingin memeluk dunia agar mereka tau bahwa Veni adalah seorang menantu yang sangat bahagia.
Tapi bayangan itu sirna ketika mendengar suara majalah yang dihentakkan ke meja. Ia melirik ke arah Arum yang meliriknya dengan penuh kesal. Rasanya seperti ada yang membuat gadis itu sangat tak suka padanya.
"Kenapa, Rum?"
"Nggak usah nanya kenapa. Aku lagi males ngomong." Arum mengeluarkan ponselnya. Kemudian ia bermain hape dan mendiamkan Veni.
Sedangkan Veni bingung mengapa saudara sepupunya itu menjadi garang.
"Enak banget ya jadi keluarga pendatang. Langsung jadi ratu di rumah ini. Padahal cuma hamil anak laki-laki. Kalau anaknya ntar lahir perempuan, pasti bakal dibuang."
Mendengar sindiran Arumi membuat Veni terhenyak. Kata di buang membuat hatinya terasa sakit. Ia hanya bisa diam dan tak menjawab. Takut jika ada salah kata karena jika ia sudah bicara saat kesal, pasti ada-ada saja yang ia lontarkan hingga membuat lawan bicaranya merasa sakit hati.
Selama menanti suami dan mama mertuanya selesai memasak, Veni hanya fokus menonton ponselnya. Ia hanya melihat postingan beberapa kawan lama yang sudah bahagi punya keluarga kecil yang lengkap. Anak mereka sangat cantik dan menggemaskan. Ia langsung tersenyum seorang diri dan mengelus perutnya yang mmembuncit itu. Berharap bahwa anaknya paham bahwa dirinya selalu bisa menerima apapun yang terjadi. Asalkan buah hatinya terlahit sehat dan disambut dengan manisnya mereka.
Saat ia asyik scroll timeline, ia mencium bau wangi makanan yang membuatnya terasa lapar. Terlihat suasana luar sudah mulai gelap. Tanda makan malam memang siap dilaksanakan. Veni berusaha bangkit dari sofa. Akan tetapi, Tiba-tiba saja perutnya mengencang. Ia pun tak jadi berdiri. Ia duduk kembali dan mengusap perutnya yang terasa kencang. Rasanya sakit. Ia hanya merintih pelan.
Sedangkan Arum yang ada di sana hanya melirik datar. Melihat Veni dengan biasa saja dan tak peduli. Tapi setelah itu, Veni tampak baik-baik saja. Sosok itu menarik napas lalu membuangnya. Mengulanginya beberapa kali.
Hingga akhirnya Veni pun merasa perutnya sudah normal kembali mungkin karena ia memikirkan hal yang tak seharusnya ia pikirkan dengan sangat menekan. Jadi ia menarik dan membuang napas agar pikirannya tidak tegang. Setelah merasa normal kembali, ia pun bangkit dari duduk dan menuju ke dapur.
Ia melihat ada sang suami dan sang mama mertua yang tengah sibuk bergelud di dapur dengan makanan mereka. Entah apa yang mereka masak, tapi masakan mereka selalu tercium dengan lezat. Tak bisa tertolak meski ia tengah tak napsu makan. Pasti akan terlahap dengan habis. Kecuali, ia tengah ada sebuah masalah dan membuatnya sungguh tak punya selera makan.
Veni pun duduk di meja makan. Ia menoleh melihat Mario yang datang membawa beberapa menu makanan yang sudah tersaji di atas piring. Kemudian sosok itu menaruh makanan itu di meja sembari tersenyum pada Veni.
"Gimana? Enak-enak kan?" tanya Mario sembari menaikturunkan alisnya. Menggoda sang istri yang terlihat tergiur dengan makanannya.
"Kayaknya mantab banget. Aku jadi nggak sabar pengen makan."
"Sabar ya. Nunggu aku sama mama selesai masak dulu. Masih ada sayur sop jagung. Kamu suka, kan?"
"Wah, seger tuh. Mau dong." Veni merengek manja. Membuat Mario gemas dan langsung menoel hidung Veni.
"Tunggu sebentar ya, Sayang."
Mario pun langsung kembali ke dapur dan meninggalkan Veni seorang diri.
Tapi tak lama setelah itu, Mario dan Dian datang. Mereka membawa bawaan masing-masihg. Mario membawa sayur sop jagung. Sedangkan Dian membawa segelas minuman.
"Ven, ini minuman jamu buat kamu. Biar kandungan kamu sehat terus plus anak yang kamu kandung pasti bakal terlahir cowok."
Veni melihat ke segelas minuman itu. Warnanya sedikit aneh. Baunya pun tidak sedap. Tapi melihat mama mertuanya sangat berharap jika Veni mau meminumnya pun membuat Veni tak tega untuk menolak minuman buatan Dian. Mama mertuanya itu memang sangat suka membuat hal aneh-aneh.
"Di minum dulu baru kita makan." Perintah Dian membuat Veni semakin ketar-ketir. Tapi ia mau tak mau harus meminumnya untuk menghargai sang mama mertua.
"Ini terbuat dari apa aja, Ma?" tanya Veni dengan sedikit ragu.
"Kamu nggak perlu banyak tanya. Yang penting mama ini sudah handal bikin jamu-jamu ginian. Biar kandungan mama kuat dan lahir anak laki-laki. Nah, bener kan? Yang lahir Marvel sana Mario."
Veni mendesah pelan. "Tapi itu kan udah takdir, Ma. Bukan salah Veni dong?"
"Tinggal diminum aja, Ven. Daripada Mama nanti makin badmood loh." Mario yang sudah duduk di sisi Veni merasa bahwa Dian pasti akan mengamuk lagi jika Veni atak mau meminum jus itu. Bisikan itu terdengar oleh Dian dan membuat Dian mengangguk.
"Bener itu. Mama nanti makin badmood loh."
Mendengar Dian mengatakan hal itu, Arum yang baru saja datang langsung mencibir.
Sedangkan Veni berniat mengumpulkan keberanian agar dirinya mau meminum jamu aneh buatan Dian dan berharap bahwa anaknya takkan terluka karena jamu itu. Atau keracunan."
"Ayo, Ven. Diminum dulu. Kita nggak boleh makan kalau kamu belum mau minum itu."
"Buruan aja diminum. Udah laper nih!" Arum menyela sembari menepuk perutnya.
Dengan hati was-was dan bimbang, akhirnya Veni meminum jamu itu. Ia berusaha menyakinkan diri. Kemudian tangannya mengambil segelas jamu itu. Ia meminumnya sedikit. Hanya satu teguk. Rasanya tak begitu pahit seperti warnanya yang aneh. Tapi juga tak manis.
"Gimana? Enak kan?" tanya Dian dengan penuh semangat.
Veni mengangguk ragu. Ia tampil tahu dimana letak enaknya.
"Ven?"
"Hah? Eumh, enak kok, Ma. Enak banget. Gimana kalau kita langsung makan aja? Aku udah laper banget. Kalau minum jamunya sampai habis nanti malah nggan makan."
Dian tersenyum lebar. Begitupun dengan Mario yang senyum lebar melihat sang mama tersenyum. Sedangkan Arum hanya diam da tak berminat untuk mengatakan apapun.
Alhasil, malam itu pun mereka asyik dengan makanan mereka sendiri. Satu persatu masakan yang tersaji hanya tersisa lemak dan kotoran makanan saja. Sedangkan semua isinya sudah masuk ke dalam perut dan membuat perut terasa kenyang.
Veni sangat menikmati makan malam yang tenang. Meski ia harus menelan satu teguk jamu yang rasanya nano-nano dan setelah makan Dian juga memaksanya untuk menghabiskan jamu itu. Karena ia merasa tak seburuk yang ia pikirkan, jadi ia langsung saja meneguk jamu itu hingga habis. Agar Dian juga bahagia dan tak badmood lagi memikirkan jenis kelamin cucunya yang masih ada dalam kandungannya kini.
Makan malam telah usai. Kini mereka langsung masuk ke dalam kamar masing-masing.
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malah lebih enam menit. Denting jam yang terus terdengar membuat Veni yang masih kenyang itu terjaga. Ia tiba-tiba saja kepikiran tentang abi dan uminya. Sangat ingin bertemu. Tapi rasanya akan sulit meminta ijin Mario.
Melihat Veni yang masih terjaga dalam tidur, Mario pun menegur.
"Ada apa, Ven? Kamu mikirin apa?" Sebenarnya ia takut bertanya karena takut jika tiba-tiba Veni ingin ini itu yang aneh-aneh.
Tapi melihat Veni melamun membuat Mario tak kuasa menahan rasa penasaran.
"Aku kepikiran abi sama umi. Rasanya kok kangen gitu ya?" Tiba-tiba saja Veni meluluhkan air mata. Sebulir cairan bening dari kelopak mata itu mengalir dengan lancar di pipi chubbynya. Membuat Mario tak kuasa menahan diri untuk tidak menyeka air mata itu.
"Eh, jangan nangis dong. Kalau kamu kangen, besok bisa aku anter ke rumah abi sama umi kok. Kamu mau?"
Veni langsung menatap ke arah Mario. "Beneran?"
"Beneran dong, Sayang. Masa bercanda sih."
"Kamu nggak kerja?"
Mario tersenyum, "Kamu prioritasku. Pokoknya kalau kamu pengen apa, bilang aja ke aku. Sebisa mungkin aku akan penuhi itu."
"Aku cuma pengen ketemu abi sama umi aja." Veni memantabkan keinginannya. Matanya masih berlinang air mata. Membuat Mario langsung mencium kedua bola mata itu dengan lembut.
"Jangan nangis lagi ya, Sayang. Besok kita ke rumah abi sama umi. Jam delapan? Abis sarapan. Gimana?"
Veni mengangguk dengan semangat. Tak bisa dipungkiri jika hatinya sedang sangat berbahagia hari ini.
"Ya udah, mendingan sekarang kita tidur."
"Tapi masih jam tujuh loh."
"Terus kamu mau tidur jam berapa, Sayang?" Mario mencubit gemas pipi Veni.
"Bentar lagi ah. Mau manja-manjaan dulu sama kamu. Lagian dedek pengen dielus sama ayahnya nih." Dengan manja Veni perutnya pada Mario.
Mario terkekeh dan langsung mencium perut sang istri. "Jagoan ayah yang kuat ya. Sebentar lagi jagoan ayah bakal jadi lelaki yang hebat. Yang bisa menuntun keluarga ke masa depan yang cerah. Janji sama ayah ya, Nak."
"Iya, Ayah. Dedek kan bakal jadi lelaki yang kuat seperti ayah." Veni menimpali dengan suara yang dikecilkan menirukan suara anak kecil.
Mario yang makin gemas pun tak kuasa untuk menahan. Ia pun langsung menghujani wajah Veni dengan ciuman hingga mereka terlelap bersama dalam pelukan yang hangat.
***
Pagi menjelang dengan ramah dan ceria. Kicauan burung menjadi alarm alami di mana mereka berusaha membangunkan para manusia yang masih terlelap untuk segera bangun dan beraktivitas. Seperti sekarang yang dilakukan oleh Veni. Sosok itu terbangun di pagi buta. Mengambil bola senam yoganya. Ia duduk di sana dan melakukan senam yoga seperti yang sudah biasa ia lakukan. Pikirannya tenang dan badannya rileks. Ia membuat tubuhnya merasa nyaman di detik-detik akan melahirkan. Karena beberapa minggu lagi akan masuk ke minggu tiga puluh enam. Di mana dia akan segera menemui hari perkiraan lahir.
Saat asyik dengan kegiatannya, Tiba-tiba saja Mario memeluknya dari belakang. Sosok yang baru saja bangun dari tidurnya itu mengusapkan wajah ke tengkuk Veni. Membuat Veni harus menahan geli dan fokus pada ketenangannya.
Tetapi gagal. Aksi Mario membuat Veni menyerah dengan aktivitas yang sedang ia lakukan. Kemudian Veni menepuk pipi Mario yang menyenderkan kepalanya ke pundaknya.
"Kamu mandi dulu sana. Keburu mama nyuruh kamu bantuin masak."
"Nanti aja. Masih pengen peluk kamu kayak gini."
Veni terkekeh. Sebenarnya lehernya terasa pegal karena harus miring membiarkan kepala Mario tersangkut di pundaknya.
Deru napas Mario yang teratur dan menyeka pipinya membuat geli. Ia semakin tak kuat hingga akhirnya berusaha untuk menjauhkan Mario dari tubuhnya.
"Mario, bangun ah. Aku capek kamu gitu terus. Sana mandi dulu. Katanya nanti mau ke rumah abi sama umi kan?"
Akhirnya Mario membuka mata dengan sayur menatap Veni. "Kamu tuh, orang lagi asyik juga. Ya udah, aku mandi dulu. Abis itu bikin sarapan dan kita berangkat."
"Jangan ngambek. Masa calon ayah ngambekan sih. Ntar ditiru sama anaknya."
"Biarin. Bundanya ngeselin."
Mario langsung bangkit dari ranjang dan langsung mehyamhar handuknya. Ia masuk ke kamar mandi dan meninggalkan Veni sendirian.
Veni hanya tersenyum. Ia terkadang gemas dengan kelakuan Mario yang masih labil. Tapi ia juga sangat mencintai sosok itu. Meski pada awalnya tak ada niat untuk jatuh hati.
Buah hatinya menendang. Merasakan kebahagiaan yang juga ia rasakan pagi ini. Tangannya terulur mengelus perutnya dan meredakan tendangan itu. Memangnterasa sedikit sakit. Tapi ia senang jika anaknya masih mampu diajak berkomunikasi.
Tak lama kemudian, Mario keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan handuk yang menutupi bagian pusar ke bawah hingga di atas lutut saja. Mengekspos badannya yang tak memakai apapun dan masih terlihat basah oleh rintik air. Suaminya memang tak punya badan bagus sebagus para atlet. Tapi setidaknya hal itu juga membuat Veni selalu jatuh cinta.
Trlihat Mario tengah asyik mencari setelan pakaian. Setelah rapi menggunakan celana panjang dan kemeja kotak-kotak warna biru dongker, Mario merapikan rambut dan menatap Veni dengan senyuman.
"Gimana? Udah ganteng belum?"
"Ganteng banget suamiku."
"Iya dong. Aku masak dulu ya. Abis ini kamu mandi terus ke ruang makan. Hati-hati kalau mandi. Jangan sampai kamu kepleset atau kedinginan. Oke, sayang?"
"Oke, Sayang. Nanti aku bakal hati-hati kok. Ini aku udah selesai kok. Terus mau mandi."
"Oke, aku turun dulu." Melihat Mario keluar dari kamar, Veni pun langsung bergegas mandi sebelum makanan jadi dan dia akan diburu-buru untuk segera makan.
***
Usai melakukan sarapan pagi, Veni dan Mario langsung bergegas ke rumah orang tua Veni. Rumahnya cukup memakan waktu dalam perjalanan. Maka dari itu, mereka berangkat pagi agar sampai di sana tidak terlalu siang. Mereka berangkat sekitar jam setengah sembilan. Kemungkinan sampai di rumah orang tua Veni jam setengah sebelas. Dua jam perjalanan.
Selama di perjalanan, mereka kadang berhenti untuk membeli oleh-oleh untuk kedua orang tua Veni.
Setelah membeli semua oleh-oleh untuk kedua orang tua Veni, mereka melakukan perjalanan kembali.
"Sayang, kita mau beli baju buat anak kita kapan? Aku udah nggak sabar mau stok barang-barang yang lucu."
"Emh, kapan-kapan deh ya. Nanti aku cariin waktu. Besok aku ada meeting soalnya."
"Oke, kabarin aja ya. Pokoknya dua minggu sebelum hari perkiraan lahir udah ada barang-barang nya. Seenggaknya kayak gedong atau tas bayi buat isi bedak bayi sama perlengkapan yang lain."
"Iya, Sayang. Secepatnya aku cariin waktu buat kita beli perlengkapan bayi."
Veni mengangguk dan terdiam. Seketika ia teringat jika ia harus memilih untuk bersabar dan berdoa agar bayi yang lahir tetap laki-laki. Setidaknya mama mertuanya tidak akan kecewa padanya.
Selama di perjalanan, tidak ada percakapan apapun selain percakapan tadi yang telah usai. Mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Veni sibuk melihat ke arah samping di mana pagi hari itu terasa sangat damai. Para pejalan kaki terlihat menikmati hari. Yang tengah menunggu bis juga terlihat tidak terburu-buru. Gedung yang menjulang tinggi juga menjadi background yang bagus dan aesthetic saat terkena sinar mentari. Sedangkan Mario sibuk menyetir. Membawa mereka ke tempat tujuan yaitu rumah mertuanya sendiri. Sebenarnya ia takut jika Veni keceplosan jika ia pernah dirawat karena terpeleset. Tapi setidaknya sekarang Veni sudah baik-baik saja dan dalam keadaan sehat bertemu dengan keluarga besar Veni.
Tak lama kemudian, perjalanan mereka hampir sampai. Tinggal masuk ke area perkampungan. Di sanalah ada sebuah rumah sederhana yang bersih dan terawat. Rumah abi dan umi dari Veni.
Mobilnya terparkir di bahu jalan. Sebab, tidak ada ruang parkir di lahan rumah abi dan umi Veni. Baru saja mereka keluar dari mobil, orang tua Veni sudah menyapa.
"Umi, Abi!" Veni mempercepat langkah. Ia ingin segera memeluk uminya dengan erat. Rasanya sudah sangat lama ia tak memeluk uminya. Sangat rindu.
"Gimana kabar kamu?" tanya umi yang tengah memeluk erat putrinya.
"Alhamdulillah baik, Umi. Umi sama Abi gimana?" tanya Veni yang masih setia memeluk uminya.
"Umi sama Abi sehat kok."
Umi pun melepas pelukannya. Memberi ruang Mario untuk mencium tangannya.
"Kalian udah makan belum?" tanya umi pada Veni dan Mario.
Mereka mengangguk bersamaan. Karena memang tadi sudah sarapan di rumah. "Ya udah, ayo masuk dulu. Umi tadi lagi masak kue."
"Iya, Umi."
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Mario duduk di ruang tamu bersama dengan abi. Sedangkan Veni dan uminya berjalan menuju dapur untuk melanjutkan memasak kue. Mereka memang sangat suka memasak kue bersama sejak dulu. Veni merasa juga rindu saat mengingat masa-masa itu.
Setelah meninggalkan abi bersama dengan Mario sendiri. Abi hanya diam sesaat. Mario juga bingung harus memulai percakapan dari mana. Hingga akhirnya abi berdeham. Seolah ingin mengatakan apa yang sebenarnya sudah ia rencanakan.
"Bagaimana dengan kabar perusahaan kamu itu, Nak Mario?" Abi mengawali percakapan dengan pertanyaan sederhana yang sudah biasa didengar oleh Mario.
"Lancar, Abi. Semua berjalan lancar dan kebutuhan Veni sudah tercukupi. Abi tenang saja. Veni aman bersama saya."
"Maksud kamu, Veni nggak aman kalau sama saya dan umi?"
Mario terhenyak. "Bukan begitu, Abi. Tapi—"
Abi terkekeh. "Saya cuma bercanda kok."
Tak lama kemudian, umi membawa dua cangkir kopi hitam yang biasa disuguhkan untuk para tamu yang datang.
"Diminum ya. Umi sama Veni masih asyik buat jajanannya. Jadi sabar dulu."
"Iya, Umi. Nggak usah repot-repot." Mario terkekeh sembari mengusap tengkuknya.
Setelah umi pergi meninggalkan abi dan Mario berdua di ruang tamu kembali, Mario pun yang berusaha mencari topik.
"Abi sama umi kangen banget sama Veni ya? Maaf ya, Abi. Soalnya saya juga jarang punya waktu luang kayak sekarang. Jadi jarang banget bisa ke sini untuk menjenguk abi sama umi."
"Saya nggak masalah. Asalkan kesehatan Veni harus benar-benar kamu jaga dengan baik. Apalagi sekarang dia sedang hamil. Jangan seperti dua minggu kemarin, dia harus dirawat karena terpeleset."
Mario tercenung. Setelah memahami apa maksud bapak mertuanya itu, Mario langsung menatap bapak mertuanya dengan heran.
"Abi tau kalau Veni sempat dirawat di rumah sakit. Waktu itu kami menjenguk teman kami yang sakit dan kebetulan di rawat di sana. Kami melihat kamu sedang mengantri obat di apotek. Saat kami mengikuti kamu ternyata kamu ada di ruang VIP. Kami juga tau siapa dokter yang bertanggung jawab. Jadi kami langsung menemui dokter itu."
"Ke—kenapa abi nggak mampir aja?"
"Abi sama umi cuma nggak mau bikin Veni kepikiran karena kami pasti juga sedih melihat anak kandung kami terluka."
"Maafin saya ya, Abi. Saya janji akan menjaga Veni dengan berhati-hati lagi. Hal yang seperti kemarin nggak akan terjadi lagi. Saya janji, Bi."
"Kamu nggak usah janji-janji, Mario. Abi hanya takut kalau kamu mengingkari janji itu, Abi akan sangat kecewa sama kamu."
"Saya nggak akan mengingkari janji untuk terus menjaga Veni dengan baik, Bi. Saya pasti akan selalu menjaga janji itu."
"Sebenarnya saya kecewa karena kamu membuat Veni terluka. Tapi itu pasti tidak sengaja. Karena kamu sudah menjaga Veni dan sekarang Veni sudah baik-baik saja, Abi memaafkan itu dan menganggap bahwa hal itu memang sudah menjadi nasib buruk Veni. Yang terpenting sekarang, kamu bisa memastikan bahwa Veni akan baik-baik saja bersama kamu dan kejadian seperti kemarin tidak terulang lagi.
Paham, kan, Mario?"
Mario mengangguk. Ia melihat jelas raut kekecewaan dari wajah ayah mertuanya itu. Tapi dengan sekuat mungkin ayah mertuanya itu menutupi dengan kata-kata yang bijak. Begitu halus dan tak menyinggung perasaannya sedikitpun.
Rasa bersalah semakin memuncak. Ia memang tak sengaja membuat Veni terluka bahkan bisa dikatakan jika bukan karena dia Veni bisa terluka. Tapi setidaknya ucapan ayah mertuanya itu bisa menenangkan.
Di lain sisi, Veni dan umi sedang aysik memasak kue di dapur. Mereka sedang menunggu kue yang sedang di oven. Sembari menunggu mereka bercakap ringan. Tapi setelah itu umi mengusap perut buncit anaknya.
"Nenek menunggu kamu lahir ya, Sayang. Yang baik-baik sama Bunda kamu. Jangan kamu sakiti Bunda dengan tendangan kamu yang kuat itu."
"Iya, Nenek. Aku nggak nyakitin Bunda kok." Veni menjawab dengan suara yang nyaring kecil. Menirukan suara bocah bayi.
"Kira-kira kapan kamu lahiran, Ven?"
"Sekitar tiga minggu lagi, Um."
"Nanti kabari umi sama abi ya. Jangan lupa."
"Iya nanti biar Mario yang kabari abi sama umi."
"Pokoknya jangan lupa. Abi sama umi nggak mau ketinggalan heboh lihat kamu lahiran."
Veni terkekeh. "Iya, umi."
"Oh, ya. Anak kamu jenis kelaminnya apa, Ven?"
"Katanya sih laki-laki, Um. Tapi Veni nggak tau. Soalnya kemarin di USG itu jenis kelaminnya jadi ketutupan gitu."
"Mau laki-laki atau perempuan, semuanya sama aja ya. Sama-sama anugerah dari Allah. Jangan sampai kamu menolah anugerah. Karena anugerah itu yang akan membuat kamu sama Mario bahagia dunia dan akhirat."
"Tapi Veni takut kalau anak Veni lahir perempuan, Um."
"Kenapa emangnya? Bukannya semua saja aja, Ven?"
"Emh, harapan ibu mertua Veni, anak Veni itu laki-laki, Um. Jadi Veni takut beliau kecewa aja."
"Kasih paham aja yang baik dan halus. Mau perempuan atau Laki-laki itu sama aja kok. Mereka sama-sama anugerah. Kalau lahir perempuan, anak itu juga anugerah. Nggak boleh disesali. Nanti Allah malah murka kalau titipan nya disia-siakan."
"Iya, Um. Nanti biar aku kasih paham yang lembut mama. Soalnya kadang mama ngeyel pengen cucu cowok. Katanya biar bisa melanjutkan perusahaan Mario."
"Cewek juga bisa jadi pemimpin kok."
Veni tersenyum dan mengangguk.
"Ven, kamu hati-hati ya. Jangan sampai terluka selama hamil. Umi cuma takut kamu kenapa-kenapa."
Ucapan uminya seolah membuat Veni merasa aneh. Tiba-tiba sekali topik pembicaraan berubah seperti itu.
"Iya, Umi."
"Sebenarnya umi tau kalau kamu sempat dirawat di rumah sakit."
Veni terdiam sejenak.
"Jadi, umi minta satu hal. Apapun yang terjadi sama kamu, tolong umi dan abi kasih tau. Kami ini hanya ingin tau bagaimanapun keadaan kamu, Ven. Hanya itu yang kami bisa lakukan. Kalau kamu saja nggak mau memberi kabar sama kami, bagaimana kami bisa tenang?"
"Maaf, Um. Veni cuma takut kalau umi sama abi sedih denger Veni dirawat di rumah sakit."
"Lebih baik jujur daripada kamu bohong demi bikin umi sama abi bahagia. Umi sama abi nggak akan bahagia dengan kebohongan kamu. Apapun yang terjadi, cerita ke umi, ya, Ven."
"Iya, Umi."
Meskipun ia mengiyakan permintaan uminya, tapi sejujurnya saja Veni tak bisa mengatakan hal yang semena-mena. Ia juga tak mau membuat uminya memikirkan keadaannya dan melupakan kesehatannya sendiri.